"Kau masih marah?"
"Menurutmu?"
Agam mengusap bagian belakang leher, menatap Aina dengan sedikit sorot sesal.
"Nay masih anak-anak. Jadi, aku harap kau bisa memakluminya."
Aina mendengus kesal. Sekarang dia juga harus memaklumi tingkah ponakan suami kontraknya. Besok apalagi? Dia juga harus memaklumi tingkah tante-tantenya, tetangganya dan tukang sayur yang sibuk ingin tahu.
"Kenapa aku harus memakluminya? Dia bukan siapa-siapa dan dia jelas bersalah," seru Aina dengan tegas.
Agam menghela nafas panjang. Saat ini mereka sedang duduk di ruang makan. Nay sudah pulang setengah jam yang lalu setelah Aina memarahinya habis-habisan.
"Aku tidak suka saat ada orang yang menyentuh barang milikku. Apalagi merusaknya Agam." Aina bangkit dari duduknya. Dia sudah selesai dengan makanan di piringnya. "Tanpa terkecuali."
Aina melangkah ke dapur, meninggalkan Agam yang masih setia dengan makanan di piringnya. Membiarkan percakapan itu berakhir dengan jelas. Aina sama sekali tidak merasa bersalah karena sudah memarahi Nay hingga menangis.
"Kalau begitu maaf."
Langkah Aina terhenti. Agam sudah lebih dulu berdiri. Baiklah, sepertinya dia memang sudah sadar dimana letak kesalahan keponakannya itu.
"Harusnya kau mengatakan itu sedari ta-"
"Maaf karena sudah mengira kau bisa lebih dewasa dari ini, Aina," potong Agam.
"Eh?"
Agam mengulas senyum kecil, sejenis senyum yang baru pertama kali Aina lihat dari pemuda itu.
"Sepertinya kamu masih terlalu kanak-kanak untuk memahami kejadian hari ini. Aku akan mengganti ponselmu besok. Terserah maumu dalam bentuk uang atau ponsel yang serupa." Agam mendorong kursinya. Menatap Aina sekilas sebelum kembali mengucapkan satu kalimat singkat, "selamat malam, Aina! Terima kasih untuk hari ini."
Satu kalimat sederhana yang saat itu Aina anggap sebagai angin lalu.
**
Aina menatap langit-langit kamar dalam diam. Sudah satu jam berlalu setelah Agam meninggalkan meja makan dengan sorot dingin untuk pertama kalinya.
"Bukankah harusnya aku yang marah di sini?" Aina beralih menatap ponselnya yang mati total. Gadis itu lalu menggeleng. Berusaha melupakan ucapan Agam dan sorot dinginnya.
"Keponakan dan om-nya itu memang sama menyebalkannya."
Di kamar satunya, Agam menatap keluar jendela kaca yang menghadap jalan raya. Sesekali helaan nafas panjang lolos, meningkahi suara hati yang berusaha Agam redam.
Sudah lebih dari satu jam dia berpikir untuk mengetuk pintu kamar Aina, berniat menjelaskan kalimat yang ia ucapkan. Namun, sisi lain mengatakan kalau itu hanya akan menjadi alasan lainnya. Bahkan bisa saja membuat gadis itu menjadi lebih marah.
"Dia memang masih anak kecil Agam. Wajar kalau tingkahnya pun begitu. Apalagi dia juga belum sepenuhnya mengenal Nay."
Kesimpulan itu keluar disertai keputusan untuk menutup malam dengan tidur lebih awal. Semoga besok, dia sudah tahu bagaimana dia harus bersikap di depan istrinya.
**
Saat pagi menyapa, Aina mendapati secarik kertas yang tertempel di guci besar yang berada di depan kamarnya. Itu tulisan Agam.
Aku lari pagi di taman komplek. Mungkin baru pulang sekitar pukul delapan. Kau boleh sarapan lebih dulu. Kita akan ke rumah Opa pukul sembilan.
-Agam
Aina membaca pesan itu sembari menuruni anak tangga. Saat tiba di ruang makan, meja penuh makanan menyambutnya lengkap dengan bau sedap yang menggugah indra penciuman.
"Kapan dia menyiapkannya?" Aina duduk di kursi terdekat. Membalik piring lantas mengambil nasi secukupnya. "Harusnya dia jadi chef saja, berkelana ke dunia luar dan bertemu bule cantik."
Aina memasukkan suapan pertama ke dalam mulut. Menikmati sarapan model baru setelah menyandang status istri.
"Ah, aku lupa. Dia lebih suka gadis penuh sopan santun yang sayang anak-anak. Mungkin harusnya dia menikah dengan gadis di sinetron yang tayang di televisi lokal, yang tingkat kesabarannya setinggi gunung Everest."
Aina mengangguk. Setuju dengan pemikirannya itu.
"Atau dengan gadis yang jauh lebih dewasa darinya. Janda anak satu. Dia jelas akan punya rasa keibuan yang besar. Apalagi mengingat dia juga suka anak-anak, mereka jelas akan cocok sekali." Aina kembali menyuarakan pemikirannya.
"Aku tidak tahu kau akan sampai se-peduli itu."
Eh? Sejak kapan Agam ada di belakangnya?
Aina meneguk ludah. Lantas melirik Agam yang berjalan melewatinya, berhenti di depan teko kaca berisi air. Tangannya dengan cekatan mengambil gelas, mengisinya dengan air sampai terisi penuh.
Aina memilih diam. Bahkan saat Agam meneguk air dalam gelas hingga tandas. Membiarkan keringat di keningnya menetes jatuh. Melihat kaos putih yang sudah setengah basah. Juga rambut yang sedikit berantakan.
Agam terlihat berbeda dengan kaos putih polos santai dengan celana training. Sisi baru yang perlahan Aina kenal.
"Kau mau dimadu rupanya." Agam tersenyum guyon, sorot dingin semalam sempurna menguap. "Aku tidak keberatan. Kau boleh memilih sendiri calonnya. Karena sepertinya kau sudah memahamiku dengan baik, akan aku per-"
"Bukankah kau mengatakan akan pulang pukul delapan?" Aina lebih dulu menyela. Lebih karena malu sudah tertangkap basah menyuarakan pikiran konyolnya itu.
Agam pura-pura terkejut. "Kau sudah membaca pesanku?"
"Ya dan harusnya kau pulang-"
Agam lebih dulu menunjukkan jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan lebih sepuluh menit.
"Sudah pukul delapan, Aina."
Aina meneguk ludah. Secepat itukah? Seingatnya dia bangun pukul ... ah, iya. Ponselnya rusak. Dia jelas tidak mengecek jam pagi tadi.
"Sepertinya kau bangun kesiangan," tebak Agam. "Cukup wajar mengingat kau pengantin baru," imbuhnya.
Agam dengan santai mengambil roti tawar. Memilih mengabaikan sikap diam Aina yang tidak seperti biasanya, selalu berusaha menyanggah ucapan pemuda itu.
"Segeralah bersiap. Kita akan mengunjungi Opa. Kamu pasti sudah sangat merindukannya."
Aina melirik Agam yang kali ini menuangkan susu ke dalam gelas. Apa dia memang tidak suka sarapan? Kemarin pun pemuda itu hanya makan dua roti tawar tanpa selai.
"Apa yang opamu suka? Kita bisa membelinya di jalan."
Agam jelas sudah tidak marah lagi padanya. Sikapnya sudah kembali ke settingan awal. Apa dia jenis orang yang mudah melupakan kekesalan
"Kita bisa membeli ponselmu sepulang dari sana. Akan aku carikan yang sama persis dengan milikmu." Agam masih asik dengan rencana-rencananya.
Atau dia jenis orang yang berusaha menutupinya. Aina masih belum bisa menebak.
"Agam!"
"Hm?"
"Kau ... sudah tidak marah?"
"Apa kemarin aku terlihat seperti sedang marah?" Agam balik bertanya.
Aina mengangguk. "Kau terlihat dingin. Aku pikir kau marah."
Agam mengulas senyum tipis. Ada perasaan hangat yang menyelinap di dada saat mendengar kalimat yang gadisnya itu suarakan.
"Aku tidak marah. Maaf, karena sudah membuatmu berpikir seperti itu."
Manik abu Agam dan manik coklat Aina bertemu, bertahan cukup lama untuk kemudian salah satunya memilih mengakhiri lebih dulu.
Agam memilih naik ke lantai dua. Dia akan mandi dan bersiap. Saat tiba-tiba langkahnya terhenti di undakan yang tepat berada di tengah, Agam menoleh dan berujar, "seharusnya aku mengatakannya sedari tadi. Namun, terlambat lebih baik dibandingkan tidak sama sekali, bukan?"
Aina mengernyitkan kening. Namun, tak urung kepalanya menoleh, balas menatap Agam.
"Selamat pagi, Aina!" Agam tersenyum lebar saat mengucapkannya untuk kemudian lanjut melangkah dan menghilang di balik pintu.
"Aku masih belum bisa menebak apa yang sebenarnya dia pikirkan," gumam Aina.
"Opa!"Aina berlari kecil lantas memeluk Opa yang sedang menyiram tanaman. Opa bahkan sempat terdorong mundur ke belakang karena Aina memeluknya dengan terlalu semangat."Aina kangen banget sama Opa." Aina melepas pelukan, sekilas bening air mata terlihat dari sudut matanya. "Opa baik-baik saja, kan? Atau masih ada yang sakit?""Opa baik-baik saja, Aina." Opa mengusap lembut rambut Aina. "Jauh lebih baik.""Itu Agamnya gak disuruh masuk?" Mama keluar dari dalam rumah. Mungkin karena mendengar suara keributan kecil yang sudah Aina ciptakan."Pagi, Ma!" Agam inisiatif menyapa lebih dulu. Berjalan mendekati Mama untuk mencium tangannya. "Bagaimana kabar Mama?""Jauh lebih baik dari sebelumnya. Apalagi melihat menantu kesayangan Mama berkunjung," ujar Mama dengan senang."Dari mana kau tahu kalau aku suka mangga, Agam?" Opa mendekat, ikut bergabung."Aina yang mengatakannya Opa. Jadi, kami membelinya sedikit. Agam pikir Opa akan menyukainya.""Opa akan selalu suka apapun yang kamu bawa."
"Ugh ...."Pasangan itu berciuman dengan panas di atas ranjang. Tangan pemuda itu bergerak, meraba tubuh gadisnya dengan penuh hasrat. "Aku ingin melakukannya, Sayang," bisiknya parau di telinga gadisnya.Gadis itu mendesah hebat. Kemejanya sudah terlepas. Menyisakan bra transparan yang sedang kekasihnya berusaha lepaskan.Jemari pemuda itu melepaskan kaitan bra. Tangan satunya beralih menjamah gunung kembar yang sudah tidak terhalang apapun, meremasnya sedemikian rupa. Membuat gadisnya mendesah hebat.Ciuman itu kembali berlanjut. Lebih panas, lebih menunutut. Si pemuda memagut cepat bibir gadisnya, sesekali menggigitnya pelan. Tangannya mendorong tubuh gadis itu jatuh ke ranjang, tubuhnya mengikuti dengan alamiah tanpa melepaskan ciuman."Kau sungguh gila, Sayang. Kau membuatku gila!"Si gadis masih mendesah. Tak mau hanya diam, tangannya membuka kancing kemeja pemuda yang tengah menindih tubuhnya. Dada bidang itu sempurna terbuka. Begitu kokoh dan sangat menggiurkan untuk dijamah.
"Kalian menikahlah! Opa bisa pergi dengan tenang kalau cucu kesayangan Opa menikah dengan pemuda sebaik Nak Agam."Aina melirik Agam yang duduk tak jauh darinya. Pemuda itu baru saja datang dengan Tante Maya setengah jam lalu. Iseng membahas dengan Mama kenapa anak-anak mereka yang sudah masuk usia matang belum juga menikah. Sepuluh menit kemudian Aina bergabung. Celetukan itu keluar begitu saja dan siapa yang mengira kalau semua orang yang ada di situ justru semangat menanggapinya."Bagaimana kalau Aina menikah saja dengan Agam. Mereka sepertinya akan cocok.""Benarkah?" Mama semangat menanggapi. "Apa Agam tidak keberatan? Anakku Aina jauh dari kata sempurna. Dia masih kekanak-kanakan. Tidak seperti Agam yang sudah jauh lebih dewasa."Tante Maya tersenyum menanggapi. "Agam tentu akan setuju. Apalagi Aina cantik dan ceria. Soal kekanak-kanakan, itu cukup wajar mengingat usianya lebih muda lima tahun dari Agam, bukan?" Tante Maya melirik Agam yang memilih diam mendengarkan. Walau sama
"Maaf, Agam." Aina menghela nafas pendek. Dia menunduk cukup lama untuk kemudian menatap pemuda di depannya itu."Aku tetap tidak akan bisa menikah denganmu. Aku akan membujuk Opa untuk membatalkan pernikahan kita."Agam memilih diam. Dia sadar kalau jalannya untuk menikahi Aina memang terlalu mulus. Terlalu penuh keberuntungan dan terlalu tidak mungkin. Gadis itu jelas bisa menolak."Kau selalu bisa menemukan sosok gadis yang lebih baik dariku, Kawan." Aina menepuk pundak Agam, lalu melangkah keluar dari tempat itu lebih dulu."Aku tidak butuh gadis yang lebih baik, Aina. Aku cuma mau kamu," gumam Agam sembari menatap kepergian gadis itu.Jika mengikuti kemauan Aina, dia akan meminta Opa menunda pernikahan itu. Cukup dua bulan. Aina akan menggunakannya untuk memperjelas hubungannya dengan Bintang. Apakah bisa mengarah ke arah pernikahan atau tidak. Bila pun tidak, dia bisa mencari calon suami idamannya sendiri saat itu.Masalahnya jangankan waktu dua bulan, Aina bahkan tidak diberik
"Kau sudah sadar, Aina. Tidak perlu berpura-pura seperti itu." Agam meneguk kopinya yang sudah dingin.Hari sudah malam. Saat ini mereka sedang berada di kediaman Agam. Saat pingsan di rumah sakit tadi, Agam memang sengaja membawa istri barunya itu ke rumah miliknya, bukan rumah keluarga Aina.Aina mengehela nafas kasar. Membuang selimut yang menutupi tubuhnya."Kenapa kau membawaku ke sini?" Agam tersenyum, dia meletakan cangkir kopinya di meja. "Ini rumahku dan sekarang menjadi milikmu juga. Tidak ada salahnya kalau kita bermalam di sini, bukan?"Aina mendengus sebal. Dia memang sudah sadar setengah jam yang lalu. Otaknya langsung mencerna apa-apa saja yang sudah terjadi. Kondisi Opa. Pernikahan itu. Semuanya itu nyata terjadi.Gadis itu masih mencoba mencari jalan keluar saat Agam membuka pintu kamar dan duduk di atas sofa, mungkin menungguinya sadar. Sialnya akting pura-pura tidurnya masih minim sehingga mudah saja Agam mengetahuinya."Tapi kalau kau menginginkan kamar di sebuah
Tidak ada bulan madu. Aina bahkan menolak mentah-mentah sebelum Agam mengutarakannya."Aku akan cuti kerja lima hari. Orang kantor hanya tahu Opaku sakit. Hanya itu."Itu sarapan pertama mereka sebagai suami-istri. Agam menepati janjinya. Dia bahkan menyiapkan semuanya seorang diri."Kalau begitu aku juga akan mengajukan cuti selama seminggu," Agam menimpali. "Aku akan memikirkan alasannya nanti."Mereka tidak mengatakan apapun lagi setelahnya. Hanya denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang mengisi langit-langit rumah.Selang lima menit, saat piring-piring hampir kosong, bel rumah berbunyi. Agam bangkit dari duduknya, berjalan ke arah pintu utama. Meninggalkan Aina yang sama sekali tidak merasa perlu untuk peduli."Om Agam, kejutan!""Nay!" Agam sungguhan terkejut. Gadis mungil usia sekitar lima tahun itu berdiri seorang diri di depan pintu sembari memegang coklat yang sudah habis separuhnya."Kau ke sini dengan siapa?"Gadis mungil yang dipanggil Nay itu menunjuk pintu