Sejak pertama bertemu, aku sudah kagum dengan kecantikan Marina. Wanita yan berusia tujuh tahun lebih tua dariku itu terlihat begitu anggun dan menawan meskipun sudah memiliki anak. Apalagi tentang kepiawaiannya dalam mengolah berbagai makanan, ia tidak hanya pintar namun lebih dari itu. Ketika aku hanya berdfikir jika sebutir telur hanya bisa digoreng, ia bahkan bisa menciptakan banyak kreasi dari bahan makanan itu.
Wanita itu begitu bahagia ketika melihat kemunculanku dan Reinard di bandara. Ia memelukku dan Reinard bergantian kemudian melempar banyak pertanyaan pada Reinard yang tentu saja berhubungan denganku ‘apakah Julia nyaman di pesawat?’ atau ‘apakah Julia makan dengan baik di pesawat?’ dan banyak pertanyaan lagi yang tak bisa kuingat.
“Kami cukup tidur dan Julia cukup nyaman di pesawat.” Sahut Reinard mengambil alih Lily—putri kecil Marina yang baru berusia tiga tahun dari tangan David, suami Marina. Sedetik kemudian,
“Julia….!” Panggil Marina dari arah dapur.Aku dan Reinard yang sedang asyik bermain bersama Lily menoleh bersamaan.“Kalian enggak keluar?” Tanya Marina ketika sudah sampai di depan kami.”Cuaca cukup bagus untuk kalian menghabiskan waktu di luar.”Aku menoleh ke arah jendela. Cuaca memang cukup bagus. Langit tampak biru dan berkilau. Sebenarnya aku juga ingin keluar berjalan-jalan menikmati suasana sungai Seine atau ke Ponts De Arts, memasang gembok cinta bersama Reinard di sana—itupun jika suamiku mau.“Em…..mungkin….” aku tak menemukan jawaban yang pas untuk pertanyaan Marina. Karena sejak tadi pagi, tak ada keluar dari bibir Reinard untuk mengajakku keluar mencari angin. Pria itu sejak pagi sibuk dengan Lily dan menerima beberapa telepon seperti biasanya.“Sebentar lagi. Aku berniat mengajak Julia untuk berjalan-jalan di luar.” Katanya tiba-tiba tanpa mengali
“Pagi….” Sebuah suara menggema di telingaku ketika aku baru saja membuka mataku pagi ini.Aku mengulum senyum, sedikit malu namun juga begitu bersemangat. Reinard masih berada di sampingku, menatapku dengan tangan menyangga kepalanya dan menghadap ke arahku.“Bagaimana tidurmu semalam?” tanyanya lalu mengusap rambutku.Aku tertawa kecil. Aku tahu jika dia hanya berbasa-basi, pasalnya kami tidur saling memeluk setelah apa yang terjadi semalam.“Sangat nyenyak.” Aku menggeser badanku lalu memeluk tubuh suamiku. Kini aku benar-benar merasa memiliki Reinard seutuhnya. Bukan hanya memilikinya sebagai suami di status buku nikah dan kartu keluarga, namun juga memiliki tubuh dan juga hatinya.“Bolehkah aku mengatakan sesuatu padamu?” Tanya Reinard kemudian.Aku mendongak, menatap matanya yang menatapku.“Apa?”“Aku mencintaimu.” Reinard mengecup keningku per
“Jadi, lo ngundang kita berdua kemari cuma mau kasih tau kalau lo sama suami lo udah ngelewatin malam pertama di Paris dengan dramatis gitu?” Reza menatap nanar padaku, di sampingnya Eli juga menatapku dengan melipat kedua tangannya di dada.Aku tak mengangkat wajahku dari lembaran dokumen yang ada dihadapanku, namun aku berhasil mengedikkan pundakku.“Yep!”“Sialan lo Jul!” Reza menghentakkan kakinya kesal. “lo tau enggak apa yang gue lakuin tadi?”“Enggak.” Jawabku dan Eli serentak.“Gue lagi sibuk nyusun acara buat party gitu. Pas lo telepon dan nyuruh gue ke kantor lo karena ada hal teramat sangat penting, gue tinggalin semua itu. Gue pikir, sahabat baik gue kena masalah, KDRT atau semacamnya. Enggak taunya…..”Reza mendengus. “Sialan deh pokoknya.”Aku tergelak sambil menutup stopmapku.“Makanya lo tanya dulu dong seharusnya, gue
Hujan mengguyur bumi dengan deras ketika petang beranjak datang. Aku masih berada di kantor. Setelah obrolan panjang dengan Eli sore tadi, otomatis membuat pekerjaanku tertunda dan menyebabkan aku harus lembur untuk batas waktu yang tidak ditentukan. Mungkin aku baru bisa menyelesaikannya sekitar jam sembilan, atau malah nanti tengah malam. Yang jelas aku tidak mau menundanya samapai besok karena besok adalah weekend dan aku tidak ingin pikiranku masih terbelenggu dengan berkas-berkas dingin yang masih belum tersentuh di kantor. Setelah menikah, aku ingin menghabiskan waktu liburanku di rumah bersama suamiku.Dering telepon membuyarkan konsentrasiku. Nama ‘suamiku’ tertera dilayar, dan tentu saja membuatku menunda kembali pekerjaan untuk mengangkat telepon itu.“Iya sayang….” Beberapa hari ini panggilan sayang, honey, love atau semacamnya menjadi panggilan familiar kami sehingga menyebabkan efek kehidupan rumah tangga kami menjadi b
“Tumben datang ke rumah….” Sapa mama ketika aku muncul dari balik pintu. Wanita setengah abad yang masih kelihatan cantik itu tampak memakai apron.“Ih…kedatangan anaknya kok mama malah ngomong gitu sih?” aku masuk ke dalam rumah lalu langsung menuju dapur. Dari depan pintu tadi hidungku mencium bau lezat dari arah dapur. Dan ternyata benar, mama sedang memasak semur daging.“Wah aku datang tepat waktu nih.” Kataku semangat. “Aku bantuin ya ma?” tanpa persetujuan mama, aku langsung mengambil pisau yang tergeletak di atas talenan. Aku berniat membantu mama mengiris bawang merah.“Enggak usah. Kamu duduk aja.” Mama menarik tanganku lalu menyuruhku duduk di kursi makan. “Makanan itu jadi enggak enak kalau kebanyakan tangan yang pegang.” Padahal aku tahu bahwa mama tidak percaya dengan kemampuan memasakku.Aku mencibir. Dari mana juga mama mempercayai mit
Biasanya, setiap punya masalah tentang hidupku, aku akan mencari Eli dan bercerita panjang lebar padanya. Namun kali ini sepertinya bukan saat yang tepat untuk menelponnya dan memulai sesi curhat. Selain ia sudah berada di luar negeri, perempuan itu juga sedang ada masalah dengan mantan suaminya. Sebagai sahabat, aku harus mencoba mengerti posisinya. Meskipun aku yakin, jikapun sekarang aku menekan namanya di layar ponselku, ia pasti akan menjawabnya dan bersedia menjadi pendengarku.Aku bisa saja menghubungi Reza, tadi itu terkesan tidak mungkin. Reza manusia yang begitu frontal dengan apa yang tidak lazim. Apalagi tentang masalah ‘suami’ yang menyimpan rahasia dari istrinya. Pria itu pasti akan mencak-mencak dengan kemayu dan mengatakan ‘pernikahan lo bener-bener gak sehat Jul. Kenapa semua pria kayak mantan suaminya Eli.’Daripada harus mendengar kalimat itu dan rentetan kalimat serba menghakimi lainnya, aku memilih menyendiri di balkon. Mera
‘Happy wedding Dimas dan Nika’Tulisan itu terpampang besar di depan pintu masuk ballroom hotel dimana aku dan Reinard hadir di acara resepsi tersebut. Di bawah tulisan itu, ada banyak foto pasangan pengantin tersebut di berbagai tempat di penjuru Indonesia. Mulai dari Wakatobi, Pulau senggigi, Jogjakarta bahkan di bawah tugu Monas. Terlihat jika pasangan pengantin yang tampak berbahagia tersebut menyukai hobi yang sama yaitu travelling.Reinard terus menggamit tanganku ketika memasuki pintu dan akhirnya bertemu dengan pasangan pengantin tersebut. Dimas adalah teman sekelas Reinard ketika mereka sama-sama kuliah di fakultas Kedokteran sedangkan Nika adalah mahasiswa di kampus yang sama tapi berbeda jurusan.“Kamu kok enggak ngomong sih Rei kalau nikah?” Dimas menepuk bahu Reinard. “Kan aku bisa datang sama Nika.”“Akh, kemarin terburu-buru.” Sahut Reinard dan otomatis membuat Dimas dan Nika berpandanga
Kami sama-sama terdiam di dalam mobil. Aku yang duduk di belakang kemudian harus memfokuskan diriku pada jalan di depan, meskipun sejak tadi pikiranku tidak tenang. Sedangkan Reinard juga tak mengatakan satu kalimatpun sejak mobil kami meninggalkan basement hotel. Kami mungkin memang sedang bermonolog dengan pikiran kami masing-masing sekarang.“Apa lukamu terasa sakit?” tanyaku memecah keheningan. Sejaka awal aku sudah ingin menegobati luka-luka itu agar tidak terjadi infeksi dan lebamnya semakin parah. Namun aku belum melakukannya selain karena belum menemukan mini market, aku juga masih ingin membiarkan Reinard menenangkan dirinya dulu.“Sedikit.” Jawab Reinard dengan suara rendah.Aku menghela nafas pelan. Mataku tiba-tiba melihat sebuah plakat minimarket beberapa meter di depan kami. Tanpa meminta peretujuan Reinard, aku membelokkan mobilku ke pelataran minimarket yang terlihat sepi. Melihat Reinard yang tak melayangkan protes, berar