"Maaf, Agam."
Aina menghela nafas pendek. Dia menunduk cukup lama untuk kemudian menatap pemuda di depannya itu.
"Aku tetap tidak akan bisa menikah denganmu. Aku akan membujuk Opa untuk membatalkan pernikahan kita."
Agam memilih diam. Dia sadar kalau jalannya untuk menikahi Aina memang terlalu mulus. Terlalu penuh keberuntungan dan terlalu tidak mungkin. Gadis itu jelas bisa menolak.
"Kau selalu bisa menemukan sosok gadis yang lebih baik dariku, Kawan." Aina menepuk pundak Agam, lalu melangkah keluar dari tempat itu lebih dulu.
"Aku tidak butuh gadis yang lebih baik, Aina. Aku cuma mau kamu," gumam Agam sembari menatap kepergian gadis itu.
Jika mengikuti kemauan Aina, dia akan meminta Opa menunda pernikahan itu. Cukup dua bulan. Aina akan menggunakannya untuk memperjelas hubungannya dengan Bintang. Apakah bisa mengarah ke arah pernikahan atau tidak. Bila pun tidak, dia bisa mencari calon suami idamannya sendiri saat itu.
Masalahnya jangankan waktu dua bulan, Aina bahkan tidak diberikan sama sekali kesempatan barang sedetik pun. Itu terjadi begitu saja. Saat dirinya akan menyampaikan ide itu, opanya yang tadi terlihat segar bugar jatuh tak sadarkan diri.
Mamanya berteriak panik. Tante Maya bantu menghubungi pihak rumah sakit. Situasi kacau itu berlalu dengan cepat. Aina bahkan belum sepenuhnya sadar saat Agam lebih dulu membantu membopong Opa, hendak membawanya ke rumah sakit.
Masih dalam ketertegunan itu, Aina hanya refleks mengikuti. Duduk di kursi depan mobil dalam setengah sadar. Membiarkan Agam melajukan mobil dengan penuh kekhawatiran. Membiarkan Tanta Maya yang menyemangati Mama yang sudah setengah menangis.
Petugas rumah sakit sudah siaga di depan pintu. Mereka dengan cepat membantu Agam, membawa Opa ke ruang perawatan.
"Kau baik-baik saja?" Agam menyodorkan botol air mineral dingin. Tutupnya sudah dilepas, mungkin untuk memudahkan Aina meminumnya.
"Terima kasih." Aina menerimanya. Meneguk beberapa tetes air lalu meletakan botol itu di pangkuan.
Mama dan Tante Maya duduk tak jauh dari mereka. Sama sekali tidak mengobrol seperti saat di rumah. Mereka hanya diam, saling menguatkan lewat genggaman tangan yang saling bertaut.
"Opa ... pasti baik-baik saja, kan? Dia pasti akan kembali sehat, bukan?"
Agam menatap wajah Aina yang penuh dengan ekspresi sedih dan kalut. Air mata jatuh bersamaan dari sudut matanya. Diiringi tubuhnya yang perlahan bergetar.
"Opa orang yang kuat, Agam. Dia pasti baik-baik saja. Dia tidak mungkin mati semudah itu." Aina mengatakannya lebih untuk meyakini dirinya sendiri.
Agam mengulurkan tangan, menggenggam tangan kiri Aina. Mengusapnya pelan.
"Opa harus baik-baik saja. Cucu tersayangnya masih membutuhkannya di sini. Mana mungkin dia pergi," ucap Agam untuk menenangkan.
Agam menghela nafas pendek. Tangan satunya merangkul tubuh Aina dengan lembut, membawanya ke dalam pelukan.
"Kau harus tenang, Aina. Opamu pasti baik-baik saja."
Agam mengusap pelan bahu gadis itu, membiarkan Aina menangis terisak dalam pelukan pertama mereka.
Selang lima menit, Dokter yang menangani Opa keluar. Dia mengatakan kalau kondisi Opa stabil, hanya saja usia Opa yang sudah tua memang membawanya mudah jatuh pingsan karena kekurangan tenaga. Itu bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan.
Kabar baiknya, Opa sudah sadar dan dia ingin segera bertemu dengan Aina dan Agam. Aina langsung masuk ke dalam kamar, sejenak tidak mempermasalahkan kenapa Opa ingin bertemu dengan pemuda itu juga.
"Opa baik-baik saja?" Aina memeluk Opa sembari menangis lega. "Akting Opa buruk sekali."
Opa tersenyum. Wajahnya masih pucat. Tangan kanannya diinfus. Tangan satunya bergerak mengusap lembut rambut cucu kesayangannya itu.
"Kau menangis sampai seperti ini. Berarti akting opamu bagus, Aina. Harusnya Opa mendapatkan piala citra, bukan?"
Aina melepas pelukan. Menatap wajah Opa dengan jengkel.
"Itu tidak lucu, Opa."
Opa tersenyum kecil. Agam baru saja masuk ke dalam kamar. Lantas berdiri di belakang Aina.
"Kalau begitu, mari kita bahas hal yang serius, Aina."
Aina melirik Agam yang berada di belakangnya. Sepertinya dia tahu apa yang ingin opanya bahas di sini.
"Opa-"
"Tidak, tidak. Jangan menyelaku, Aina." Opa lebih dulu menyela, tangan kanannya bahkan sampai terangkat, menyuruh diam.
"Nak Agam, bisakah kau mendekat?"
Tak perlu disuruh dua kali, Agam melangkah maju, berdiri sejajar dengan Aina.
"Seperti yang kau tahu, tidak ada anak laki-laki di keluarga kami. Aku hanya punya satu anak, mamanya Aina. Kami bahkan kehilangan papanya Aina semenjak Aina kecil. Aku sudah tua, bisa mati kapan saja. Entah itu besok atau lusa. Aku sudah siap untuk itu. Hanya saja, aku jelas tidak bisa meninggalkan cucu dan anakku tanpa penjagaan siapapun. Sekuat-kuatnya mereka, mereka tetap seorang wanita yang butuh perlindungan."
Opa meraih tangan Agam saat kemudian kalimat itu meluncur.
"Tolong jaga Aina. Opa bisa pergi dengan tenang kalau cucu Opa menikah denganmu, Nak Agam."
Agam mengangguk, tersenyum tulus.
"Atas izin Opa, Agam dengan senang hati akan menjaga Aina."
Jika tidak mengingat kondisi Opa yang terbaring di ranjang rumah sakit, ingin rasanya Aina menyela. Namun, sorot mata Opa membuat Aina tidak bisa mengatakan apapun. Sorot mata itu seolah mengatakan kalimat perpisahan.
"Kalau begitu, bolehkah Opa meminta satu hal lagi padamu, Nak?"
"Katakan saja, Opa. Agam akan melakukannya."
"Menikahlah sekarang. Di sini. Di kamar ini."
Walau cukup terkejut dengan permintaan itu, Agam jelas dengan senang hati menerimanya.
"Jika itu keinginan Opa, Agam jelas tidak akan menolak."
Kabar buruknya, Aina juga tidak bisa menolak. Kondisi Opa dan sorot mata itu membuat Aina tak kuasa menolak apalagi menyerukan kalimat protes. Belum lagi Mama dan Tante Maya yang mendorongnya dengan alasan demi kebaikan Opa. Satu hal penting lainnya adalah kalau kandidat calon suami versi Aina jelas sedang tidak ada di sana pun belum jelas mau menikahinya atau tidak.
Itu terjadi cepat sekali. Seolah dunia memang telah mempersiapkannya.
Hanya kurang dari satu jam, meja untuk acara akad telah siap, entah mencuri dari mana. Aina sudah berganti pakaian yang lebih layak, kebaya warna putih, menyewa di butik depan. Agam hanya perlu mengenakan jas, pakaiannya memang sudah semi formal saat berkunjung ke rumah.
Kebetulan ada penghulu yang sedang menjenguk saudaranya yang sakit, dia dengan senang hati menikahkan mereka. Untuk saksi jangan ditanya, ada lebih dari sepuluh orang di rumah sakit dengan sukarela mengajukan diri.
Terlalu kebetulan, bukan? Seolah alam merestui pernikahan ini.
"Saya terima nikah dan kawinnya Anaina Natasya dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar seratus juta rupiah dibayar tunai," ucap Agam dalam satu tarikan nafas. Tanpa tersendat, tanpa kagok, seolah itu sudah dia hafal di luar kepala jauh-jauh hari.
"Sah?"
"Sah!"
Begitulah pernikahan itu terjadi. Aina bahkan belum sepenuhnya sadar saat Agam menoleh dan mencium keningnya dengan lembut. Membuat Mama dan Tante Maya berseru penuh haru. Opa tersenyum bahagia.
Detik berikutnya, Aina justru jatuh tak sadarkan diri. Semua hal itu berlalu begitu cepat. Terlalu cepat bagi Aina.
"Aina mungkin capek dan masih kaget dengan semua ini. Agam akan membawa Aina ke rumah untuk istirahat."
"Kau sudah sadar, Aina. Tidak perlu berpura-pura seperti itu." Agam meneguk kopinya yang sudah dingin.Hari sudah malam. Saat ini mereka sedang berada di kediaman Agam. Saat pingsan di rumah sakit tadi, Agam memang sengaja membawa istri barunya itu ke rumah miliknya, bukan rumah keluarga Aina.Aina mengehela nafas kasar. Membuang selimut yang menutupi tubuhnya."Kenapa kau membawaku ke sini?" Agam tersenyum, dia meletakan cangkir kopinya di meja. "Ini rumahku dan sekarang menjadi milikmu juga. Tidak ada salahnya kalau kita bermalam di sini, bukan?"Aina mendengus sebal. Dia memang sudah sadar setengah jam yang lalu. Otaknya langsung mencerna apa-apa saja yang sudah terjadi. Kondisi Opa. Pernikahan itu. Semuanya itu nyata terjadi.Gadis itu masih mencoba mencari jalan keluar saat Agam membuka pintu kamar dan duduk di atas sofa, mungkin menungguinya sadar. Sialnya akting pura-pura tidurnya masih minim sehingga mudah saja Agam mengetahuinya."Tapi kalau kau menginginkan kamar di sebuah
Tidak ada bulan madu. Aina bahkan menolak mentah-mentah sebelum Agam mengutarakannya."Aku akan cuti kerja lima hari. Orang kantor hanya tahu Opaku sakit. Hanya itu."Itu sarapan pertama mereka sebagai suami-istri. Agam menepati janjinya. Dia bahkan menyiapkan semuanya seorang diri."Kalau begitu aku juga akan mengajukan cuti selama seminggu," Agam menimpali. "Aku akan memikirkan alasannya nanti."Mereka tidak mengatakan apapun lagi setelahnya. Hanya denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang mengisi langit-langit rumah.Selang lima menit, saat piring-piring hampir kosong, bel rumah berbunyi. Agam bangkit dari duduknya, berjalan ke arah pintu utama. Meninggalkan Aina yang sama sekali tidak merasa perlu untuk peduli."Om Agam, kejutan!""Nay!" Agam sungguhan terkejut. Gadis mungil usia sekitar lima tahun itu berdiri seorang diri di depan pintu sembari memegang coklat yang sudah habis separuhnya."Kau ke sini dengan siapa?"Gadis mungil yang dipanggil Nay itu menunjuk pintu
"Kau masih marah?""Menurutmu?"Agam mengusap bagian belakang leher, menatap Aina dengan sedikit sorot sesal."Nay masih anak-anak. Jadi, aku harap kau bisa memakluminya."Aina mendengus kesal. Sekarang dia juga harus memaklumi tingkah ponakan suami kontraknya. Besok apalagi? Dia juga harus memaklumi tingkah tante-tantenya, tetangganya dan tukang sayur yang sibuk ingin tahu."Kenapa aku harus memakluminya? Dia bukan siapa-siapa dan dia jelas bersalah," seru Aina dengan tegas.Agam menghela nafas panjang. Saat ini mereka sedang duduk di ruang makan. Nay sudah pulang setengah jam yang lalu setelah Aina memarahinya habis-habisan."Aku tidak suka saat ada orang yang menyentuh barang milikku. Apalagi merusaknya Agam." Aina bangkit dari duduknya. Dia sudah selesai dengan makanan di piringnya. "Tanpa terkecuali."Aina melangkah ke dapur, meninggalkan Agam yang masih setia dengan makanan di piringnya. Membiarkan percakapan itu berakhir dengan jelas. Aina sama sekali tidak merasa bersalah kare
"Opa!"Aina berlari kecil lantas memeluk Opa yang sedang menyiram tanaman. Opa bahkan sempat terdorong mundur ke belakang karena Aina memeluknya dengan terlalu semangat."Aina kangen banget sama Opa." Aina melepas pelukan, sekilas bening air mata terlihat dari sudut matanya. "Opa baik-baik saja, kan? Atau masih ada yang sakit?""Opa baik-baik saja, Aina." Opa mengusap lembut rambut Aina. "Jauh lebih baik.""Itu Agamnya gak disuruh masuk?" Mama keluar dari dalam rumah. Mungkin karena mendengar suara keributan kecil yang sudah Aina ciptakan."Pagi, Ma!" Agam inisiatif menyapa lebih dulu. Berjalan mendekati Mama untuk mencium tangannya. "Bagaimana kabar Mama?""Jauh lebih baik dari sebelumnya. Apalagi melihat menantu kesayangan Mama berkunjung," ujar Mama dengan senang."Dari mana kau tahu kalau aku suka mangga, Agam?" Opa mendekat, ikut bergabung."Aina yang mengatakannya Opa. Jadi, kami membelinya sedikit. Agam pikir Opa akan menyukainya.""Opa akan selalu suka apapun yang kamu bawa."
"Ugh ...."Pasangan itu berciuman dengan panas di atas ranjang. Tangan pemuda itu bergerak, meraba tubuh gadisnya dengan penuh hasrat. "Aku ingin melakukannya, Sayang," bisiknya parau di telinga gadisnya.Gadis itu mendesah hebat. Kemejanya sudah terlepas. Menyisakan bra transparan yang sedang kekasihnya berusaha lepaskan.Jemari pemuda itu melepaskan kaitan bra. Tangan satunya beralih menjamah gunung kembar yang sudah tidak terhalang apapun, meremasnya sedemikian rupa. Membuat gadisnya mendesah hebat.Ciuman itu kembali berlanjut. Lebih panas, lebih menunutut. Si pemuda memagut cepat bibir gadisnya, sesekali menggigitnya pelan. Tangannya mendorong tubuh gadis itu jatuh ke ranjang, tubuhnya mengikuti dengan alamiah tanpa melepaskan ciuman."Kau sungguh gila, Sayang. Kau membuatku gila!"Si gadis masih mendesah. Tak mau hanya diam, tangannya membuka kancing kemeja pemuda yang tengah menindih tubuhnya. Dada bidang itu sempurna terbuka. Begitu kokoh dan sangat menggiurkan untuk dijamah.
"Kalian menikahlah! Opa bisa pergi dengan tenang kalau cucu kesayangan Opa menikah dengan pemuda sebaik Nak Agam."Aina melirik Agam yang duduk tak jauh darinya. Pemuda itu baru saja datang dengan Tante Maya setengah jam lalu. Iseng membahas dengan Mama kenapa anak-anak mereka yang sudah masuk usia matang belum juga menikah. Sepuluh menit kemudian Aina bergabung. Celetukan itu keluar begitu saja dan siapa yang mengira kalau semua orang yang ada di situ justru semangat menanggapinya."Bagaimana kalau Aina menikah saja dengan Agam. Mereka sepertinya akan cocok.""Benarkah?" Mama semangat menanggapi. "Apa Agam tidak keberatan? Anakku Aina jauh dari kata sempurna. Dia masih kekanak-kanakan. Tidak seperti Agam yang sudah jauh lebih dewasa."Tante Maya tersenyum menanggapi. "Agam tentu akan setuju. Apalagi Aina cantik dan ceria. Soal kekanak-kanakan, itu cukup wajar mengingat usianya lebih muda lima tahun dari Agam, bukan?" Tante Maya melirik Agam yang memilih diam mendengarkan. Walau sama
"Opa!"Aina berlari kecil lantas memeluk Opa yang sedang menyiram tanaman. Opa bahkan sempat terdorong mundur ke belakang karena Aina memeluknya dengan terlalu semangat."Aina kangen banget sama Opa." Aina melepas pelukan, sekilas bening air mata terlihat dari sudut matanya. "Opa baik-baik saja, kan? Atau masih ada yang sakit?""Opa baik-baik saja, Aina." Opa mengusap lembut rambut Aina. "Jauh lebih baik.""Itu Agamnya gak disuruh masuk?" Mama keluar dari dalam rumah. Mungkin karena mendengar suara keributan kecil yang sudah Aina ciptakan."Pagi, Ma!" Agam inisiatif menyapa lebih dulu. Berjalan mendekati Mama untuk mencium tangannya. "Bagaimana kabar Mama?""Jauh lebih baik dari sebelumnya. Apalagi melihat menantu kesayangan Mama berkunjung," ujar Mama dengan senang."Dari mana kau tahu kalau aku suka mangga, Agam?" Opa mendekat, ikut bergabung."Aina yang mengatakannya Opa. Jadi, kami membelinya sedikit. Agam pikir Opa akan menyukainya.""Opa akan selalu suka apapun yang kamu bawa."
"Kau masih marah?""Menurutmu?"Agam mengusap bagian belakang leher, menatap Aina dengan sedikit sorot sesal."Nay masih anak-anak. Jadi, aku harap kau bisa memakluminya."Aina mendengus kesal. Sekarang dia juga harus memaklumi tingkah ponakan suami kontraknya. Besok apalagi? Dia juga harus memaklumi tingkah tante-tantenya, tetangganya dan tukang sayur yang sibuk ingin tahu."Kenapa aku harus memakluminya? Dia bukan siapa-siapa dan dia jelas bersalah," seru Aina dengan tegas.Agam menghela nafas panjang. Saat ini mereka sedang duduk di ruang makan. Nay sudah pulang setengah jam yang lalu setelah Aina memarahinya habis-habisan."Aku tidak suka saat ada orang yang menyentuh barang milikku. Apalagi merusaknya Agam." Aina bangkit dari duduknya. Dia sudah selesai dengan makanan di piringnya. "Tanpa terkecuali."Aina melangkah ke dapur, meninggalkan Agam yang masih setia dengan makanan di piringnya. Membiarkan percakapan itu berakhir dengan jelas. Aina sama sekali tidak merasa bersalah kare
Tidak ada bulan madu. Aina bahkan menolak mentah-mentah sebelum Agam mengutarakannya."Aku akan cuti kerja lima hari. Orang kantor hanya tahu Opaku sakit. Hanya itu."Itu sarapan pertama mereka sebagai suami-istri. Agam menepati janjinya. Dia bahkan menyiapkan semuanya seorang diri."Kalau begitu aku juga akan mengajukan cuti selama seminggu," Agam menimpali. "Aku akan memikirkan alasannya nanti."Mereka tidak mengatakan apapun lagi setelahnya. Hanya denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang mengisi langit-langit rumah.Selang lima menit, saat piring-piring hampir kosong, bel rumah berbunyi. Agam bangkit dari duduknya, berjalan ke arah pintu utama. Meninggalkan Aina yang sama sekali tidak merasa perlu untuk peduli."Om Agam, kejutan!""Nay!" Agam sungguhan terkejut. Gadis mungil usia sekitar lima tahun itu berdiri seorang diri di depan pintu sembari memegang coklat yang sudah habis separuhnya."Kau ke sini dengan siapa?"Gadis mungil yang dipanggil Nay itu menunjuk pintu
"Kau sudah sadar, Aina. Tidak perlu berpura-pura seperti itu." Agam meneguk kopinya yang sudah dingin.Hari sudah malam. Saat ini mereka sedang berada di kediaman Agam. Saat pingsan di rumah sakit tadi, Agam memang sengaja membawa istri barunya itu ke rumah miliknya, bukan rumah keluarga Aina.Aina mengehela nafas kasar. Membuang selimut yang menutupi tubuhnya."Kenapa kau membawaku ke sini?" Agam tersenyum, dia meletakan cangkir kopinya di meja. "Ini rumahku dan sekarang menjadi milikmu juga. Tidak ada salahnya kalau kita bermalam di sini, bukan?"Aina mendengus sebal. Dia memang sudah sadar setengah jam yang lalu. Otaknya langsung mencerna apa-apa saja yang sudah terjadi. Kondisi Opa. Pernikahan itu. Semuanya itu nyata terjadi.Gadis itu masih mencoba mencari jalan keluar saat Agam membuka pintu kamar dan duduk di atas sofa, mungkin menungguinya sadar. Sialnya akting pura-pura tidurnya masih minim sehingga mudah saja Agam mengetahuinya."Tapi kalau kau menginginkan kamar di sebuah
"Maaf, Agam." Aina menghela nafas pendek. Dia menunduk cukup lama untuk kemudian menatap pemuda di depannya itu."Aku tetap tidak akan bisa menikah denganmu. Aku akan membujuk Opa untuk membatalkan pernikahan kita."Agam memilih diam. Dia sadar kalau jalannya untuk menikahi Aina memang terlalu mulus. Terlalu penuh keberuntungan dan terlalu tidak mungkin. Gadis itu jelas bisa menolak."Kau selalu bisa menemukan sosok gadis yang lebih baik dariku, Kawan." Aina menepuk pundak Agam, lalu melangkah keluar dari tempat itu lebih dulu."Aku tidak butuh gadis yang lebih baik, Aina. Aku cuma mau kamu," gumam Agam sembari menatap kepergian gadis itu.Jika mengikuti kemauan Aina, dia akan meminta Opa menunda pernikahan itu. Cukup dua bulan. Aina akan menggunakannya untuk memperjelas hubungannya dengan Bintang. Apakah bisa mengarah ke arah pernikahan atau tidak. Bila pun tidak, dia bisa mencari calon suami idamannya sendiri saat itu.Masalahnya jangankan waktu dua bulan, Aina bahkan tidak diberik
"Kalian menikahlah! Opa bisa pergi dengan tenang kalau cucu kesayangan Opa menikah dengan pemuda sebaik Nak Agam."Aina melirik Agam yang duduk tak jauh darinya. Pemuda itu baru saja datang dengan Tante Maya setengah jam lalu. Iseng membahas dengan Mama kenapa anak-anak mereka yang sudah masuk usia matang belum juga menikah. Sepuluh menit kemudian Aina bergabung. Celetukan itu keluar begitu saja dan siapa yang mengira kalau semua orang yang ada di situ justru semangat menanggapinya."Bagaimana kalau Aina menikah saja dengan Agam. Mereka sepertinya akan cocok.""Benarkah?" Mama semangat menanggapi. "Apa Agam tidak keberatan? Anakku Aina jauh dari kata sempurna. Dia masih kekanak-kanakan. Tidak seperti Agam yang sudah jauh lebih dewasa."Tante Maya tersenyum menanggapi. "Agam tentu akan setuju. Apalagi Aina cantik dan ceria. Soal kekanak-kanakan, itu cukup wajar mengingat usianya lebih muda lima tahun dari Agam, bukan?" Tante Maya melirik Agam yang memilih diam mendengarkan. Walau sama
"Ugh ...."Pasangan itu berciuman dengan panas di atas ranjang. Tangan pemuda itu bergerak, meraba tubuh gadisnya dengan penuh hasrat. "Aku ingin melakukannya, Sayang," bisiknya parau di telinga gadisnya.Gadis itu mendesah hebat. Kemejanya sudah terlepas. Menyisakan bra transparan yang sedang kekasihnya berusaha lepaskan.Jemari pemuda itu melepaskan kaitan bra. Tangan satunya beralih menjamah gunung kembar yang sudah tidak terhalang apapun, meremasnya sedemikian rupa. Membuat gadisnya mendesah hebat.Ciuman itu kembali berlanjut. Lebih panas, lebih menunutut. Si pemuda memagut cepat bibir gadisnya, sesekali menggigitnya pelan. Tangannya mendorong tubuh gadis itu jatuh ke ranjang, tubuhnya mengikuti dengan alamiah tanpa melepaskan ciuman."Kau sungguh gila, Sayang. Kau membuatku gila!"Si gadis masih mendesah. Tak mau hanya diam, tangannya membuka kancing kemeja pemuda yang tengah menindih tubuhnya. Dada bidang itu sempurna terbuka. Begitu kokoh dan sangat menggiurkan untuk dijamah.