Aku menatap sarapanku tanpa ada keinginan untuk memakannya sedikitpun. Meskipun terlihat enak, sepiring nasi goreng dari hotel berbintang ini sungguh tak membuatku tertarik. Sebenarnya, aku ingin tinggal di kamar saja sampai waktu check-out berakhir, namun aku butuh udara segar atau setidaknya pemandangan segar untuk membuat mata sepet-ku yang semalaman tidak bisa terpejam ini bisa terasa nyaman.
Mataku terasa panas dan berat karena semalaman memang sulit terpejam. Aku bahkan baru bisa tidur ketika suara adzan subuh menggema dari masjid yang letaknya tak jauh dari hotel. Biasanya memang pengantin baru akan kurang tidur di jam-jam awal pernikahan mereka, karena mereka menunaikan ibadah mereka setelah sah menjadi pasangan suami istri. Namun lain dengan ceritaku, aku tidak bisa tidur karena cemas memikirkan suamiku yang tiba-tiba pergi tanpa menjelaskan alasannya secara detail.
Seperti yang dikatakannya di depan pintu semalam, Reinard benar-benar tidak pulang. Menyisakan rasa kesal, sedih dan tentu saja cemas di dalam hatiku. Seharusnya kami sudah berbahagia semalam, atau jikapun kami belum bisa melakukannya, kami bisa berpelukan semalaman atau tidur seranjang berdua. Agar aku tidak kesepian dan kedinginan.
Sampai detik ini juga, Reinard tak bisa aku hubungi. Lebih tepatnya, aku sedang menunggu telepon atau pesan darinya yang menanyakan kabarku. Tapi nihil. Ponselku teronggok dingin di atas nakas, seperti ponsel rusak. Bahkan yang biasanya bunyi untuk sms-sms spam orang iseng minta pulsa atau menawarkan KPR rumah pun tidak ada sama sekali. Aku heran, apa jangan-jangan ponselku memang rusak? Akh, tapi tidak. Tadi pagi aku bisa menelpon Arian, menanyakan bagaimana keadaan mobilku yang kemarin dibawanya.
“Pengantin baru yang terlihat berantakan sepagi ini.” sebuah suara membuatku mendongak seketika. Sedetik kemudian, aku berdecak malas. Aku heran kenapa malah bertemu orang ini di sini.
“Ngapain lo di sini? Buntutin gue?” mood-ku bertambah buruk Ketika sosok pria bertubuh atletis ini berdiri di depanku. Ia terlihat segar bahkan sepagi ini dengan stelan celana santainya. Salah satu tangannya memegang sebuah tas Adidas berwarna hitam. Namanya Daniel, mantan pacarku semasa SMA. Kami memang masih menjalin komunikasi sampai sekarang, tapi bukan disebut komunikasi yang baik—dari versiku. Karena aku sebal setiap mengingat dia menyakitiku Ketika SMA.
“Nggak usah ke-PEDE-an deh Jul.” bukannya pergi, ia justru meletakkan tasnya di kursi yang kosong sedangkan ia sendiri duduk tepat bersebrangan denganku. “Aku habis nge-gym. Aku member aktif di sini.”
Aku tak menyahut. Pandanganku Kembali pada piring nasi goreng di depanku. Sebenarnya nasi goreng ini terlihat enak, namun setiap kali aku ingin mencoba memakannya, pikiranku kembali pada Reinard dan nafsu makanku langsung amblas.
“Lo kok nikah enggak bilang-bilang gue sih?” tanpa persetujuanku, Daniel mengambil segelas es jeruk yang ada dihadapanku. Aku hendak melayangkan protes, namun keduluan sedotan yang sudah masuk ke dalam mulutnya.
“Ih, itu udah gue minum kali!” Sungutku kesal. Padahal aku sudah meminumnya sedikit. “Lo minum sisa gue tau!” terpikir dalam benakku untuk memesan segelas es jeruk lagi pada waiters nanti.
Daniel justru terkekah. “Kenapa? Ciuman tidak langsung?” ia meletakkan gelas es jeruk itu kembali ke atas meja. “Enggak apa-apa. Kan kita dulu udah sering.” Senyumnya melebar.
Aku memutar bola mata malas, Daniel mengingatkanku tentang masa lalu kami yang penuh dengan cinta. Andai saja ini bukan di tempat umum, mungkin piring beserta nasi goreng ini sudah melayang mengenai kepalanya. Aku paling benci setiap kali Daniel membahas tentang masa lalu kami di sekolah. Pria itu selalu saja mengaitkan semua hal tentang hubungan kami dulu sebagai pacar di sekolah. Mungkin kenangan membahagiakan Daniel adalah memacariku, sedangkan kenangan terburukku adalah pernah menjadi pacarnya.
“Lo tau enggak Jul, kalau gue patah hati waktu denger lo nikah.” Ia membenarkan letak duduknya dengan nyaman. Aku semakin yakin jika pria ini tidak ingin segera pergi dan malah ingin mengajakku ngobrol ngalor-ngidul. Padahal pagi ini aku sedang dalam mode menarik diri dan tidak ingin didekati oleh siapapun ,apalagi Daniel.
“Bodo. Emang gue pikirin.” Sahutku cuek. Kembali pura-pura sibuk dengan sendok nai gorengku.
“Gue beneran Jul. kenapa waktu itu lo nolak lamaran gue?” ia menatapku serius. “Gue beneran tiap kali ngelamar lo.”
Aku menoleh pada Daniel dengan kening berkerut. Aku ingat jika pria itu teru-menerus mengajakku menikah setiap bertemu. Lah, ternyata dia serius dengan kata-katanya.
“Ya karena gue enggak mau sama lo lah.” Jawabku enteng. Aku tidak ingin mengambil pusing dengan apa yang baru saja Daniel katakan. Toh bagaimanapun pria itu hanya masa lalu dan aku sama sekali tidak memiliki sekelumit perasaan lagi padanya.
“Atas dasar apa?” pria itu melipat tangannya di atas meja.
“Kita enggak sedekat itu untuk menikah!” sahutku kemudian. “Sudahlah….gue malas membahas masalah pernikahan sama lo Daniel!”
Daniel terkekah.
“Lantas sedekat apa lo sama suami lo sampai mau menikah sama dia?” ia menaikkan salah satu alisnya.
Mulutku bungkam seketika. Daniel benar, aku sama sekali tak dekat dengan Reinard. Bahkan aku hanya tahu namanya, pekerjaannya dan orangtuanya. Bahkan aku tidak tahu tentang hal mendetail tentang dia. Apa yang dia suka, apa hobinya bahkan bagaimana hidupnya selama ini sebelum ada aku. Aku hanya tahu Reinard secara umum.
“Hey…..Jul.” suara Daniel mengaburkan lamunanku. Ia mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Mikirin apa?”
Aku berdeham.
“Gue kenal sama dia Dan. Lo enggak usah sok tahu.” Sahutku ketus.
“Lo yakin?” Daniel menatapku dengan intens. “Lo enggak pengen minta bantuan gue buat cari tahu siapa suami lo?”
Aku beranjak dari tempat dudukku. “Gue enggak perlu bantuan lo buat cari tahu siapa suami gue. Karena gue kenal dia. Dan gue yakin, gue enggak salah pilih.” Kataku bersamaan dengan derit kursi yang kugeser.
Aku tidak mau terus berada di dekat manusia toxic macam Daniel. Mama pernah bilang bahwa dalam sebuah hubungan pernikahan, kita tidak perlu mendengarkan kta-kata orang. Cukup kitalah yang berjalan sendiri dengan kepercayaan diri kita, menerima pasangan apa adanya dan tentu aja mendukung setiap apapun yang dikerjakannya.
Sesampainya di kamar, aku segera mengemasi barangku. Aku rasa, malam pengantin sudah lewat dan aku ingin segera kembali ke apartement. Selamat tinggal kamar hotel yang super nyaman, yang seharusnya menjadi saksi bisu apa yang kami lakukan semalam. Semua sudah selesai, dan bayangan malam pengantin yang indah itu sudah lenyap begitu saja dari benakku.
Sebelum beranjak meninggalkan kamar hotel, aku lebih dulu mengetik pesan untuk Reinard dan berharap suamiku membacanya.
‘Aku pulang ke apartement.’
Namun lagi-lagi tak ada balasan apapun darinya.
Aku menyeret koperku masuk ke dalam apartement setelah pintunya terbuka. Bau harum dari pewangi ruangan bercampur dengan bau sofa dan karpet baru menusuk hidungku. Sebelum benar-benar masuk, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Apartement yang akan aku tempati mulai hari ini begitu bersih, hasil dari kerja kerasku bersama Reinard beberapa hari sebelum hari pernikahan kami. Kami sepakat tidak akan menunda-nunda membersihkan apartement dan membuatnya rapi sebelum kami tempati. Rupanya ada persamaan diantara kami, yaitu suka kebersihan dan juga tidak suka menunda-nunda pekerjaan.Setelah meletakkan koperku di kamar, aku beranjak menuju dapur lalu membuka kulkas. Bukan air putih yang kuambil, melainkan sebungkus ice cream kacang hijau yang juga sudah aku masukkan di sana. Biasanya aku memang akan ngemut ice cream itu Ketika sibuk dengan pekerjaaan atau cemas akan suatu hal. Makanya untuk makanan itu, aku benar-benar harus menyimpannya di rumah.Aku begitu terlarut de
“What?!” Reza langsung berbalik arah ketika mendengar apa yang baru saja aku sampaikan. “Jadi tidak ada malam pertama sampai detik ini?” matanya hampir saja meloncat keluar.Aku menghela nafas, masih dengan bertopang dagu. Aku tahu reaksi Reza memang akan selebay itu, namun entah kenapa aku masih juga membicarakan hal ini dengannya.“Tapi gue lihat dia respect kok Jul sama lo.” Eli yang duduk bersebrangan denganku terlihat santai. Ia memang terlihat sedikit terkejut ketika aku mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa selama dua malam ini, namun itu tak berlangsung lama karena ia berhasil membuat dirinya bersikap seperti biasa.“Ya….mungkin.” sahutku tidak yakin. “Setelah malam pernikahan itu, dia bekerja. Pasiennya drop, dan yang semalam….aku yakin jika dia memang sudah sangat capek.” Hebat sekali aku dalam menghibur diriku sendiri.Eli manggut-manggut. Sepertinya sedang mencerna alas
Setelah ‘kejujuran’ yang dikatakan Reinard malam itu, aku berusaha untuk membatasi ruang temu diantara kami. Kami tinggal serumah, tidur dalam kasur yang sama namun aku berusaha untuk menjaga jarak dengannya sebaik mungkin. Ketika Reinard berada di depan TV, aku menyibukkan diriku di meja kerja dan baru akan masuk kamar ketika dia sudah terlelap. Begitu pagi tiba, kami akan bertemu sebentar di meja makan sebelum kembali ke rutinitas pekerjaan kami.Aku tidak tahu, apakah yang kulakukan pada Reinard adalah sesuatu yang salah atau benar. Aku sudah memberikan sepenuhnya hidupku untuknya bahkan juga hatiku dan berfikir bahwa dia tetap akan menginginkanku meskipun pernikahan kami adalah hasil dari sebuah perjodohan orangtua. Aku hanya berfikir, untuk apa mendekati seseorang yang tak menginginkanku? Aku istrinya, dia berhak atas diriku bahkan tubuhku dan tentu aja aku juga berhak atas dirinya. Namun, mendengar bahwa ia belum siap melakukan hal itu membuatku berfikir jik
Daniel tiba-tiba saja sudah duduk di depanku ketika aku baru saja membuka laptop, hendak meneruskan pekerjaanku. Jarak kantorku dan kantornya yang bisa dijangkau dengan lima menit berjalan kaki memudahkan pria berambut ikal itu datang—pergi sesuka hatinya . Seperti sore ini, ketika aku tengah menunggu Reinard di lobi sambil bermaksud menyelesaikan beberapa pekerjaan, dia malah mengangguku.“Ngapain?!” sapaku sewot. Seharusnya dia menjauh setiap kali aku memperlakukannya tidak manusiawi seperti ini.“Nggak ngapa-ngapain, tadi cuma lewat dan enggak sengaja lihat kamu di sini.” Sahut pria itu santai, tidak peduli dengan ucapan sengakku tadi.“Jadi enggak ada maksud apa-apa kan?” tanyaku lagi tanpa menatap matanya. Jemariku sibuk membuka folder laptop.“Enggak.”“Oke, lo boleh pergi.”“Eeeh…..kok gitu sih Jul?” bukannya pergi Daniel malah bertopang dagu di depan
Hari minggu, adalah hari paling membahagiakan karena aku bisa bersantai di rumah untuk bermalas-malasan atau sekedar olahraga cardio. Aku memang paling malas datang ke tempat gym untuk berolahraga, alhasil jika ada kesempatan aku selalu menggelar matras di rumah untuk melakukan hal tersebut.Aku sedang melipat matras ketika Reinard keluar dari kamar. Wajahnya khas i bangun tidur, namun sama sekali tidak membuat aura tampannya memudar meskipun ia terlihat berantakan. Sudah beberapa minggu tinggal dengan Reinard, aku tahu beberapa kebiasannya. Ia paling tidak suka tidur dengan lampu padam, berkebalikan denganku. Untung saja, dia masih bisa menggunakan lampu tidur. Aku sering juga mendapatinya mengigau tidak jelas, dan tepukan di pundaknya berhasil membuatnya kembali tidur dengan tenang layaknya bayi.“Mau dibuatin sarapan?” aku meletakkan matrasku di pojok. Salah satu tanganku terulur menarik handuk di pundak lantas menyeka keringat di pelipisku. “Kamu
“Tidak! Jangan….!”“Tidaaak…Jangan…!”“Jangan….aku mencintai dia!”“Dia milikku!”Aku terbangun dari tidur lelapku ketika suara teriakan itu menggema semakin nyaring di telingaku.Aku terlonjak duduk, mendapati Reinard berteriak-teriak dengan mata terpejam. Wajah pria itu begitu ketakutan dan tidak tenang.“Rei…Rei….bangun….!” aku menggoyang-goyangkan tubuhnya namun ia masih tak bergeming.Merasa usahaku tidak berhasil, kupindahkan guling yang menjadi pembatas tempat tidur kami. Aku sedikit maju, menggoyang-goyangkan tubuh Reinard lebih keras lagi.“Rei…..bangun!!!”Seperti terkejut, pria itu langsung membuka matanya. Menatapku dengan nanar lalu menarikku ke dalam pelukannya.Aku terdiam sejenak, hendak mendorong tubuhnya agar menjauh namun urung aku lakukan. Nafasnya yang turun naik terd
Sejak pertama bertemu, aku sudah kagum dengan kecantikan Marina. Wanita yan berusia tujuh tahun lebih tua dariku itu terlihat begitu anggun dan menawan meskipun sudah memiliki anak. Apalagi tentang kepiawaiannya dalam mengolah berbagai makanan, ia tidak hanya pintar namun lebih dari itu. Ketika aku hanya berdfikir jika sebutir telur hanya bisa digoreng, ia bahkan bisa menciptakan banyak kreasi dari bahan makanan itu.Wanita itu begitu bahagia ketika melihat kemunculanku dan Reinard di bandara. Ia memelukku dan Reinard bergantian kemudian melempar banyak pertanyaan pada Reinard yang tentu saja berhubungan denganku ‘apakah Julia nyaman di pesawat?’ atau ‘apakah Julia makan dengan baik di pesawat?’ dan banyak pertanyaan lagi yang tak bisa kuingat.“Kami cukup tidur dan Julia cukup nyaman di pesawat.” Sahut Reinard mengambil alih Lily—putri kecil Marina yang baru berusia tiga tahun dari tangan David, suami Marina. Sedetik kemudian,
“Julia….!” Panggil Marina dari arah dapur.Aku dan Reinard yang sedang asyik bermain bersama Lily menoleh bersamaan.“Kalian enggak keluar?” Tanya Marina ketika sudah sampai di depan kami.”Cuaca cukup bagus untuk kalian menghabiskan waktu di luar.”Aku menoleh ke arah jendela. Cuaca memang cukup bagus. Langit tampak biru dan berkilau. Sebenarnya aku juga ingin keluar berjalan-jalan menikmati suasana sungai Seine atau ke Ponts De Arts, memasang gembok cinta bersama Reinard di sana—itupun jika suamiku mau.“Em…..mungkin….” aku tak menemukan jawaban yang pas untuk pertanyaan Marina. Karena sejak tadi pagi, tak ada keluar dari bibir Reinard untuk mengajakku keluar mencari angin. Pria itu sejak pagi sibuk dengan Lily dan menerima beberapa telepon seperti biasanya.“Sebentar lagi. Aku berniat mengajak Julia untuk berjalan-jalan di luar.” Katanya tiba-tiba tanpa mengali
“Oke…..selamat berbelanja.” Kata Brian sebelum mengakhiri teleponnya.Siang ini aku pergi berbelanja ke supermarket untuk membeli kebutuhan harianku yang sudah menipis. Aku juga butuh beberapa coklat agar pikiranku rileks. Semenjak pertemuanku dengan Reinard dua hari yang lalu, aku jadi sulit tidur dan pikiranku bergejolak tidak tenang.Aku membeli beberapa ikat sayuran, makanan olahan, daging beku, ikan beku dan kebutuhan yang lain seperti peralatan mandi.Nge-mall untuk sekedar membeli sayuran atau sabun adalah hal paling menggembirakan bagiku. Setidaknya aku berhasil membuat perasaanku menjadi lebih tenang dan bahagia. Apalagi jika aku sudah disuguhkan dengan toko sepatu, tas ataupun toko pakaian. Yakin, aku bisa lupa diri.Setelah lebih dari satu jam asyik mengitari satu etalase ke etalase yang lain, akhirnya aku menyerah. Menuju kasir untuk membayar lalu pulang. Aku ingin bersantai sambil selonjoran kaki di rumah, menonton TV dan meminum soda.Saat siap mengambil plastic belanjaa
Seandainya bisa, aku ingin memutar waktu kembali ke satu jam yang lalu. Dimana aku mengenyahkan perasaanku dan menggunakan logikaku untuk berfikir. Karena yang terjadi sekarang, aku menyesal dengan tindakan gegabahku dan bertemu dengan Reinard.Aku bisa melihat jika sorot mata pria yang duduk di hadapanku sekarang ini begitu bahagia. Mungkin karena aku datang setelah ia menunggu berjam-jam.“Kenapa baru datang sekarang Jul?” tanyanya dengan nada lembut.“Awalnya aku tidak ingin datang.” Sahutku ketus.“Tapi nyatanya kamu datang kan?” ia tertawa kecil.Aku membuang wajahku keluar jendela. Hujan masih terlihat rintik-rintik dan beberapa orang masih menggunakan payung agar terhindar dari basah, dan beberapa yang tidak membawa payung tengah berteduh di emperan toko yang sudah tutup.“Aku memang sengaja datang di jam segini. Aku pikir kamu sudah tidak ada.” Jawabku pada akhirnya, menahan malu.“Aku kan sudah bilang, kalau aku bakalan nungguin kamu disini Julia.”“Kalau aku tidak datang?” a
“Halo ma……” Brian mencium pipi mamanya, lalu menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana.“Kenapa baru datang? Mama dan Julia sudah menunggu kamu sejak tadi.” Sahut Lydia ketika putranya tersebut sudah duduk.“Tadi sore setelah kelas terakhir, Brian ada keperluan dengan rector.” Brian menoleh kepadaku. “Kamu sudah pesan makan?” tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan mengedik kearah meja. Ada beberapa makanan yang tersaji di sana, dan semua itu Lydia-lah yang memesan. Perutku masih cukup kenyak meskipun baru terisi makanan ketika sarapan tadi. Tapi pertemuanku dengan Reinard tadi berhasil membuatku tidak berselera makan.“Kami berdua sudah pesan, tinggal kamu Brian.” Lydia yang menyahut.Brian memanggil salah satu waiters lalu memesan beberapa makanan. Selama menunggu makanan tiba, kami berbincang.“Bagaimana kesehatan mama?” Tanya Brian sambil menuang air putih ke dalam gelas.“Kata dokter mama sudah membaik kok.” Sahut Lydia. “Iya kan Julia?”Aku mengangguk. “Iya bibi.” Meskipun sebe
Sejam lalu, Brian menelponku agar aku bisa menyisihkan waktu untuk menemani mama-nya check up ke rumah sakit. Awalnya aku bingung, apakah yang terjadi antara aku dan dia beberapa malam yang lalu itu membuat hubungan kami berubah? Apakah sebuah ciuman memang bisa merubah status seseorang dari lajang menjadi berpacaran?Aku sulit memahami itu. Namun dari yang tersirat, sepertinya Brian memang sudah menganggap aku sebagai kekasihnya. Mungkin tindakan yang aku lakukan malam itu memang sepenuhnya tidak benar, aku terlalu terpukul sehingga logikaku memang tidak jalan. Saat itu aku butuh sebuah sandaran, sebuah kekuatan. Dan nyatanya kekuatan itu hadir dari ciuman Brian yang berhasil membuat dadaku terasa nyaman.“Maaf bibi, sudah menunggu lama.” aku berjalan tergesa untuk menemui Lydia yang sudah menungguku di depan rumah sakit. Wanita itu sendirian, aku tak menemukan Yohana di sampingnya.“Tidak. Bibi juga baru datang kok.” Sahut Lydia tersenyum manis ke arahku.“Bibi Yohana kemana?” tanya
Aku hanya tersenyum ketika melihat Claire yang sudah asyik berbincang dengan seorang pria yang baru dikenalnya. Pria itu bernama Jo dan seorang keponakan dari teman sekelas kami. Pria itu masih single dan terlihat jika Jo maupun Claire saling tertarik satu sama lain. Maka dari itu, sebagai teman yang baik aku memberi mereka ruang untuk saling berbincang, lagipula sebentar lagi Marina juga akan datang menemuiku.“Kamu seharusnya di dalam, di luar begitu dingin.” Brian datang menyusulku.Aku menoleh padanya. Aku pikir setelah apa yang dilakukannya semalam dengan tiba-tiba menungguku di depan pintu apartement, lalu memelukku akan membuatnya canggung ketika bertemu denganku. Namun kenyataannya, pria itu malah semakin memperlihatkan perasaannya kepadaku. Ia begitu hangat, bahkan sore tadi ia datang menjemputku. Mengabaikan bisik-bisik dari orang-orang di kampus yang menerka-nerka tentang hubungan kami.“Aku sedang menunggu Marina.” Sahutku.“Perempuan kemarin?” Ia mengerutkan dahinya. Memp
Marina langsung memelukku ketika kami saling berhadapan. Pelukannya sangat erat, seakan ini wujud pelampiasan rindunya yang ia tahan untukku selama ini. Karena memang semenjak perceraian itu, aku sama sekali tidak bertemu dengannya. Bahkan saat bercerai, aku hanya mengabarinya lewat telepon dan itu benar-benar membuat Marina menangis terisak-isak.“Julia, aku tak menyangka bahwa akan bertemu denganmu lagi.” Perempuan itu melepaskan pelukannya, lalu mengusap ujung matanya yang basah. Marina tak banyak berubah. Wajah perempuan itu masih saja terlihat cantik. Hanya saja rambutnya kini berubah warna menjadi coklat terang.“Aku juga tidak menyangka jika kamu akan menelponku Marina. Bagaimana kabarmu? Dan dimana si kecil Lily?” tanyaku bertubi-tubi. Mataku beralih pandang ke sekeliling. Tapi aku tak menemukan Lily di sekitar sini. Padahal aku sudah berharap akan menemukan gadis cantik itu disana. Lily sudah berusia kurang lebih lima tahun sekarang. Dan pasti ia akan bertambah cantik dan men
Lydia, seorang wanita berusaha setengah abad lebih, namun terlihat masih begitu muda dan cantik meskipun kali ini ia terlihat pucat dan terbaring lemah di rumah sakit.Melihat kedatanganku dan Brian, perempuan itu berusaha untuk duduk dengan dibantu seorang wanita yang usianya tak jauh berbeda. Di luar tadi Brian sempat cerita bahwa perempuan itu adalah seorang bibi yang Lydia bawa dari Indonesia, namanya Yohana.“Siapa ini Brian?” matanya berbinar saat menatapku. Kelihatan ia sangat terkejut namun juga bahagia.Aku hanya mengulum senyum sedangkan Brian tiba-tiba merangkulku, dan reflek giliran aku yang sekarang terkejut.“Brian kan sudah bilang ma, kalau ini adalah pacar Brian.”Aku melotot tidak percaya. Setidaknya Brian harus mengenalkanku sebagai sahabatnya saja, bukan pacarnya. Lagipula kami juga tidak dalam hubungan seperti itu bukan? Saat Brian menyatakan cintanya saja, aku menolak.“Brian…..”Desisku dengan alis berkerut. Tidak nyaman saja dengan apa yang dia lakukan.Bukannya
Aku tahu jika Brian sedang tidak main-main dengan kata-katanya. Dan aku juga tahu, bahwa pria itu juga sungguh-sungguh dengan niatannya untuk menikah denganku. Namun semua hal tidak akan semudah itu. Andai saja aku tidak mengalami trauma dengan masa laluku, mungkin Brian adalah salah satu pria yang bisa kuperhitungkan. Hanya saja, untuk saat ini luka yang singgah di hatiku dua tahu lalu sama sekali belum mengering dengan sempurna. Ada saja nyeri yang masih menusuk hatiku setiap ingat tentang hal itu.Bukankah ada suatu pepatah yaitu, jika kamu masih teringat trauma masa lalumu dan hatimu sudah tidak sakit lagi, berarti lukamu sudah sembuh? Sedangkan aku, setiap mengingat saat-saat itu, hatiku masih sakit seperti biasanya.Setelah menjawab kalimat Brian dengan. “Brian, aku tidak bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa. Lupakan aku dan carilah wanita lain yang bisa memberimu semua hal yang kamu inginkan.”, aku segera menghabiskan makanku dan mengajakny untuk pulang.Meskipun berulang ka
Aku menatap arloji kecil yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah lebih dari limabelas menit dan Claire belum juga nampak batang hidungnya sama sekali. Padahal aku tahu dengan jelas bahwa Claire adalah tipe orang yang selalu tepat waktu. Bahkan sering pula ia yang menungguku. Jadi malam ini ia begitu aneh dengan telatdi acara pertemuan yang sudah kami rancang beberapa hari ini.Setelah kembali menunggu lima menit, dan mobil Claire juga belum terlihat masuk ke dalam restoran, aku mulai cemas. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan perempuan itu. Dengan cepat aku membuka handbag yang sejak tadi ku pegang erat, dari sana aku mengeluarkan ponselku dan dengan cepat mencari nama Claire di kontak teleponku.Setelah bunyi ‘tuuut’ ketiga perempuan itu mengangkat teleponnya.“Claire kau dimana? Aku sudah menunggu hampir setengah jam di depan restoran dengan penampilan yang……” aku berdecak dan menelisik penampilanku. Sangat formal sekali aku pikir. Karena Claire yang memintaku berpakaian demi