Juna membuka matanya. Hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit kamar berwarna putih. Mengedarkan pandangan, Juna melihat dua laki-laki berbincang di dekat pintu kamar yang tertutup. Melihat ke sebelah, Juna tidak menemukan siapapun di sana. Sebelumnya Juna sudah berfikir bahwa disebelahnya ada Zahira. Namun beruntung, di ranjang ini hanya ada dirinya sendiri. Tubuh Juna sudah agak mendingan. Dia sudah tak selemas tadi. Rasa gelisah yang sempat menguasai dirinya juga telah hilang. Tubuh Juna telah kembali normal. Lantas, dia segera bangkit dari posisi tidur. Juna menyadari bahwa tubuhnya tidak ditutupi apapun. Hanya dilindungi selimut yang kini menutupi tubuh bagian bawahnya. Juna menggeram. Gila juga yang orang-orang ini. Bisa-bisa mereka melepas pakaian Juna.Juna melihat ke sekelilingnya. Celana dan kemejanya terletak di lantai, berada tak jauh dari ranjang. Dengan segera Juna meraihnya. Memakai pakaian itu dengan gerakan cepat. Beruntungnya, dua pria itu tak menyadari bahwa
Tiga hari telah berlalu sejak kejadian malam itu. Sudah tiga hari pula Juna tidak datang ke rumah sakit dan bertemu Zahira. Dia memberi kabar pada pihak rumah sakit bahwa dirinya sakit dan akan libur selama seminggu ke depan. Padahal nyatanya, Juna baik-baik saja. Dia hanya tidak ingin bertemu dengan Zahira. Entah mengapa, Juna jadi malas berurusan dengan gadis itu. Kejadian malam itu benar-benar membuat Juna marah. Tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika dia betulan melakukan hal buruk itu. Bahkan saat ini Juna sudah tak punya muka untuk bertemu Namira. Dia benar-benar merasa berdosa. Saat ini Juna mengurung dirinya. Dia tidak menerima pesan dari siapapun karena ponselnya sudah tiga hari dibiarkan mati. Juna ingin menenangkan dirinya terlebih dahulu. Juna ingin melupakan kejadian buruk itu."Kapan pulang, Mir? Gue butuh lo," bisik Juna menatap sarapan buatannya yang tak kunjung disentuh. Juna meletakkan kembali sendok garpu di genggamannya di meja. Kemudian dia beranjak
Hilangnya kabar Juna membuat Namira kehilangan semangat untuk terus melanjutkan pekerjaannya. Ingin pulang saja rasanya agar tau bagaimana keadaan suaminya itu. Hampir setiap malam Namira menangis sembari mencoba menghubungi nomor Juna. Meski tau hasilnya sama, Namira tetap berusaha. Tak biasanya pria itu hilang kabar seperti ini. Apa yang telah terjadi pada Juna? Apakah dia baik-baik saja? Namira telah menghubungi kedua orang tuanya, menanyakan kabar Juna pada mereka. Namun mereka juga tak tau sebab kedua orang tua Namira sedang tak berada di rumah. Ayahnya ada pekerjaan di luar kota dan mama ikut menemani. Alhasil, mereka tidak tau menau bagaimana kondisi rumah.Tapi mama telah meminta salah satu anak buah papa untuk mendatangi rumah Juna. Mengecek kondisi pria itu. Sebab mama tidak bisa menghubungi nomor ponsel Juna. Ayahnya juga telah menghubungi Gamandi dan semoga saja mertuanya itu membawa kabar baik mengenai putranya."Ayo, Mir. Kita jalan sekarang," ucap Regi yang tiba-tiba m
Juna benar-benar berubah sejak kejadian malam itu. Dia tidak ingin berhubungan lagi dengan Zahira dan keluarganya. Memang, kejadian malam itu tidak berakhir buruk. Tapi apa yang telah dilakukan Kalina terhadap dirinya tak bisa Juna maafkan. Jika saja Juna tidak sadar, mungkin dia telah terjebak dalam sebuah hubungan terlarang yang membuat Namira tersakiti. Juna telah menduga bahwa obat tersebut diberikan agar reaksinya Juna lampiaskan pada Zahira. Kalina ingin Juna menyentuh Zahira. Tapi kenapa? Kenapa harus Juna? Hingga saat ini, Juna belum tau apa motif Kalina melakukan hal itu. Atas dasar apa dia ingin mengorbankan keponakannya. Masih menjadi tanda tanya besar bagi Juna.Usai bersih-bersih dan memasak makan malam, Juna meraih ponsel yang telah lama dia abaikan. Juna rindu Namira. Dia ingin menelvon perempuan itu. Pasti di sana Namira sudah menunggu kabar darinya dan mungkin uring-uringan kala suami tercintanya tak bisa dihubungi.Juna tersenyum kala panggilan telah tersambung. Juna
Gamandi adalah seorang pengusaha sukses yang hidup bersama pundi-pundi uang dan diselimuti kekayaan. Tak seharusnya dia pusing memikirkan apa yang akan dia perbuat karena diam saja uangnya tetap mengalir. Meski demikian, ada saja hal yang membuat hidup Gamandi tidak tenang. Lebih tepatnya sejak kejadian dimana dia harus merelakan orang yang dicintainya menikah dengan lelaki lain. Sudah sekian tahun berlalu, tapi yang namanya merelakan tidak semudah itu. Hingga saat ini, Gamandi masih berharap untuk memiliki perempuan itu. Bahkan ketika dia sudah punya anak dari laki-laki lain, Gamandi masih berharap dirinya dan cinta pertamanya bisa bersama. Kini, Gamandi dan perempuan itu berada dalam jarak yang sangat dekat. Bisa sebetulnya Gamandi gapai, tapi tak bisa untuk Gamandi dekap. Mereka punya hubungan karena keturunan mereka saling memadu kasih. Gamandi terkekeh pelan mengingat dirinya sudah setua ini untuk terus-terusan galau. Seharusnya yang Gamandi pikirkan adalah apa yang harus dia b
Gamandi hanya singgah sebentar, tapi perkataan yang keluar dari mulutnya menetap lama di kepala Juna. Hingga pagi ini, Juna belum menemukan maksud dari ucapan yang keluar dari mulut Gamandi. Meninggalkan Namira bila Juna tak mencintainya? Omongan seperti apa itu? Justru Juna akan berusaha mencintainya, bagaimanapun caranya. Pernikahan bukan hanya sekedar pernikahan yang bisa diputus seenaknya. Bagi Juna, pernikahan adalah sakral. Sekali menikah, ya, jaga pernikahan itu hingga maut yang mengakhiri pernikahan mereka. Juna tidak ingin mengulangi janji sakral untuk kesekian kalinya. Cukup satu kali untuk selamanya.Hari ini Juna masih dalam masa cuti. Tidak ke rumah sakit dan sepertinya tidak ada kegiatan yang membuatnya berbaur dengan manusia luar. Namun untuk tetap berada di rumah dari pagi hingga malam juga akan membuatnya bosan. Juna bukan tipikal manusia yang suka berdiam diri. Minimal harus main ke luar rumah untuk beberapa jam atau melakukan kegiatan yang membuat anggota tubuh dan
"Wah, ketemu lagi kita, pak dokter."Perdebatan Juna dan Sky terhenti kala suara seorang gadis menengahi. Juna yang sudah sangat kenal dengan suara itu hanya bisa menghela nafas lelah. Kenapa mendadak hidupnya jadi tidak tenang? Kepalanya seakan ingin pecah mengahadapi manusia yang mendadak datang mengganggu.Sky mengalihkan pandangannya dari wajah Juna menjadi menatap seorang gadis yang berdiri tak jauh dari meja mereka. Dia tidak sendirian. Ada seorang perempuan dewasa dengan dandanan macam tante-tante yang berdiri memegangi nampan berisi roti dan minuman."Gue bukan dokter," ucapnya membalas ucapan Zahira."Bukan Om, tapi pak dokter Juna," jelasnya menunjuk Juna yang masih enggan menatap.Sky menaikkan salah satu alisnya. Kemudian menatap Juna yang ternyata juga menatap dirinya. Seketika senyum miring terbit di bibir Sky. "Pak dokter," ujarnya dengan nada meledek."Permisi, boleh kami gabung di sini?" tanya Kalina karena mereka tak kunjung dipersilahkan duduk."Bol--""Kenapa harus
Hari ini tidak banyak yang Namira kerjakan. Usai mendata luas lahan yang akan digunakan untuk pembangunan pabrik selanjutnya, dia dan timnya segera kembali ke hotel. Kali ini tidak ada agenda mampir sebab mereka sudah terlalu lelah. Sinar matahari cukup terik, membuat mereka cepat lelah ketika berada di bahwa sinar matahari. Bagusnya tidur di lantai kamar. Lagipula ini adalah tugas terakhir mereka. Dan sepertinya Namira akan segera pulang, lebih cepat dari perkiraannya. Sore menjelang dengan cepat. Namira usai beberes dan mandi. Pilihan terakhir adalah menyaksikan sunset dari balkon kamarnya. Ditemani secangkir kopi dan roti isi kelapa pemberian Regi. Langit yang indah mengingatkan Namira pada Juna yang belum dia hubungi sejak panggilan telvon tadi pagi. Jujur saja, Namira bosan berhubungan melalui ponsel. Topik yang dibahas ketika menelvon tidaklah menarik. Lebih garing dan tidak asik. Namira memang bukan manusia yang bisa LDR. Sulit baginya untuk mempertahankan suatu hubungannya ji