"Ugh ...."
Pasangan itu berciuman dengan panas di atas ranjang. Tangan pemuda itu bergerak, meraba tubuh gadisnya dengan penuh hasrat.
"Aku ingin melakukannya, Sayang," bisiknya parau di telinga gadisnya.
Gadis itu mendesah hebat. Kemejanya sudah terlepas. Menyisakan bra transparan yang sedang kekasihnya berusaha lepaskan.
Jemari pemuda itu melepaskan kaitan bra. Tangan satunya beralih menjamah gunung kembar yang sudah tidak terhalang apapun, meremasnya sedemikian rupa. Membuat gadisnya mendesah hebat.
Ciuman itu kembali berlanjut. Lebih panas, lebih menunutut. Si pemuda memagut cepat bibir gadisnya, sesekali menggigitnya pelan. Tangannya mendorong tubuh gadis itu jatuh ke ranjang, tubuhnya mengikuti dengan alamiah tanpa melepaskan ciuman.
"Kau sungguh gila, Sayang. Kau membuatku gila!"
Si gadis masih mendesah. Tak mau hanya diam, tangannya membuka kancing kemeja pemuda yang tengah menindih tubuhnya. Dada bidang itu sempurna terbuka. Begitu kokoh dan sangat menggiurkan untuk dijamah.
"Kau ternyata nakal juga, ya?"
Pause. Video yang sedang diputar di layar laptop terhenti. Pemuda yang sedari tadi asik menonton menatap jengkel gadis yang baru saja masuk ke ruangan tanpa permisi, berdiri di belakangnya dan mengganggu rutinitas asiknya.
"Bisakah kau mengetuk pintu sebelum masuk, Aina?"
Gadis yang dipanggil Aina itu sudah duduk di sofa. Mengambil majalah secara acak, membacanya tanpa minat.
"Bagaimana mungkin kau mendengar ketukan pintu saat kau asik melihat film porn*, Bintang?"
Bintang mengusap wajahnya, lantas berjalan mendekati Aina.
"Aku tidak tahu kalau ternyata kau juga menyukai film seperti itu," celetuk Aina lagi. "Harusnya kau mengobrol dengan Thom, dia mengoleksi banyak film seperti itu. Kalian akan cocok mengobrol."
"Kau salah paham, Aina. Aku hanya iseng menonton karena bosan dan ini kali pertama untukku," jelas Bintang sembari merebut majalah yang Aina baca.
"Per-ca-ya," sindir Aina, sarkasme.
"Terserah kau sajalah." Bintang mengalah. Percuma juga menjelaskan.
"Tapi aku sungguh penasaran." Aina memutar duduknya, menghadap Bintang lebih baik. "Kenapa orang-orang seperti kalian suka menonton film seperti itu? Apa itu memang se-seru seperti yang orang lain katakan?"
Bintang terkekeh demi melihat wajah penasaran milik Aina. Wajah gadis polos yang penuh rasa penasaran milik Aina selalu terlihat menarik di matanya. Sungguh.
"Kau bisa menontonnya langsung kalau se-penasaran itu," seru Bintang setelah tawanya mereda.
"Haruskah?"
Bintang meneguk ludah. Dia hanya iseng menawari, tapi gadis di depannya itu sungguhan menanggapi gurauannya?
"Bagaimana kalau kita menontonnya berdua. Film yang kau tonton tadi." Aina mengusulkan ide polosnya. "Ini sudah jam sepuluh malam, tidak akan ada orang yang akan sibuk mengetuk pintu ruanganmu apalagi memberi kita pekerjaan."
Bintang menatap Aina penuh selidik, mencoba menebak apakah gadis itu tengah bergurau atau sebaliknya. Belum genap Bintang menyimpulkan, Aina lebih dulu mengambil laptop milik Bintang dan meletakannya di atas meja.
Jemarinya sudah menekan tombol play sebelum Bintang sempat memberinya peringatan. Pemuda itu meneguk ludah. Tidak tahukah Aina kalau menonton berdua film seperti itu bisa membawa bencana? Apalagi bagi pria dewasa sepertinya.
Layar laptop kembali mempertunjukkan adegan ranjang sepasang kekasih itu. Kali ini mereka bahkan sudah sempurna tanpa busana. Si pemeran pria sedang memainkan dua gunung besar gadis yang sempurna mendesah di bawah tindihan tubuhnya.
Desahan mereka saling bersahutan. Mereka terlihat begitu menikmati permainan. Membuat tanpa sadar Aina meneguk ludahnya. Film itu lebih dari hot seperti yang ia kira.
Apalagi saat si pemain pria mulai bergerak turun, mengangkat kaki gadisnya dan berusaha menghujamkan sesuatu di sana. Aina merasakan tubuhnya juga ikut bergetar, merasakan sensasi panas dan berkedut di bagian bawah miliknya.
Perlahan, Aina bahkan bisa merasakan dengan jelas tangan kekar meraba pahanya, menyibak sedikit rok pendeknya ke atas. Membuatnya mendesah tanpa sadar.
Tangan itu semakin bergerak liar ke atas, mengusap celana dalamnya yang sudah basah lebih dulu. Membuat Aina mendesah keenakan.
Ini seperti nyata. Terlalu nyata. Hingga saat Aina membuka mata, barulah gadis itu sadar kalau tangan kekar yang melakukannya memanglah nyata. Bukankah itu tangan milik Bintang?
"Bi-"
"Kau ingin mencobanya?" Bintang berujar dengan suara serak. Matanya sudah penuh dengan kabut gairah.
Entah bisikan darimana, Aina mengangguk. Dia juga cukup penasaran dengan kenikmatan yang bisa dia dapatkan. Apakah akan senikmat dengan pasangan yang ia tonton di film.
Setelah mendapatkan persetujuan, Bintang langsung meraup bibir Aina. Memagutnya lembut. Bermain dengan pelan, membiarkan Aina mengikuti ritme permainan terlebih dulu.
Tangannya yang bermain di inti gadis itu mengangkat bokong Aina, membantu gadis itu untuk duduk di pangkuan, menghadapnya. Barulah setelahnya, tangan Bintang menelesup masuk ke dalam kemeja yang membalut tubuh Aina.
"Hmph!"
"Aahh ...."
"Apa yang akan kau lakukan, Bi?" Aina berseru di sela desahan.
"Memuaskanmu, Sayang. Apalagi?" Ciuman Bintang turun. Kali ini menyusuri leher jenjang gadis itu. Sesekali mengecupnya dalam atau menggigitnya kecil, meninggalkan bekas yang kentara.
Bintang sudah kehilangan kendali. Dalam batas antara kenikmatan penuh gairah dan hubungan persahabatan yang perlahan menipis, Aina mencoba membangunkan kesadaran. Didorongnya tubuh Bintang dengan sekuat tenaga.
"Hentikan, Bi. Kita tidak boleh melakukannya."
Bintang menatap Aina dengan nafas yang memburu. Kabut gairah masih tersisa jelas di sana, belum sepenuhnya terpuaskan.
"Aku harus menjaga kehormatanku."
Bintang mengusap wajahnya gusar. Lantas menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Sejenak dia terbawa suasana, melupakan fakta bahwa Aina adalah sosok sahabat yang harus ia jaga.
"Maaf," lirih Bintang. "Sepertinya aku terbawa suasana."
Aina menunduk. Wajahnya memerah. Dia juga terbawa suasana. Menikmatinya malah. Bila saja dia melupakan prinsipnya untuk menjaga kehormatan, pastilah dia sudah menyerahkan tubuhnya pada Bintang saat ini juga.
"Aina?"
"Iya?"
"Sama sekali tidak bermaksud mengusir, tapi bisakah kau turun dari pangkuanku. Aku takut ada sesuatu yang bangun di bawah sana."
"Eh?"
Aina lupa. Dia jelas masih duduk di pangkuan pria dewasa yang baru saja kehilangan kendali. Tanpa disuruh dua kali, gadis itu beringsut turun. Pindah ke tempat kosong di samping Bintang.
"Maaf," cicit Aina. "Dan terima kasih," imbuhnya.
"Terima kasih?" Demi mendengar itu, Bintang langsung menegakkan tubuhnya. Menatap gadis itu bingung.
"Ah, lupakan." Aina menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa. "Kata Tya, kau akan dinas ke luar kota senin depan. Kenapa kau tidak memberitahuku?"
Bintang menghela nafas pendek.
"Aku baru saja akan memberitahumu. Tapi kau datang tanpa mengetuk pintu, menggodaku, dan sisanya kau, ah, bukan, kita melakukan-"
"Okay, tak perlu dijelaskan." Aina lebih dulu menyela. Membuat Bintang tersenyum senang karena bisa balas menggoda gadis itu.
"Kau akan pergi berapa minggu?"
"Sekitar dua bulan."
"Itu rekor terbarumu. Biasanya kau hanya pergi satu atau dua minggu."
Bintang memiringkan tubuhnya, memberikan atensi penuh pada gadis itu.
"Pastikan saja kau tidak menggoda pria lain saat aku pergi. Apalagi mengusulkan ide konyol untuk menonton film aneh hanya berdua."
Aina memperbaiki posisi duduknya, balas menatap Bintang dengan seksama.
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Harusnya kau berusaha sekeras mungkin untuk segera kembali. Kita jelas tidak akan tahu pria dewasa mana yang akan mengajakku menonton film aneh, bukan?"
Aina terkekeh. Membiarkan Bintang menggelitik tubuhnya. Mereka tertawa, saling meledek untuk kemudian mengakhirinya dengan pelukan hangat.
"Tunggu aku, Aina. Aku akan segera kembali," bisik Bintang.
Aina tahu. Tanpa perlu dikatakan pun, dia selalu tahu kalau Bintang akan kembali padanya. Mereka adalah sahabat. Sepasang sahabat terbaik di kantor ini. Sepasang sahabat yang kerap membuat orang lain iri.
Persahabatan yang kerap disalah artikan dan menjadi bumerang bagi mereka karena tidak bisa membedakan arti perhatian dan kasih sayang yang terkadang ditujukan sebagai cinta.
"Aku ingin menyatakan sesuatu setelah kau menyelesaikan dinasmu. Jadi, kali ini, segeralah kembali, Bintangku."
"Kalian menikahlah! Opa bisa pergi dengan tenang kalau cucu kesayangan Opa menikah dengan pemuda sebaik Nak Agam."Aina melirik Agam yang duduk tak jauh darinya. Pemuda itu baru saja datang dengan Tante Maya setengah jam lalu. Iseng membahas dengan Mama kenapa anak-anak mereka yang sudah masuk usia matang belum juga menikah. Sepuluh menit kemudian Aina bergabung. Celetukan itu keluar begitu saja dan siapa yang mengira kalau semua orang yang ada di situ justru semangat menanggapinya."Bagaimana kalau Aina menikah saja dengan Agam. Mereka sepertinya akan cocok.""Benarkah?" Mama semangat menanggapi. "Apa Agam tidak keberatan? Anakku Aina jauh dari kata sempurna. Dia masih kekanak-kanakan. Tidak seperti Agam yang sudah jauh lebih dewasa."Tante Maya tersenyum menanggapi. "Agam tentu akan setuju. Apalagi Aina cantik dan ceria. Soal kekanak-kanakan, itu cukup wajar mengingat usianya lebih muda lima tahun dari Agam, bukan?" Tante Maya melirik Agam yang memilih diam mendengarkan. Walau sama
"Maaf, Agam." Aina menghela nafas pendek. Dia menunduk cukup lama untuk kemudian menatap pemuda di depannya itu."Aku tetap tidak akan bisa menikah denganmu. Aku akan membujuk Opa untuk membatalkan pernikahan kita."Agam memilih diam. Dia sadar kalau jalannya untuk menikahi Aina memang terlalu mulus. Terlalu penuh keberuntungan dan terlalu tidak mungkin. Gadis itu jelas bisa menolak."Kau selalu bisa menemukan sosok gadis yang lebih baik dariku, Kawan." Aina menepuk pundak Agam, lalu melangkah keluar dari tempat itu lebih dulu."Aku tidak butuh gadis yang lebih baik, Aina. Aku cuma mau kamu," gumam Agam sembari menatap kepergian gadis itu.Jika mengikuti kemauan Aina, dia akan meminta Opa menunda pernikahan itu. Cukup dua bulan. Aina akan menggunakannya untuk memperjelas hubungannya dengan Bintang. Apakah bisa mengarah ke arah pernikahan atau tidak. Bila pun tidak, dia bisa mencari calon suami idamannya sendiri saat itu.Masalahnya jangankan waktu dua bulan, Aina bahkan tidak diberik
"Kau sudah sadar, Aina. Tidak perlu berpura-pura seperti itu." Agam meneguk kopinya yang sudah dingin.Hari sudah malam. Saat ini mereka sedang berada di kediaman Agam. Saat pingsan di rumah sakit tadi, Agam memang sengaja membawa istri barunya itu ke rumah miliknya, bukan rumah keluarga Aina.Aina mengehela nafas kasar. Membuang selimut yang menutupi tubuhnya."Kenapa kau membawaku ke sini?" Agam tersenyum, dia meletakan cangkir kopinya di meja. "Ini rumahku dan sekarang menjadi milikmu juga. Tidak ada salahnya kalau kita bermalam di sini, bukan?"Aina mendengus sebal. Dia memang sudah sadar setengah jam yang lalu. Otaknya langsung mencerna apa-apa saja yang sudah terjadi. Kondisi Opa. Pernikahan itu. Semuanya itu nyata terjadi.Gadis itu masih mencoba mencari jalan keluar saat Agam membuka pintu kamar dan duduk di atas sofa, mungkin menungguinya sadar. Sialnya akting pura-pura tidurnya masih minim sehingga mudah saja Agam mengetahuinya."Tapi kalau kau menginginkan kamar di sebuah
Tidak ada bulan madu. Aina bahkan menolak mentah-mentah sebelum Agam mengutarakannya."Aku akan cuti kerja lima hari. Orang kantor hanya tahu Opaku sakit. Hanya itu."Itu sarapan pertama mereka sebagai suami-istri. Agam menepati janjinya. Dia bahkan menyiapkan semuanya seorang diri."Kalau begitu aku juga akan mengajukan cuti selama seminggu," Agam menimpali. "Aku akan memikirkan alasannya nanti."Mereka tidak mengatakan apapun lagi setelahnya. Hanya denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang mengisi langit-langit rumah.Selang lima menit, saat piring-piring hampir kosong, bel rumah berbunyi. Agam bangkit dari duduknya, berjalan ke arah pintu utama. Meninggalkan Aina yang sama sekali tidak merasa perlu untuk peduli."Om Agam, kejutan!""Nay!" Agam sungguhan terkejut. Gadis mungil usia sekitar lima tahun itu berdiri seorang diri di depan pintu sembari memegang coklat yang sudah habis separuhnya."Kau ke sini dengan siapa?"Gadis mungil yang dipanggil Nay itu menunjuk pintu
"Kau masih marah?""Menurutmu?"Agam mengusap bagian belakang leher, menatap Aina dengan sedikit sorot sesal."Nay masih anak-anak. Jadi, aku harap kau bisa memakluminya."Aina mendengus kesal. Sekarang dia juga harus memaklumi tingkah ponakan suami kontraknya. Besok apalagi? Dia juga harus memaklumi tingkah tante-tantenya, tetangganya dan tukang sayur yang sibuk ingin tahu."Kenapa aku harus memakluminya? Dia bukan siapa-siapa dan dia jelas bersalah," seru Aina dengan tegas.Agam menghela nafas panjang. Saat ini mereka sedang duduk di ruang makan. Nay sudah pulang setengah jam yang lalu setelah Aina memarahinya habis-habisan."Aku tidak suka saat ada orang yang menyentuh barang milikku. Apalagi merusaknya Agam." Aina bangkit dari duduknya. Dia sudah selesai dengan makanan di piringnya. "Tanpa terkecuali."Aina melangkah ke dapur, meninggalkan Agam yang masih setia dengan makanan di piringnya. Membiarkan percakapan itu berakhir dengan jelas. Aina sama sekali tidak merasa bersalah kare
"Opa!"Aina berlari kecil lantas memeluk Opa yang sedang menyiram tanaman. Opa bahkan sempat terdorong mundur ke belakang karena Aina memeluknya dengan terlalu semangat."Aina kangen banget sama Opa." Aina melepas pelukan, sekilas bening air mata terlihat dari sudut matanya. "Opa baik-baik saja, kan? Atau masih ada yang sakit?""Opa baik-baik saja, Aina." Opa mengusap lembut rambut Aina. "Jauh lebih baik.""Itu Agamnya gak disuruh masuk?" Mama keluar dari dalam rumah. Mungkin karena mendengar suara keributan kecil yang sudah Aina ciptakan."Pagi, Ma!" Agam inisiatif menyapa lebih dulu. Berjalan mendekati Mama untuk mencium tangannya. "Bagaimana kabar Mama?""Jauh lebih baik dari sebelumnya. Apalagi melihat menantu kesayangan Mama berkunjung," ujar Mama dengan senang."Dari mana kau tahu kalau aku suka mangga, Agam?" Opa mendekat, ikut bergabung."Aina yang mengatakannya Opa. Jadi, kami membelinya sedikit. Agam pikir Opa akan menyukainya.""Opa akan selalu suka apapun yang kamu bawa."
"Opa!"Aina berlari kecil lantas memeluk Opa yang sedang menyiram tanaman. Opa bahkan sempat terdorong mundur ke belakang karena Aina memeluknya dengan terlalu semangat."Aina kangen banget sama Opa." Aina melepas pelukan, sekilas bening air mata terlihat dari sudut matanya. "Opa baik-baik saja, kan? Atau masih ada yang sakit?""Opa baik-baik saja, Aina." Opa mengusap lembut rambut Aina. "Jauh lebih baik.""Itu Agamnya gak disuruh masuk?" Mama keluar dari dalam rumah. Mungkin karena mendengar suara keributan kecil yang sudah Aina ciptakan."Pagi, Ma!" Agam inisiatif menyapa lebih dulu. Berjalan mendekati Mama untuk mencium tangannya. "Bagaimana kabar Mama?""Jauh lebih baik dari sebelumnya. Apalagi melihat menantu kesayangan Mama berkunjung," ujar Mama dengan senang."Dari mana kau tahu kalau aku suka mangga, Agam?" Opa mendekat, ikut bergabung."Aina yang mengatakannya Opa. Jadi, kami membelinya sedikit. Agam pikir Opa akan menyukainya.""Opa akan selalu suka apapun yang kamu bawa."
"Kau masih marah?""Menurutmu?"Agam mengusap bagian belakang leher, menatap Aina dengan sedikit sorot sesal."Nay masih anak-anak. Jadi, aku harap kau bisa memakluminya."Aina mendengus kesal. Sekarang dia juga harus memaklumi tingkah ponakan suami kontraknya. Besok apalagi? Dia juga harus memaklumi tingkah tante-tantenya, tetangganya dan tukang sayur yang sibuk ingin tahu."Kenapa aku harus memakluminya? Dia bukan siapa-siapa dan dia jelas bersalah," seru Aina dengan tegas.Agam menghela nafas panjang. Saat ini mereka sedang duduk di ruang makan. Nay sudah pulang setengah jam yang lalu setelah Aina memarahinya habis-habisan."Aku tidak suka saat ada orang yang menyentuh barang milikku. Apalagi merusaknya Agam." Aina bangkit dari duduknya. Dia sudah selesai dengan makanan di piringnya. "Tanpa terkecuali."Aina melangkah ke dapur, meninggalkan Agam yang masih setia dengan makanan di piringnya. Membiarkan percakapan itu berakhir dengan jelas. Aina sama sekali tidak merasa bersalah kare
Tidak ada bulan madu. Aina bahkan menolak mentah-mentah sebelum Agam mengutarakannya."Aku akan cuti kerja lima hari. Orang kantor hanya tahu Opaku sakit. Hanya itu."Itu sarapan pertama mereka sebagai suami-istri. Agam menepati janjinya. Dia bahkan menyiapkan semuanya seorang diri."Kalau begitu aku juga akan mengajukan cuti selama seminggu," Agam menimpali. "Aku akan memikirkan alasannya nanti."Mereka tidak mengatakan apapun lagi setelahnya. Hanya denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang mengisi langit-langit rumah.Selang lima menit, saat piring-piring hampir kosong, bel rumah berbunyi. Agam bangkit dari duduknya, berjalan ke arah pintu utama. Meninggalkan Aina yang sama sekali tidak merasa perlu untuk peduli."Om Agam, kejutan!""Nay!" Agam sungguhan terkejut. Gadis mungil usia sekitar lima tahun itu berdiri seorang diri di depan pintu sembari memegang coklat yang sudah habis separuhnya."Kau ke sini dengan siapa?"Gadis mungil yang dipanggil Nay itu menunjuk pintu
"Kau sudah sadar, Aina. Tidak perlu berpura-pura seperti itu." Agam meneguk kopinya yang sudah dingin.Hari sudah malam. Saat ini mereka sedang berada di kediaman Agam. Saat pingsan di rumah sakit tadi, Agam memang sengaja membawa istri barunya itu ke rumah miliknya, bukan rumah keluarga Aina.Aina mengehela nafas kasar. Membuang selimut yang menutupi tubuhnya."Kenapa kau membawaku ke sini?" Agam tersenyum, dia meletakan cangkir kopinya di meja. "Ini rumahku dan sekarang menjadi milikmu juga. Tidak ada salahnya kalau kita bermalam di sini, bukan?"Aina mendengus sebal. Dia memang sudah sadar setengah jam yang lalu. Otaknya langsung mencerna apa-apa saja yang sudah terjadi. Kondisi Opa. Pernikahan itu. Semuanya itu nyata terjadi.Gadis itu masih mencoba mencari jalan keluar saat Agam membuka pintu kamar dan duduk di atas sofa, mungkin menungguinya sadar. Sialnya akting pura-pura tidurnya masih minim sehingga mudah saja Agam mengetahuinya."Tapi kalau kau menginginkan kamar di sebuah
"Maaf, Agam." Aina menghela nafas pendek. Dia menunduk cukup lama untuk kemudian menatap pemuda di depannya itu."Aku tetap tidak akan bisa menikah denganmu. Aku akan membujuk Opa untuk membatalkan pernikahan kita."Agam memilih diam. Dia sadar kalau jalannya untuk menikahi Aina memang terlalu mulus. Terlalu penuh keberuntungan dan terlalu tidak mungkin. Gadis itu jelas bisa menolak."Kau selalu bisa menemukan sosok gadis yang lebih baik dariku, Kawan." Aina menepuk pundak Agam, lalu melangkah keluar dari tempat itu lebih dulu."Aku tidak butuh gadis yang lebih baik, Aina. Aku cuma mau kamu," gumam Agam sembari menatap kepergian gadis itu.Jika mengikuti kemauan Aina, dia akan meminta Opa menunda pernikahan itu. Cukup dua bulan. Aina akan menggunakannya untuk memperjelas hubungannya dengan Bintang. Apakah bisa mengarah ke arah pernikahan atau tidak. Bila pun tidak, dia bisa mencari calon suami idamannya sendiri saat itu.Masalahnya jangankan waktu dua bulan, Aina bahkan tidak diberik
"Kalian menikahlah! Opa bisa pergi dengan tenang kalau cucu kesayangan Opa menikah dengan pemuda sebaik Nak Agam."Aina melirik Agam yang duduk tak jauh darinya. Pemuda itu baru saja datang dengan Tante Maya setengah jam lalu. Iseng membahas dengan Mama kenapa anak-anak mereka yang sudah masuk usia matang belum juga menikah. Sepuluh menit kemudian Aina bergabung. Celetukan itu keluar begitu saja dan siapa yang mengira kalau semua orang yang ada di situ justru semangat menanggapinya."Bagaimana kalau Aina menikah saja dengan Agam. Mereka sepertinya akan cocok.""Benarkah?" Mama semangat menanggapi. "Apa Agam tidak keberatan? Anakku Aina jauh dari kata sempurna. Dia masih kekanak-kanakan. Tidak seperti Agam yang sudah jauh lebih dewasa."Tante Maya tersenyum menanggapi. "Agam tentu akan setuju. Apalagi Aina cantik dan ceria. Soal kekanak-kanakan, itu cukup wajar mengingat usianya lebih muda lima tahun dari Agam, bukan?" Tante Maya melirik Agam yang memilih diam mendengarkan. Walau sama
"Ugh ...."Pasangan itu berciuman dengan panas di atas ranjang. Tangan pemuda itu bergerak, meraba tubuh gadisnya dengan penuh hasrat. "Aku ingin melakukannya, Sayang," bisiknya parau di telinga gadisnya.Gadis itu mendesah hebat. Kemejanya sudah terlepas. Menyisakan bra transparan yang sedang kekasihnya berusaha lepaskan.Jemari pemuda itu melepaskan kaitan bra. Tangan satunya beralih menjamah gunung kembar yang sudah tidak terhalang apapun, meremasnya sedemikian rupa. Membuat gadisnya mendesah hebat.Ciuman itu kembali berlanjut. Lebih panas, lebih menunutut. Si pemuda memagut cepat bibir gadisnya, sesekali menggigitnya pelan. Tangannya mendorong tubuh gadis itu jatuh ke ranjang, tubuhnya mengikuti dengan alamiah tanpa melepaskan ciuman."Kau sungguh gila, Sayang. Kau membuatku gila!"Si gadis masih mendesah. Tak mau hanya diam, tangannya membuka kancing kemeja pemuda yang tengah menindih tubuhnya. Dada bidang itu sempurna terbuka. Begitu kokoh dan sangat menggiurkan untuk dijamah.