Aku menyeret koperku masuk ke dalam apartement setelah pintunya terbuka. Bau harum dari pewangi ruangan bercampur dengan bau sofa dan karpet baru menusuk hidungku. Sebelum benar-benar masuk, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Apartement yang akan aku tempati mulai hari ini begitu bersih, hasil dari kerja kerasku bersama Reinard beberapa hari sebelum hari pernikahan kami. Kami sepakat tidak akan menunda-nunda membersihkan apartement dan membuatnya rapi sebelum kami tempati. Rupanya ada persamaan diantara kami, yaitu suka kebersihan dan juga tidak suka menunda-nunda pekerjaan.
Setelah meletakkan koperku di kamar, aku beranjak menuju dapur lalu membuka kulkas. Bukan air putih yang kuambil, melainkan sebungkus ice cream kacang hijau yang juga sudah aku masukkan di sana. Biasanya aku memang akan ngemut ice cream itu Ketika sibuk dengan pekerjaaan atau cemas akan suatu hal. Makanya untuk makanan itu, aku benar-benar harus menyimpannya di rumah.
Aku begitu terlarut dengan ice cream-ku ketika suara pintu terbuka perlahan. Buru-buru kuletakkan sisa ice cream-ku ke dalam sebuah mangkuk Ketika Reinard muncul dari sana.
“Akh…kamu sudah pulang?” aku tidak bisa menyembunyikan kelegaanku Ketika melihatnya berdiri di depanku seperti sekarang.
Reinard hanya tersenyum tipis kemudian mendekatiku.
“Maaf sudah membuatmu menunggu.” Katanya lantas mengambil gelas dan mengalirkan air dari dispenser.
Aku tidak menjawab, hanya menatap wajah suamiku yang kusut. Baju yang dipakainya semalam terlihat berantakan, pun juga rambutnya yang tak tertata rapi seperti biasanya. Dan yang lebih menegaskan dia kurang tidur adalah warna hitam di bawah matanya yang tak bisa menipu. Aku yakin dia kelelahan yang teramat sangat.
“Apa kamu sedang dalam mood yang tidak baik Jul?” suara Reinard menyentak lamunanku. Awalnya aku ingin bertanya apa maksud dari kalimatnya, namun pertanyaan itu urung kusampaikan Ketika kulihat tatapan mata Reinard yang tertuju pada mangkuk porselen yang berisi ice cream yang sudah mencair.
“Akh, tidak. Aku hanya sedikit pusing memikirkan pekerjaan.” Jawabku bohong. Mungkin aku tidak bisa mengatakan padanya bahwa aku stress semalaman karena ditinggalkan pas malam pertama. Nyatanya mungkin keadaan Reinard lebih stress dalam menghadapi pasiennya yang butuh pertolongan medis. Eli bilang, menjadi istri dokter itu hampir sama persis dengan menjadi itri seorang Angkatan. Kita harus siap ditinggalkan kapan saja Ketika tugas memanggil mereka.
“Apa kamu sudah mulai memikirkan pekerjaan, padahal kita baru saja menikah?” tanya Reinard kemudian.
“Bukankah kamu juga sudah bekerja di malam pertama pernikahan kita?” sambarku cepat dan langsung ku sesali. Kenapa mulutku begitu ceroboh mengatakan hal seperti itu, seolah aku adalah istri paling tidak pengertian di dunia ini padahal sudah jelas jika suamiku adalah seorang dokter.
Aku melihat Reinard menunduk. Itu membuatku semakin merasa bersalah. Ayolah Julia, bersikaplah lebih dewasa untuk hal-hal semacam ini.
“Ma—maafkan aku Rei. Aku tidak bermaksud mengatakan hal itu. Sumpah.” Aku menatapnya dengan penyesalan yang mendalam.
Reinard tersenyum lantas mengelus rambutku perlahan. “Tidak apa-apa. Aku yang seharusnya meminta maaf karena semalam meninggalkanmu sendirian.”
Aku terdiam sesaat. “Jadi….bagaimana dengan pasienmu?” tanyaku kemudian.
“Sudah bisa diatasi.” Jawabnya lugas.
“Sakit apa?” aku penasaran.
“Jantung.” Sahutnya. “Dia punya penyakit itu sejak kecil. Dan sekarang, hidupnya harus tergantung dengan obat dan usaha medis.”
Aku tak menyahut. Pikiranku mengembara pada pasien yang Reinard ceritakan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya pasien itu ketika hidup sepanjang waktu dengan obat dan peralatan medis. Bagaimana perasaannya dan harapannya tentang hidup?
“Jul…” Reinard mengelus lenganku. “Kenapa?”
“Aku hanya merasa trenyuh mendengar ceritamu.”
Reinard tersenyum. “Tidak apa-apa. Dibandingkan kita yang sehat, dia jauh lebih bersemangat dalam hidupnya.”
“Benarkah?” tanyaku penuh keheranan.
“Iya.” Sahut Reinard mantap. “Dia selalu menyambut pagi dengan senyum dan harapan terbaiknya.”
Aku mengelus dadaku lega,a setidaknya pasien itu jauh lebih banyak memiliki rasa syukur di dalam dirinya.
“Oh ya, kamu sudah makan?” aku mengalihkan pembicaraan.
Reinard menggeleng.
“Mau aku buatkan sesuatu?” tawarku kemudian. Aku tidak yakin apakaha Reinard bisa memakan apa yang aku masak. Sebeanarnya aku bisa membuat beberapa masakan dan menurutku apa yang aku buat tidak terlalu buruk—setidaknya lidahku dan lidah Rosa bisa menerimanya. Tapi selama ini Reinard belum pernah merasakan hasil masakanku.
“Apa kamu bisa masak?”
“Sedikit.” Jawabku jujur. “Atau kita bisa makan di luar. Aku tadi melihat jika di depan sana ada restoran cepat saji.”
“Tidak.” Sahut Reinard cepat. “Aku ingin memakan makanan yang dibuat istriku.”
Aku menunduk malu. Wajahku memanas.
“Kamu yakin mau makan masakanku? Ya….tidak begitu enak sih. Tapi…..bisa dimakana kok. Enggak beracun.”
Reinard tertawa kecil.
“Tentu saja. Bukankah aku tidak ingin istriku kecewa?”
“Baiklah. Kalau begitu, selagi kamu mandi dan aku akan memasak. Bagaimana?” tawarku yang tentu aja mendapatkan anggukan persetujuan dari Reinard.
Selepas pria itu masuk ke dalam kamar untuk mandi, aku segera beraksi membuka kulkas dan mengeluakan beberapa bahan makanan dari sana. Untung saja aku sudah membeli beberapa sayur beberapa hari lalu.
*****
Reinard keluar kamar Ketika aku baru saja menata meja. Tatapanku berhenti sesaat Ketika melihat tubuh tingginya yang hanya berbalut kaos dan celana training panjang. Wajahnya tampak segar, meskipun kantuk di matanya tak bisa ditutupi. Namun yang membuatku salah focus adalah rambutnya yang masih setengah basah terlihat sedikit acak-acakan karena ia baru saja mengeringkannya dengan handuk. Hal itu yang membuat ke-sexy-annya bertambah seratus persen.
“Maaf aku hanya membuat seadanya. Cuma apa yang ada di kulkas.” Aku membuka suara sebelum pikiranku jauh mengembara ke sembarang arah.
Reinard hanya menganggguk dan menarik kursi. “Tidak apa-apa. Aku bisa makan apapun.” Ia lantas duduk di kursi tersebut, sedang matanya menjelajah menu di atas meja. Aku hanya membuat tumis udang pedas dan ayam mentega. Tidak ada sayur hari ini, karena aku memang belum sempat membeli.
“Mau nasi banyak atau sedikit?” aku membungkuk, menyendokkan nasi ke dalam piring Reinard.
“Cukup.” Katanya Ketika aku menyendokkan dua centong nasi ke dalam piringnya.
“Tumis udang?” tawarku kemudian.
Ia hanya mengangguk, dan memperhatikan tanganku yang lincah mengisi piringnya dengan tumis udang dan beberapa ayam mentega. Hatiku merasa hangat Ketika melakukan hal ini, suatu hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya—melayani suamiku.
“Maaf jika hasil masakanku tidak begitu lezat. Karena aku sedang belajar memasak juga.” Aku duduk di kursi dan mulai menghadap ke piringku sendiri. mengambil sedikit nasi dan tumis udang pedas favoritku.
“Beberapa hari yang lalu aku mengikuti kelas memasak, dan diajarkan beberapa masakan sederhana. Setidaknya selain membuat tumis udang, aku harus bisa membuat menu lain bukan. Karena—”
“Uhuk!”
Suara batuk Reinard membuatku mengangkat dagu. Mataku terbeliak Ketika melihat wajahnya yang memerah. Aku panik, langsung menghambur ke arahnya.
“Rei…Rei…kamu kenapa?” aku pikir ia keracunan makananku. Kuperhatikan bibirnya yang merah dan tangannya yang dengan tangkas mengambil air putih dan meneggaknya habis.
“Kamu kepedesan?” tanyaku lagi, sedikit bernafas lega. Setidaknya seporsi udang tumis tidak akan membuatku diinterogasi polisi karena menyebabkan suamiku sendiri keracunan.
Reinard hanya mengangguk, ia masih belum bisa menguasai lidahnya yang terbakar.
Aku berlari menuju kulkas. Untung saja aku masih punya beberapa ice cream di sana. Langsung ku ambil ice cream itu dan membuka bungkusnya.
“Ini, biar pedasnya ilang.” Aku menyerahkan ice cream rasa kacang hijau itu pada Reinard.
Pria itu tidak mengatakan apapun. Hanya menerima ice cream pemberianku dan menggigitnya. Ketika ia sudah mulai merasa lebih baik, aku mulai duduk di sebelahnya.
“Seharusnya kamu bilang jika tidak suka makanan pedas. Aku bisa membuatkanmu makanan lain. udang goreng tepung misalnya.”
Reinard menggeleng setelah mulut kosong. “Aku harus masak apapun yang istriku buatkan.”
Aku berdecak, namun tak mampu menutupi degupan jantungku. “Iya, tapi aku merasa bersalah karena meracunimu.”
Reinard justru terkekah. “Julia, aku tidak apa-apa. Bagaimana bisa cabai meracuniku?”
Aku menunduk, mengemasi piring-piring kotor dengan mulut membisu.
“Baiklah….besok lagi tolong buatkan aku masakan tanpa rasa pedas. Bisa?”
Aku mengangkat dagu. “Jadi kamu masih mau memakan masakanku?” wajahku berubah sumringah, seperti anak kecil yang baru saja ditawari mainan baru oleh orangtuanya.
“Tentu saja.”
“Oke. Katakan padaku apa yang ingin kamu makan dan aku akan membuatkannya untukmu.”
Reinard mengangguk, lalu beranjak dari kursinya. Ia mengambil remote dan duduk di sofa sambil melihat TV. Sementara ia focus dengan beritanya, aku memilih berkutat di dapur untuk mencuci piring dan menyelesaikannya dengan cepat. Aku berharap mala mini kami tidak melewatakn sesuatu yang tertunda tadi malam.
Namun sayang, ketika aku sudah selesai membereskan dapur kulihat ia justru sudah tertidur dengan nyenyak di sofa. Mengurai kecewa, aku berjalan ke meja kerjaku. Focus dengan pekerjaan kantor yang sempat tertunda sampai aku ketiduran di sana.
Aku tidak tahu bagaimana ceritanya, namun ketika terbangun keesokan harinya, aku sudah mendapati tubuhku tertidur di atas ranjang.
*****
“What?!” Reza langsung berbalik arah ketika mendengar apa yang baru saja aku sampaikan. “Jadi tidak ada malam pertama sampai detik ini?” matanya hampir saja meloncat keluar.Aku menghela nafas, masih dengan bertopang dagu. Aku tahu reaksi Reza memang akan selebay itu, namun entah kenapa aku masih juga membicarakan hal ini dengannya.“Tapi gue lihat dia respect kok Jul sama lo.” Eli yang duduk bersebrangan denganku terlihat santai. Ia memang terlihat sedikit terkejut ketika aku mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa selama dua malam ini, namun itu tak berlangsung lama karena ia berhasil membuat dirinya bersikap seperti biasa.“Ya….mungkin.” sahutku tidak yakin. “Setelah malam pernikahan itu, dia bekerja. Pasiennya drop, dan yang semalam….aku yakin jika dia memang sudah sangat capek.” Hebat sekali aku dalam menghibur diriku sendiri.Eli manggut-manggut. Sepertinya sedang mencerna alas
Setelah ‘kejujuran’ yang dikatakan Reinard malam itu, aku berusaha untuk membatasi ruang temu diantara kami. Kami tinggal serumah, tidur dalam kasur yang sama namun aku berusaha untuk menjaga jarak dengannya sebaik mungkin. Ketika Reinard berada di depan TV, aku menyibukkan diriku di meja kerja dan baru akan masuk kamar ketika dia sudah terlelap. Begitu pagi tiba, kami akan bertemu sebentar di meja makan sebelum kembali ke rutinitas pekerjaan kami.Aku tidak tahu, apakah yang kulakukan pada Reinard adalah sesuatu yang salah atau benar. Aku sudah memberikan sepenuhnya hidupku untuknya bahkan juga hatiku dan berfikir bahwa dia tetap akan menginginkanku meskipun pernikahan kami adalah hasil dari sebuah perjodohan orangtua. Aku hanya berfikir, untuk apa mendekati seseorang yang tak menginginkanku? Aku istrinya, dia berhak atas diriku bahkan tubuhku dan tentu aja aku juga berhak atas dirinya. Namun, mendengar bahwa ia belum siap melakukan hal itu membuatku berfikir jik
Daniel tiba-tiba saja sudah duduk di depanku ketika aku baru saja membuka laptop, hendak meneruskan pekerjaanku. Jarak kantorku dan kantornya yang bisa dijangkau dengan lima menit berjalan kaki memudahkan pria berambut ikal itu datang—pergi sesuka hatinya . Seperti sore ini, ketika aku tengah menunggu Reinard di lobi sambil bermaksud menyelesaikan beberapa pekerjaan, dia malah mengangguku.“Ngapain?!” sapaku sewot. Seharusnya dia menjauh setiap kali aku memperlakukannya tidak manusiawi seperti ini.“Nggak ngapa-ngapain, tadi cuma lewat dan enggak sengaja lihat kamu di sini.” Sahut pria itu santai, tidak peduli dengan ucapan sengakku tadi.“Jadi enggak ada maksud apa-apa kan?” tanyaku lagi tanpa menatap matanya. Jemariku sibuk membuka folder laptop.“Enggak.”“Oke, lo boleh pergi.”“Eeeh…..kok gitu sih Jul?” bukannya pergi Daniel malah bertopang dagu di depan
Hari minggu, adalah hari paling membahagiakan karena aku bisa bersantai di rumah untuk bermalas-malasan atau sekedar olahraga cardio. Aku memang paling malas datang ke tempat gym untuk berolahraga, alhasil jika ada kesempatan aku selalu menggelar matras di rumah untuk melakukan hal tersebut.Aku sedang melipat matras ketika Reinard keluar dari kamar. Wajahnya khas i bangun tidur, namun sama sekali tidak membuat aura tampannya memudar meskipun ia terlihat berantakan. Sudah beberapa minggu tinggal dengan Reinard, aku tahu beberapa kebiasannya. Ia paling tidak suka tidur dengan lampu padam, berkebalikan denganku. Untung saja, dia masih bisa menggunakan lampu tidur. Aku sering juga mendapatinya mengigau tidak jelas, dan tepukan di pundaknya berhasil membuatnya kembali tidur dengan tenang layaknya bayi.“Mau dibuatin sarapan?” aku meletakkan matrasku di pojok. Salah satu tanganku terulur menarik handuk di pundak lantas menyeka keringat di pelipisku. “Kamu
“Tidak! Jangan….!”“Tidaaak…Jangan…!”“Jangan….aku mencintai dia!”“Dia milikku!”Aku terbangun dari tidur lelapku ketika suara teriakan itu menggema semakin nyaring di telingaku.Aku terlonjak duduk, mendapati Reinard berteriak-teriak dengan mata terpejam. Wajah pria itu begitu ketakutan dan tidak tenang.“Rei…Rei….bangun….!” aku menggoyang-goyangkan tubuhnya namun ia masih tak bergeming.Merasa usahaku tidak berhasil, kupindahkan guling yang menjadi pembatas tempat tidur kami. Aku sedikit maju, menggoyang-goyangkan tubuh Reinard lebih keras lagi.“Rei…..bangun!!!”Seperti terkejut, pria itu langsung membuka matanya. Menatapku dengan nanar lalu menarikku ke dalam pelukannya.Aku terdiam sejenak, hendak mendorong tubuhnya agar menjauh namun urung aku lakukan. Nafasnya yang turun naik terd
Sejak pertama bertemu, aku sudah kagum dengan kecantikan Marina. Wanita yan berusia tujuh tahun lebih tua dariku itu terlihat begitu anggun dan menawan meskipun sudah memiliki anak. Apalagi tentang kepiawaiannya dalam mengolah berbagai makanan, ia tidak hanya pintar namun lebih dari itu. Ketika aku hanya berdfikir jika sebutir telur hanya bisa digoreng, ia bahkan bisa menciptakan banyak kreasi dari bahan makanan itu.Wanita itu begitu bahagia ketika melihat kemunculanku dan Reinard di bandara. Ia memelukku dan Reinard bergantian kemudian melempar banyak pertanyaan pada Reinard yang tentu saja berhubungan denganku ‘apakah Julia nyaman di pesawat?’ atau ‘apakah Julia makan dengan baik di pesawat?’ dan banyak pertanyaan lagi yang tak bisa kuingat.“Kami cukup tidur dan Julia cukup nyaman di pesawat.” Sahut Reinard mengambil alih Lily—putri kecil Marina yang baru berusia tiga tahun dari tangan David, suami Marina. Sedetik kemudian,
“Julia….!” Panggil Marina dari arah dapur.Aku dan Reinard yang sedang asyik bermain bersama Lily menoleh bersamaan.“Kalian enggak keluar?” Tanya Marina ketika sudah sampai di depan kami.”Cuaca cukup bagus untuk kalian menghabiskan waktu di luar.”Aku menoleh ke arah jendela. Cuaca memang cukup bagus. Langit tampak biru dan berkilau. Sebenarnya aku juga ingin keluar berjalan-jalan menikmati suasana sungai Seine atau ke Ponts De Arts, memasang gembok cinta bersama Reinard di sana—itupun jika suamiku mau.“Em…..mungkin….” aku tak menemukan jawaban yang pas untuk pertanyaan Marina. Karena sejak tadi pagi, tak ada keluar dari bibir Reinard untuk mengajakku keluar mencari angin. Pria itu sejak pagi sibuk dengan Lily dan menerima beberapa telepon seperti biasanya.“Sebentar lagi. Aku berniat mengajak Julia untuk berjalan-jalan di luar.” Katanya tiba-tiba tanpa mengali
“Pagi….” Sebuah suara menggema di telingaku ketika aku baru saja membuka mataku pagi ini.Aku mengulum senyum, sedikit malu namun juga begitu bersemangat. Reinard masih berada di sampingku, menatapku dengan tangan menyangga kepalanya dan menghadap ke arahku.“Bagaimana tidurmu semalam?” tanyanya lalu mengusap rambutku.Aku tertawa kecil. Aku tahu jika dia hanya berbasa-basi, pasalnya kami tidur saling memeluk setelah apa yang terjadi semalam.“Sangat nyenyak.” Aku menggeser badanku lalu memeluk tubuh suamiku. Kini aku benar-benar merasa memiliki Reinard seutuhnya. Bukan hanya memilikinya sebagai suami di status buku nikah dan kartu keluarga, namun juga memiliki tubuh dan juga hatinya.“Bolehkah aku mengatakan sesuatu padamu?” Tanya Reinard kemudian.Aku mendongak, menatap matanya yang menatapku.“Apa?”“Aku mencintaimu.” Reinard mengecup keningku per