Gamandi adalah seorang pengusaha sukses yang hidup bersama pundi-pundi uang dan diselimuti kekayaan. Tak seharusnya dia pusing memikirkan apa yang akan dia perbuat karena diam saja uangnya tetap mengalir. Meski demikian, ada saja hal yang membuat hidup Gamandi tidak tenang. Lebih tepatnya sejak kejadian dimana dia harus merelakan orang yang dicintainya menikah dengan lelaki lain. Sudah sekian tahun berlalu, tapi yang namanya merelakan tidak semudah itu. Hingga saat ini, Gamandi masih berharap untuk memiliki perempuan itu. Bahkan ketika dia sudah punya anak dari laki-laki lain, Gamandi masih berharap dirinya dan cinta pertamanya bisa bersama. Kini, Gamandi dan perempuan itu berada dalam jarak yang sangat dekat. Bisa sebetulnya Gamandi gapai, tapi tak bisa untuk Gamandi dekap. Mereka punya hubungan karena keturunan mereka saling memadu kasih. Gamandi terkekeh pelan mengingat dirinya sudah setua ini untuk terus-terusan galau. Seharusnya yang Gamandi pikirkan adalah apa yang harus dia b
Gamandi hanya singgah sebentar, tapi perkataan yang keluar dari mulutnya menetap lama di kepala Juna. Hingga pagi ini, Juna belum menemukan maksud dari ucapan yang keluar dari mulut Gamandi. Meninggalkan Namira bila Juna tak mencintainya? Omongan seperti apa itu? Justru Juna akan berusaha mencintainya, bagaimanapun caranya. Pernikahan bukan hanya sekedar pernikahan yang bisa diputus seenaknya. Bagi Juna, pernikahan adalah sakral. Sekali menikah, ya, jaga pernikahan itu hingga maut yang mengakhiri pernikahan mereka. Juna tidak ingin mengulangi janji sakral untuk kesekian kalinya. Cukup satu kali untuk selamanya.Hari ini Juna masih dalam masa cuti. Tidak ke rumah sakit dan sepertinya tidak ada kegiatan yang membuatnya berbaur dengan manusia luar. Namun untuk tetap berada di rumah dari pagi hingga malam juga akan membuatnya bosan. Juna bukan tipikal manusia yang suka berdiam diri. Minimal harus main ke luar rumah untuk beberapa jam atau melakukan kegiatan yang membuat anggota tubuh dan
"Wah, ketemu lagi kita, pak dokter."Perdebatan Juna dan Sky terhenti kala suara seorang gadis menengahi. Juna yang sudah sangat kenal dengan suara itu hanya bisa menghela nafas lelah. Kenapa mendadak hidupnya jadi tidak tenang? Kepalanya seakan ingin pecah mengahadapi manusia yang mendadak datang mengganggu.Sky mengalihkan pandangannya dari wajah Juna menjadi menatap seorang gadis yang berdiri tak jauh dari meja mereka. Dia tidak sendirian. Ada seorang perempuan dewasa dengan dandanan macam tante-tante yang berdiri memegangi nampan berisi roti dan minuman."Gue bukan dokter," ucapnya membalas ucapan Zahira."Bukan Om, tapi pak dokter Juna," jelasnya menunjuk Juna yang masih enggan menatap.Sky menaikkan salah satu alisnya. Kemudian menatap Juna yang ternyata juga menatap dirinya. Seketika senyum miring terbit di bibir Sky. "Pak dokter," ujarnya dengan nada meledek."Permisi, boleh kami gabung di sini?" tanya Kalina karena mereka tak kunjung dipersilahkan duduk."Bol--""Kenapa harus
Hari ini tidak banyak yang Namira kerjakan. Usai mendata luas lahan yang akan digunakan untuk pembangunan pabrik selanjutnya, dia dan timnya segera kembali ke hotel. Kali ini tidak ada agenda mampir sebab mereka sudah terlalu lelah. Sinar matahari cukup terik, membuat mereka cepat lelah ketika berada di bahwa sinar matahari. Bagusnya tidur di lantai kamar. Lagipula ini adalah tugas terakhir mereka. Dan sepertinya Namira akan segera pulang, lebih cepat dari perkiraannya. Sore menjelang dengan cepat. Namira usai beberes dan mandi. Pilihan terakhir adalah menyaksikan sunset dari balkon kamarnya. Ditemani secangkir kopi dan roti isi kelapa pemberian Regi. Langit yang indah mengingatkan Namira pada Juna yang belum dia hubungi sejak panggilan telvon tadi pagi. Jujur saja, Namira bosan berhubungan melalui ponsel. Topik yang dibahas ketika menelvon tidaklah menarik. Lebih garing dan tidak asik. Namira memang bukan manusia yang bisa LDR. Sulit baginya untuk mempertahankan suatu hubungannya ji
Juna memutuskan untuk mengakhiri masa cutinya yang belum genap satu Minggu. Sebetulnya tinggal satu hari karena hari ini adalah hari keenam dia meliburkan diri dengan alasan sakit. Juna merasa bosan berada di rumah. Dia rindu aroma rumah sakit, rekan-rekannya dan pasien yang tersenyum manis di pagi hari. Juna benci dengan aktivitas monoton yang dia lakukan. Mandi, makan, gym, maraton anime, melamun dan begitu seterusnya. Sangat membosankan.Maka dari itu, pagi ini, Juna telah berada di ruangannya. Duduk menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi sembari memejamkan mata. Tadinya dia ingin menelvon Namira, tapi tidak jadi karena takut mengganggu. Mana tau dia sedang sarapan bersama timnya atau meeting. Lagipula ini masih terlalu pagi untuk mengganggu. Alhasil Juna hanya mengirimkan sebait kata yang berisi ucapan selamat pagi dan aktivitas apa yang akan dia lakukan. Pesannya belum di balas karena masih ditandai dengan centang satu."Wah, dokter Juna udah sehat. Kok nggak ngasih kabar kala
Regi dan Namira betulan jalan-jalan. Hanya berdua karena yang lain tidak mau ikut dengan beragam alasan. Namira juga tidak masalah. Toh dia dan Regi saja sudah cukup. Namira juga tidak perlu takut karena tempat yang mereka kunjungi tak jauh dari hotel. Tujuan utama mereka adalah ke pantai. Katanya Regi ingin merasai kembali bagaimana sensasi kala telapak kaki bertemu dengan pasir pantai. Sebab katanya dia sudah lama sekali tidak bermain ke pantai. Sebetulnya Namira juga telah lama tidak mengunjungi tempat dengan deburan ombak menenangkan itu. Terakhir kali ketika menemani Sky bermain papan selancar dan setelah sudah tidak lagi. Bukan karena takut teringat dengan kenangannya dan Sky, melainkan karena tak punya teman untuk berkunjung ke pantai."Enak juga ya ke pantai waktu pagi," ucap Namira. Keduanya berjalan menyusuri tepi pantai. "Iya kan. Pada umumnya orang-orang lebih suka main ke pantai pas sore biar sekalian ngeliat sunset," balas Regi.Namira tersenyum menanggapi. "Habis ini
Semenjak kejadian itu, Zahira tak lagi mau ke rumah sakit. Obat yang dulu diberikan Juna juga tak lagi dia konsumsi. Seperti remaja yang baru saja diputuskan kekasihnya, seperti itulah Zahira sekarang. Mengurung diri di kamar, tidak mau minum obat, tidak mau makan dan tidak pernah menghiraukan ucapan Kalina. Untung saja dia punya banyak stok sabar. Hingga suatu ketika, Kalina tidak lagi bisa menghadapi Zahira. Juna sialan itu membuat semuanya semakin rumit. Kekanakan sekali. Zahira sedang sakit dan dia dengan seenaknya menyerahkan Zahira pada dokter lain. Dasar manusia tidak bertanggung jawab. Kalina telah memberitahukan perihal Zahira pada kakaknya dan katanya dia akan mencoba menghubungi Juna, menanyakan dengan baik-baik kenapa dia berhenti menjadi dokter Zahira. Namun sayangnya Kalina tidak sesabar itu menunggu kabar dari kakaknya. Zahira sedang sakit parah. Nyawanya bisa melayang hanya karena permasalahan tidak jelas itu. Dari kemarin, Zahira tidak keluar kamar dan tidak mau maka
Setibanya di rumah, Namira langsung mengistirahatkan tubuhnya di kamar. Dia benar-benar lelah, baik hati maupun pikiran. Kejadian buruk ketika berada di pantai masih menghantui kepalanya. Tanpa sadar Namira memukul-mukul kepalanya, berharap ingatan buruk itu hilang dari kepalanya.Juna yang melihat keanehan istrinya hanya bisa mengerutkan dahi heran. Apa yang terjadi dengan Namira? Selama berada di mobil, perempuan itu banyak diam. Setibanya di rumah, masih murung dan malah memukuli kepalanya. Juna ingin bertanya tapi urung. Dia ingin Namira bercerita dengan sendirinya.Meninggalkan Namira yang masih menyalahkan dirinya, Juna beranjak menuju dapur. Membuatkan teh hangat dan roti bakar untuk Namira. Sehabis dari bandara mereka tidak mampir ke manapun. Mereka langsung pulang. Alhasil, mereka harus sarapan di rumah. Kebetulan tadi pagi Juna hanya minum segelas kopi susu.Hari ini Juna memutuskan untuk tidak ke rumah sakit. Lagi-lagi mengambil cuti. Dia ingin menemani Namira dan mendengar
Sepasang suami istri itu sama-sama gusar dengan masalah yang mereka hadapi. Lima belas menit berlalu, keduanya sama-sama termenung di depan televisi yang menyala. Tadinya ingin nonton film bareng sembari bercerita perihal bagaimana hari ini. Tapi entah kenapa keduanya sama-sama melayang dengan pikiran masing-masing.Namira dengan masalah tugas baru dan rekan setim yang menjengkelkan, lalu Juna dengan janji ingin menikahi Zahira dalam upaya penyelamatan. Masalah mereka sama-sama rumit.Perihal naik jabatan. Mau bagaimanapun, naik jabatan dan memperoleh karir yang bagus adalah cita-cita Namira sejak lama. Peluang yang ada tidak mungkin dia abaikan. Namun lagi-lagi Namira sangsi karena rekannya adalah Regi. Namira tidak tau bagaimana caranya meminta izin pada Juna. Takut pria itu marah dan tidak mengizinkannya.Kemudian perihal menikahi pasien sendiri. Hal itu tidak pernah ada dalam rencana Juna. Dia tidak berniat menikah lagi karena mencintai Namira sulitnya setengah mati. Namun Juna ti
Juna tau apa yang dia janjikan adalah upaya penyelamatan. Tapi Juna juga mesti tau bahwa janji yang dia ucapkan bukan hanya omong kosong yang bisa dengan mudah dilupakan. Mungkin Juna bisa menyepelekan ucapannya kalau yang mendengarnya bukan remaja delapan belas tahun yang mengaku bercita-cita jadi istrinya. Juna bisa tenang kalau yang dia ajak bicara adalah anak SD yang suka lupa siapa pria idamannya.Kini, Juna harus menanggungnya sendirian. Janji yang dia diserukan disaksikan banyak orang, termasuk Amel yang tau kalau Juna sudah punya istri. Dia juga tidak tau harus bagaimana agar Zahira tidak kembali bunuh diri. Bukan tak mungkin Zahira tak akan mengulangi kejadian tadi. Tapi tak mungkin juga Juna menikahi gadis itu. Yang benar saja? Namira bisa terluka.Juna berada dalam masalah besar. Ah, sialan. Kenapa hidupnya bisa serumit ini?"Kondisinya stabil, dok," ucap Amel yang baru saja memeriksa Zahira.Juna tersadar dari lamunannya. Matanya tertuju pada gadis yang terlelap di atas r
"DOKTER JUNA!"Teriakan maut dari Amelia hampir membuat nyawa Juna tercabut dari tubuhnya karena tersedak kacang hijau yang sedang dia makan. Buru-buru meraih segelas air, lalu meneguknya hingga tandas. Kemudian mata Juna menatap Amel yang berlari mendekati mejanya. Raut wajah perempuan itu tampak gusar, seperti baru saja ditagih hutang oleh debkolektor tidak punya hati."Dokter!" Suaranya masih tinggi disertai napas yang memburu."Apasih, Mel?"Amel tidak langsung menjawab. Terlebih dahulu mengatur napasnya yang berantakan. "Itu, pasien dokter... pasien dokter mau bunuh diri!"Kontan mata Juna melebar karena terkejut. "Pasien saya yang mana?""Itu dok, yang kecil," jawab Amel.Hanya ada satu pasien anak kecil yang Juna tangani. Dia lekas beranjak, menatap Amel yang masih belum usai dengan cemasnya. "Dimana dia?""Di rotroof, dok."Juna bergegas meninggalkan kantin dan bubur kacang hijau yang baru dimakan separuh. Sedangkan Amel menyusul di belakang. "Apa sih yang dipikirkan anak itu
Kembali pada rumah sakit bukan hal yang Zahira syukuri. Sebetulnya dia tidak berharap bisa terbaring lagi di sini. Rasanya semua harapan untuk sembuh sudah habis kala Juna memutuskan untuk tidak menemuinya lagi. Hati Zahira benar-benar patah melihat Juna membencinya tanpa Zahira tau apa yang telah dia lakukan. Zahira juga tidak pernah membayangkan Juna mau menerimanya kembali sebagai pasien. Sedikit egois, seharusnya Juna bersikap profesional sebagai dokter. Terlepas dari masalah mereka yang tidak jelas, mereka adalah dokter dan pasien. Juna mungkin membenci Zahira dan tidak ingin melihatnya lagi, tapi abai pada pasien karena masalah pribadi bukan bagian dari profesional. Terbaring tidak berdaya, mengabaikan pengobatan, enggan makan dan tidak mau bertemu siapapun karena Juna adalah bentuk dari perasaan Zahira yang merasa ditolak. Dia tidak menapik bahwa dia suka pada Juna. Mungkin sudah pada level cinta yang mana rela melakukan apapun agar mereka bisa bersama. Zahira suka pada Juna
Kaki Gamandi bergerak gelisah. Dia mendengar kabar bahwa hubungan Juna dan Namira kian membaik. Dan kabar mengenai Regi yang dibenci oleh Namira menjadi masalah baru yang harus segera dia selesaikan. Gamandi tidak akan merasa puas jika dendamnya tak terbalaskan. Semuanya harus hancur. Baik itu Basri ataupun putrinya. Tidak satupun dari mereka boleh berbahagia.Dia akan menekankan sekali lagi, tujuannya membantu Basri dan menjodohkan anak mereka adalah untuk membalaskan dendam pada Basri. Gamandi tidak datang dengan raut wajah benar-benar senang. Semua yang dia tunjukkan hanyalah sebuah topeng. Tidak ada yang tau dengan rencana dan rasa bencinya. Gamandi bergerak sendiri."Silahkan temui saya nanti sore di caffe seberang. Ada yang ingin saya bicarakan," ucap Gamandi pada seseorang yang berada pada sambungan telvon.Tidak ada cara lain selain melibatkan orang lain. Gamandi tidak ingin rencana yang telah dia susun sejak lama hancur begitu saja.***Zahira benar-benar datang menemui Juna
Regi tidak mampir. Setelah menurunkan Namira dan Sky, dia langsung pulang. Rencananya rusak karena kehadiran Sky. Seharusnya dia bisa berduaan dengan Namira dan memperbaiki hubungan mereka. Namun makhluk sialan itu muncul dan merusak semuanya.Kini, di teras rumah itu ada Namira dan Sky. Dia mengekori Saras, seperti seorang anak yang mengekori ibunya. "Lo ngapain di sini, Sky?" tanya Namira sebelum mendorong pintu rumahnya agar terbuka."Main," jawabnya enteng sembari menggali harta karun dari lubang hidungnya.Namira menghela panjang. "Mending lo balik. Gue mau istirahat.""Kasih gue minum. Haus." Dia mengusap tenggorokannya.Namira mendengus, jengkel. "Habis itu pulang.""Okay.""Jangan ikut ke dalam. Duduk di sini aja," ucap Namira kala Sky mengikutinya ke dalam rumah.Dengan wajah cemberut, Sky kembali mundur, lalu duduk di kursi teras. Tapi tidak apa. Meski diperlakukan kurang baik, Sky telah bertemu Namira. Setidaknya dia berhasil menjauhkan Namira dan Regi.Sky duduk diam semb
Hari ini Namira pulang sedikit terlambat. Yang biasanya pukul enam sudah berada di rumah, kini baru beranjak dari kantor sekitar pukul tujuh malam. Namira pulang sendirian. Juna masih belum pulang dari rumah sakit karena mendadak menolong temannya di IGD. Alhasil, Namira harus pulang sendirian naik bus umum. Usai merapikan berkas-berkas di mejanya, Namira pergi ke toilet untuk merapikan rambut dan pakaiannya. "Hai."Namira terperanjat kaget kala Regi tiba-tiba muncul di balik pintu. Regi tersenyum melihat wajah terkejut Namira. "Sorry kalau gue ngagetin."Namira menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan. "Nggak papa.""Hm, mau pulang bareng?" tanya Regi.Semenjak kejadian di tepi pantai kala itu, Namira berusaha menjauh dari Regi. Dia selalu merasa bersalah jika kejadian itu kembali membayangi. Dekat dengan Regi membuat Namira merasa menjadi istri yang paling buruk. Dia tidak ingin menyakiti hati Juna."Gue bisa pulang sendiri," jawab Namira dengan nada sedikit ketus.Raut w
Gamandi membenarkan dasinya yang terasa mencekik kala wanita di hadapannya menatap dirinya dengan tajam. Ibu dari pasien Juna yang ternyata adalah teman lama sekaligus manusia yang tak ingin dia temui itu datang untuk meminta tolong sekalian memarahinya karena tidak bisa merawat Juna dengan baik sehingga laki-laki itu dengan mudah menyakiti hati orang lain.Dia tidak berminat meladeni Raisa—ibu Zahira—jikalau saja dia tidak mengancamnya dan berkata akan menyebarkan rahasia Gamandi pada publik. Ancaman yang sangat klise tapi mampu membuat Gamandi ketar-ketir. Dia bisa hancur jika Raisa menyebarkan rahasia itu pada muka umum. Lantas demi dirinya sendiri dan perusahaan yang Gamandi naungi, dia berada di sini. Mendengarkan dengan malas ocehan Raisa perihal masa lalu Gamandi, dirinya dan ibu Namira. Gamandi berkali-kali menghela napas pertanda bosan mendengar Raisa bercerita. Namun naasnya manusia itu tidak peka dan terus berceloteh. Awalnya membahas Juna tapi malah berakhir membalas kisa
Kondisi Zahira semakin menurun sejak Juna tidak lagi ingin menjadi dokter gadis itu. Zahira tidak ingin kontrol ke rumah sakit, tidak ingin minum obat dan sering mengabaikan waktu makan. Dia tampak seperti seorang perempuan yang ditinggal oleh kekasihnya. Benar-benar berantakan.Mama telah menghubungi Juna. Mengatakan apa yang terjadi pada Zahira saat ini dan bertanya kenapa Juna berhenti menjadi dokter gadis itu. Juna tidak memberikan jawaban, tapi malah memberitahukan bahwa dokter yang saat ini menangani Zahira jauh lebih hebat dari dirinya.Mama tentu tidak merasa puas dengan jawaban tidak jelas seperti itu. Dalam waktu dekat, mama ingin bertemu langsung dengan Juna. Dia harus membujuk pria itu untuk kembali merawat Zahira. Demi kebaikan Zahira dan juga demi kesembuhan gadis itu.Sebetulnya mama bisa membawa Zahira berobat di rumah sakit lain dengan dokter ahli yang jelas lebih hebat dari Juna. Namun anak itu tidak ingin berobat dengan dokter manapun kecuali Juna. Hal ini jelas men