Aku terbangun ketika hawa dingin menyapu kulitku melalui pintu loteng yang belum tertutup. Aku mengucek-ucek mataku, lantas mengalihkan pandang pada jam dinding. Pukul tujuh malam. Pantas saja hawa semakin dingin.
Reinard sudah tidak ada di sampingku, padahal aku ingat, sore tadi setelah kami saling membahagiakan di atas tempat tidur, ia juga ikut tidur di sampingku. Ia pasti sudah bangun lebih dulu dan membiarkanku tidur nyenyak tanpa menganggu.
“Sudah bangun?” suara Reinard menguar di telingaku. Pria itu sudah berdiri di depan pintu sambil tersenyum. Wajahnya kelihatan segar dan ia sudah berganti baju lebih santai.
“Kenapa tidak membangunkanku?” aku menyandarkan tubuhku di badan kasur. “Ini sudah malam.”
Reinard berjalan ke arahku dan duduk di pinggiran tempat tidur.
“Aku lihat kamu begitu nyenyak, aku tidak tega.” Ia menoel hidungku. “Apa kamu lapar?”
Aku memegang perut. “H
Aku melihat mobil Reinard berhenti di depan café. Dari balik kaca jendela lebar ini, aku bisa melihatnya turun dari mobil dengan gaya yang begitu alami namun mampu membuat siapapun yang melihatnya berdecak karena tergoda. Ia terlihat piawai melepas sunglass yang dipakainya lalu memasukkan barang itu ke saku kemejanya. Tampilannya pun begitu stylish dengan kemeja garis yang dimasukkan ke dalam celana jeans belel warna light blue dengan sepatu kets putih yang memperlihatkan kesan santai.“Suamiku tampan ya pa?” kataku dengan senyum nakal pada papa yang sejak tadi duduk di seberangku.Papa hanya mencebik. Satu jam yang lalu pria yang usianya lebih dari setengah abad ini menelponku dan mengajakku beserta Reinard untuk makan siang bersama. Awalnya aku menolak karena siang ini aku ingin pergi berbelanja bulanan bersama suamiku. Namun ketika Reinard mendapat telepon dari Wina tentang pasien, ia akhirnya menyuruhku untuk bertemu papa dulu dan akan menyusul.
Aku mengatur irama jantungku ketika sosok ini sudah berdiri di depanku dengan senyumannya yang terlihat menyimpan banyak misteri. Sejujurnya aku tidak pernah mengenal orang ini—bahkan namanya saja aku tidak tahu. Hanya saja, aku teringat pesan dari Reinard untuk menjauh tiap bertemu dengannya, membuatku harus menjaga jarak dan menyimpulkan bahwa orang ini berbahaya..Sosok yang berdiri di depanku ini adalah pengemis itu. Pria pengemis yang terlihat menemui suamiku dan berbicara serius dengannya waktu itu.“Apa—yang bisa saya bantu?” aku mencoba bersikap wajar. Dari pakaian yang dikenakannya, ia tidak akan meminta-minta seperti biasanya.Pria itu kembali tersenyum. Sebuah senyum yang sarat dengan sesuatu yang misterius menurutku. Ataukah aku hanya berlebihan, over thingking karena pesan Reinard waktu itu?“Julia bukan?” tanyanya kemudian, dan tentu saja langung membuatku terkejut. Bagaimana ia bisa tahu namaku? Sia
“Karena saya adalah mertua anda.”Kalimat itu memang bisa aku dengar dengan jelas meskipun suara lagu di café ini mengalun ke segala penjuru. Namun alih-alih meyakinkah pendengaranku, aku jutru merasa apa yang ku dengar itu salah.Mertuaku? Bagaimana bisa? Bukankah sudah jelas kalau mertuaku adalah Saputra, seorang lelaki yang menjodohkan kami, bahkan menikahkan kami. Sudah jelas pula nama belakang suamiku juga Saputra, bukannya Anton.“Mertua?” aku memandang pak Anton penuh ketidakpercayaan. “Bapak jangan bercanda.”“Apa saya terlihat bercanda sekarang?” pria itu justru balik menatapku.Aku membuang pandang ke segala penjuru. Entah ke arah mana, tapi yang jelas aku ingin menghindari tatapan mata penuh intimidasi tersebut.“Reinard anak pungut keluarga Saputra.” Suara pak Anton kembali berdenging di telingaku. “Dulu Reinard tinggal di panti asuhan.”Kembali
Aku membuka pintu kamar hotel dengan pelan. Aroma pewangi ruangan langsung menusuk hidungku ketika pintu itu terbuka dan aku mulai masuk ke dalam. Setelah menghidupkan saklar lampu, aku segera menjatuhkan tubuhku di kasur itu dengan helaan nafas dalam. Mataku terasa panas sekarang, hasil dari menangis sepanjang jalan karena sakit hati dan dalam mode kebingungan mencari tempat bermalam.Awalnya aku bingung menentukan tujuanku malamini. Ke rumah orangtuaku? Tidak mungkin! Hal yang sangat konyol apabila papa dan mama ikut marah dan membuat keadaan menjadi runyam. Lagipula aku tidak punya jawaban ketika mereka memberondongku dengan banyak pertanyaan tentang alasanku pulang dengan mata sembab. Ke rumah Reza, aku juga tidak yakin kalau suamiku tidak akandatang ke sana. Aku yakin jika malamini ia tengah kebingungan karena ponselku juga aku matikan. Sengaja. Aku malas berhubungan dengan siapapun. Satu-satunya orang yang bisa memelukku dengan hangat adalah Eli, tapi wanita itu berada
“Gimana Rin, suamiku udah pergi ‘kan?” tanyaku di balik telepon siang itu. Sudah beberapa jam aku menunggu kabar dari Rini apakah Reinard masih menungguku di kantor atau tidak.Aku mendengar Rini menghela nafas.“Udah mbak. Ada operasi katanya.” Sahutnya kemudian.Aku menghela nafas lega.“Mbak! Ada masalah apa sih?” tanya Rini kemudian. “Mas Reinard yang biasanya on dan enggak ada cela, tadi berantakan banget.”Aku tidak segera menjawab. Kuayunkan langkahku ke tepi jendela. Mataku menerawang jauh, pada hamparan kota Jakarta yang masih tetap terlihat begitu sibuk meskipun aku melihatnya dari ketinggian. Di bawah sana beberapa ruas jalan tampak macet. Bisa kubayangkan betapa sumpeknya terjebak macet di tengah hari seperti ini dalam kondisi dikejar deadline pekerjaan.“Biasa lah Rin. Suami istri.” Sahutku kemudian.“Iyadeeeh mbak, tapi kasihan bener lho suami mbak J
Aku berlari di koridor rumah sakit tanpa memperdulikan banyak pasang mata yang menatapku dengan heran. Pikiranku kacau, dan aku tidak bisa memikirkan apapun selain bisa segera menemui Reinard dan mengetahui bagaimana kondisinya.Setengah jam yang lalu, aku langsung melompat dari ruang kerjaku, dan meninggalkan Rosa sendirian ketika sebuah telepon dari nomor tak dikenal yang ternyata dari Wina—sang koas di rumah sakit tempat dimana Reinard bekerja mengabarkan bahwa keadaan Reinard begitu buruk.Aku tidak yakin dengan maksud Wina ‘yang begitu buruk’, intinya suamiku itu sekarang tengah dirawat di rumah sakit dengan wajah babak belur. Babak belur karena apa dan bagaimana keadaannya sekarang, aku sedang dalam perjalanan untuk memastikan.“Mbak, kamar dokter Reinard nomor berapa ya?” tanyaku ketika berhenti di depan counter perawat. Nafasku naik turun, seperti habis lari marathon. Bahkan perawat di depanku menatapku dengan aneh ketika me
“Beneran udah mau pulang?” sindirku pada Reinard ketika ia sudah membereskan peralatan mandinya. “Enggak mau nginep lagi? Tuh mukanya belum sembuh.” Aku menunjuk-nunjuk wajahnya yang masih ada sedikit sisa lebam.“Kamu lagi ngejekin aku ya?” ia meraih jemariku lantas menarik tubuhku ke dalam pelukannya. “Nginep semalam aja sayang…. Kan kita udah baikan.”Aku terkekah sambil melepaskan pelukannya. Sejak kapan Reinard punya kebiasaan manja seperti ini. Semalaman ia benar-benar tidak mau menjauh dariku, alhasil ranjang rumah sakit yang sempit ini harus kami bagi berdua. Himpit-himpitan, namun rasanya tetap saja nyaman.“Terus hari ini kita mau ngapain?” aku mentap Reinard yang kini sedang memasukkan ponselnya ke dalam saku celana jeans.“Kamu enggak sibuk hari ini?” dia balik bertanya.Aku menggeleng. “Demi kamu, aku enggak akan sibuk.” Tawaku.Pria itu m
“Dia ingin memiliki seorang anak dari kamu.”Kalimat dari ibu Ayu tadi siang masih menari-nari di pikiranku. Bahkan sampai malam ini, ketika kami dalam perjalanan pulang menuju Jakarta.Aku melirik Reinard yang mengemudi dengan tenang di sampingku. Suamiku ini memang berusia lebih muda dariku, namun ia ternyata lebih siap lahir batin dengan menerima kehadiran seorang anak di kehidupan kami.Beberapa kali aku memang sempat mendengar beberapa orang membicarakan tentang kekuatan seorang anak dalam sebuah keluarga. Bahwasanya anak adalah sebagai ikatan kuat hubungan antara suami-istri. Sebuah pernikahan akan sempurna dengan kehadiran seorang anak, bukan begitu?“Rei….” Dengungku pelan kemudian. Aku menatap ke arahnya.“Hmmm…” Reinard menjawabku tanpa menoleh. Rupanya ia tengah asyik dengan lagu ‘way back home’ yang terputar di dalam mobil kami.“Bagaimana menurutmu