“Bagaimana?” suara papa menggema dari balik telepon. Pertanyaan yang sama sekali tidak asing menusuk telingaku.
Aku belum menjawab. Pandanganku tertuju pada sosok yang kini sedang menyruput latte dengan santai di depanku.
“Not bad.” Jawabku kemudian yang tentu saja mendapatkan hadiah lirikan darinya.
Aku memang berkata jujur. Pria di depanku ini memang nyaris sempurna. Hidung mancung, mata tajam, dan alis tebalnya terangkum sempurna dengan wajah tegas yang menggoda serta kulitnya yang putih bersih. Pria ini tinggi, mungkin sekitar seratus delapan puluh centimeter lebih. Aku yakin jika kami berdiri berhadapan, tinggiku yang hanya seratus enampuluh ini pasti akan tenggelam di balik tubuhnya ini.
“Kali ini papa harap kamu akan berkata iya.” Kalimat terakhir dari papa mengaburkan monolog di kepalaku.
Aku hanya menghela nafas, lalu meletakkan ponselku di atas meja setelah menjawab papa hanya dengan deheman kecil. Aku tidak tahu lagi harus menjawab kalimat papa yang seperti de-javu itu. Aku sudah sering mengatakan ‘tidak pa’ atau ‘NO!’ atau ‘bukan seleraku’ namun selalu saja berakhir dengan deretan pria lain yang sudah mengantri di belakang papa untuk dibuatkan jadwal bertemu denganku.
“Jadi, apa yang membawamu kemari?” tanyaku basa-basi, padahal aku tahu kenapa kami berakhir di sini.
Pria itu meletakkan cangkirnya dengan sangat hati-hati di atas meja, lalu menatapku. “Apa kamu belum diberi tahu?” tanyanya lembut. “Sepertinya sudah.”
Sial! Dia malah membalas pertanyaanku.
“Ya….sedikit….” Aku mengedikkan bahu. Jemariku tiba-tiba saja meraih sedotan untuk mengaduk-aduk minuman di depanku. “Hanya saja aku merasa aneh Ketika kamu langsung menerima perjodohan ini. Bahkan di saat usiamu yang empat tahun lebih muda dariku.”
Aku datang ke café ini bukan tanpa bekal apapun. Kemarin sore ketika papa menyampaikan niatnya untuk Kembali menjodohkanku dengan putra salah seorang kenalannya, aku langsung menghubungi Arian, sepupuku untuk mencari tahu tentang Reinard Saputra. Dan semalam aku sudah mendapatkan rincian detail tentang pria di depanku ini. Ia seorang dokter di salah satu rumah sakit milik keluarganya, mendapatkan ijazah SMP dan SMA dengan cepat karena dia mengikuti program akselerasi, dan tentu saja berimbas pada pencapaiannya menjadi seorang dokter spesialis jantung di usia sangat muda. Bahkan di usianya yang baru menginjak duapuluhtujuh tahun, dia sudah menjadi salah satu dosen di fakultas kedokteran di kota ini.
Lantas, apa yang menyebabkannya mau menerima perjodohan ini bahkan dengan wanita yang usianya jauh lebih tua empat tahun darinya? Padahal setauku—karena aku pernah berada di posisinya, sampai aku lupa untuk menikah—di saat kita menemukan pencapaian emas seperti yang dirasakannya sekarang, niat untuk menikah itu lenyap begitu saja.
“Kamu bisa menolak perjodohan ini kalau kamu mau.” Suaranya begitu lembut menguar di telingaku.
Sejujurnya aku sempat terkejut Ketika berhadapan dengannya tadi. Sungguh semuanya di luar ekspektasiku. Aku pikir dia tak sekeren dan setampan ini. Aku pikir, ia hanya pria biasa yang secara kebetulan mendapatkan hoki dalam hidupnya karena keluarganya kaya dan otaknya pintar. Namun ternyata selain hoki, Reinard punya keberuntungan lain yang lebih mengejutkan.
WAJAHNYA!
Wajahnya nyaris sempurna. Mirip sekali dengan wajah arti-artis K-pop yang banyak bertebaran di dinding kamarnya Rosa, adikku.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku.” Desakku. “Kenapa kamu mau menerima perjodohan ini denganku?” aku masih tetap menaruh sederet kecurigaan dengan tampangnya yang polos itu.
“Karena aku menghormati setiap keputusan orangtuaku.” Jawabnya. “Apapun yang terbaik bagi mereka, tentu aja terbaik bagiku. Bukankah kamu juga berpikiran sama denganku Julia Andriana?”
Aku menelan saliva susah payah. Reinard benar, aku sudah terlalu tua untuk menolak perjodohan ini apalagi aku anak pertama di keluargaku. Papa dan mama sangat mengharapakan kehadiran cucu di tengah-tengah mereka, meskipun aku tidak yakin jikapun menikah, aku bersedia untuk hamil lalu melahirkan. Setidaknya membahagiakan mereka dengan pernikahan sudah cukup.
Sebenarnya, aku pernah punya keinginan untuk menikah muda. Ketika aku masih kuliah dan merasa jika materi-materi hukum yang kupelajari membuatku hampir gila. Tentu saja karena aku masuk juruan hukum juga karena permintaan papa. Namun Ketika aku mulai bekerja, dan berhasil mendirikan firma-ku sendiri, keinginan untuk menikah itu lenyap seketika. Aku tidak yakin apa karena aku benar-benar sibuk atau karena memang seperti yang aku katakan tadi bahwa ketika kita mencapai puncak kesuksesan, kita cenderung ragu untuk menjalin sebuah hubungan, apalagi tentang ikatan pernikahan.
“Aku juga tidak ingin mengecewakan orangtuaku lagi.” Aku bergumam. “Tapi…..”
Reinard menatapku dengan tatapan tajamnya yang terkesan dingin.“Apa kamu tidak merasa terlalu terburu-buru jika aku jawab sekarang?” aku menatapnya penuh harap. Mungkin dengan jawabannya bisa merubah keraguanku tentang perjodohan ini. Meskipun Reinard adalah seseorang yang nyaris sempurna dalam segala hal, namun aku perlu tahu lebih dalam tentang dia, terkhususnya tentang kenapa ia menerima tawaran orangtua kami untuk menikah padahal aku rasa ia belum ada di usia wajib untuk menikah.
“Sudah aku jelaskan bukan, aku ingin membahagiakan orangtuaku.”
“Hanya itu?” sahutku sedikit kecewa. “Jika karena perjodohan orangtua, aku rasa kamu bisa menolaknya kalau kamu tidak mau. Kita memang ingin membahagiakan orangtua, tapi tidak berarti menuruti semua keinginan mereka Ketika kita tidak bersedia bukan?”
“Siapa bilang aku tidak bersedia dengan perjodohan ini?” ia mecondongkan tubuhnya ke arahku dan melipat kedua tangannya di atas meja. “Alasan lain aku menerima perjodohan ini karena aku tertarik denganmu.”
Aku diam. Namun tidak bisa menutupi pipiku yang terasa panas. Bagaimanapun juga aku merasa tersanjung dengan kalimatnya. Akh, Julia…..meskipun sudah tua rupanya kamu masih bisa termakan rayuan gombal semacam itu.
Anehnya, sejak pertemuan pertama tadi, aku tidak merasa canggung sedikitpun dengan dia. Malah lebih merasa nyaman. Aku tidak tahu apakah aku memang sudah tertarik dengannya atau karena usianya jauh dibawahku sehingga aku merasa nyaman saja berbicara dengannya.
“Kamu yakin mau menikahi seorang wanita berusia tigapuluh satu tahun?” aku kembali meyakinkan dia.
Reinard mengangguk. Ia kini berganti posisi dengan bersandar di kursi.
“Bagiku usia bukanlah patokan.”
Aku mengamini kalimatnya dalam hati. Usia memang bukan patokan untuk menilai kedewasaan seseorang. Buktinya, di usiaku sekarang saja aku masih sering minta mama menyuapiku ketika makan.
“Oke….” Aku mengangguk pada akhirnya. Kutegakkan tubuhku dan menatapnya dengan intens. “Jadi kamu menerima perjodohan ini tanpa paksaan?”
Dia berfikir sesaat kemudian mengangguk.
Aku mengulurkan tangan ke arahnya. “Baiklah, aku akan berusaha menerima perjodohan ini dan mulai sekarang, mari belajar menjadi pasangan.”
Reinard menerima uluran tanganku tanpa mengucapkan kalimat apapun.
Bagaimanapun juga, meskipun aku tidak setuju dengan perjodohan ini, aku tetap harus menerimanya. Usiaku memang sudah lebih dari cukup untuk memulai pernikahan, bahkan bisa dibilang ‘telat’. Lagipula aku tidak ingin membuat papa dan mama kembali kecewa dengan penolakanku pada pria-pria yang pernah mereka kenalkan padaku.
Aku tidak perlu mengawali pernikahan dengan cinta. Toh, kata salah satu klienku di firma hukum, sebesar apapun cinta ketika pacaran, lama-lama juga akan terkikis Ketika sudah menikah. Banyak penyebab, makanya tak heran dalam sebulan, aku banyak sekali mendapatkan pasangan yang berebutan harta goni-gini karena perceraian. Padahal mereka bilang, mereka menikah karena cinta. Jadi, tidak ada patokan bukan pernikahan itu harus dilandasi dengan cinta lebih dulu?
Maka dari itu, sekarang aku sedang mencoba untuk memulai sesuatu yang besar di hidupku. Hubungan yang hanya berlandaskan paksaan. Kami akan mencoba, dan jikapun gagal, mungkin kami juga akan berakhir di pengadilan agama.
Menurutku itu wajar di jaman sekarang.
“Jadi lo menerima perjodohan itu Jul?!” Reza hampir saja terlonjak dari kursinya ketika mendengar apa yang baru saja aku katakan.Aku melotot, memberinya sinyal agar ia bersikap wajar karena beberapa karyawan dan klien menoleh ke arah kami. Dalam beberapa hal, memang pria kemayu ini terlalu berlebihan dalam menyikapi sesuatu.Siang ini aku, Reza dan juga Eli sedang berkumpul di lantai bawah kantorku. Aku memang sengaja mengundang mereka untuk datang karena Reinard juga akan datang untuk menjemputku makan siang. Aku berniat memperkenalkan ‘calon suamiku’ pada mereka.“Gimana enggak kaget coba El?” Reza memutar kepalanya ke arah Eli yang sejak tadi hanya menyimak dengan tenang. “Iya enggak?”Eli menyandarkan tubuhnya di badan sofa, lantas mengangguk. “Iya sih, tapi gue enggak seheboh lo kok mak!” nada suaranya sedikit mencemooh.Reza mendengkus kesal. Untung mengurai kesalnya, ia mengambil s
Setelah memperkenalkan Reinard pada seluruh karyawanku, kami memutuskan untuk makan siang sebelum Reinard Kembali ke rumah sakit. Aku pikir acara perkenalan ‘calon-suami’ ini akan berlangsung kurang dari sepuluh menit, namun realitanya adalah banyak sekali yang mengajak Reinard bercakap bahkan sampai hal sepele sekalipun, contohnya ‘klinik kecantikan rumah sakit buka jama berapa?’Aku tahu mereka sedang mencari perhatian. Tapi please, itu norak! Ketika kalian bisa menemukan banyak sekali hal-hal tentang rumah sakit milik keluarga Saputra mulai dari facebook sampai Instagram. Bahkan kalian bisa menemukan situs webnya dan disana jelas tertulis pukul berapa sang dokter kecantikan itu praktek.“Jul….mau makan apa?” suara Reinard langsung membuatku menoleh. Sejak tadi kami tidak berbicara satu sama lain karena aku masih cukup kesal dengan perlakukan karyawan-karyawanku pada Reinard tadi. Sudah jelas pria yang dari tadi mereka curi
“Tumben cantik.” Suara Rosa membuat langkahku terhenti tepat di depan pintu.Aku menoleh, sedang mendapati Rosa tengah menyisir kucing angora kesayangannya di teras sedangkan tak jauh darinya, di kursi teras papa tengah asyik dengan koran dan tentu saja dengan kolor santainya setiap pagi. Kalau kalian ingin tahu apa yang dilakukan sang pengusaha sukses Anwar Hartono di pagi hari? Ya beginilah! Duduk menyilangkan kaki di kursi teras memakai kolor legendarisnya ditemani secangkir teh hangat dan beberapa potong kue tradisinonal.“Emang dari dulu kakak kan udah cantik.” Cibirku.Rosa mencebik. Seakan tak percaya dengan apa yang aku katakan. Tentu saja dia tak akan percaya, karena pagi ini adalah pagi terniatku bangun sebelum subuh, mandi keramas, memilih baju sampai hampir satu jam lamanya dan tentu saja bersolek di depan cermin sangat lama. Hanya untuk mendapatkan predikat cumlaude di hasil make-upku.“Mau ketemu Reinard ya?&rdq
Semakin mendekati hari-H, aku dan Reinard makin disibukkan oleh berbagai macam kegiatan menjelang pernikahan. Setelah beberapa hari yang lalu kami sempat menghadiri acara makan malam keluarga, dan secara resmi diperkenalkanku dengan keluarga besar Saputra. Bahkan kakak perempuan Reinard yang berada di Perancis pun hadir dalam acara ini. Namanya Marina, seorang chef dan memiliki seorang anak perempuan blasteran Indo-Perancis bernama Lili.Keluarga Saputra menyambut kedatanganku dengan baik, meskipun aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan segala kebaikan yang Teguh Saputra—papa Reinard—berikan kepadaku. Entah kenapa, aku masih merasa canggung berada di depannya. Mungkin karena kami memang baru saja bertemu beberapa kali.Namun aku benar-benar merasa tersanjung dengan kebaikan Marina, dia memintaku untuk menjaga Reinard dengan baik karena pria itu satu-satunya adik sekaligus saudara yang ia miliki. Terlebih lagi ketika mama dan papa mereka m
Aku menarik nafas panjang—berulang kali—untuk mengurangi degup jantungku yang kian tak terkendali. Tak pernah kusangka jika hari pernikahanku akan tiba secepat ini. Ralat. Maksudku yah….aku bingung menjelaskannya. Dulu Ketika aku belum menemukan seseorang yang mau menikahiku, rasanya waktu berjalan begitu lama—meskipun aku tak begitu peduli tentang pernikahan—namun ketika hari ini aku dihadapkan pada kenyataan itu, menikah dengan pria asing yang tiba-tiba datang dalam hidupku dan bersedia menikahiku, rasanya begitu cepat.“Jul….rileks.” Eli menepuk pundakku dari belakang. Aku menatap wanita itu dari balik cermin lalu tersenyum. Oww….sungguh senyumku dibalik make up ini sangat tidak natural.Aku meremas pelan tangan Eli yang masih berada di pundakku sambil mengangguk.“Jul, ijab qabul segera dimulai!” Mama dari arah pintu masuk kamar berseru.Aku Kembali menarik nafas Panjang. Kulihat Eli
Aku menatap sarapanku tanpa ada keinginan untuk memakannya sedikitpun. Meskipun terlihat enak, sepiring nasi goreng dari hotel berbintang ini sungguh tak membuatku tertarik. Sebenarnya, aku ingin tinggal di kamar saja sampai waktu check-out berakhir, namun aku butuh udara segar atau setidaknya pemandangan segar untuk membuat mata sepet-ku yang semalaman tidak bisa terpejam ini bisa terasa nyaman.Mataku terasa panas dan berat karena semalaman memang sulit terpejam. Aku bahkan baru bisa tidur ketika suara adzan subuh menggema dari masjid yang letaknya tak jauh dari hotel. Biasanya memang pengantin baru akan kurang tidur di jam-jam awal pernikahan mereka, karena mereka menunaikan ibadah mereka setelah sah menjadi pasangan suami istri. Namun lain dengan ceritaku, aku tidak bisa tidur karena cemas memikirkan suamiku yang tiba-tiba pergi tanpa menjelaskan alasannya secara detail.Seperti yang dikatakannya di depan pintu semalam, Reinard benar-benar tidak pulang. Menyisakan
Aku menyeret koperku masuk ke dalam apartement setelah pintunya terbuka. Bau harum dari pewangi ruangan bercampur dengan bau sofa dan karpet baru menusuk hidungku. Sebelum benar-benar masuk, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Apartement yang akan aku tempati mulai hari ini begitu bersih, hasil dari kerja kerasku bersama Reinard beberapa hari sebelum hari pernikahan kami. Kami sepakat tidak akan menunda-nunda membersihkan apartement dan membuatnya rapi sebelum kami tempati. Rupanya ada persamaan diantara kami, yaitu suka kebersihan dan juga tidak suka menunda-nunda pekerjaan.Setelah meletakkan koperku di kamar, aku beranjak menuju dapur lalu membuka kulkas. Bukan air putih yang kuambil, melainkan sebungkus ice cream kacang hijau yang juga sudah aku masukkan di sana. Biasanya aku memang akan ngemut ice cream itu Ketika sibuk dengan pekerjaaan atau cemas akan suatu hal. Makanya untuk makanan itu, aku benar-benar harus menyimpannya di rumah.Aku begitu terlarut de
“What?!” Reza langsung berbalik arah ketika mendengar apa yang baru saja aku sampaikan. “Jadi tidak ada malam pertama sampai detik ini?” matanya hampir saja meloncat keluar.Aku menghela nafas, masih dengan bertopang dagu. Aku tahu reaksi Reza memang akan selebay itu, namun entah kenapa aku masih juga membicarakan hal ini dengannya.“Tapi gue lihat dia respect kok Jul sama lo.” Eli yang duduk bersebrangan denganku terlihat santai. Ia memang terlihat sedikit terkejut ketika aku mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa selama dua malam ini, namun itu tak berlangsung lama karena ia berhasil membuat dirinya bersikap seperti biasa.“Ya….mungkin.” sahutku tidak yakin. “Setelah malam pernikahan itu, dia bekerja. Pasiennya drop, dan yang semalam….aku yakin jika dia memang sudah sangat capek.” Hebat sekali aku dalam menghibur diriku sendiri.Eli manggut-manggut. Sepertinya sedang mencerna alas
“Oke…..selamat berbelanja.” Kata Brian sebelum mengakhiri teleponnya.Siang ini aku pergi berbelanja ke supermarket untuk membeli kebutuhan harianku yang sudah menipis. Aku juga butuh beberapa coklat agar pikiranku rileks. Semenjak pertemuanku dengan Reinard dua hari yang lalu, aku jadi sulit tidur dan pikiranku bergejolak tidak tenang.Aku membeli beberapa ikat sayuran, makanan olahan, daging beku, ikan beku dan kebutuhan yang lain seperti peralatan mandi.Nge-mall untuk sekedar membeli sayuran atau sabun adalah hal paling menggembirakan bagiku. Setidaknya aku berhasil membuat perasaanku menjadi lebih tenang dan bahagia. Apalagi jika aku sudah disuguhkan dengan toko sepatu, tas ataupun toko pakaian. Yakin, aku bisa lupa diri.Setelah lebih dari satu jam asyik mengitari satu etalase ke etalase yang lain, akhirnya aku menyerah. Menuju kasir untuk membayar lalu pulang. Aku ingin bersantai sambil selonjoran kaki di rumah, menonton TV dan meminum soda.Saat siap mengambil plastic belanjaa
Seandainya bisa, aku ingin memutar waktu kembali ke satu jam yang lalu. Dimana aku mengenyahkan perasaanku dan menggunakan logikaku untuk berfikir. Karena yang terjadi sekarang, aku menyesal dengan tindakan gegabahku dan bertemu dengan Reinard.Aku bisa melihat jika sorot mata pria yang duduk di hadapanku sekarang ini begitu bahagia. Mungkin karena aku datang setelah ia menunggu berjam-jam.“Kenapa baru datang sekarang Jul?” tanyanya dengan nada lembut.“Awalnya aku tidak ingin datang.” Sahutku ketus.“Tapi nyatanya kamu datang kan?” ia tertawa kecil.Aku membuang wajahku keluar jendela. Hujan masih terlihat rintik-rintik dan beberapa orang masih menggunakan payung agar terhindar dari basah, dan beberapa yang tidak membawa payung tengah berteduh di emperan toko yang sudah tutup.“Aku memang sengaja datang di jam segini. Aku pikir kamu sudah tidak ada.” Jawabku pada akhirnya, menahan malu.“Aku kan sudah bilang, kalau aku bakalan nungguin kamu disini Julia.”“Kalau aku tidak datang?” a
“Halo ma……” Brian mencium pipi mamanya, lalu menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana.“Kenapa baru datang? Mama dan Julia sudah menunggu kamu sejak tadi.” Sahut Lydia ketika putranya tersebut sudah duduk.“Tadi sore setelah kelas terakhir, Brian ada keperluan dengan rector.” Brian menoleh kepadaku. “Kamu sudah pesan makan?” tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan mengedik kearah meja. Ada beberapa makanan yang tersaji di sana, dan semua itu Lydia-lah yang memesan. Perutku masih cukup kenyak meskipun baru terisi makanan ketika sarapan tadi. Tapi pertemuanku dengan Reinard tadi berhasil membuatku tidak berselera makan.“Kami berdua sudah pesan, tinggal kamu Brian.” Lydia yang menyahut.Brian memanggil salah satu waiters lalu memesan beberapa makanan. Selama menunggu makanan tiba, kami berbincang.“Bagaimana kesehatan mama?” Tanya Brian sambil menuang air putih ke dalam gelas.“Kata dokter mama sudah membaik kok.” Sahut Lydia. “Iya kan Julia?”Aku mengangguk. “Iya bibi.” Meskipun sebe
Sejam lalu, Brian menelponku agar aku bisa menyisihkan waktu untuk menemani mama-nya check up ke rumah sakit. Awalnya aku bingung, apakah yang terjadi antara aku dan dia beberapa malam yang lalu itu membuat hubungan kami berubah? Apakah sebuah ciuman memang bisa merubah status seseorang dari lajang menjadi berpacaran?Aku sulit memahami itu. Namun dari yang tersirat, sepertinya Brian memang sudah menganggap aku sebagai kekasihnya. Mungkin tindakan yang aku lakukan malam itu memang sepenuhnya tidak benar, aku terlalu terpukul sehingga logikaku memang tidak jalan. Saat itu aku butuh sebuah sandaran, sebuah kekuatan. Dan nyatanya kekuatan itu hadir dari ciuman Brian yang berhasil membuat dadaku terasa nyaman.“Maaf bibi, sudah menunggu lama.” aku berjalan tergesa untuk menemui Lydia yang sudah menungguku di depan rumah sakit. Wanita itu sendirian, aku tak menemukan Yohana di sampingnya.“Tidak. Bibi juga baru datang kok.” Sahut Lydia tersenyum manis ke arahku.“Bibi Yohana kemana?” tanya
Aku hanya tersenyum ketika melihat Claire yang sudah asyik berbincang dengan seorang pria yang baru dikenalnya. Pria itu bernama Jo dan seorang keponakan dari teman sekelas kami. Pria itu masih single dan terlihat jika Jo maupun Claire saling tertarik satu sama lain. Maka dari itu, sebagai teman yang baik aku memberi mereka ruang untuk saling berbincang, lagipula sebentar lagi Marina juga akan datang menemuiku.“Kamu seharusnya di dalam, di luar begitu dingin.” Brian datang menyusulku.Aku menoleh padanya. Aku pikir setelah apa yang dilakukannya semalam dengan tiba-tiba menungguku di depan pintu apartement, lalu memelukku akan membuatnya canggung ketika bertemu denganku. Namun kenyataannya, pria itu malah semakin memperlihatkan perasaannya kepadaku. Ia begitu hangat, bahkan sore tadi ia datang menjemputku. Mengabaikan bisik-bisik dari orang-orang di kampus yang menerka-nerka tentang hubungan kami.“Aku sedang menunggu Marina.” Sahutku.“Perempuan kemarin?” Ia mengerutkan dahinya. Memp
Marina langsung memelukku ketika kami saling berhadapan. Pelukannya sangat erat, seakan ini wujud pelampiasan rindunya yang ia tahan untukku selama ini. Karena memang semenjak perceraian itu, aku sama sekali tidak bertemu dengannya. Bahkan saat bercerai, aku hanya mengabarinya lewat telepon dan itu benar-benar membuat Marina menangis terisak-isak.“Julia, aku tak menyangka bahwa akan bertemu denganmu lagi.” Perempuan itu melepaskan pelukannya, lalu mengusap ujung matanya yang basah. Marina tak banyak berubah. Wajah perempuan itu masih saja terlihat cantik. Hanya saja rambutnya kini berubah warna menjadi coklat terang.“Aku juga tidak menyangka jika kamu akan menelponku Marina. Bagaimana kabarmu? Dan dimana si kecil Lily?” tanyaku bertubi-tubi. Mataku beralih pandang ke sekeliling. Tapi aku tak menemukan Lily di sekitar sini. Padahal aku sudah berharap akan menemukan gadis cantik itu disana. Lily sudah berusia kurang lebih lima tahun sekarang. Dan pasti ia akan bertambah cantik dan men
Lydia, seorang wanita berusaha setengah abad lebih, namun terlihat masih begitu muda dan cantik meskipun kali ini ia terlihat pucat dan terbaring lemah di rumah sakit.Melihat kedatanganku dan Brian, perempuan itu berusaha untuk duduk dengan dibantu seorang wanita yang usianya tak jauh berbeda. Di luar tadi Brian sempat cerita bahwa perempuan itu adalah seorang bibi yang Lydia bawa dari Indonesia, namanya Yohana.“Siapa ini Brian?” matanya berbinar saat menatapku. Kelihatan ia sangat terkejut namun juga bahagia.Aku hanya mengulum senyum sedangkan Brian tiba-tiba merangkulku, dan reflek giliran aku yang sekarang terkejut.“Brian kan sudah bilang ma, kalau ini adalah pacar Brian.”Aku melotot tidak percaya. Setidaknya Brian harus mengenalkanku sebagai sahabatnya saja, bukan pacarnya. Lagipula kami juga tidak dalam hubungan seperti itu bukan? Saat Brian menyatakan cintanya saja, aku menolak.“Brian…..”Desisku dengan alis berkerut. Tidak nyaman saja dengan apa yang dia lakukan.Bukannya
Aku tahu jika Brian sedang tidak main-main dengan kata-katanya. Dan aku juga tahu, bahwa pria itu juga sungguh-sungguh dengan niatannya untuk menikah denganku. Namun semua hal tidak akan semudah itu. Andai saja aku tidak mengalami trauma dengan masa laluku, mungkin Brian adalah salah satu pria yang bisa kuperhitungkan. Hanya saja, untuk saat ini luka yang singgah di hatiku dua tahu lalu sama sekali belum mengering dengan sempurna. Ada saja nyeri yang masih menusuk hatiku setiap ingat tentang hal itu.Bukankah ada suatu pepatah yaitu, jika kamu masih teringat trauma masa lalumu dan hatimu sudah tidak sakit lagi, berarti lukamu sudah sembuh? Sedangkan aku, setiap mengingat saat-saat itu, hatiku masih sakit seperti biasanya.Setelah menjawab kalimat Brian dengan. “Brian, aku tidak bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa. Lupakan aku dan carilah wanita lain yang bisa memberimu semua hal yang kamu inginkan.”, aku segera menghabiskan makanku dan mengajakny untuk pulang.Meskipun berulang ka
Aku menatap arloji kecil yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah lebih dari limabelas menit dan Claire belum juga nampak batang hidungnya sama sekali. Padahal aku tahu dengan jelas bahwa Claire adalah tipe orang yang selalu tepat waktu. Bahkan sering pula ia yang menungguku. Jadi malam ini ia begitu aneh dengan telatdi acara pertemuan yang sudah kami rancang beberapa hari ini.Setelah kembali menunggu lima menit, dan mobil Claire juga belum terlihat masuk ke dalam restoran, aku mulai cemas. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan perempuan itu. Dengan cepat aku membuka handbag yang sejak tadi ku pegang erat, dari sana aku mengeluarkan ponselku dan dengan cepat mencari nama Claire di kontak teleponku.Setelah bunyi ‘tuuut’ ketiga perempuan itu mengangkat teleponnya.“Claire kau dimana? Aku sudah menunggu hampir setengah jam di depan restoran dengan penampilan yang……” aku berdecak dan menelisik penampilanku. Sangat formal sekali aku pikir. Karena Claire yang memintaku berpakaian demi