Beranda / Romansa / Suami Kontrak CEO Cantik / Bab 8: Desakan Yang Menyebalkan

Share

Bab 8: Desakan Yang Menyebalkan

Penulis: Nanasshi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-11 09:27:03

Langit-langit ruang makan keluarga Wihardjo dipenuhi ukiran-ukiran kayu yang rumit, seolah mencoba mencerminkan kekayaan dan keanggunan yang tak terbantahkan. Lampu gantung kristal di atas meja panjang berkilauan lembut, memantulkan cahaya ke piring-piring porselen yang berisi hidangan mahal. Namun, kemewahan itu tidak mampu menyamarkan atmosfer yang dingin dan penuh tekanan.

Karana duduk tegak di kursinya, ekspresinya tak tergoyahkan seperti biasa. Di sampingnya, Hasya tampak tenang, meski dalam hatinya ia merasa seperti anak kecil yang tersesat di ladang duri. Ayah Kara, Tuan Aditya Wihardjo, duduk di ujung meja dengan tatapan tajam yang tak memberikan ruang untuk perbedaan pendapat.

“Karana,” suara berat pemilik nama belakang Wihardjo memecah keheningan. “Aku harap kau sudah mulai memikirkan soal momongan. Usia tidak menunggu siapa pun.”

Kara meneguk air putihnya perlahan, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang merayap di balik matanya. “Kami sudah memikirkan hal itu, Ayah,” jawabnya singkat.

Tapi jawaban Kara tidak cukup memuaskan ayahnya.“Memikirkan saja tidak cukup. Kalau perlu, kalian bisa pergi ke luar negeri, konsultasi dengan dokter terbaik. Aku bisa mengatur semuanya.”

Kara menggenggam gelasnya lebih erat, jari-jarinya memutih. “Ayah, aku dan Hasya sedang mengurus banyak hal. Kami akan mempertimbangkannya di waktu yang tepat.”

Alice, sepupu Kara yang duduk di sebelah ibu tiri Kara, menutup mulutnya seolah menahan tawa kecil. “Oh, Karana Wihardjo, selalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku kadang bertanya-tanya, apakah kau benar-benar ingin punya keturunan?”

Komentar itu menusuk seperti belati yang dilapisi sutra. Ibu tiri Kara menambahkan dengan nada manis yang beracun, “Tentu saja Karana pasti ingin. Tapi, siapa tahu… mungkin ada alasan lain kenapa belum ada kabar baik?”

Hasya, yang sedari tadi berusaha menahan diri, merasa darahnya mendidih. Ia tahu hubungan Kara dengan keluarganya tidak selalu harmonis, dan sindiran ini hanyalah sebagian kecil dari tekanan yang diterima wanita itu setiap hari.

Hasya akhirnya membuka suara, nadanya tegas namun penuh kehangatan. “Kami sedang berusaha, tante,” katanya, matanya menatap Alice dan ibu tiri Kara bergantian. “Tidak semua hal harus diumumkan kepada dunia. Beberapa hal butuh waktu dan kesabaran.”

Alice menyipitkan mata, merasa tertantang. “Oh, benar begitu? Kalau begitu, kalian harus membuktikannya.”

Hasya tidak menjawab dengan kata-kata. Ia memutar tubuhnya ke arah Kara dan, di depan semua orang, ia mencium pipinya dengan lembut namun penuh makna. “Kami sedang berusaha,” ucap Hasya pelan, tapi cukup keras untuk didengar semua orang di meja itu. “Jadi, tolong beri kami waktu.”

Kara tentu saja terkejut. Ia tidak mem-briefing Hasya demikian tadi. Tidak ada skinship yang ia haruskan pada Hasya hanya untuk membalas ucapan dua rubah di depan mereka.

Tapi Kara melirik sekilas pada ayahnya, menemukan senyuman yang penuh arti tatkala melihat bagaimana Hasya memperlakukannya dengan manis tadi.

"Terima kasih, sayang," jawab Kara seraya menggenggam tangan Hasya. "Terima kasih karena kamu sudah menjadi suami yang paling pengertian."

Hasya mengangguk kecil. Ia lantas mecubit gemas ujung hidung Kara, yang jelas membuat perempuan itu sedikit terkejut. Itu benar-benar tidak ada di dalam skrip drama keduanya!

Alice dan sang ibu tiri yang melihat kelakuan kasmaran dua manusia di depan mereka, hanya bisa mendecih kesal. Niat mereka mengompori soal momongan adalah untuk membuat keduanya bertengkar dan saling tidak nyaman. Bukan justru saling melakukan lovey-dovey seperti ini.

Termasuk Alice, yang diam-diam tidak menyangka bahwa ternyata Kara jago juga bersandiwara.

^^^

Setelah makan malam yang menegangkan itu, Kara dan Hasya pulang ke apartemen mereka. Sepanjang perjalanan, Kara tidak berkata apa-apa. Ia hanya memandang keluar jendela mobil, matanya kosong seperti langit malam yang kehilangan bintang.

Di apartemen, Kara langsung melepas sepatunya dan berjalan ke balkon. Angin malam yang dingin menyapu wajahnya, membawa aroma hujan yang tertahan di udara.

Hasya mengikutinya, tapi ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di samping Kara, membiarkan kesunyian berbicara untuk mereka.

“Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan,” akhirnya Kara membuka suara, suaranya serak dan rendah. “Tapi kenapa rasanya mereka selalu berhasil membuatku merasa kurang?”

Hasya memandang Kara dengan lembut. “Mereka hanya mencoba mengendalikanmu. Seperti biasa.”

Kara mendengus, bibirnya melengkung dalam senyuman pahit. “Aku sudah terbiasa dengan itu. Tapi kali ini… rasanya berbeda.” Ia menoleh, matanya bertemu dengan mata Hasya. “Aku tidak ingin menyeretmu ke dalam kekacauan ini.”

“Sudah terlambat untuk itu,” kata Hasya dengan nada ringan, mencoba meredakan suasana. “Aku sudah berada di tengah kekacauan ini. Dan aku tidak keberatan.”

Kara menatap Hasya, mencoba mencari kebohongan dalam kata-katanya. Tapi yang ia temukan hanyalah ketulusan.

“Kenapa kamu melakukan ini?” tanya Kara pelan.

“Melakukan apa?”

“Melindungiku. Membelaku di depan mereka.”

Hasya tersenyum kecil, senyuman yang membawa kehangatan di tengah udara malam yang dingin. “Karena aku tahu bagaimana rasanya berada di bawah tekanan. Dan karena…” Ia ragu sejenak sebelum melanjutkan, “Karena aku peduli padamu.”

Kara mengernyit bingung. 'Kata peduli' yang dilontarkan Hasya terasa ambigu di telinganya. Ia sudah jelas, menarik batas di antara mereka berdua. Bahwa hubungan ini adalah sebuah sandiwara dan bentuk kerja sama semata. Sebuah simbiosis mutualisme. Kara yang terhindar dari tuntutan menikah dan Hasya yang mendapatkan uang untuk pengobatan.

Sudah.

Hany itu.

Lantas kenapa, ketika Hasya mengatakan soal kepedulian, Kara jadi bingung sendiri.

Padahal, mungkin saja, iya mungkin, Kara memang berperan peduli sebagaimana ia seharusnya berlakon sebagai suami yang baik. Bukan benar-benar peduli selayaknya orang yang dekat dengannya. Peduli yang bear-benar datang dari hati.

Iya, Kara harus berpikir demikian.

"Kamu jangan peduli padaku, Hasya." Kara berbalik, hendak masuk dan meninggalkan Hasya di balkon. Dalam posisi membelakangi Hasya, Kara kembali bicara. "Karena kita bukan orang yang benar-benar dekat dan harus melakukan itu."

Lalu Kara pergi. Meninggalkan Hasya yang termangu lalu menghela napas panjang.

"Dasar perempuan keras kepala," gumam Hasya pelan.

^^^^

Pagi itu, Kara menemukan Hasya di dapur, sedang membuat kopi. Aroma kopi memenuhi ruangan, membawa kehangatan yang anehnya terasa menenangkan. Padahal jelas, semalam, sebelum tidur, ia meninggalkan Hasya d balkon dengan kalimat yang terasa sangat dingin.

"Pagi, nona." Hasya menyapa seraya menoleh dan tersenyum pada Kara.

Perempuan tu hanya mendehem, tidak membalas ucapan laki-laki itu. Kara lalu duduk di stool dan mmperhatikan gerakan cekatan Hasya dalam mengolah makanan. Kara masih terpekur dalam diam ketika tiba-tiba Hasya meletakkan secangkir kopi di hadapan perempuan itu.

Kara mengernyit, menatap Hasya -setengah mendongak. "Aku bisa buat kopi sendiri."

Hasya kembali tersenyum, sekalipun tangannya masih sibuk dengan spatula. "Tapi tidak da salahnya 'kan kalau ada orang yang berbaik hati membuatkannya untukmu? Lagi pula, kopinya enak kok."

Kara diam, meraih cangkir yang disodrkan Hasya. Perempuan itu menyesapnya pelan. Tidak menjawab ucapan Hasya. Tapi ia setuju soal kopi buatan Hasya yang enak.

"Nah sekarang, nasi goreng spesial sudah siap. Selamat menikmati sarapan."

Kara kembali menatap Hasya. "Aku tidak sarapan di pagi hari selain secangkir kopi," tandas Kara dengan suara yang dingin.

Hasya menggeleng. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "No. no, no. Mulai sekarang kamu harus sarapan. Kamu ingat semalam ayah membahas apa?" Hasya trsenyum iseng. "Hanya minum kopi di pagi harii, itu sangat~ tidak baik untuk perempuan yang sedang melakukan promil."

Kara mendengus. Ia menatap Hasya yang terkekeh jahil.

Laki-laki itu mengejknya soal 'promil' yang jelas-jelas tidak mereka lakukan.

Bagaimana mau promil kalau sendirinya pernikahan yang keduuanya lakukan hany sebuh hubungan kerja sama?

Bagaimana ppula mereka mau melakukan promil kalau interaksi keduanya hanya paling jauh ... berciuman. Tidak lebih.

"Kamu mengejek?" tanya Kara masih dengan ekspresi yang dingin.

Hasya menggeleng. "Tidak. Aku nggak mengejek. Aku cuma sedang menyiapkan saapan pagi agar kamu mulai makan dengan teratur." Hasya lalu melihat jam tangan di pergelangan tangannya. "Tenang saja, masih banyak waktu sebelum kita berangkat kekantor, istriku," goda Hasya seraya menyendokkan nai goreng dan mengangsurkan sendok tersebut di depan mulut Kara.

Kara bergeming. Hasya memasang wajah lucu sambil memohon.

"Baiklah, kali ini saja."

Hasya tersenyum saat Kara akhirnya menrima suapannya. Perempuan itu lantas meraih piring dan sendok dari Kara, enggan disuapi lagi.

"Anak baik," puji Hasya.

Kara tertegun. Merasa berdebar tanpa alasan.

Hanya karena tangan Hasya mengusap puncak kepalanya saat mengatakan 'anak baik' tadi.

Wah ... sepertinya Kara mulai tidak waras!

^^^^

Bab terkait

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 9: Jejak Masa Lalu yang Terendus

    Hari itu, langit cerah seolah mengundang siapa saja untuk keluar dan menikmati kehangatan mentari. Kara dan Hasya memutuskan untuk berjalan-jalan santai di sebuah pusat perbelanjaan setelah seminggu penuh dengan jadwal yang melelahkan. Kara, seperti biasa, mengenakan pakaian elegan yang mencerminkan statusnya. Sementara Hasya, dengan pakaian yang lebih kasual namun tetap rapi, mencoba menyesuaikan diri dengan dunia Kara yang jauh berbeda dari kehidupannya dulu.Hasya sempat menolak saat Kara menyuruhnya untuk mengenakan jas. Bagi Hasya, jas hanya cocok untuk dipertemuan penting. Ia lebih suka memakai t-shirt dan hoodie bila sekedar berjalan-jalan di mall. Tentu saja, itu mendapat tatapan tajam dari Kara.Alhasil, Hasya memakai t-shirt berkerah keluaran dari Ralph Lauren agar tetap santai namun terkesan rapi.Akhirnya.Sebab laki-laki itu akan mendapat celetukan sarkastik lagi andai tidak menurut.Mereka baru saja keluar dari sebuah butik ketika seorang pria tinggi dengan rambut tersis

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 10: Jejak Sosok yang Mengusik

    Hasya duduk sendirian di ruang kerjanya. Malam telah larut, tapi pikirannya belum juga tenang. Setelah pertemuan mereka dengan Daniel beberapa hari lalu, nama Adrian terus menghantui benaknya. Sosok yang tak pernah ia kenal secara langsung itu tiba-tiba menjadi bayangan besar yang menekan dadanya.Hasya mencoba melawan rasa penasaran itu, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat. Ia membuka laptop, mengetik nama "Adrian" di kolom pencarian media sosial. Tak butuh waktu lama untuk menemukan profilnya.Layar laptop menampilkan serangkaian foto seorang pria tampan dengan senyum penuh percaya diri. Foto-fotonya mencerminkan kehidupan glamor—pesta, perjalanan ke tempat-tempat mewah, dan potret bersama orang-orang penting. Adrian terlihat sempurna, seperti yang Daniel gambarkan.Hasya menelusuri setiap foto dengan hati-hati. Ia melihat Adrian mengenakan setelan jas yang pas, rambutnya tertata rapi, dan posenya yang selalu tampak berwibawa. Hasya diam-diam berpikir, “Apa ini tipe laki-laki yang se

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 11: Krisis dan Ciuman di Mobil

    Pagi itu di ruang rapat utama Wihardjo Corp, suasana begitu tegang. Para eksekutif duduk dengan wajah cemas, sementara suara Kara yang tegas memenuhi ruangan. Ia membahas laporan terbaru yang menunjukkan masalah besar: sebuah proyek besar yang melibatkan banyak investor telah mengalami keterlambatan yang signifikan.“Apa penjelasan kalian? Bagaimana ini bisa terjadi?” Kara bertanya, nadanya dingin namun penuh tekanan.Salah satu manajer proyek memberanikan diri untuk berbicara. “Ada kendala teknis di lapangan, Bu Kara. Juga, beberapa bahan yang dipesan dari luar negeri terlambat dikirim karena masalah logistik.”Kara menghela napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. “Kendala seperti ini seharusnya sudah diantisipasi sejak awal. Kita tidak bisa memberi alasan yang sama kepada para investor.”Para eksekutif saling berpandangan, tak ada yang berani menanggapi lebih lanjut. Kara menutup rapat dengan keputusan untuk memanggil seluruh pemegang saham dan investor utama untuk pertemuan da

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 12 : Sisa Ciuman dan Langkah Alice

    Hasya mendekat, meraih dagu kara untuk ia bawa mendekat pada bibirnya. Ia hinggap di sana, mencecap bibir perempuan itu yang rasanya seperti kue red velvet. Dan Hasya senang, karena ketika ia memperdalam ciumannya, membiarkan lidahnya menerobos masuk mulut Kara, perempuan itu ... tidak mendorong tubuhnya sekaligus menamparnya.Kara -awalnya- diam saja, namun setelah Hasya menyentuh tengkuk Kara untuk memperdalam ciuman mereka, perempuan itu terhanyut juga.Ia mulai membalas ciuman demi ciuman itu. Beradu bibir atas dan bawah keduanya dengan hisapan-hisapan yang membuat waras terbang entah kemana. Lalu saat tangan Hasya hendak membuka kancing kemeja yang digunakan Kara, perempuan itu menahannya.Dan dengan mata yang sama gelapnya, kara berbisik setengah menahan gelora."Jangan di sini, sebaiknya kita ... pulang?"Tentu saja, Hasya menurut. Ia mulai kembali sibuk dengan kemudinya mempercepat laju kendaraan dan menahan sesuatu yang terasa mendesak di bawah sana. Hasya yang biasanya selal

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 13: Percikan Cemburu

    Hari itu, Kara merasa gelisah sejak pagi. Ia duduk di ruangannya, mencoba fokus pada layar laptop, tetapi pikirannya terus melayang pada pemandangan yang ia lihat kemarin: Alice dan Hasya, bercakap-cakap akrab di kubikel Hasya. Ia tidak suka perasaan ini, tetapi ia tidak bisa mengabaikannya.“Kenapa aku harus peduli?” Kara bergumam sambil mengetuk-ngetuk meja dengan pena. Namun, suara ketukan pintu membuatnya tersentak.“Kara, kamu ada waktu?” Hasya masuk dengan senyum canggung, memegang beberapa dokumen.Kara memandangnya sekilas. Meski raut wajahnya biasa saja, ada sedikit ketegangan dalam nadanya. “Ada apa?”“Saya butuh tanda tanganmu untuk dokumen ini. Selain itu, saya ingin diskusi sedikit soal laporan,” jawab Hasya sambil meletakkan berkas di meja.Kara mengangguk kecil dan mulai membaca dokumen. Hasya berdiri di depannya dengan gelisah, sesekali melirik Kara yang terlihat begitu serius. Setelah beberapa menit, Kara akhirnya menandatangani dokumen tersebut.“Kamu bisa langsung t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 14: Perempuan di Masa Lalu Hasya

    Pagi itu, Kara menatap kosong jendela besar ruangannya. Hatinya gelisah, pikirannya terhanyut oleh kebiasaan Hasya yang mulai ia sadari akhir-akhir ini. Setiap minggu, tanpa absen, Hasya selalu pergi ke rumah sakit setelah pulang kerja, dengan alasan menjenguk kakaknya yang dirawat. Namun, anehnya, ia tak pernah sekalipun mengajak Kara.Kara menyesap kopi yang mulai dingin, mencoba menenangkan pikirannya yang dirundung kecurigaan. "Kenapa dia menyembunyikan ini dariku?" gumamnya pelan. Penasaran yang menggerogoti membuat Kara akhirnya memutuskan untuk menyusul Hasya ke rumah sakit sore itu.Kara diam-diam mengendarai mobilnya, menjaga jarak agar Hasya tidak menyadari keberadaannya. Setelah tiba di rumah sakit, ia melihat Hasya berjalan masuk dengan langkah tergesa. Kara menunggu beberapa saat sebelum mengikuti, matanya terus mengawasi Hasya yang akhirnya berhenti di sebuah ruangan.Dari celah pintu, Kara melihat Hasya berbicara dengan seorang perempuan muda berseragam perawat. Wajah p

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 15: Jangan Menjadi Curang

    Langit sore itu memayungi kota dengan warna jingga yang nyaris terbakar, seakan menggemakan gejolak di hati Kara. Duduk di ruang kerjanya, Kara menatap layar laptop yang menyala, tetapi pikirannya melayang jauh ke rumah sakit, tempat Hasya sering menghabiskan waktunya belakangan ini.Hasya mungkin telah menjelaskannya kemarin, namun tetap saja, Kara masih diliputi perasaan yang tidak nyaman. Kenyataan bahwa Dhea—mantan kekasih Hasya—juga ada di sana, seperti menyalakan bara yang selama ini tertahan dalam hatinya.Kara menghembuskan napas panjang, mencoba mengusir kekalutan yang menggantung di udara. Namun, kilatan-kilatan masa lalunya justru menyeruak, membawa rasa sakit yang selama ini ia coba pendam.Masa lalu yang membentuknya menjadi sosok skeptis, sulit percaya pada siapapun.Itu saat ia masih kecil.Sangat kecil.Saat itu Kara percaya bahwa kepercayaan adalah dasar dari setiap hubungan. Namun, kepercayaan itu hancur berkeping-keping pada saat yang paling tidak ia duga. Tente Ga

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 16: Hasya Di Hotel

    Langit malam menghias dirinya dengan bintang-bintang yang bersinar malu-malu. Namun, suasana di dalam hati Kara terasa sebaliknya—gelap, mendung, dan bergejolak. Jari-jarinya mencengkeram ponsel, memandangi foto yang dikirim oleh pengirim anonim. Dalam gambar itu, Hasya sedang memapah seorang perempuan keluar dari lobi hotel. Perempuan itu, tanpa diragukan lagi, adalah Dhea. Kara merasakan gelombang panas mengalir ke seluruh tubuhnya. Rasionalitasnya mencoba bersuara, tetapi dikhianati oleh getar kecil yang terus mengusik pikirannya. Kata-kata yang pernah Hasya ucapkan tentang rasa bersalahnya pada Dhea seakan kembali menggema. “Apa aku bodoh karena mulai percaya?” bisik Kara pada dirinya sendiri. Dia meraih kunci mobilnya. Dingin malam tak mampu membekukan tekad yang sudah membara dalam dirinya. "Aku tidak suka fakta ini, tapi kenapa ... hatiku menjadi tidak nyaman ya? Apa yang salah dengan sebuah foto ini? Hasya tidak berarti apa-apa buatku, pun hubungan kami yang hanya kontrak.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16

Bab terbaru

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 32 : Rahasia Terbongkar

    Suasana di kantor Wihardjo Group pagi itu terasa lebih tegang dari biasanya. Para karyawan berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, membicarakan satu topik yang sama dengan suara berbisik-bisik—skandal pernikahan kontrak antara Karana Wihardjo dan Hasya Gaharu. Berita itu muncul seperti petir di siang bolong, menyebar dengan cepat di berbagai portal berita dan media sosial. Foto-foto Kara dan Hasya terpampang di mana-mana dengan judul besar yang sensasional. "Pernikahan Kontrak CEO Wihardjo Group Terbongkar!" "Siapa Sebenarnya Hasya Gaharu? Suami Bayaran Karana Wihardjo?" Kara menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Sementara di sebelahnya, Hasya memijat pelipisnya dengan frustrasi. "Ini pasti ulah Alice," gumam Hasya akhirnya, setelah membaca beberapa artikel yang semuanya memuat sumber yang sama—seorang ‘narasumber terpercaya’ dari dalam perusahaan. Kara menutup ponselnya dengan kasar. "Alice tidak akan berani bertindak sejauh ini sendirian." Hasya mengangkat al

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 31 : Hasya Galau

    Malam itu udara dingin menelusup ke dalam jaket tipis Hasya. Angin berembus pelan, mengibarkan tirai di jendela rumah Ayu. Tapi bukan udara dingin yang membuat Hasya menggigil.Melainkan tatapan Dhea yang kini berdiri tepat di hadapannya."Aku nggak pernah bisa benci kamu, Hasya."Kalimat itu meluncur dari bibir Dhea dengan nada pelan tapi penuh ketegasan. Mata perempuan itu menatap lurus ke arah Hasya, membuat laki-laki itu merasa seperti ditelanjangi oleh kebenaran yang selama ini ia coba hindari."Aku pikir aku bisa," lanjut Dhea, tersenyum kecil. "Setelah kamu pergi tanpa sepatah kata pun. Setelah tiba-tiba kamu menikah sama Kara. Aku pikir, aku bisa membencimu. Tapi ternyata enggak."Hasya menelan ludah. Ia tidak tahu harus menjawab apa."Aku cuma mau bilang," Dhea melanjutkan, suaranya lebih lirih kali ini, "Sekarang aku tahu kalau pernikahan itu cuma kerja sama. Dan aku mau kamu tahu kalau aku masih di sini, Hasya. Aku bakal nunggu kamu."Jantung Hasya mencelos.Ia menatap Dhea

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 30 : Rahasia yang Diketahui Dhea

    Kara duduk di kursi rumah sakit dengan mata yang terasa berat. Bau khas antiseptik menyengat hidungnya, bercampur dengan udara dingin yang membuat suasana semakin sunyi. Sejak tadi, tatapannya tidak lepas dari Adrian yang masih terbaring tak sadarkan diri di ICU.Selama ini, ia menganggap Adrian sebagai ancaman—seorang pria yang selalu mencoba masuk ke dalam hidupnya tanpa izin. Tapi sekarang, melihat laki-laki itu terbaring dengan selang dan alat medis yang menopang hidupnya, Kara tidak bisa menyangkal ada perasaan simpati di hatinya.Namun, lebih dari itu, ada banyak pertanyaan yang terus berkecamuk di kepalanya.Kenapa Adrian melakukan ini?Kenapa dia harus menghancurkan proyek Wihardjo Group?Apa yang sebenarnya ia pikirkan?Saat itu, suara langkah kaki mendekat. Kara menoleh dan menemukan Hasya berdiri di dekatnya dengan ekspresi khawatir.“Kamu belum pulang?” tanya Hasya.Kara menggeleng. “Aku mau menunggu sampai Adrian sadar.”Hasya terdiam sesaat. “Aku temani, ya?”Namun, Kara

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 29 : Adrian Sakit

    Kara tidak pernah menyangka bahwa dunianya bisa berantakan dalam sekejap.Setelah panggilan dari dewan direksi malam itu, ia dan Hasya langsung bergegas ke kantor, mengumpulkan semua laporan, dan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Investor utama mereka, yang seharusnya menjadi tulang punggung proyek terbesar Wihardjo Group, tiba-tiba menarik diri tanpa alasan jelas.Selama beberapa hari terakhir, Kara dan Hasya telah bekerja keras mencari jalan keluar. Tidur menjadi barang mewah yang tidak bisa mereka nikmati. Makan pun hanya sekadarnya, sekadar untuk bertahan.Hasya bahkan selalu menemaninya. Laki-laki itu tidak pernah sekalipun mengeluh, meskipun wajahnya sudah terlihat jelas kelelahan.Saat Kara tengah menatap laporan dengan mata berat, Hasya mendekatinya sambil membawa secangkir kopi.“Minum ini dulu,” katanya, menyodorkan cangkir itu ke hadapan Kara.Perempuan itu menghela napas, lalu menerima kopi itu dengan lelah. “Terima kasih.”Hasya tersenyum. “Udah ada kabar

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 28 : Kejutan dari Adrian

    Pagi itu, kantor Wihardjo Group terasa lebih hidup dari biasanya. Para pegawai yang biasanya sibuk dengan rutinitas mereka, kini mencuri pandang ke arah pasangan yang baru saja memasuki gedung.Karana Wihardjo dan Hasya Gaharu.Bukan karena keduanya datang bersama yang membuat para pegawai terkejut, tetapi karena ekspresi Kara yang tampak jauh lebih lembut dari biasanya. CEO mereka yang selalu berwibawa, tegas, dan kadang menakutkan itu kini tampak lebih tenang. Bahkan, ada semburat kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikannya.“Kok rasanya beda, ya?” bisik salah satu karyawan perempuan pada rekan di sebelahnya.“Iya. Biasanya Bu Kara masuk kantor dengan aura yang bikin kita enggak berani napas. Sekarang…”“Kayak lagi jatuh cinta, nggak, sih?”Desas-desus kecil mulai menyebar di antara pegawai, terutama ketika mereka melihat Hasya yang berjalan santai di samping Kara dengan senyum jahilnya.Alice yang duduk di meja kerjanya hanya mengangkat sebelah alis. Ada sesuatu yang tidak beres d

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 27 : Unboxing Time

    Kara membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menembus celah tirai kamar, menerangi ruangan dengan cahaya lembut. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan.Namun, saat ia menyadari di mana dirinya berada, tubuhnya langsung menegang.Ia tidak sedang berada di kamarnya sendiri.Matanya menyapu sekeliling, menyadari bahwa ia masih terbaring di ranjang Hasya. Selimut tebal yang melilit tubuhnya menyisakan pundaknya yang terbuka. Tubuhnya terasa hangat, kulitnya bersentuhan langsung dengan kain sprei.Napas Kara tercekat ketika ia menyadari bahwa pakaiannya telah tanggal.Ingatan semalam kembali menyerangnya. 'Aku menyukai kamu, Hasya," ungkap Kara seraya memeluk Hasya. "Aku tahu, ternyata selama ini aku hanya bingung oleh perasaanku sendiri. Tapi sekarang, aku yakin sekali, aku menyukai kamu, aku ingin selalu di sisi kamu. Aku sayang sama kamu, Hasya."Tentu saja, Hasya yang lebih dulu menyukai Kara itu tak menyia-nyiakan waktu. Ia meraih tengkuk Kar

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 26 : Kara Jatuh Cinta

    Malam itu, suasana di apartemen terasa sunyi. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan menemani keheningan. Kara duduk di sofa ruang tamu, matanya menatap kosong ke arah cangkir teh di tangannya yang mulai mendingin.Pikirannya dipenuhi bayangan Hasya—laki-laki yang selama beberapa bulan terakhir menjadi bagian hidupnya, meskipun hanya karena sebuah pernikahan kontrak.Namun, entah kapan, semuanya mulai terasa berbeda. Hubungan yang awalnya hanyalah kerja sama profesional kini meninggalkan jejak yang lebih dalam. Hasya bukan sekadar rekan atau suami palsu, tapi seseorang yang telah mengisi sudut hatinya yang paling rapuh.Dan sekarang, saat Hasya bersikap dingin dan menjauh, Kara merasa kosong. Ada sesuatu yang hilang.“Kenapa aku seperti ini?” bisik Kara pada dirinya sendiri.Ia tahu bahwa hubungan mereka semestinya tidak melibatkan perasaan. Tapi, perasaannya telah melampaui batas. Kara menyadari bahwa ia tidak bisa terus membohongi dirinya sendiri.Dengan napas yang berat, ia me

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 25 : Perasaan Apa Ini?

    Kara duduk di kursi ruang kerjanya, menatap layar laptop yang penuh dengan dokumen proyek, tetapi pikirannya tidak berada di sana. Ia menghela napas panjang, mencoba memfokuskan diri, tetapi bayangan Hasya terus muncul dalam benaknya.Sikap Hasya yang ceria, lucu, dan selalu tengil seakan telah lenyap. Sekarang, laki-laki itu bersikap formal dan dingin. Sapaan Hasya yang dulu terasa hangat kini hanya sekadar formalitas. Hal itu membuat Kara risau dan... entah kenapa, juga merasa kehilangan.Ia melirik ponselnya, tergoda untuk mengirim pesan pada Hasya, tetapi kemudian mengurungkannya. Ia takut tidak mendapat balasan.“Fokus, Kara,” gumamnya pada diri sendiri.Namun, itu tidak membantu. Bahkan ketika Adrian masuk ke ruangannya untuk membahas proyek mereka, Kara tidak bisa memusatkan perhatian.“Kara, kamu baik-baik saja?” tanya Adrian, menyadari bahwa Kara terlihat tidak fokus.Kara tersentak dari lamunannya. “Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah.”Adrian mengangguk, meskipun ra

  • Suami Kontrak CEO Cantik   Bab 24 : Segalanya Demi Kara

    Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya bagi Hasya. Ancaman Adrian terus terngiang di benaknya, seperti bayangan gelap yang tidak mau pergi. Ia tahu bahwa Adrian tidak main-main dengan ancamannya. Jika pria itu benar-benar membongkar rahasia pernikahannya dengan Kara, semuanya akan hancur.Bagi Kara, Wihardjo Group bukan sekadar perusahaan keluarga. Itu adalah warisan, kebanggaan, dan hidupnya. Hasya tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi jika orang tua Kara mengetahui bahwa pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Kara akan kehilangan segalanya, dan itu adalah hal terakhir yang Hasya inginkan.Meski hatinya berat, Hasya memutuskan. Ia harus menjaga jarak dari Kara.^^^Kara menyadari ada yang berbeda dari Hasya. Laki-laki itu tidak lagi mendekatinya seperti biasa. Jika sebelumnya Hasya selalu mengajak bicara, mencari alasan untuk berada di dekatnya, atau bahkan menyuapi sarapan, kini semua itu hilang.Setiap kali Kara mencoba memulai percakapan, Hasya hanya menjawab seadan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status