Pagi-pagi sekali rumah Arjuna sudah berisik. Suara keran menyala, langkah kaki yang berlari-lari dan suara benda jatuh yang berasal dari dapur. Namira memang sedikit sibuk. Hari ini ia akan melakukan perjalanan ke luar kota untuk melaksanakan tugas pertama bersama beberapa rekannya seperti yang telah disampaikan Regi kemarin. Dan untuk beberapa hari ke depan atau mungkin beberapa Minggu ke depan, Namira tidak akan berada di rumah. Bisa dikatakan, hari ini adalah hari terakhir ia menyiapkan sarapan untuk Juna. Hari terakhir bersama suami tercintanya.Subuh-subuh Namira usai membersihkan tubuhnya. Baju kantor juga sudah terpasang rapi, membalut badan. Barang-barang serta baju-baju yang akan dibawa juga sudah tersusun dengan baik di dalam koper. Tidak ada yang perlu Namira khawatirkan perihal perjalanannya. Yang ia khawatirkan adalah Juna yang hingga saat ini masih belum juga bangun. Semalam pria itu bermain game hingga jam tiga pagi. Makanya pagi ini sulit dibangunkan. Untuk ke sekian
"Tugas kamu tidak sulit. Buat Juna melakukan hal yang mengharuskan dia untuk bertanggung jawab. Entah apa itu, pikirkan saja olehmu." Gamandi menurunkan kakinya yang semula bertengger di atas meja. Tatapannya tertuju pada perempuan paruh baya yang berdiri di hadapannya. "Saya tidak ingin mendengar kabar baik. Bagaimanapun caranya, rumah tangga Juna harus hancur.""Ba--baik, Tuan.""Kalau bisa, Juna harus menjadikan anak berpenyakitan itu istri keduanya," sambung Gamandi.Perempuan itu mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Ucapan itu menyakitkan, tapi dia tidak punya kekuatan untuk membalas ucapan itu selain menganggukkan kepala. "Baik, Tuan.""Oke, kamu boleh pergi."Kenapa dengan Gamandi? Jelas aneh bukan? Pria yang telah menjodohkan Juna dengan Namira malah menginginkan rumah tangga putranya hancur. Ayah yang jahat, mertua yang aneh. Alasan Gamandi menikahkan Juna dengan Namira memang tidak jelas. Bukan karena ingin menolong Basri yang kala itu sedang berada pada titik terendahnya, j
"Kamu liat, Mir. Baru juga ditinggal beberapa jam, udah luka aja suami kamu," omel Juna menatap pantulan dirinya di cermin yang ada di kamar tersebut. Kemejanya yang kotor sudah ia lepas, menyisakan tubuh bagian atas yang kini tak ditutupi apapun.Teh yang mengenai dada Juna tidak terlalu panas, tapi tetap meninggalkan luka seperti luka bakar berwarna merah dan terasa sedikit pedih. Juna menyentuhnya, lalu meringis pelan. Luka tersebut terasa sakit jika ditekan. Kalau sudah begini, obatnya adalah sentuhan tangan Namira. Mengingat perempuan itu, Juna jadi ingin mengabari Namira perihal suaminya yang terluka.Lantas, Juna meraih ponselnya. Menekan beberapa angka yang mana adalah nomor Namira. Panggilan tersambung, tapi tak kunjung diangkat. Ia coba sekali lagi, tapi hasilnya tetap sama. Juna mengakhiri, mencoba berfikir positif. Mungkin Namira masih dalam perjalanan dan sedang tertidur. Jalan lain yang Juna pilih adalah dengan memfoto dirinya yang tak pakai baju, lalu mengirimkannya pad
Setibanya di hotel, Namira langsung beristirahat. Dikarenakan Namira sendiri yang perempuan, dia mendapat akses untuk tidur sendirian di satu kamar. Sedangkan enam rekan lainnya tidur di dua kamar, masing-masing berisi tiga dan dua orang. Awalnya Regi menawarkan dirinya untuk menemani Namira. Namun Namira menolak dengan alasan dia tidak apa-apa sendirian. Ya mana mungkin Namira tidur satu kamar dengan lelaki lain sedangkan dirinya sudah punya suami. Terlebih lagi Regi menaruh rasa pada dirinya, membuat Namira takut untuk terlalu dekat dengan laki-laki itu.Usai beberes dan membersihkan diri, Namira keluar dari kamar. Ada agenda makan siang bersama sebelum meeting dan akan diakhiri dengan kunjungan ke salah satu pabrik yang ada di kota tersebut. Mereka juga berencana mengunjungi rumah wali kota untuk membicarakan lahan kosong di pinggiran hutan. Katanya lagi, mereka tidak akan berlama-lama di kota ini. Hanya satu Minggu. Jelas itu berita baik. Dalam waktu dekat dia akan kembali bertemu
Ada dua pasien yang akan Juna tangani saat ini. Karena hal itu, Juna meminta Zahira untuk menunggu dirinya di dalam kamar yang terdapat di ruangannya. Gadis itu diminta untuk beristirahat di sana hingga Juna selesai menangani kedua pasiennya. Namun sayangnya, anak itu tidak mau menurut. Zahira malah kabur dan berakhir ngacir ke kantin, main di pos satpam, lalu entah kesurupan apa malah main lari-lari bersama seorang anak kecil di taman. Dari tempatnya Juna masih memperhatikan. Melihat bagaimana lepasnya tawa gadis malang yang katanya tak punya umur panjang itu. Tidak sepenuhnya dapat dipercaya, tapi penyakit gadis itu memang sudah sangat berbahaya."Anak nakal," gumam Juna seraya menggelengkan kepalanya. Nanti sakitnya kumat, Juna juga yang repot. Juna tidak masalah direpotkan, tapi kasian Zahira jika sakitnya semakin menjadi. Tiba-tiba benda di saku Juna bergetar. Laki-laki itu tersentak, sedikit kaget. Lalu meraih ponselnya dan melihat siapa yang menelvon di siang bolong ini. Senyu
"Kamu ngapain manjat pohon? Nggak ada kerjaan banget," omel Juna yang tengah mengobati luka di lutut Zahira. Tidak parah, hanya saja lutut, siku dan betis gadis itu tergores.Zahira mencebikkan bibirnya. Lalu meringis kala Juna menempelkan kapas beralkohol di lukanya. "Aduh, pelan-pelan pak dokter. Sakit."Juna menghela nafasnya sembari menggelengkan kepalanya tak habis fikir. Benar kan dugaannya, anak bandel ini memang akan merepotkan Juna. "Kalau main tuh nggak usah pakai acara manjat pohon segala. Biar apa kamu begitu?""Ya tadi kan ada kupu-kupu. Cantik. Pengen ngambil, tapi malah kepleset," ujar Zahira dengan nada sedih. Mukanya juga tampak cemberut.Juna tertawa pelan. Setelah mengobati luka di lutut, siku dan betis gadis itu, Juna bangkit dari posisi berlututnya. Sudut bibirnya tertarik bersamaan dengan tangan yang bergerak mengusap surai legam Zahira. "Lain kali nggak usah ngelakuin hal aneh. Cukup duduk aja, nggak usah banyak tingkah."Zahira memajukan bibir bawahnya, kesal d
Seperti yang telah Juna rencakan, usai menangani pasien terakhir, dia akan segera pulang ke rumah. Dia berencana untuk memasak makanan yang direkomendasikan Namira lalu di dokumentasikan untuk di krim pada perempuan tersebut. Namun tampaknya rencana itu gagal duluan sebab Zahira mengajaknya untuk datang ke acara Kalina. Ya, tadi pagi Zahira juga sempat mengajak. Juna menyanggupi jika ada waktu. Dan ternyata, dia punya banyak waktu luang. Ingin Juna tolak, tapi tak enak.Kini mereka berada di dalam mobil. Sedang melaju menuju rumah Juna. Sebelum ke rumah Kalina, Juna ingin bersih-bersih dan ganti baju. Kenapa harus membawa Zahira? Karena Juna tak mungkin meninggalkan gadis itu di rumah sakit atau mengantarkannya pulang. Akan membuang lebih banyak waktu dan lebih menguras tenaga. Lagipula Zahira tidak masalah jika harus ke rumah Juna lebih dulu.Sekitar dua puluh menit kemudian, mobil Juna berhenti di halaman rumahnya. Tidak ada siapa-siapa. Sepi. Tukang kebunnya tidak datang karena pul
Juna tau apa yang terjadi pada tubuhnya. Juna tau apa penyebab tubuhnya menjadi tidak karuan seperti ini. Minuman yang dia minum mengandung zat tertentu. Zat yang membuat Juna bergerak untuk melakukan hal yang berada diluar kendalinya. Juna mengumpat pelan. Pikirannya langsung tertuju pada Kalina. Sejak awal, perempuan itu sudah terlihat mencurigakan. Seharusnya Juna tak mengiyakan ajakan makan malam yang ditawarkan Kalina. Apa motifnya melakukan hal itu? Mereka tak saling kenal, tak akan Kalina punya dendam terhadap dirinya.Dari luar, terdengar suara Zahira dibarengi gedoran pintu. Terdengar panik dan cemas. Mungkin saja gadis itu akan menangis kalau Juna tak menyahuti."Kamu tunggu di sana saja!" teriak Juna. Mengizinkan Zahira masuk sama saja dengan menghancurkan dirinya sendiri. Kini Juna fokus mengendalikan dirinya, mencari cara bagaimana suhu tubuhnya kembali turun. Namun nyatanya tidak semudah itu. Tubuh Juna benar-benar tidak bisa dikendalikan. Bahkan kesadarannya hampir hil
Sepasang suami istri itu sama-sama gusar dengan masalah yang mereka hadapi. Lima belas menit berlalu, keduanya sama-sama termenung di depan televisi yang menyala. Tadinya ingin nonton film bareng sembari bercerita perihal bagaimana hari ini. Tapi entah kenapa keduanya sama-sama melayang dengan pikiran masing-masing.Namira dengan masalah tugas baru dan rekan setim yang menjengkelkan, lalu Juna dengan janji ingin menikahi Zahira dalam upaya penyelamatan. Masalah mereka sama-sama rumit.Perihal naik jabatan. Mau bagaimanapun, naik jabatan dan memperoleh karir yang bagus adalah cita-cita Namira sejak lama. Peluang yang ada tidak mungkin dia abaikan. Namun lagi-lagi Namira sangsi karena rekannya adalah Regi. Namira tidak tau bagaimana caranya meminta izin pada Juna. Takut pria itu marah dan tidak mengizinkannya.Kemudian perihal menikahi pasien sendiri. Hal itu tidak pernah ada dalam rencana Juna. Dia tidak berniat menikah lagi karena mencintai Namira sulitnya setengah mati. Namun Juna ti
Juna tau apa yang dia janjikan adalah upaya penyelamatan. Tapi Juna juga mesti tau bahwa janji yang dia ucapkan bukan hanya omong kosong yang bisa dengan mudah dilupakan. Mungkin Juna bisa menyepelekan ucapannya kalau yang mendengarnya bukan remaja delapan belas tahun yang mengaku bercita-cita jadi istrinya. Juna bisa tenang kalau yang dia ajak bicara adalah anak SD yang suka lupa siapa pria idamannya.Kini, Juna harus menanggungnya sendirian. Janji yang dia diserukan disaksikan banyak orang, termasuk Amel yang tau kalau Juna sudah punya istri. Dia juga tidak tau harus bagaimana agar Zahira tidak kembali bunuh diri. Bukan tak mungkin Zahira tak akan mengulangi kejadian tadi. Tapi tak mungkin juga Juna menikahi gadis itu. Yang benar saja? Namira bisa terluka.Juna berada dalam masalah besar. Ah, sialan. Kenapa hidupnya bisa serumit ini?"Kondisinya stabil, dok," ucap Amel yang baru saja memeriksa Zahira.Juna tersadar dari lamunannya. Matanya tertuju pada gadis yang terlelap di atas r
"DOKTER JUNA!"Teriakan maut dari Amelia hampir membuat nyawa Juna tercabut dari tubuhnya karena tersedak kacang hijau yang sedang dia makan. Buru-buru meraih segelas air, lalu meneguknya hingga tandas. Kemudian mata Juna menatap Amel yang berlari mendekati mejanya. Raut wajah perempuan itu tampak gusar, seperti baru saja ditagih hutang oleh debkolektor tidak punya hati."Dokter!" Suaranya masih tinggi disertai napas yang memburu."Apasih, Mel?"Amel tidak langsung menjawab. Terlebih dahulu mengatur napasnya yang berantakan. "Itu, pasien dokter... pasien dokter mau bunuh diri!"Kontan mata Juna melebar karena terkejut. "Pasien saya yang mana?""Itu dok, yang kecil," jawab Amel.Hanya ada satu pasien anak kecil yang Juna tangani. Dia lekas beranjak, menatap Amel yang masih belum usai dengan cemasnya. "Dimana dia?""Di rotroof, dok."Juna bergegas meninggalkan kantin dan bubur kacang hijau yang baru dimakan separuh. Sedangkan Amel menyusul di belakang. "Apa sih yang dipikirkan anak itu
Kembali pada rumah sakit bukan hal yang Zahira syukuri. Sebetulnya dia tidak berharap bisa terbaring lagi di sini. Rasanya semua harapan untuk sembuh sudah habis kala Juna memutuskan untuk tidak menemuinya lagi. Hati Zahira benar-benar patah melihat Juna membencinya tanpa Zahira tau apa yang telah dia lakukan. Zahira juga tidak pernah membayangkan Juna mau menerimanya kembali sebagai pasien. Sedikit egois, seharusnya Juna bersikap profesional sebagai dokter. Terlepas dari masalah mereka yang tidak jelas, mereka adalah dokter dan pasien. Juna mungkin membenci Zahira dan tidak ingin melihatnya lagi, tapi abai pada pasien karena masalah pribadi bukan bagian dari profesional. Terbaring tidak berdaya, mengabaikan pengobatan, enggan makan dan tidak mau bertemu siapapun karena Juna adalah bentuk dari perasaan Zahira yang merasa ditolak. Dia tidak menapik bahwa dia suka pada Juna. Mungkin sudah pada level cinta yang mana rela melakukan apapun agar mereka bisa bersama. Zahira suka pada Juna
Kaki Gamandi bergerak gelisah. Dia mendengar kabar bahwa hubungan Juna dan Namira kian membaik. Dan kabar mengenai Regi yang dibenci oleh Namira menjadi masalah baru yang harus segera dia selesaikan. Gamandi tidak akan merasa puas jika dendamnya tak terbalaskan. Semuanya harus hancur. Baik itu Basri ataupun putrinya. Tidak satupun dari mereka boleh berbahagia.Dia akan menekankan sekali lagi, tujuannya membantu Basri dan menjodohkan anak mereka adalah untuk membalaskan dendam pada Basri. Gamandi tidak datang dengan raut wajah benar-benar senang. Semua yang dia tunjukkan hanyalah sebuah topeng. Tidak ada yang tau dengan rencana dan rasa bencinya. Gamandi bergerak sendiri."Silahkan temui saya nanti sore di caffe seberang. Ada yang ingin saya bicarakan," ucap Gamandi pada seseorang yang berada pada sambungan telvon.Tidak ada cara lain selain melibatkan orang lain. Gamandi tidak ingin rencana yang telah dia susun sejak lama hancur begitu saja.***Zahira benar-benar datang menemui Juna
Regi tidak mampir. Setelah menurunkan Namira dan Sky, dia langsung pulang. Rencananya rusak karena kehadiran Sky. Seharusnya dia bisa berduaan dengan Namira dan memperbaiki hubungan mereka. Namun makhluk sialan itu muncul dan merusak semuanya.Kini, di teras rumah itu ada Namira dan Sky. Dia mengekori Saras, seperti seorang anak yang mengekori ibunya. "Lo ngapain di sini, Sky?" tanya Namira sebelum mendorong pintu rumahnya agar terbuka."Main," jawabnya enteng sembari menggali harta karun dari lubang hidungnya.Namira menghela panjang. "Mending lo balik. Gue mau istirahat.""Kasih gue minum. Haus." Dia mengusap tenggorokannya.Namira mendengus, jengkel. "Habis itu pulang.""Okay.""Jangan ikut ke dalam. Duduk di sini aja," ucap Namira kala Sky mengikutinya ke dalam rumah.Dengan wajah cemberut, Sky kembali mundur, lalu duduk di kursi teras. Tapi tidak apa. Meski diperlakukan kurang baik, Sky telah bertemu Namira. Setidaknya dia berhasil menjauhkan Namira dan Regi.Sky duduk diam semb
Hari ini Namira pulang sedikit terlambat. Yang biasanya pukul enam sudah berada di rumah, kini baru beranjak dari kantor sekitar pukul tujuh malam. Namira pulang sendirian. Juna masih belum pulang dari rumah sakit karena mendadak menolong temannya di IGD. Alhasil, Namira harus pulang sendirian naik bus umum. Usai merapikan berkas-berkas di mejanya, Namira pergi ke toilet untuk merapikan rambut dan pakaiannya. "Hai."Namira terperanjat kaget kala Regi tiba-tiba muncul di balik pintu. Regi tersenyum melihat wajah terkejut Namira. "Sorry kalau gue ngagetin."Namira menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan. "Nggak papa.""Hm, mau pulang bareng?" tanya Regi.Semenjak kejadian di tepi pantai kala itu, Namira berusaha menjauh dari Regi. Dia selalu merasa bersalah jika kejadian itu kembali membayangi. Dekat dengan Regi membuat Namira merasa menjadi istri yang paling buruk. Dia tidak ingin menyakiti hati Juna."Gue bisa pulang sendiri," jawab Namira dengan nada sedikit ketus.Raut w
Gamandi membenarkan dasinya yang terasa mencekik kala wanita di hadapannya menatap dirinya dengan tajam. Ibu dari pasien Juna yang ternyata adalah teman lama sekaligus manusia yang tak ingin dia temui itu datang untuk meminta tolong sekalian memarahinya karena tidak bisa merawat Juna dengan baik sehingga laki-laki itu dengan mudah menyakiti hati orang lain.Dia tidak berminat meladeni Raisa—ibu Zahira—jikalau saja dia tidak mengancamnya dan berkata akan menyebarkan rahasia Gamandi pada publik. Ancaman yang sangat klise tapi mampu membuat Gamandi ketar-ketir. Dia bisa hancur jika Raisa menyebarkan rahasia itu pada muka umum. Lantas demi dirinya sendiri dan perusahaan yang Gamandi naungi, dia berada di sini. Mendengarkan dengan malas ocehan Raisa perihal masa lalu Gamandi, dirinya dan ibu Namira. Gamandi berkali-kali menghela napas pertanda bosan mendengar Raisa bercerita. Namun naasnya manusia itu tidak peka dan terus berceloteh. Awalnya membahas Juna tapi malah berakhir membalas kisa
Kondisi Zahira semakin menurun sejak Juna tidak lagi ingin menjadi dokter gadis itu. Zahira tidak ingin kontrol ke rumah sakit, tidak ingin minum obat dan sering mengabaikan waktu makan. Dia tampak seperti seorang perempuan yang ditinggal oleh kekasihnya. Benar-benar berantakan.Mama telah menghubungi Juna. Mengatakan apa yang terjadi pada Zahira saat ini dan bertanya kenapa Juna berhenti menjadi dokter gadis itu. Juna tidak memberikan jawaban, tapi malah memberitahukan bahwa dokter yang saat ini menangani Zahira jauh lebih hebat dari dirinya.Mama tentu tidak merasa puas dengan jawaban tidak jelas seperti itu. Dalam waktu dekat, mama ingin bertemu langsung dengan Juna. Dia harus membujuk pria itu untuk kembali merawat Zahira. Demi kebaikan Zahira dan juga demi kesembuhan gadis itu.Sebetulnya mama bisa membawa Zahira berobat di rumah sakit lain dengan dokter ahli yang jelas lebih hebat dari Juna. Namun anak itu tidak ingin berobat dengan dokter manapun kecuali Juna. Hal ini jelas men