Hujan mengguyur bumi dengan deras ketika petang beranjak datang. Aku masih berada di kantor. Setelah obrolan panjang dengan Eli sore tadi, otomatis membuat pekerjaanku tertunda dan menyebabkan aku harus lembur untuk batas waktu yang tidak ditentukan. Mungkin aku baru bisa menyelesaikannya sekitar jam sembilan, atau malah nanti tengah malam. Yang jelas aku tidak mau menundanya samapai besok karena besok adalah weekend dan aku tidak ingin pikiranku masih terbelenggu dengan berkas-berkas dingin yang masih belum tersentuh di kantor. Setelah menikah, aku ingin menghabiskan waktu liburanku di rumah bersama suamiku.
Dering telepon membuyarkan konsentrasiku. Nama ‘suamiku’ tertera dilayar, dan tentu saja membuatku menunda kembali pekerjaan untuk mengangkat telepon itu.
“Iya sayang….” Beberapa hari ini panggilan sayang, honey, love atau semacamnya menjadi panggilan familiar kami sehingga menyebabkan efek kehidupan rumah tangga kami menjadi b
“Tumben datang ke rumah….” Sapa mama ketika aku muncul dari balik pintu. Wanita setengah abad yang masih kelihatan cantik itu tampak memakai apron.“Ih…kedatangan anaknya kok mama malah ngomong gitu sih?” aku masuk ke dalam rumah lalu langsung menuju dapur. Dari depan pintu tadi hidungku mencium bau lezat dari arah dapur. Dan ternyata benar, mama sedang memasak semur daging.“Wah aku datang tepat waktu nih.” Kataku semangat. “Aku bantuin ya ma?” tanpa persetujuan mama, aku langsung mengambil pisau yang tergeletak di atas talenan. Aku berniat membantu mama mengiris bawang merah.“Enggak usah. Kamu duduk aja.” Mama menarik tanganku lalu menyuruhku duduk di kursi makan. “Makanan itu jadi enggak enak kalau kebanyakan tangan yang pegang.” Padahal aku tahu bahwa mama tidak percaya dengan kemampuan memasakku.Aku mencibir. Dari mana juga mama mempercayai mit
Biasanya, setiap punya masalah tentang hidupku, aku akan mencari Eli dan bercerita panjang lebar padanya. Namun kali ini sepertinya bukan saat yang tepat untuk menelponnya dan memulai sesi curhat. Selain ia sudah berada di luar negeri, perempuan itu juga sedang ada masalah dengan mantan suaminya. Sebagai sahabat, aku harus mencoba mengerti posisinya. Meskipun aku yakin, jikapun sekarang aku menekan namanya di layar ponselku, ia pasti akan menjawabnya dan bersedia menjadi pendengarku.Aku bisa saja menghubungi Reza, tadi itu terkesan tidak mungkin. Reza manusia yang begitu frontal dengan apa yang tidak lazim. Apalagi tentang masalah ‘suami’ yang menyimpan rahasia dari istrinya. Pria itu pasti akan mencak-mencak dengan kemayu dan mengatakan ‘pernikahan lo bener-bener gak sehat Jul. Kenapa semua pria kayak mantan suaminya Eli.’Daripada harus mendengar kalimat itu dan rentetan kalimat serba menghakimi lainnya, aku memilih menyendiri di balkon. Mera
‘Happy wedding Dimas dan Nika’Tulisan itu terpampang besar di depan pintu masuk ballroom hotel dimana aku dan Reinard hadir di acara resepsi tersebut. Di bawah tulisan itu, ada banyak foto pasangan pengantin tersebut di berbagai tempat di penjuru Indonesia. Mulai dari Wakatobi, Pulau senggigi, Jogjakarta bahkan di bawah tugu Monas. Terlihat jika pasangan pengantin yang tampak berbahagia tersebut menyukai hobi yang sama yaitu travelling.Reinard terus menggamit tanganku ketika memasuki pintu dan akhirnya bertemu dengan pasangan pengantin tersebut. Dimas adalah teman sekelas Reinard ketika mereka sama-sama kuliah di fakultas Kedokteran sedangkan Nika adalah mahasiswa di kampus yang sama tapi berbeda jurusan.“Kamu kok enggak ngomong sih Rei kalau nikah?” Dimas menepuk bahu Reinard. “Kan aku bisa datang sama Nika.”“Akh, kemarin terburu-buru.” Sahut Reinard dan otomatis membuat Dimas dan Nika berpandanga
Kami sama-sama terdiam di dalam mobil. Aku yang duduk di belakang kemudian harus memfokuskan diriku pada jalan di depan, meskipun sejak tadi pikiranku tidak tenang. Sedangkan Reinard juga tak mengatakan satu kalimatpun sejak mobil kami meninggalkan basement hotel. Kami mungkin memang sedang bermonolog dengan pikiran kami masing-masing sekarang.“Apa lukamu terasa sakit?” tanyaku memecah keheningan. Sejaka awal aku sudah ingin menegobati luka-luka itu agar tidak terjadi infeksi dan lebamnya semakin parah. Namun aku belum melakukannya selain karena belum menemukan mini market, aku juga masih ingin membiarkan Reinard menenangkan dirinya dulu.“Sedikit.” Jawab Reinard dengan suara rendah.Aku menghela nafas pelan. Mataku tiba-tiba melihat sebuah plakat minimarket beberapa meter di depan kami. Tanpa meminta peretujuan Reinard, aku membelokkan mobilku ke pelataran minimarket yang terlihat sepi. Melihat Reinard yang tak melayangkan protes, berar
“Lo terlalu terburu-buru menikah Jul, ketika lo sama sekali enggak mengenal siapa sebenarnya suami lo itu.”“Aaarrgh!” aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal itu dengan resah.Seharian ini aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaan sehingga alhasil setumpuk pekerjaan di mejaku sama sekali belum aku sentuh. Setiap aku hendak memulai pekerjaan, selalu saja kalimat Daniel itu terngiang di telingaku dan membuatku tidak nyaman.Tanganku terulur, mengambil cangkir kopi yang berada di sisi meja. Namun ketika bibir cangkir itu sudah menyentuh bibirku, baru kusadari jika isinya sudah habis. Aku mendengus, ini kopi ketigaku sampai siang ini dan cafein belum juga membuatku rileks.“Rini!” panggilku pada asistenku itu. Beberapa detik kemudian, dengan tergopoh Rini menghampiriku.“Buatin kopi lagi.” Aku mengacungkan cangkir kosong pada asistenku tersebut.“Kopi lagi?” mata Rini
‘Jul, malam ini aku lembur’Begitulah akhirnya, tepat di jam sepuluh malam bunyi pesan singkat dari Reinard muncul di layar ponselku.Aku mendesah pelan. Selalu saja merasa kecewa setiap kali ia tak ada di rumah seperti ini. Seraa diabaikan, serasa tidak penting.Malam sudah beranjak, dan aku belum mampu memejamkan mataku. Apa lagi? Pasti karena empat gelas kopi yang aku minum siang tadi. Aku rasa untuk satu minggu ke depan efek cafein ini belum bakalan hilang dari tubuhku.Sejak tadi yang aku lakukan hanya berputar-putar saja di kasur. Mencoba memejamkan mata, namun meskipun kucoba berkali-kali tetap saja gagal. Bukannya mataku kian berat, justru malah sebaliknya.Karena merasa malam ini hanya akan aku lalui dengan mata tak terpejam, akhirnya aku berniat untuk menelpon Reza.“Za, lo ada acara enggak?”“Kenapa nek? Gue Free, sexy and single!”“Hust! Jangan sebut-sebut judul lagunya Bang
“Kenapa sih mbak, akhir-akhir ini aku lihat kok enggak bersemangat gitu?” tanya Rini siang ini ketika kita sedang makan siang di kantin.Aku tidak menyahut, pura-pura focus dengan nasi langgi di depanku. Sejak beberapa hari lalu, aku jarang bertemu suamiku. Jikapun bertemu, paling ketika ia pulang sebentar di pagi hri untuk mandi, berganti pakaian lalu kembali menuju rumah sakit. Bahkan untuk acara sarapan pun kami sering melewatkannya.Berkali-kali ia meminta maaf padaku, dan memelukku dengan hangat ketika hendak melangkah keluar rumah dan memintaku untuk berhati-hati dalam bekerja. Meskipun aku tahu bahwa sorot mata lelah tampak menggantung di wajahnya, namun apa yang bisa aku lakukan selain tetap mendukung apapun kegiatannya.“Lagi marahan ya sama mas Reinard?” tanya Rini sekali lagi.“Enggak.” Aku mengambil tissue lantas menyeka bibirku dengan benda tersebut. “Justru aku jarang ketemu sama dia.”&
Aku terbangun ketika hawa dingin menyapu kulitku melalui pintu loteng yang belum tertutup. Aku mengucek-ucek mataku, lantas mengalihkan pandang pada jam dinding. Pukul tujuh malam. Pantas saja hawa semakin dingin.Reinard sudah tidak ada di sampingku, padahal aku ingat, sore tadi setelah kami saling membahagiakan di atas tempat tidur, ia juga ikut tidur di sampingku. Ia pasti sudah bangun lebih dulu dan membiarkanku tidur nyenyak tanpa menganggu.“Sudah bangun?” suara Reinard menguar di telingaku. Pria itu sudah berdiri di depan pintu sambil tersenyum. Wajahnya kelihatan segar dan ia sudah berganti baju lebih santai.“Kenapa tidak membangunkanku?” aku menyandarkan tubuhku di badan kasur. “Ini sudah malam.”Reinard berjalan ke arahku dan duduk di pinggiran tempat tidur.“Aku lihat kamu begitu nyenyak, aku tidak tega.” Ia menoel hidungku. “Apa kamu lapar?”Aku memegang perut. “H