Tidak ada bulan madu. Aina bahkan menolak mentah-mentah sebelum Agam mengutarakannya.
"Aku akan cuti kerja lima hari. Orang kantor hanya tahu Opaku sakit. Hanya itu."
Itu sarapan pertama mereka sebagai suami-istri. Agam menepati janjinya. Dia bahkan menyiapkan semuanya seorang diri.
"Kalau begitu aku juga akan mengajukan cuti selama seminggu," Agam menimpali. "Aku akan memikirkan alasannya nanti."
Mereka tidak mengatakan apapun lagi setelahnya. Hanya denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang mengisi langit-langit rumah.
Selang lima menit, saat piring-piring hampir kosong, bel rumah berbunyi. Agam bangkit dari duduknya, berjalan ke arah pintu utama. Meninggalkan Aina yang sama sekali tidak merasa perlu untuk peduli.
"Om Agam, kejutan!"
"Nay!" Agam sungguhan terkejut. Gadis mungil usia sekitar lima tahun itu berdiri seorang diri di depan pintu sembari memegang coklat yang sudah habis separuhnya.
"Kau ke sini dengan siapa?"
Gadis mungil yang dipanggil Nay itu menunjuk pintu gerbang luar kediaman Agam yang terbuka. Ada mobil putih keluaran lama yang sangat ia kenali.
"Titip Nay ya, Agam. Tante ada urusan penting. Nanti sore Tante jemput Nay." Wanita paruh baya itu menurunkan kaca jendela mobil, berteriak menitip pesan lantas pergi sambil melambaikan tangan tanpa merasa perlu menunggu jawaban.
"Kebiasaan," gumam Agam.
"Om Agam, Nay bawa sesuatu buat Om." Ucapan Nay menarik atensi Agam.
"Oh, ya? Nay bawa apa?"
Nay mengeluarkan bunga yang ia pegang di tangan satunya. Bunga mawar yang ada di taman depan rumah Agam. Mawar putih.
Agam menerimanya dengan senang. "Terima kasih, Cantik. Om suka sekali hadiahnya."
Nay tersenyum lebar, membuat matanya menyipit. Menggemaskan melihatnya. Lupakan tantenya yang sibuk mengurus butik dan selalu meninggalkan putri kecilnya di rumah Agam di setiap pemuda itu ada di rumah.
"Om!" Nay menarik ujung kaos yang Agam kenakan.
"Ada apa, Nay?"
"Kok ada bidadari di rumah Om?" Nay menunjuk Aina yang sudah pindah duduk di depan televisi, menonton drama korea.
Agam tersenyum kecil. Satu untuk ucapan Nay yang begitu polos dan yang ke-dua untuk bagaimana Aina mulai merasa nyaman dengan rumahnya.
"Nay tidak tahu kalau bidadari juga suka nonton televisi di rumah Om Agam." Nay sudah berjalan lebih dulu mendekati Aina.
"Halo Tante Bidadari!"
"Eh?" Aina menoleh, terkejut melihat Nay sudah mengambil posisi duduk di sampingnya.
"Agam?"
Agam berdehem. "Dia keponakan aku. Anaknya Tante Kayla."
Aina melihata Nay yang menatapnya dengan antusias dan Agam yang tersenyum kecil bergantian. "Lalu kenapa dia ada di sini?"
"Nay memang sering main ke rumah tiap akhir pekan. Dia gadis yang pintar dan penurut. Aku jamin dia tidak akan mengganggumu, Aina."
Aina menghela nafas panjang, mengalah. Baiklah, selama gadis kecil itu tidak menggangunya, Aina tidak akan mempermasalahkannya.
Sayangnya definisi mengganggu Aina dan Agam memang sangatlah berbeda.
"Agam!" Aina berteriak. Baru lima menit yang lalu sejak Agam meninggalkan mereka berdua.
"Ada apa, Aina?" Agam keluar dari dapur, dia sedang membereskan piring kotor miliknya yang belum ia cuci.
"Dia menggangguku!"
Agam melihat Nay sedang duduk sambil menekan paha Aina berulang menggunakan jari telunjuk.
"Nay, apa yang kau lakukan?"
Nay menjawab dengan riang. "Paha Tante Bidadari lucu Om. Kenyel kaya jeli. Nay suka."
Agam baru saja akan tertawa namun urung demi melihat wajah Aina yang menahan kesal.
"Itu tidak sopan, Nay. Kamu tidak boleh menyentuh paha orang lain seperti itu. Om bahkan belum pernah menyentuhnya sama sekali."
Aina langsung melempari Agam dengan tatapan tajam. Agam tak ambil peduli, dia memilih mengajak Nay ke dapur bersamanya.
Setengah jam berlalu dengan damai. Agam mengajak Nay kembali ke ruang keluarga, kali ini sembari membawa semangkuk buah yang sudah dipotong.
"Om Agam, kenapa buah rasanya manis?" Nay sedang duduk di pangkuan Agam mengajukan tebak-tebakan. Aina duduk di ujung sofa, menjaga jarak sejauh mungkin.
"Karena mengandung banyak vitamin?"
Nay menggeleng.
"Karena mengandung banyak air?"
Nay kembali menggeleng. Agam mengangkat tangan, memilih menyerah.
"Karena buah pake huruf b. Kalo pake huruf k jadinya kuah, rasanya sayur."
Agam terkekeh. Nay selalu punya tebak-tebakan aneh versinya. Entah dia tahu dari mana.
"Itu lucu sekali, Nay."
"Tidak ada lucunya sama sekali."
"Eh?"
"Tebak-tebakanmu tidak lucu, Nay." Aina mengulang ucapan sebelumnya.
Wajah ceria Nay perlahan berubah murung. Dia terbiasa mendapat banyak pujian dari Agam dan semua orang. Untuk pertama kalinya ada orang yang mengatakan kalau tebak-tebakannya itu tidak lucu.
"Gak lucu, ya, Om?" Nay menatap Agam dengan raut sedih.
"Lucu kok." Agam tersenyum, membesarkan hati ponakannya. "Selera Tante Bidadari saja yang berbeda dengan kita."
Aina mendengus tak peduli. Pun saat Agam ikut-ikutan memanggilnya Tante Bidadari seperti gadis kecil menyebalkan itu.
"Om Agam!"
"Iya, Sayang?"
"Kalau udah gede, Nay pengen nikah sama Om Agam. Kata Mama, Om Agam baik dan kaya jadi bisa bahagiain Nay."
"Te-"
"Dasar matre." Aina kembali menyela.
Agam hanya bisa menghela nafas sabar. Aina pastilah sedang bosan. Jadi iseng merusuhi percakapannya dan Nay.
"Tentu, Sayang. Om Agam akan senang kalau Nay mau jadi istri Om." Agam menjawab dengan lebih baik.
"Hore!" Nay bersorak kegirangan. "Nanti Nay akan-"
"Dasar pedofil." Aina kembali mengeluarkan komentar. Kali ini diiringi dengan tatapan sinis yang mengarah lurus ke arah Agam.
Astaga!
"Tante Bidadari kenapa sih?" Nay mulai kesal karena obrolan berkualitasnya dengan Agam terus-terusan diganggu. "Cemburu, ya?"
Aina tertawa sarkasme. "Konyol sekali."
Aina beranjak bangun dari duduknya. Mulai bosan melihat tingkah Agam dan keponakannya. Saat itulah layar ponsel yang ada di atas meja menyala, menampilkan gambar Spongebob disusul masuknya notifikasi.
"Ah! Spongebob!" Nay berseru kegirangan. Dengan cepat turun dari pangkuan Agam, mengambil ponsel Aina dan berlari keluar.
"Horre! Nay dapet ponsel Spongebob!"
"Ponsel aku?!" Aina berteriak keras lantas mengejar Nay yang sudah lebih dulu berlari.
"Sepertinya aku sudah cocok punya dua anak," gumam Agam sambil menyusul sebelum perang dunia terjadi.
"Nay, balikin ponsel aku!"
Aina dan Nay sedang beradu mulut di pinggir kolam renang setelah lelah saling berkejar-kejaran memutari taman.
"Gak mau!"
"BALIKIN, GAK?!"
"Gak mau. Kata Om Agam, semua yang ada di rumah ini punya Om Agam dan Nay boleh ambil apapun yang Nay suka."
"TAPI ITU BUKAN PUNYA AGAM, ITU PUNYA AKU!"
Nay tidak langsung menjawab. Dia menatap ponsel yang ada dalam genggaman tangannya lantas beralih menatap Aina.
"GAK PEDULI!" Nay berujar sambil menjulurkan lidah, khas saat gadis kecil itu sedang meledek seseorang.
"Haish," Aina berteriak gusar. Dia langsung merangsek maju, berusaha merebut paksa ponsel miliknya.
Nay tidak mau kalah. Alhasil mereka saling tarik-menarik. Aina menarik dengan penuh emosi, sedang Nay menarik dengan wajah setengah menangis.
"LEPASIN, NAY?!"
"GAK MAU!"
Agam yang baru tiba hanya bisa melihat keributan itu dengan geli. Ponakan kecilnya dan istri mungilnya ternyata bisa se-akur itu dalam artian lain. Menyenangkan sekali melihatnya.
Demi melihat Aina yang semakin kuat menarik ponsel, Nay mulai mengendorkan pegangannya. Itu membuat Aina terdorong mundur. Gerakan yang tiba-tiba itu tak urung membuat ponsel Aina terlempar dan terjun bebas ke dalam kolam renang.
Byur!
"Ponsel aku?!" Aina menatap tak percaya ponselnya yang sempurna tenggelam.
"Kenapa Tante jatuhin Spongebobnya ke kolam renang? Kan kasihan." Nay menatap Aina tanpa rasa bersalah.
"AGAM?!"
"Kau masih marah?""Menurutmu?"Agam mengusap bagian belakang leher, menatap Aina dengan sedikit sorot sesal."Nay masih anak-anak. Jadi, aku harap kau bisa memakluminya."Aina mendengus kesal. Sekarang dia juga harus memaklumi tingkah ponakan suami kontraknya. Besok apalagi? Dia juga harus memaklumi tingkah tante-tantenya, tetangganya dan tukang sayur yang sibuk ingin tahu."Kenapa aku harus memakluminya? Dia bukan siapa-siapa dan dia jelas bersalah," seru Aina dengan tegas.Agam menghela nafas panjang. Saat ini mereka sedang duduk di ruang makan. Nay sudah pulang setengah jam yang lalu setelah Aina memarahinya habis-habisan."Aku tidak suka saat ada orang yang menyentuh barang milikku. Apalagi merusaknya Agam." Aina bangkit dari duduknya. Dia sudah selesai dengan makanan di piringnya. "Tanpa terkecuali."Aina melangkah ke dapur, meninggalkan Agam yang masih setia dengan makanan di piringnya. Membiarkan percakapan itu berakhir dengan jelas. Aina sama sekali tidak merasa bersalah kare
"Opa!"Aina berlari kecil lantas memeluk Opa yang sedang menyiram tanaman. Opa bahkan sempat terdorong mundur ke belakang karena Aina memeluknya dengan terlalu semangat."Aina kangen banget sama Opa." Aina melepas pelukan, sekilas bening air mata terlihat dari sudut matanya. "Opa baik-baik saja, kan? Atau masih ada yang sakit?""Opa baik-baik saja, Aina." Opa mengusap lembut rambut Aina. "Jauh lebih baik.""Itu Agamnya gak disuruh masuk?" Mama keluar dari dalam rumah. Mungkin karena mendengar suara keributan kecil yang sudah Aina ciptakan."Pagi, Ma!" Agam inisiatif menyapa lebih dulu. Berjalan mendekati Mama untuk mencium tangannya. "Bagaimana kabar Mama?""Jauh lebih baik dari sebelumnya. Apalagi melihat menantu kesayangan Mama berkunjung," ujar Mama dengan senang."Dari mana kau tahu kalau aku suka mangga, Agam?" Opa mendekat, ikut bergabung."Aina yang mengatakannya Opa. Jadi, kami membelinya sedikit. Agam pikir Opa akan menyukainya.""Opa akan selalu suka apapun yang kamu bawa."
"Ugh ...."Pasangan itu berciuman dengan panas di atas ranjang. Tangan pemuda itu bergerak, meraba tubuh gadisnya dengan penuh hasrat. "Aku ingin melakukannya, Sayang," bisiknya parau di telinga gadisnya.Gadis itu mendesah hebat. Kemejanya sudah terlepas. Menyisakan bra transparan yang sedang kekasihnya berusaha lepaskan.Jemari pemuda itu melepaskan kaitan bra. Tangan satunya beralih menjamah gunung kembar yang sudah tidak terhalang apapun, meremasnya sedemikian rupa. Membuat gadisnya mendesah hebat.Ciuman itu kembali berlanjut. Lebih panas, lebih menunutut. Si pemuda memagut cepat bibir gadisnya, sesekali menggigitnya pelan. Tangannya mendorong tubuh gadis itu jatuh ke ranjang, tubuhnya mengikuti dengan alamiah tanpa melepaskan ciuman."Kau sungguh gila, Sayang. Kau membuatku gila!"Si gadis masih mendesah. Tak mau hanya diam, tangannya membuka kancing kemeja pemuda yang tengah menindih tubuhnya. Dada bidang itu sempurna terbuka. Begitu kokoh dan sangat menggiurkan untuk dijamah.
"Kalian menikahlah! Opa bisa pergi dengan tenang kalau cucu kesayangan Opa menikah dengan pemuda sebaik Nak Agam."Aina melirik Agam yang duduk tak jauh darinya. Pemuda itu baru saja datang dengan Tante Maya setengah jam lalu. Iseng membahas dengan Mama kenapa anak-anak mereka yang sudah masuk usia matang belum juga menikah. Sepuluh menit kemudian Aina bergabung. Celetukan itu keluar begitu saja dan siapa yang mengira kalau semua orang yang ada di situ justru semangat menanggapinya."Bagaimana kalau Aina menikah saja dengan Agam. Mereka sepertinya akan cocok.""Benarkah?" Mama semangat menanggapi. "Apa Agam tidak keberatan? Anakku Aina jauh dari kata sempurna. Dia masih kekanak-kanakan. Tidak seperti Agam yang sudah jauh lebih dewasa."Tante Maya tersenyum menanggapi. "Agam tentu akan setuju. Apalagi Aina cantik dan ceria. Soal kekanak-kanakan, itu cukup wajar mengingat usianya lebih muda lima tahun dari Agam, bukan?" Tante Maya melirik Agam yang memilih diam mendengarkan. Walau sama
"Maaf, Agam." Aina menghela nafas pendek. Dia menunduk cukup lama untuk kemudian menatap pemuda di depannya itu."Aku tetap tidak akan bisa menikah denganmu. Aku akan membujuk Opa untuk membatalkan pernikahan kita."Agam memilih diam. Dia sadar kalau jalannya untuk menikahi Aina memang terlalu mulus. Terlalu penuh keberuntungan dan terlalu tidak mungkin. Gadis itu jelas bisa menolak."Kau selalu bisa menemukan sosok gadis yang lebih baik dariku, Kawan." Aina menepuk pundak Agam, lalu melangkah keluar dari tempat itu lebih dulu."Aku tidak butuh gadis yang lebih baik, Aina. Aku cuma mau kamu," gumam Agam sembari menatap kepergian gadis itu.Jika mengikuti kemauan Aina, dia akan meminta Opa menunda pernikahan itu. Cukup dua bulan. Aina akan menggunakannya untuk memperjelas hubungannya dengan Bintang. Apakah bisa mengarah ke arah pernikahan atau tidak. Bila pun tidak, dia bisa mencari calon suami idamannya sendiri saat itu.Masalahnya jangankan waktu dua bulan, Aina bahkan tidak diberik
"Kau sudah sadar, Aina. Tidak perlu berpura-pura seperti itu." Agam meneguk kopinya yang sudah dingin.Hari sudah malam. Saat ini mereka sedang berada di kediaman Agam. Saat pingsan di rumah sakit tadi, Agam memang sengaja membawa istri barunya itu ke rumah miliknya, bukan rumah keluarga Aina.Aina mengehela nafas kasar. Membuang selimut yang menutupi tubuhnya."Kenapa kau membawaku ke sini?" Agam tersenyum, dia meletakan cangkir kopinya di meja. "Ini rumahku dan sekarang menjadi milikmu juga. Tidak ada salahnya kalau kita bermalam di sini, bukan?"Aina mendengus sebal. Dia memang sudah sadar setengah jam yang lalu. Otaknya langsung mencerna apa-apa saja yang sudah terjadi. Kondisi Opa. Pernikahan itu. Semuanya itu nyata terjadi.Gadis itu masih mencoba mencari jalan keluar saat Agam membuka pintu kamar dan duduk di atas sofa, mungkin menungguinya sadar. Sialnya akting pura-pura tidurnya masih minim sehingga mudah saja Agam mengetahuinya."Tapi kalau kau menginginkan kamar di sebuah