Kaki Gamandi bergerak gelisah. Dia mendengar kabar bahwa hubungan Juna dan Namira kian membaik. Dan kabar mengenai Regi yang dibenci oleh Namira menjadi masalah baru yang harus segera dia selesaikan. Gamandi tidak akan merasa puas jika dendamnya tak terbalaskan. Semuanya harus hancur. Baik itu Basri ataupun putrinya. Tidak satupun dari mereka boleh berbahagia.Dia akan menekankan sekali lagi, tujuannya membantu Basri dan menjodohkan anak mereka adalah untuk membalaskan dendam pada Basri. Gamandi tidak datang dengan raut wajah benar-benar senang. Semua yang dia tunjukkan hanyalah sebuah topeng. Tidak ada yang tau dengan rencana dan rasa bencinya. Gamandi bergerak sendiri."Silahkan temui saya nanti sore di caffe seberang. Ada yang ingin saya bicarakan," ucap Gamandi pada seseorang yang berada pada sambungan telvon.Tidak ada cara lain selain melibatkan orang lain. Gamandi tidak ingin rencana yang telah dia susun sejak lama hancur begitu saja.***Zahira benar-benar datang menemui Juna
Kembali pada rumah sakit bukan hal yang Zahira syukuri. Sebetulnya dia tidak berharap bisa terbaring lagi di sini. Rasanya semua harapan untuk sembuh sudah habis kala Juna memutuskan untuk tidak menemuinya lagi. Hati Zahira benar-benar patah melihat Juna membencinya tanpa Zahira tau apa yang telah dia lakukan. Zahira juga tidak pernah membayangkan Juna mau menerimanya kembali sebagai pasien. Sedikit egois, seharusnya Juna bersikap profesional sebagai dokter. Terlepas dari masalah mereka yang tidak jelas, mereka adalah dokter dan pasien. Juna mungkin membenci Zahira dan tidak ingin melihatnya lagi, tapi abai pada pasien karena masalah pribadi bukan bagian dari profesional. Terbaring tidak berdaya, mengabaikan pengobatan, enggan makan dan tidak mau bertemu siapapun karena Juna adalah bentuk dari perasaan Zahira yang merasa ditolak. Dia tidak menapik bahwa dia suka pada Juna. Mungkin sudah pada level cinta yang mana rela melakukan apapun agar mereka bisa bersama. Zahira suka pada Juna
"DOKTER JUNA!"Teriakan maut dari Amelia hampir membuat nyawa Juna tercabut dari tubuhnya karena tersedak kacang hijau yang sedang dia makan. Buru-buru meraih segelas air, lalu meneguknya hingga tandas. Kemudian mata Juna menatap Amel yang berlari mendekati mejanya. Raut wajah perempuan itu tampak gusar, seperti baru saja ditagih hutang oleh debkolektor tidak punya hati."Dokter!" Suaranya masih tinggi disertai napas yang memburu."Apasih, Mel?"Amel tidak langsung menjawab. Terlebih dahulu mengatur napasnya yang berantakan. "Itu, pasien dokter... pasien dokter mau bunuh diri!"Kontan mata Juna melebar karena terkejut. "Pasien saya yang mana?""Itu dok, yang kecil," jawab Amel.Hanya ada satu pasien anak kecil yang Juna tangani. Dia lekas beranjak, menatap Amel yang masih belum usai dengan cemasnya. "Dimana dia?""Di rotroof, dok."Juna bergegas meninggalkan kantin dan bubur kacang hijau yang baru dimakan separuh. Sedangkan Amel menyusul di belakang. "Apa sih yang dipikirkan anak itu
Juna tau apa yang dia janjikan adalah upaya penyelamatan. Tapi Juna juga mesti tau bahwa janji yang dia ucapkan bukan hanya omong kosong yang bisa dengan mudah dilupakan. Mungkin Juna bisa menyepelekan ucapannya kalau yang mendengarnya bukan remaja delapan belas tahun yang mengaku bercita-cita jadi istrinya. Juna bisa tenang kalau yang dia ajak bicara adalah anak SD yang suka lupa siapa pria idamannya.Kini, Juna harus menanggungnya sendirian. Janji yang dia diserukan disaksikan banyak orang, termasuk Amel yang tau kalau Juna sudah punya istri. Dia juga tidak tau harus bagaimana agar Zahira tidak kembali bunuh diri. Bukan tak mungkin Zahira tak akan mengulangi kejadian tadi. Tapi tak mungkin juga Juna menikahi gadis itu. Yang benar saja? Namira bisa terluka.Juna berada dalam masalah besar. Ah, sialan. Kenapa hidupnya bisa serumit ini?"Kondisinya stabil, dok," ucap Amel yang baru saja memeriksa Zahira.Juna tersadar dari lamunannya. Matanya tertuju pada gadis yang terlelap di atas r
Sepasang suami istri itu sama-sama gusar dengan masalah yang mereka hadapi. Lima belas menit berlalu, keduanya sama-sama termenung di depan televisi yang menyala. Tadinya ingin nonton film bareng sembari bercerita perihal bagaimana hari ini. Tapi entah kenapa keduanya sama-sama melayang dengan pikiran masing-masing.Namira dengan masalah tugas baru dan rekan setim yang menjengkelkan, lalu Juna dengan janji ingin menikahi Zahira dalam upaya penyelamatan. Masalah mereka sama-sama rumit.Perihal naik jabatan. Mau bagaimanapun, naik jabatan dan memperoleh karir yang bagus adalah cita-cita Namira sejak lama. Peluang yang ada tidak mungkin dia abaikan. Namun lagi-lagi Namira sangsi karena rekannya adalah Regi. Namira tidak tau bagaimana caranya meminta izin pada Juna. Takut pria itu marah dan tidak mengizinkannya.Kemudian perihal menikahi pasien sendiri. Hal itu tidak pernah ada dalam rencana Juna. Dia tidak berniat menikah lagi karena mencintai Namira sulitnya setengah mati. Namun Juna ti
"Papa tidak punya pilihan lagi, Ra. Toko roti lagi sepi, pabrik juga tidak berjalan karena kehabisan modal. Perusahaan juga diambang batas karena semua investor melarikan diri."Namira menunduk, memikirkan lagi perihal perjodohan yang disebut oleh sang papa. Namira bukannya apa, hanya saja menikah atas dasar dijodohkan bukanlah keinginannya. Namira ingin menikah dengan laki-laki pilihannya atas dasar keinginannya dan rasa cinta yang dia miliki. Namun, papa tampak memohon karena pernikahan ini menentukan nasib keluarga mereka di masa yang akan datang. "Mira bisa kerja, Pa. Mira bisa nyari uang buat balikin modal kita. Mira bisa promosiin toko roti kita biar bisa rame lagi--""Kamu tidak akan bisa, Namira. Jangan menyepelekan apa yang terjadi. Masih beruntung ada yang mau membantu papa." Basri menatap putrinya dengan sorot memohon. "Tapi Mira nggak mau nikah, Pa. Mira nggak mau nikah sama orang yang nggak Mira kenal!" Tanpa sadar nada bicara Namira berubah. Basri menatap Namira tajam
Rahang Basri mengeras, menatap Namira yang hanya bisa menunduk. Dia betulan kecewa dengan putrinya. Kepulangan Namira membuatnya syok. Seorang perempuan mengantarkan Namira dalam keadaan pingsan. Bau alkohol tercium dengan jelas, membuat Basri marah karena anaknya nekat menyentuh minuman haram itu. Dia tau Namira tidak terima dengan perjodohan itu, tapi tidak seharusnya anak itu berkunjung ke tempat maksiat untuk menenangkan diri. Perempuan yang mangantar Namira juga mengatakan bahwa perempuan itu hampir ditiduri oleh seorang lelaki yang mengaku sebagai pacar Namira. Basri yakin, laki-laki itu adalah Sky. "Puas kamu, Mir. Puas kamu bikin jantung papamu ini hampir copot? Apa mungkin kamu memang ingin papamu ini mati dan kamu tidak jadi menikah dengan anak rekan papa? Hm?" Basri tidak bisa lagi berkata halus. Rasa kecewanya benar-benar besar. Namira menggelengkan kepalanya. Dia sama sekali tidak punya niatan seperti yang dibicarakan papanya. Namira hanya datang untuk menenangkan diri
Waktu berlalu begitu cepat. Acara lamaran usai beberapa jam yang lalu. Kini, Namira berada di cafe tempat Skarion bekerja. Dia ingin menceritakan adegan terberat yang dia lalui beberapa hari ini pada Sakrion. Namira ingin mencurahkan semua keluh kesahnya pada laki-laki itu. "Jadi, lo ada masalah apa?"Skarion adalah satu-satu teman yang Namira punya. Hanya laki-laki itu yang mau mengerti dengan segala keluh kesah yang Namira utarakan. Namira tidak punya teman perempuan karena menurutnya susah mencari teman perempuan yang betulan ingin menjadi teman. Kebanyakan dari mereka munafik dan bermuka dua. Namira menghela nafas panjang. "Gue pengen mati.""Jangan dong!" Skarion menyela dengan tegas. Datang-datang malah bilang mau mati. "Cerita aja. Lo kenapa sampai semenyedihkan ini?""Gue bakal kasih tau lo dalam bentuk poin." Namira malas menjabarkan keseluruhannya. Lebih baik di bagi-bagi agar lebih mudah di ceritakan. Lagipula, masalah yang Namira dapat tidak hanya satu. "Sok atuh, cerit