Beranda / Romansa / Suami Kontrak CEO Cantik / Bab 4 : Pernikahan Yang Tidak Direncanakan

Share

Bab 4 : Pernikahan Yang Tidak Direncanakan

Penulis: Nanasshi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-06 21:51:40

Pernikahan Karana Wihardjo, putri tunggal dari keluarga Wihardjo, adalah topik yang tak pernah lepas dari pembicaraan di setiap sudut kota. Sebagai CEO sukses dan pewaris perusahaan besar milik ayahnya, Karana sudah lama menjadi sorotan publik. Kini, momen besar dalam hidupnya akan segera tiba—hari pernikahannya dengan Hasya Gaharu, seorang laki-laki muda yang sebelumnya hanya dikenal sebagai anak magang di perusahaannya. Hubungan mereka yang dimulai dengan perjanjian kontrak untuk setahun itu akhirnya berkembang menjadi kenyataan.

Media, tentu saja, tidak melewatkan kesempatan untuk meliput setiap detil persiapan pernikahan ini. Tampilkan gaun yang dipilih Kara, riasan yang menakjubkan, hingga lokasi pesta yang mewah—semua menjadi sorotan. Di tengah sorotan publik yang begitu besar, Kara berusaha tetap tenang, meskipun dalam hati, ada perasaan cemas yang sulit untuk ditutupi. Sementara itu, Hasya, yang lebih suka hidup di luar sorotan, merasa canggung dengan perhatian yang datang begitu cepat.

^^^

Pagi itu, semua terasa begitu cepat. Kara, yang biasanya dikenal dengan ketegasannya, kini merasa gugup menjelang hari yang telah lama ia nantikan. Pakaian pengantin yang anggun terhampar di atas meja, siap untuk dikenakan. Ia menatap dirinya di cermin, dan untuk sejenak, ia terhanyut dalam perasaan campur aduk—antara kebahagiaan dan kekhawatiran. Ini adalah pernikahan yang dimulai dengan kontrak, namun sekarang, ia bertanya-tanya apakah perasaan yang mereka miliki akan berkembang seiring berjalannya waktu.

Setelah serangkaian prosesi pernikahan yang mewah dan penuh dengan tamu undangan yang luar biasa, akhirnya mereka melangkah ke momen yang telah dinanti—malam pertama mereka sebagai pasangan suami istri. Dengan perasaan campur aduk, mereka menuju hotel tempat mereka akan menghabiskan malam pertama.

^^^

Ketika mereka memasuki kamar hotel, suasana menjadi canggung. Ada ketegangan di udara yang tidak bisa disembunyikan. Meskipun mereka berdua sudah berkomitmen pada pernikahan ini, ada perasaan aneh yang menggelitik di antara mereka. Karana duduk di tepi ranjang, merasakan beratnya dunia yang seolah-olah bergantung pada pernikahan ini. Hasya, yang berdiri di dekat jendela, menatapnya dengan canggung.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Kara, mencoba memecah keheningan yang aneh ini.

Hasya mengangkat bahunya. “Mungkin kita harus... beristirahat?”

Kara mengangguk, sedikit lega karena mereka berdua masih menjaga jarak yang aman. Mereka tahu betul bahwa hubungan mereka hanya berdasarkan pada kontrak. Tidak ada ruang untuk perasaan yang lebih dalam—setidaknya itulah yang mereka yakini.

Setelah beberapa saat, Kara berdiri dan berkata, “Aku akan mandi sebentar.”

Ketika ia sudah selesai dengan kegiatan mandinya, ia tiba-tiba menyadari bahwa ia lupa membawa bathrobe. Ia memanggil nama Hasya. Tanpa berpikir panjang, Kara meminta dengan ragu, “Hasya, bisa tolong ambilkan bathrobe?”

Hasya tampak sedikit terkejut dengan permintaannya. Namun, ia hanya mengangguk, berjalan menuju lemari dan mengambil bathrobe yang digantung di sana. Dengan hati-hati, ia menyerahkannya pada Kara sambil menundukkan kepala, matanya menghindari pada pintu kamar mandi yang sedikit terbuka dan membiarkan hanya wajah Kara yang mengintip di sana. “Tentu, Kara. Ini,” katanya dengan suara lembut dan mata tertutup.

Kara hanya tersenyum geli melihat sikap canggung Hasya. “Kenapa kamu menutup mata?” ia bertanya, sambil mengambil bathrobe dari tangannya.

Hasya, yang merasa sangat canggung, hanya bisa menggelengkan kepala. “Aku hanya... tidak tahu harus bagaimana.”

Kara tertawa kecil, merasa lebih lega melihat sikap polos Hasya yang tidak tahu bagaimana menghadapi situasi ini. “Tak perlu khawatir, Hasya. Aku hanya butuh bathrobe, bukan sesuatu yang lebih.”

Setelahnya Kara masuk kembali ke kamar mandi, Hasya mencoba menenangkan diri, merasa canggung akan situasi yang baru saja terjadi. Namun, pikirannya terus berputar pada kenyataan bahwa mereka pernah menikmati malam yang indah sebelumnya. Walau Kara sama sekali tidak pernah membahasnya dengan Kara. Lalu kini mereka telah menikah, meskipun hanya untuk kontrak, dan malam ini adalah malam pertama mereka sebagai pasangan.

^^^^

Tak lama setelah Kara keluar dari kamar mandi, ia mulai mengeringkan rambutnya dengan handuk, merasakan air yang masih menetes di rambut panjangnya. Tiba-tiba, Hasya, yang tadinya hanya berdiri di pojok kamar, melangkah maju dan menawarkan bantuannya.

“Apa kamu ingin aku membantu mengeringkan rambutmu?” tanya Hasya, sedikit ragu. Ia menatap Kara dengan wajah yang menunjukkan kebingungan. Kara, yang semula terkejut, akhirnya mengangguk dengan senyum kecil.

“Baiklah, terima kasih,” jawab Kara, melepaskan handuk dari rambutnya dan duduk di kursi dekat meja rias.

Hasya kemudian berdiri di belakang Kara, perlahan mulai menyeka rambut basah Kara dengan handuk lalu menghidupkan hairdryer. Ada keheningan yang canggung di antara mereka, namun Hasya berusaha untuk fokus pada tugas yang ada di hadapannya. Namun, setiap kali jarinya menyentuh rambut Kara yang lembut, juga kulit Kara yang putih, hatinya semakin berdebar. Ia berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan betapa dekatnya mereka saat ini.

Ketika Hasya menyeka rambut Kara, tiba-tiba ia merasakan dorongan yang tak terkendali. Dalam sekejap, ia mematikan pengering rambut lantas membungkuk dan tanpa berpikir, mengecup tengkuk Kara dengan lembut. Kara terdiam, terkejut, dan kemudian tubuhnya menegang. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hanya ada suara detakan jantung yang semakin keras di telinganya.

Kara perlahan menoleh ke arah Hasya, yang masih tertegun di belakangnya. Wajah mereka berdua dekat sekali. Tanpa peringatan, Hasya meraih wajah Kara, dan dalam sekejap, bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman. Awalnya, ciuman itu penuh dengan kebingungannya, tetapi lama kelamaan, itu berubah menjadi sesuatu yang lebih mendalam. Ciuman itu penuh dengan emosi yang tak bisa dijelaskan—perasaan yang tak bisa lagi mereka bendung.

Kara dan Hasya berdiri, mendekat pada tempat tidur lalu duduk di sana. Dimana, Kara lebih tepatnya duduk di pangkuan Hasya. Tentu saja, mereka tidak melepaskan sama sekali ciuman itu. Justru pagutan itu semakin dalam, semakin lekat.

Keduanya spontan bernapas, terengah-engah, saat ciuman berhenti. Sesaat saja. Sebab setelahnya, mereka kembali menyatukan bibir. Mengecup, memagut dan lidah masing-masing menari di dalam mulut mereka.

Hasya nampak kewalahan. Ia tidak pernah terbiasa dengan betapa agresifnya Kara -terlepas efek obat ataupun bukan. Ia selalu kelabakan setiap kali perempuan itu mencium bibirnya, bergantian, antara atas dan bawah. Belum lagi ketika Kara menggigit dengan gemas, seolah melahap bibir Hasya seperti candu yang sulit dikendalikan.

Hasya merasa gelap sekarang. Segalanya seperti dopamin, membuat ia lupa pada batasan-batasan yang telah mereka sepakati lewat berlembar-lembar kertas kontrak yang telah mereka tandatangani. Ia jadi tidak peduli. Toh, Kara sendiri yang melangkah maju duluan.

Hasya menyentuh pundak Kara yang berbalut bathrobe, meluruhkannya sedikit, sehingga menampilkan pundak polos Kara yang putih. Ia juga melakukannya pada sisi yang lainnya, sehingga bathobe itu terus turun, tertahan oleh pelukan mereka.

Hasya bisa melihatnya dengan jelas. Dua milik Kara yang indah dan berisi. Membuatnya sigap menyapu pelan dengan jari-jarinya yang kini merasa gemetar. Takut, risau, senang, gairah, lalu takut lagi.

Kara tidak menolak. Ia sendiri masih sibuk dengan ciumannya di bibir Hasya. Juga tangannya yang mengalung sempurna pada tengkuk laki-laki itu. Lalu sesekali, ia akan meraba perut Hasya yang seperti roti sobek. Gemas.

Hasya melepaskan ciuman mereka, beralih pada leher jenjang milik Kara. Mengecupnya lama di sana dengan kedua tangan yang sibuk. Sibuk sekali. Pada sesuatu yang -separuhnya- masih terbungkus bathrobe. Dua milik Kara yang indah.

Hasya menyentuhnya, menggenggam, mengusap, memberikan efek yang luar biasa pada tubuh Kara. Perempuan itu berjengit, merasa seperti tubuhnya diguncang oleh rasa haus dan terpenuhi dahaganya. Apalagi saat jemari-jemari nakal Hasya mencubit dan memilin-milin ujung dadanya yang sekarang mungkin sudah menyembul sempurna.

Usia Kara, 29, perempuan dewasa dan matang. Tapi, kesibukannya membangun Wihardjo Group membuat ia luput untuk menikmati hidup. Satu-satunya hubungan yang Kara miliki pun, telah berakhir lama. Oleh karena itu, andai boleh jujur, mungkin Kara rindu disentuh semacam ini.

Apalagi oleh laki-laki yang jauh lebih muda darinya.

Yang nampak takut-takut dan malu-malu. Padahal saat diberi sedikit distraksi, ia menggila seperti sekarang ini. Menyentuh titik-titik hebat yang memangkitkan gejolak dalam diri Kara.

Anak muda itu, lucu juga, batin Kara.

Namun, saat ciuman itu semakin intens, saat Hasya hendak menurunkan lebih jauh bathrobe milik Kara, perempuan itu tersadar. Ia melepaskan ciuman mereka dengan cepat, meraih tangan Hasya dan menariknya menjauh. “Tidak, Hasya. Kita tidak bisa seperti ini,” kata Kara dengan napas yang terengah-engah. Wajahnya memerah, dan ada ketegangan yang jelas terpancar dari dirinya. Ia lantas membetulkan kembali bathrobe-nya yang sudah hampir melorot dan menunjukkan dadanya.

“Ini hanya pernikahan kontrak. Kita tidak bisa melangkah lebih jauh,” lanjut Kara, suaranya penuh dengan keyakinan. “Ini adalah perjanjian bisnis, dan kita harus tetap menjaganya seperti itu.”

Hasya hanya terdiam, perasaan bingung dan kecewa bercampur di dalam dirinya. Ia tahu bahwa pernikahan ini hanyalah kontrak, namun perasaannya terhadap Kara semakin berkembang. “Aku mengerti,” jawabnya pelan, meskipun hatinya terasa sakit.

Kara menatapnya dengan serius, merasa cemas bahwa mereka telah melewati batas yang tidak seharusnya mereka lewati. “Kita harus menjaga jarak, Hasya. Kita sudah sepakat untuk melakukannya dengan cara ini.”

Hasya mengangguk, meskipun hatinya bergejolak. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi satu hal yang pasti—ia tidak bisa menahan perasaannya terhadap Kara. Namun, untuk saat ini, ia harus menerima kenyataan bahwa hubungan mereka memang hanya sebatas kontrak.

Malam itu, setelah mereka berdua terdiam dalam keheningan, Kara dan Hasya tidur terpisah. Kara tidur di ranjang King Size sedang laki-laki itu tidur di sofa yang ada di ruangan itu. Meskipun tubuh mereka tidak berdekatan, perasaan mereka tetap berputar di dalam pikiran masing-masing.

Kara tahu bahwa keputusan yang mereka buat mungkin akan mengubah banyak hal. Namun, yang ia tahu pasti adalah bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjang yang akan menentukan nasib mereka berdua—apakah kontrak ini akan berakhir sesuai rencana, atau apakah ada sesuatu yang lebih besar yang akan berkembang di antara mereka?

Untuk sekarang, mereka hanya bisa menunggu dan melihat apa yang akan terjadi.

^^^^

Bab terkait

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 5 : Si Rubah Alice

    Karana duduk di ruangannya yang luas dan modern. Dinding kaca di belakang mejanya memperlihatkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit di jantung kota. Namun, pikirannya sama sekali tidak bisa menikmati pemandangan itu. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut sejak pagi. Pernikahannya dengan Hasya baru berusia beberapa minggu, tapi sudah terlalu banyak hal yang harus ia urus. Bukan hanya soal Hasya yang masih kikuk menyesuaikan diri, tetapi juga bagaimana mempertahankan penampilan mereka di depan keluarga dan publik.Namun, hari ini, masalah baru datang mengetuk pintu. Lebih tepatnya, menghantamnya tanpa ampun.Alice.Sepupunya yang selalu menjadi duri dalam daging sejak mereka kecil. Dari semua orang di dunia ini, Alice adalah orang yang paling Karana harapkan tidak akan menyadari sesuatu yang aneh dalam pernikahannya. Tapi, Karana seharusnya tahu bahwa Alice tidak akan tinggal diam.Alice berjalan memasuki ruangan dengan langkah percaya diri, mengenakan gaun merah yang memeluk tubu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 6 : Masuk Ke Dunia Baru

    Hasya duduk di sudut sofa kulit hitam yang terasa terlalu empuk untuk tubuhnya yang kaku. Matanya menatap langit-langit apartemen Kara yang tinggi dengan lampu gantung kristal yang berkilauan di atasnya. Seluruh ruangan ini terasa seperti bagian dari majalah interior mewah—dengan dinding marmer putih, lukisan-lukisan mahal, dan perabotan yang tampak lebih mahal dari total biaya hidupnya selama setahun.Ia meneguk ludah, merasa kecil dan tidak pada tempatnya. Napasnya berat, seolah udara di ruangan ini terlalu tipis untuknya.“Kamu kenapa duduk di situ seperti tersesat?”Suara Kara mengagetkan Hasya. Wanita itu baru saja keluar dari kamar dengan pakaian kerja yang rapi dan elegan. Sepatunya berbunyi pelan di atas lantai marmer saat ia mendekat.Hasya berusaha tersenyum, tapi yang keluar lebih seperti seringai canggung. “Aku nggak tahu harus ngapain,” jawabnya jujur.Kara memiringkan kepalanya, menatap Hasya seolah sedang menilai sesuatu yang penting. “Kamu kelihatan seperti anak kucing

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 1 : Pertemuan yang Mengejutkan

    Karana Wihardjo duduk di bar dengan pandangan kosong. Gelas gin tonic di tangannya sudah hampir kosong, tetapi ia tidak memperhatikan betapa cepatnya ia meneguk minumannya. Ia merasa dunia berputar di sekelilingnya, tetapi semua itu seperti kabut yang tak bisa ia jernihkan. Keheningan hatinya berbanding terbalik dengan suara riuh yang memenuhi ruang klub malam tempat ia berada. Musik bass yang kuat, lampu neon yang berkedip-kedip, dan orang-orang yang menari dengan penuh semangat seakan hanya membuatnya merasa lebih terasing."Karana, kamu baik-baik saja?" suara sahabatnya, Clara, memecah kebisuan itu.Karana hanya mengangguk lemah tanpa menatapnya. Wajahnya menunjukkan kelelahan, dan matanya terasa berat. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Ayahnya baru saja menelponnya siang tadi, kembali memaksanya untuk menikah cepat, memenuhi ekspektasi keluarga yang sudah terlalu lama ia hindari. Segala tuntutan itu membuatnya terjebak dalam kebingungannya."Ayo, Karana. Cobalah bersenang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 2 : Kepala Berat dan Keterpaksaan

    Kara Wihardjo terbangun pagi itu dengan kepala yang berat. Matanya terpejam, mencoba untuk mengabaikan rasa pening yang menggelayuti. Ia merasakan dampak buruk dari malam sebelumnya. Meski tidak ingat sepenuhnya apa yang terjadi, ada banyak gambar samar yang berputar di benaknya, seperti potongan-potongan puzzle yang saling bertabrakan. Satu hal yang ia tahu, ia merasa sangat terperangkap—terperangkap dalam tanggung jawab yang luar biasa, terperangkap dalam tekanan dari keluarganya, dan terperangkap dalam perasaan yang tidak ia mengerti. Ponselnya berdering, menyentakkan dirinya keluar dari lamunannya. Itu adalah pesan dari ayahnya. Pesan yang mengingatkan untuk segera bertindak, untuk memenuhi harapan keluarga yang semakin membebani. Ia menarik napas dalam-dalam, menyesap secangkir kopi pahit, lalu berdiri untuk bersiap-siap ke kantor. Seharian, pikirannya hanya berputar tentang hal itu. Tekanan pernikahan yang tak kunjung selesai, desakan untuk segera menikah, dan ayah yang tidak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 3 : Keputusan yang Membuka Jalan Baru

    Hasya Gaharu melangkah keluar dari ruang rumah sakit, matanya fokus pada jalan di depan. Sesekali, ia memeriksa ponselnya, mencari informasi terbaru tentang pengobatan mata kakaknya. Selama bertahun-tahun, ia berjuang untuk merawat kakaknya yang kehilangan penglihatan akibat penyakit degeneratif. Setiap harinya, ia mencoba sekuat tenaga untuk mencari cara agar kakaknya bisa melihat lagi. Namun, biaya pengobatan yang sangat mahal selalu menjadi penghalang utama. Ketika tawaran pernikahan kontrak dari Karana Wihardjo datang, ia merasa seolah-olah mendapat jalan keluar. Kakaknya, Ayu, yang sudah terbiasa dengan kondisi tersebut, kini tampak lebih cerah sejak Hasya menyampaikan berita gembira. “Ayu,” kata Hasya sambil tersenyum lebar, “aku akan membawa kamu ke Singapura untuk menjalani operasi mata. Aku sudah mencari cara, dan akhirnya, ada kesempatan untuk kamu bisa melihat lagi.” Ayu menatap adiknya dengan air mata yang mulai menetes di pelupuk matanya. Sungguh, Ayu tak tahu harus be

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06

Bab terbaru

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 6 : Masuk Ke Dunia Baru

    Hasya duduk di sudut sofa kulit hitam yang terasa terlalu empuk untuk tubuhnya yang kaku. Matanya menatap langit-langit apartemen Kara yang tinggi dengan lampu gantung kristal yang berkilauan di atasnya. Seluruh ruangan ini terasa seperti bagian dari majalah interior mewah—dengan dinding marmer putih, lukisan-lukisan mahal, dan perabotan yang tampak lebih mahal dari total biaya hidupnya selama setahun.Ia meneguk ludah, merasa kecil dan tidak pada tempatnya. Napasnya berat, seolah udara di ruangan ini terlalu tipis untuknya.“Kamu kenapa duduk di situ seperti tersesat?”Suara Kara mengagetkan Hasya. Wanita itu baru saja keluar dari kamar dengan pakaian kerja yang rapi dan elegan. Sepatunya berbunyi pelan di atas lantai marmer saat ia mendekat.Hasya berusaha tersenyum, tapi yang keluar lebih seperti seringai canggung. “Aku nggak tahu harus ngapain,” jawabnya jujur.Kara memiringkan kepalanya, menatap Hasya seolah sedang menilai sesuatu yang penting. “Kamu kelihatan seperti anak kucing

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 5 : Si Rubah Alice

    Karana duduk di ruangannya yang luas dan modern. Dinding kaca di belakang mejanya memperlihatkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit di jantung kota. Namun, pikirannya sama sekali tidak bisa menikmati pemandangan itu. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut sejak pagi. Pernikahannya dengan Hasya baru berusia beberapa minggu, tapi sudah terlalu banyak hal yang harus ia urus. Bukan hanya soal Hasya yang masih kikuk menyesuaikan diri, tetapi juga bagaimana mempertahankan penampilan mereka di depan keluarga dan publik.Namun, hari ini, masalah baru datang mengetuk pintu. Lebih tepatnya, menghantamnya tanpa ampun.Alice.Sepupunya yang selalu menjadi duri dalam daging sejak mereka kecil. Dari semua orang di dunia ini, Alice adalah orang yang paling Karana harapkan tidak akan menyadari sesuatu yang aneh dalam pernikahannya. Tapi, Karana seharusnya tahu bahwa Alice tidak akan tinggal diam.Alice berjalan memasuki ruangan dengan langkah percaya diri, mengenakan gaun merah yang memeluk tubu

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 4 : Pernikahan Yang Tidak Direncanakan

    Pernikahan Karana Wihardjo, putri tunggal dari keluarga Wihardjo, adalah topik yang tak pernah lepas dari pembicaraan di setiap sudut kota. Sebagai CEO sukses dan pewaris perusahaan besar milik ayahnya, Karana sudah lama menjadi sorotan publik. Kini, momen besar dalam hidupnya akan segera tiba—hari pernikahannya dengan Hasya Gaharu, seorang laki-laki muda yang sebelumnya hanya dikenal sebagai anak magang di perusahaannya. Hubungan mereka yang dimulai dengan perjanjian kontrak untuk setahun itu akhirnya berkembang menjadi kenyataan. Media, tentu saja, tidak melewatkan kesempatan untuk meliput setiap detil persiapan pernikahan ini. Tampilkan gaun yang dipilih Kara, riasan yang menakjubkan, hingga lokasi pesta yang mewah—semua menjadi sorotan. Di tengah sorotan publik yang begitu besar, Kara berusaha tetap tenang, meskipun dalam hati, ada perasaan cemas yang sulit untuk ditutupi. Sementara itu, Hasya, yang lebih suka hidup di luar sorotan, merasa canggung dengan perhatian yang datang b

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 3 : Keputusan yang Membuka Jalan Baru

    Hasya Gaharu melangkah keluar dari ruang rumah sakit, matanya fokus pada jalan di depan. Sesekali, ia memeriksa ponselnya, mencari informasi terbaru tentang pengobatan mata kakaknya. Selama bertahun-tahun, ia berjuang untuk merawat kakaknya yang kehilangan penglihatan akibat penyakit degeneratif. Setiap harinya, ia mencoba sekuat tenaga untuk mencari cara agar kakaknya bisa melihat lagi. Namun, biaya pengobatan yang sangat mahal selalu menjadi penghalang utama. Ketika tawaran pernikahan kontrak dari Karana Wihardjo datang, ia merasa seolah-olah mendapat jalan keluar. Kakaknya, Ayu, yang sudah terbiasa dengan kondisi tersebut, kini tampak lebih cerah sejak Hasya menyampaikan berita gembira. “Ayu,” kata Hasya sambil tersenyum lebar, “aku akan membawa kamu ke Singapura untuk menjalani operasi mata. Aku sudah mencari cara, dan akhirnya, ada kesempatan untuk kamu bisa melihat lagi.” Ayu menatap adiknya dengan air mata yang mulai menetes di pelupuk matanya. Sungguh, Ayu tak tahu harus be

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 2 : Kepala Berat dan Keterpaksaan

    Kara Wihardjo terbangun pagi itu dengan kepala yang berat. Matanya terpejam, mencoba untuk mengabaikan rasa pening yang menggelayuti. Ia merasakan dampak buruk dari malam sebelumnya. Meski tidak ingat sepenuhnya apa yang terjadi, ada banyak gambar samar yang berputar di benaknya, seperti potongan-potongan puzzle yang saling bertabrakan. Satu hal yang ia tahu, ia merasa sangat terperangkap—terperangkap dalam tanggung jawab yang luar biasa, terperangkap dalam tekanan dari keluarganya, dan terperangkap dalam perasaan yang tidak ia mengerti. Ponselnya berdering, menyentakkan dirinya keluar dari lamunannya. Itu adalah pesan dari ayahnya. Pesan yang mengingatkan untuk segera bertindak, untuk memenuhi harapan keluarga yang semakin membebani. Ia menarik napas dalam-dalam, menyesap secangkir kopi pahit, lalu berdiri untuk bersiap-siap ke kantor. Seharian, pikirannya hanya berputar tentang hal itu. Tekanan pernikahan yang tak kunjung selesai, desakan untuk segera menikah, dan ayah yang tidak

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 1 : Pertemuan yang Mengejutkan

    Karana Wihardjo duduk di bar dengan pandangan kosong. Gelas gin tonic di tangannya sudah hampir kosong, tetapi ia tidak memperhatikan betapa cepatnya ia meneguk minumannya. Ia merasa dunia berputar di sekelilingnya, tetapi semua itu seperti kabut yang tak bisa ia jernihkan. Keheningan hatinya berbanding terbalik dengan suara riuh yang memenuhi ruang klub malam tempat ia berada. Musik bass yang kuat, lampu neon yang berkedip-kedip, dan orang-orang yang menari dengan penuh semangat seakan hanya membuatnya merasa lebih terasing."Karana, kamu baik-baik saja?" suara sahabatnya, Clara, memecah kebisuan itu.Karana hanya mengangguk lemah tanpa menatapnya. Wajahnya menunjukkan kelelahan, dan matanya terasa berat. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Ayahnya baru saja menelponnya siang tadi, kembali memaksanya untuk menikah cepat, memenuhi ekspektasi keluarga yang sudah terlalu lama ia hindari. Segala tuntutan itu membuatnya terjebak dalam kebingungannya."Ayo, Karana. Cobalah bersenang

DMCA.com Protection Status