Hasya duduk sendirian di ruang kerjanya. Malam telah larut, tapi pikirannya belum juga tenang. Setelah pertemuan mereka dengan Daniel beberapa hari lalu, nama Adrian terus menghantui benaknya. Sosok yang tak pernah ia kenal secara langsung itu tiba-tiba menjadi bayangan besar yang menekan dadanya.Hasya mencoba melawan rasa penasaran itu, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat. Ia membuka laptop, mengetik nama "Adrian" di kolom pencarian media sosial. Tak butuh waktu lama untuk menemukan profilnya.Layar laptop menampilkan serangkaian foto seorang pria tampan dengan senyum penuh percaya diri. Foto-fotonya mencerminkan kehidupan glamor—pesta, perjalanan ke tempat-tempat mewah, dan potret bersama orang-orang penting. Adrian terlihat sempurna, seperti yang Daniel gambarkan.Hasya menelusuri setiap foto dengan hati-hati. Ia melihat Adrian mengenakan setelan jas yang pas, rambutnya tertata rapi, dan posenya yang selalu tampak berwibawa. Hasya diam-diam berpikir, “Apa ini tipe laki-laki yang se
Pagi itu di ruang rapat utama Wihardjo Corp, suasana begitu tegang. Para eksekutif duduk dengan wajah cemas, sementara suara Kara yang tegas memenuhi ruangan. Ia membahas laporan terbaru yang menunjukkan masalah besar: sebuah proyek besar yang melibatkan banyak investor telah mengalami keterlambatan yang signifikan.“Apa penjelasan kalian? Bagaimana ini bisa terjadi?” Kara bertanya, nadanya dingin namun penuh tekanan.Salah satu manajer proyek memberanikan diri untuk berbicara. “Ada kendala teknis di lapangan, Bu Kara. Juga, beberapa bahan yang dipesan dari luar negeri terlambat dikirim karena masalah logistik.”Kara menghela napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. “Kendala seperti ini seharusnya sudah diantisipasi sejak awal. Kita tidak bisa memberi alasan yang sama kepada para investor.”Para eksekutif saling berpandangan, tak ada yang berani menanggapi lebih lanjut. Kara menutup rapat dengan keputusan untuk memanggil seluruh pemegang saham dan investor utama untuk pertemuan da
Hasya mendekat, meraih dagu kara untuk ia bawa mendekat pada bibirnya. Ia hinggap di sana, mencecap bibir perempuan itu yang rasanya seperti kue red velvet. Dan Hasya senang, karena ketika ia memperdalam ciumannya, membiarkan lidahnya menerobos masuk mulut Kara, perempuan itu ... tidak mendorong tubuhnya sekaligus menamparnya.Kara -awalnya- diam saja, namun setelah Hasya menyentuh tengkuk Kara untuk memperdalam ciuman mereka, perempuan itu terhanyut juga.Ia mulai membalas ciuman demi ciuman itu. Beradu bibir atas dan bawah keduanya dengan hisapan-hisapan yang membuat waras terbang entah kemana. Lalu saat tangan Hasya hendak membuka kancing kemeja yang digunakan Kara, perempuan itu menahannya.Dan dengan mata yang sama gelapnya, kara berbisik setengah menahan gelora."Jangan di sini, sebaiknya kita ... pulang?"Tentu saja, Hasya menurut. Ia mulai kembali sibuk dengan kemudinya mempercepat laju kendaraan dan menahan sesuatu yang terasa mendesak di bawah sana. Hasya yang biasanya selal
Hari itu, Kara merasa gelisah sejak pagi. Ia duduk di ruangannya, mencoba fokus pada layar laptop, tetapi pikirannya terus melayang pada pemandangan yang ia lihat kemarin: Alice dan Hasya, bercakap-cakap akrab di kubikel Hasya. Ia tidak suka perasaan ini, tetapi ia tidak bisa mengabaikannya.“Kenapa aku harus peduli?” Kara bergumam sambil mengetuk-ngetuk meja dengan pena. Namun, suara ketukan pintu membuatnya tersentak.“Kara, kamu ada waktu?” Hasya masuk dengan senyum canggung, memegang beberapa dokumen.Kara memandangnya sekilas. Meski raut wajahnya biasa saja, ada sedikit ketegangan dalam nadanya. “Ada apa?”“Saya butuh tanda tanganmu untuk dokumen ini. Selain itu, saya ingin diskusi sedikit soal laporan,” jawab Hasya sambil meletakkan berkas di meja.Kara mengangguk kecil dan mulai membaca dokumen. Hasya berdiri di depannya dengan gelisah, sesekali melirik Kara yang terlihat begitu serius. Setelah beberapa menit, Kara akhirnya menandatangani dokumen tersebut.“Kamu bisa langsung t
Pagi itu, Kara menatap kosong jendela besar ruangannya. Hatinya gelisah, pikirannya terhanyut oleh kebiasaan Hasya yang mulai ia sadari akhir-akhir ini. Setiap minggu, tanpa absen, Hasya selalu pergi ke rumah sakit setelah pulang kerja, dengan alasan menjenguk kakaknya yang dirawat. Namun, anehnya, ia tak pernah sekalipun mengajak Kara.Kara menyesap kopi yang mulai dingin, mencoba menenangkan pikirannya yang dirundung kecurigaan. "Kenapa dia menyembunyikan ini dariku?" gumamnya pelan. Penasaran yang menggerogoti membuat Kara akhirnya memutuskan untuk menyusul Hasya ke rumah sakit sore itu.Kara diam-diam mengendarai mobilnya, menjaga jarak agar Hasya tidak menyadari keberadaannya. Setelah tiba di rumah sakit, ia melihat Hasya berjalan masuk dengan langkah tergesa. Kara menunggu beberapa saat sebelum mengikuti, matanya terus mengawasi Hasya yang akhirnya berhenti di sebuah ruangan.Dari celah pintu, Kara melihat Hasya berbicara dengan seorang perempuan muda berseragam perawat. Wajah p
Langit sore itu memayungi kota dengan warna jingga yang nyaris terbakar, seakan menggemakan gejolak di hati Kara. Duduk di ruang kerjanya, Kara menatap layar laptop yang menyala, tetapi pikirannya melayang jauh ke rumah sakit, tempat Hasya sering menghabiskan waktunya belakangan ini.Hasya mungkin telah menjelaskannya kemarin, namun tetap saja, Kara masih diliputi perasaan yang tidak nyaman. Kenyataan bahwa Dhea—mantan kekasih Hasya—juga ada di sana, seperti menyalakan bara yang selama ini tertahan dalam hatinya.Kara menghembuskan napas panjang, mencoba mengusir kekalutan yang menggantung di udara. Namun, kilatan-kilatan masa lalunya justru menyeruak, membawa rasa sakit yang selama ini ia coba pendam.Masa lalu yang membentuknya menjadi sosok skeptis, sulit percaya pada siapapun.Itu saat ia masih kecil.Sangat kecil.Saat itu Kara percaya bahwa kepercayaan adalah dasar dari setiap hubungan. Namun, kepercayaan itu hancur berkeping-keping pada saat yang paling tidak ia duga. Tente Ga
Langit malam menghias dirinya dengan bintang-bintang yang bersinar malu-malu. Namun, suasana di dalam hati Kara terasa sebaliknya—gelap, mendung, dan bergejolak. Jari-jarinya mencengkeram ponsel, memandangi foto yang dikirim oleh pengirim anonim. Dalam gambar itu, Hasya sedang memapah seorang perempuan keluar dari lobi hotel. Perempuan itu, tanpa diragukan lagi, adalah Dhea. Kara merasakan gelombang panas mengalir ke seluruh tubuhnya. Rasionalitasnya mencoba bersuara, tetapi dikhianati oleh getar kecil yang terus mengusik pikirannya. Kata-kata yang pernah Hasya ucapkan tentang rasa bersalahnya pada Dhea seakan kembali menggema. “Apa aku bodoh karena mulai percaya?” bisik Kara pada dirinya sendiri. Dia meraih kunci mobilnya. Dingin malam tak mampu membekukan tekad yang sudah membara dalam dirinya. "Aku tidak suka fakta ini, tapi kenapa ... hatiku menjadi tidak nyaman ya? Apa yang salah dengan sebuah foto ini? Hasya tidak berarti apa-apa buatku, pun hubungan kami yang hanya kontrak.
Langit malam di kota berpendar dengan lampu-lampu yang menari, namun suasana hati Kara terasa buram. Hasya berdiri di hadapannya di lobi hotel, menunggu jawaban yang seolah terjebak di tenggorokan Kara. Pertanyaan Hasya tadi terus bergema: "Kenapa kamu terlihat peduli, Kara? Hubungan kita hanya kontrak, kan?" Kara menarik napas panjang, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Wajah Hasya memancarkan harapan yang samar, seolah menunggu jawaban yang bisa mengubah segalanya. Namun, Kara memutuskan untuk mengeluarkan kata-kata yang telah ia susun dengan hati-hati. “Hasya, aku tidak peduli dalam arti seperti yang kamu pikirkan,” kata Kara, nadanya datar dan penuh kendali. “Hubungan kita masih sama seperti dulu, hubungan sebatas kerja sama. Jangan terlalu mengharapkan sesuatu yang tidak ada.” Tegas sekali! Suara Kara menggema di telinga Hasya. Hasya terdiam. Kata-kata Kara seperti hujan badai yang tiba-tiba mengguyur, memadamkan api kecil yang perlahan mulai menyala di dalam dirinya. I
Suasana di kantor Wihardjo Group pagi itu terasa lebih tegang dari biasanya. Para karyawan berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, membicarakan satu topik yang sama dengan suara berbisik-bisik—skandal pernikahan kontrak antara Karana Wihardjo dan Hasya Gaharu. Berita itu muncul seperti petir di siang bolong, menyebar dengan cepat di berbagai portal berita dan media sosial. Foto-foto Kara dan Hasya terpampang di mana-mana dengan judul besar yang sensasional. "Pernikahan Kontrak CEO Wihardjo Group Terbongkar!" "Siapa Sebenarnya Hasya Gaharu? Suami Bayaran Karana Wihardjo?" Kara menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Sementara di sebelahnya, Hasya memijat pelipisnya dengan frustrasi. "Ini pasti ulah Alice," gumam Hasya akhirnya, setelah membaca beberapa artikel yang semuanya memuat sumber yang sama—seorang ‘narasumber terpercaya’ dari dalam perusahaan. Kara menutup ponselnya dengan kasar. "Alice tidak akan berani bertindak sejauh ini sendirian." Hasya mengangkat al
Malam itu udara dingin menelusup ke dalam jaket tipis Hasya. Angin berembus pelan, mengibarkan tirai di jendela rumah Ayu. Tapi bukan udara dingin yang membuat Hasya menggigil.Melainkan tatapan Dhea yang kini berdiri tepat di hadapannya."Aku nggak pernah bisa benci kamu, Hasya."Kalimat itu meluncur dari bibir Dhea dengan nada pelan tapi penuh ketegasan. Mata perempuan itu menatap lurus ke arah Hasya, membuat laki-laki itu merasa seperti ditelanjangi oleh kebenaran yang selama ini ia coba hindari."Aku pikir aku bisa," lanjut Dhea, tersenyum kecil. "Setelah kamu pergi tanpa sepatah kata pun. Setelah tiba-tiba kamu menikah sama Kara. Aku pikir, aku bisa membencimu. Tapi ternyata enggak."Hasya menelan ludah. Ia tidak tahu harus menjawab apa."Aku cuma mau bilang," Dhea melanjutkan, suaranya lebih lirih kali ini, "Sekarang aku tahu kalau pernikahan itu cuma kerja sama. Dan aku mau kamu tahu kalau aku masih di sini, Hasya. Aku bakal nunggu kamu."Jantung Hasya mencelos.Ia menatap Dhea
Kara duduk di kursi rumah sakit dengan mata yang terasa berat. Bau khas antiseptik menyengat hidungnya, bercampur dengan udara dingin yang membuat suasana semakin sunyi. Sejak tadi, tatapannya tidak lepas dari Adrian yang masih terbaring tak sadarkan diri di ICU.Selama ini, ia menganggap Adrian sebagai ancaman—seorang pria yang selalu mencoba masuk ke dalam hidupnya tanpa izin. Tapi sekarang, melihat laki-laki itu terbaring dengan selang dan alat medis yang menopang hidupnya, Kara tidak bisa menyangkal ada perasaan simpati di hatinya.Namun, lebih dari itu, ada banyak pertanyaan yang terus berkecamuk di kepalanya.Kenapa Adrian melakukan ini?Kenapa dia harus menghancurkan proyek Wihardjo Group?Apa yang sebenarnya ia pikirkan?Saat itu, suara langkah kaki mendekat. Kara menoleh dan menemukan Hasya berdiri di dekatnya dengan ekspresi khawatir.“Kamu belum pulang?” tanya Hasya.Kara menggeleng. “Aku mau menunggu sampai Adrian sadar.”Hasya terdiam sesaat. “Aku temani, ya?”Namun, Kara
Kara tidak pernah menyangka bahwa dunianya bisa berantakan dalam sekejap.Setelah panggilan dari dewan direksi malam itu, ia dan Hasya langsung bergegas ke kantor, mengumpulkan semua laporan, dan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Investor utama mereka, yang seharusnya menjadi tulang punggung proyek terbesar Wihardjo Group, tiba-tiba menarik diri tanpa alasan jelas.Selama beberapa hari terakhir, Kara dan Hasya telah bekerja keras mencari jalan keluar. Tidur menjadi barang mewah yang tidak bisa mereka nikmati. Makan pun hanya sekadarnya, sekadar untuk bertahan.Hasya bahkan selalu menemaninya. Laki-laki itu tidak pernah sekalipun mengeluh, meskipun wajahnya sudah terlihat jelas kelelahan.Saat Kara tengah menatap laporan dengan mata berat, Hasya mendekatinya sambil membawa secangkir kopi.“Minum ini dulu,” katanya, menyodorkan cangkir itu ke hadapan Kara.Perempuan itu menghela napas, lalu menerima kopi itu dengan lelah. “Terima kasih.”Hasya tersenyum. “Udah ada kabar
Pagi itu, kantor Wihardjo Group terasa lebih hidup dari biasanya. Para pegawai yang biasanya sibuk dengan rutinitas mereka, kini mencuri pandang ke arah pasangan yang baru saja memasuki gedung.Karana Wihardjo dan Hasya Gaharu.Bukan karena keduanya datang bersama yang membuat para pegawai terkejut, tetapi karena ekspresi Kara yang tampak jauh lebih lembut dari biasanya. CEO mereka yang selalu berwibawa, tegas, dan kadang menakutkan itu kini tampak lebih tenang. Bahkan, ada semburat kebahagiaan yang tidak bisa disembunyikannya.“Kok rasanya beda, ya?” bisik salah satu karyawan perempuan pada rekan di sebelahnya.“Iya. Biasanya Bu Kara masuk kantor dengan aura yang bikin kita enggak berani napas. Sekarang…”“Kayak lagi jatuh cinta, nggak, sih?”Desas-desus kecil mulai menyebar di antara pegawai, terutama ketika mereka melihat Hasya yang berjalan santai di samping Kara dengan senyum jahilnya.Alice yang duduk di meja kerjanya hanya mengangkat sebelah alis. Ada sesuatu yang tidak beres d
Kara membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menembus celah tirai kamar, menerangi ruangan dengan cahaya lembut. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan.Namun, saat ia menyadari di mana dirinya berada, tubuhnya langsung menegang.Ia tidak sedang berada di kamarnya sendiri.Matanya menyapu sekeliling, menyadari bahwa ia masih terbaring di ranjang Hasya. Selimut tebal yang melilit tubuhnya menyisakan pundaknya yang terbuka. Tubuhnya terasa hangat, kulitnya bersentuhan langsung dengan kain sprei.Napas Kara tercekat ketika ia menyadari bahwa pakaiannya telah tanggal.Ingatan semalam kembali menyerangnya. 'Aku menyukai kamu, Hasya," ungkap Kara seraya memeluk Hasya. "Aku tahu, ternyata selama ini aku hanya bingung oleh perasaanku sendiri. Tapi sekarang, aku yakin sekali, aku menyukai kamu, aku ingin selalu di sisi kamu. Aku sayang sama kamu, Hasya."Tentu saja, Hasya yang lebih dulu menyukai Kara itu tak menyia-nyiakan waktu. Ia meraih tengkuk Kar
Malam itu, suasana di apartemen terasa sunyi. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan menemani keheningan. Kara duduk di sofa ruang tamu, matanya menatap kosong ke arah cangkir teh di tangannya yang mulai mendingin.Pikirannya dipenuhi bayangan Hasya—laki-laki yang selama beberapa bulan terakhir menjadi bagian hidupnya, meskipun hanya karena sebuah pernikahan kontrak.Namun, entah kapan, semuanya mulai terasa berbeda. Hubungan yang awalnya hanyalah kerja sama profesional kini meninggalkan jejak yang lebih dalam. Hasya bukan sekadar rekan atau suami palsu, tapi seseorang yang telah mengisi sudut hatinya yang paling rapuh.Dan sekarang, saat Hasya bersikap dingin dan menjauh, Kara merasa kosong. Ada sesuatu yang hilang.“Kenapa aku seperti ini?” bisik Kara pada dirinya sendiri.Ia tahu bahwa hubungan mereka semestinya tidak melibatkan perasaan. Tapi, perasaannya telah melampaui batas. Kara menyadari bahwa ia tidak bisa terus membohongi dirinya sendiri.Dengan napas yang berat, ia me
Kara duduk di kursi ruang kerjanya, menatap layar laptop yang penuh dengan dokumen proyek, tetapi pikirannya tidak berada di sana. Ia menghela napas panjang, mencoba memfokuskan diri, tetapi bayangan Hasya terus muncul dalam benaknya.Sikap Hasya yang ceria, lucu, dan selalu tengil seakan telah lenyap. Sekarang, laki-laki itu bersikap formal dan dingin. Sapaan Hasya yang dulu terasa hangat kini hanya sekadar formalitas. Hal itu membuat Kara risau dan... entah kenapa, juga merasa kehilangan.Ia melirik ponselnya, tergoda untuk mengirim pesan pada Hasya, tetapi kemudian mengurungkannya. Ia takut tidak mendapat balasan.“Fokus, Kara,” gumamnya pada diri sendiri.Namun, itu tidak membantu. Bahkan ketika Adrian masuk ke ruangannya untuk membahas proyek mereka, Kara tidak bisa memusatkan perhatian.“Kara, kamu baik-baik saja?” tanya Adrian, menyadari bahwa Kara terlihat tidak fokus.Kara tersentak dari lamunannya. “Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah.”Adrian mengangguk, meskipun ra
Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya bagi Hasya. Ancaman Adrian terus terngiang di benaknya, seperti bayangan gelap yang tidak mau pergi. Ia tahu bahwa Adrian tidak main-main dengan ancamannya. Jika pria itu benar-benar membongkar rahasia pernikahannya dengan Kara, semuanya akan hancur.Bagi Kara, Wihardjo Group bukan sekadar perusahaan keluarga. Itu adalah warisan, kebanggaan, dan hidupnya. Hasya tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi jika orang tua Kara mengetahui bahwa pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Kara akan kehilangan segalanya, dan itu adalah hal terakhir yang Hasya inginkan.Meski hatinya berat, Hasya memutuskan. Ia harus menjaga jarak dari Kara.^^^Kara menyadari ada yang berbeda dari Hasya. Laki-laki itu tidak lagi mendekatinya seperti biasa. Jika sebelumnya Hasya selalu mengajak bicara, mencari alasan untuk berada di dekatnya, atau bahkan menyuapi sarapan, kini semua itu hilang.Setiap kali Kara mencoba memulai percakapan, Hasya hanya menjawab seadan