“Tumben cantik.” Suara Rosa membuat langkahku terhenti tepat di depan pintu.
Aku menoleh, sedang mendapati Rosa tengah menyisir kucing angora kesayangannya di teras sedangkan tak jauh darinya, di kursi teras papa tengah asyik dengan koran dan tentu saja dengan kolor santainya setiap pagi. Kalau kalian ingin tahu apa yang dilakukan sang pengusaha sukses Anwar Hartono di pagi hari? Ya beginilah! Duduk menyilangkan kaki di kursi teras memakai kolor legendarisnya ditemani secangkir teh hangat dan beberapa potong kue tradisinonal.
“Emang dari dulu kakak kan udah cantik.” Cibirku.
Rosa mencebik. Seakan tak percaya dengan apa yang aku katakan. Tentu saja dia tak akan percaya, karena pagi ini adalah pagi terniatku bangun sebelum subuh, mandi keramas, memilih baju sampai hampir satu jam lamanya dan tentu saja bersolek di depan cermin sangat lama. Hanya untuk mendapatkan predikat cumlaude di hasil make-upku.
“Mau ketemu Reinard ya?” papa mengangkat dagu lantas menutup korannya.
“Fitting baju, tapi nanti siang.” Jawabku tanpa menoleh. Tanganku sedang sibuk mengaduk-aduk tas dan mengambil kunci mobil dari sana.
Rosa terbahak. “Bener kan mau ketemu sama calon suami?” cibirnya. “Kak Julia mah enggaka pernah dandan seheboh ini kalau Cuma mau ke kantor. Ya gak pa?”
Papa hanya menjawab dengan deheman kecil.
“Duduk sini dulu Jul.” papa meletakkan lipatan korannya di atas meja.
Aku menurut, duduk di kursi kayu bersebrangan dengan papa. Aku tahu jika papa sudah menyuruh duduk, berarti ada hal penting yang ingin beliau bicarakan.
“Papa mau pernikahan kalian nanti jadi pesta besar ya.” Papa menatapku. Sorot matanya bukan meminta pertimbangan, melainkan sebuah tuntutan yang harus dipenuhi.
Aku menghela nafas gusar. Padahal aku sudah bilang sejak beberapa hari lalu—lebih tepatnya semenjak pertemuanku dengan Reinard waktu itu, bahwa akau tidak ingin sebuah pesta yang mewah. Cukup antara keluarga saja.
“Pa, aku pengen pernikahan yang intim saja antara keluarga. Kalau kita mengadakan pesta mewah, aku takut jika mereka menganggap ini pernikahan bisnis pa!” kataku bersikeras, namun sedetik kemudian aku mengerutkan dahi dan mencondongkan tubuhku ke arah papa. “Atau jangan-jangan papa memang menjadikan ini sebagai pernikahan bisnis? Iya pa?”
Papa berdecak padaku.
“Kalau itu tujuan papa, aku enggak mau!” aku melipat tanganku di depan dada dan melengos. Mataku kini tertuju pada Rosa yang asik dengan kucingnya dan tak peduli dengan pembicaraan antara aku dan papa.
“Enak saja!” Sahut papa kemudian. “Papa memang benar-benar tertarik pada Reinard Ketika pertama bertemu dia di salah atu pesta pernikahan anak teman papa. Dia baik, sopan dan tentu saja tampan.” Papa tergelak dan aku hanya menatapnya miris.
“Jadi bener ya, papa enggak ada maksud lain?” todongku.
“Bener Jul. kalau papa bohong, kamu bisa membatalkan pernikahan kalian.”
Aku menarik nafas lega. Setidaknya aku bisa bahagia dengan pernikahanku nanti tanpa embel-embel ‘bisnis’ atau hal lainnya yang cukup membuatku tidak nyaman selama ini.
“Baiklah…papa boleh ngadain pesta. Tapi tetep ya pa, untuk dekorasi dan lokasi aku yang atur.” Kataku kemudian dan papa hanya mengangguk dengan senyum lebar.
*****
Reinard sudah menungguku di lobi Ketika aku baru saja selesai memarkir mobil dan masuk ke dalam rumah sakit. Setelah saling ber’say-hay’ dan bertanya keadaan dengan sedikit canggung—maksudku aku. Reinard mengajakku ke ruangannya di lantai lima. Awalnya aku ingin kami segera meninggalkan rumah sakit, tapi Reinard lupa tidak membawa ponselnya dan kami harus Kembali lagi ke lantai atas.
Aku memang mengira jika akan banyak orang yang terkejut dengan kehadiranku Bersama Reinard. Tapi aku tidak menyangka jika respon mereka seheboh itu. Aku tidak menyangka jika Reinard adalah dokter idola di rumah sakit ini. Aku bisa melihat betapa banyak raut kecewa ketika pria bertubuh tinggi itu berjalan beriringan denganku lantas memperkenalkanku sebagai calon istrinya di depan para perawat dan karyawan lain. aku jelas tersanjung, dan tentu saja bangga.
“Kenapa ngenalin aku sama karyawan kamu?” tanyaku Ketika Reinard sudah menutup pintu ruangannya. Pria itu sibuk melepas jas dokternya sementara aku duduk di sebuah sofa Panjang berwarna abu-abu.
“Bukannya aku memang harus memperkenalkan calon istriku?” Reinard menggantungkan jas dokternya tanpa menoleh ke arahku.
Aku tersenyum tipis, jujur kuakui pipiku pasti kini sudah bersemu merah karena malu.
“Aku pikir, kamu tidak siap dengan perkenalan-perkenalan macam ini.”
Bagus Julia. Kamu harus berfikir positif tentang sebuah hubungan, apalagi ini tentang sebuah hubungan perjodohan. Aku tahu kamu mulai tertarik pada calon suamimu, tapi dalam hal ini kamu harus menjadi wanita dengan harga diri tinggi. Ingatlah bagaimana selama ini kamu menjadi wanita mandiri yang tidak pernah diperbudak oleh perasaan tertarik pada laki-laki?
“Julia…..” Reinard menatap tajam ke arahku. “Apa kamu masih ragu dengan apa yang kukatakan waktu itu padamu?”
“Ka—kata-kata apa?” Tanyaku terbata. Aku tidak bisa berlama-lama menatap mata tajam itu, jika ingin perasaanku baik-baik saja.
“Bahwa aku tertarik padamu.”
Aku melengos kearah lain. aku memang sering mendengar Reinard menagatakan hal itu padaku, namun kenapa selalu tidak sampai di hatiku. Apakah karena kami memang belum pernah bertemu dan terlibat hubungan fisik sedikitpun—selain jabatan tangan dan dia mengusap dahiku waktu itu.
“Ya….aku percaya padamu.”kataku setengah berbohong, maksudku hanyalah agar ia tidak mengatakan kalimat itu lagi.
Aku melihat Reinard terseyum dengan salah satu sudut bibirnya lalu menghampiriku.
“Bagaimana kalau kita berangkat sekarang?” ia menunduk, mengambil ponselnya di atas meja. Saat itu hembusan parfum dari bajunya menguar di hidungku. Aku tidak tahu pasti sebabnya, namun bau wangi dari tubuh Reinard seolah sedang memainkan jantungku yang tiba-tiba berdegup dengan kencang. Aku mengakui bahwa aku memang udah gila sekarang. Gila dengan pesona berondong berkharisma di depanku ini.
“Bagaimana Julia?” seperti biasa, suara Reinard berhasil membuatku kembali dari alam bawah sadar.
Aku mengangguk cepat. “I—iya. Itu ide bagus.” Aku beranjak dari tempat dudukku dan mengikuti Reinard yang sudah membukakakn pintu untukku.
Di luar, keadaan masih tak jauh beda dengan sebelum aku masuk ke dalam ruangan Reinard. Bahkan aku melihat raut tidak senang itu bertambah saat Reinard mempersilakanku keluar sedang ia menutup pintu. Aku tersenyum pongah, tentu saja aku bangga. Aku bangga jika mereka mengira aku dan Reinard telah melakukan sesuatu yang hebat di dalam sana sampai mereka cemburu. Padahal kami tidak melakukan apapun selain Reinard membuka jas dokternya dan kembali mengajakku keluar.
“Dokter!” sebuah suara melengking nyaring memenuhi koridor.
Aku menoleh dengan cepat, begitu juga dengan Reinard dan beberapa perawat yang masih berkumpul di ruang jaga. Dari ujung Lorong, dibalik silau matahari sore yang menembus jendela, aku melihat dengan samar sosok wanita yang berlari kecil kearah Reinard. Semakin dekat, dan aku tahu jika sosok itu juga memakai jas dokter seperti yang Reinard gunakan.
“Ih, dokter. Aku cari kemana-mana lho. Ini….aku kan mau konsultasi pasien………..” cerocosnya Ketika dia sudah sampai di depan Reinard. Perempuan itu berbicara tanpa jeda dan tentu saja tak menganggapku di sana.
Aku melirik Reinard, ia tampak tenang-tenang saja dengan apa yang dilakukan perempuan itu. Keadaan ini cukup membuatku mendegkus cemburu, apalagi Ketika aku melihat para perawat di nurse station itu Kembali berbisik-bisik.
Sekali lagi, aku menatap perempuan itu dalam-dalam. Jas putih yang dipakainya memperlihatkan kalau ia juga berprofesi sama dengan calon suamiku. Wajahnya bulat telur dan putih. Terlihat menggemaskan dengan poni tipis di keningnya dan lesung pipit di sisi bibirnya. Untuk usia, dia mungkin lebih muda dariku bahkan mungkin juga lebih muda daripada Reinard.
“Baiklah, kalau kondisinya masih stabil……” Reinard membuka suara setelah penjelasan panjang lebar dari perempuan itu. Disinilah aku terpukau melihat betapa sabar dan cerdasnya dia menyampaikan sesuatu dengan bahasa kedokteran yang tak aku ketahui artinya.
“Mengerti sekarang?” Reinard menyudahi kalimatnya.
Perempuan itu tersenyum lalu pamit pada Reinard. Namun sebelum ia mengayunkan Langkah, tiba-tiba tatapannya tertuju padaku. Aku yang langsung di tatap dengan cara seperti itu cukup terkejut. Tatapannya sarat dengan keingintahuan yang mendalam.
“Kenalin Win….” Reinard tiba-tiba menarik pergelanganku agar lebih mendekat kepadanya.
“Dia Julia, calon istri aku.”
Aku benar-benar melihat wajah perempuan yang dipanggil ‘win’ itu berubah. Dari ekspresi datar menjadi terkejut. Di sisi lain, saat ini hatiku seakan menggelembung hebat. Begitu bahagia dengan apa yang baru saja dikatakan Reinard.
******
Semakin mendekati hari-H, aku dan Reinard makin disibukkan oleh berbagai macam kegiatan menjelang pernikahan. Setelah beberapa hari yang lalu kami sempat menghadiri acara makan malam keluarga, dan secara resmi diperkenalkanku dengan keluarga besar Saputra. Bahkan kakak perempuan Reinard yang berada di Perancis pun hadir dalam acara ini. Namanya Marina, seorang chef dan memiliki seorang anak perempuan blasteran Indo-Perancis bernama Lili.Keluarga Saputra menyambut kedatanganku dengan baik, meskipun aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan segala kebaikan yang Teguh Saputra—papa Reinard—berikan kepadaku. Entah kenapa, aku masih merasa canggung berada di depannya. Mungkin karena kami memang baru saja bertemu beberapa kali.Namun aku benar-benar merasa tersanjung dengan kebaikan Marina, dia memintaku untuk menjaga Reinard dengan baik karena pria itu satu-satunya adik sekaligus saudara yang ia miliki. Terlebih lagi ketika mama dan papa mereka m
Aku menarik nafas panjang—berulang kali—untuk mengurangi degup jantungku yang kian tak terkendali. Tak pernah kusangka jika hari pernikahanku akan tiba secepat ini. Ralat. Maksudku yah….aku bingung menjelaskannya. Dulu Ketika aku belum menemukan seseorang yang mau menikahiku, rasanya waktu berjalan begitu lama—meskipun aku tak begitu peduli tentang pernikahan—namun ketika hari ini aku dihadapkan pada kenyataan itu, menikah dengan pria asing yang tiba-tiba datang dalam hidupku dan bersedia menikahiku, rasanya begitu cepat.“Jul….rileks.” Eli menepuk pundakku dari belakang. Aku menatap wanita itu dari balik cermin lalu tersenyum. Oww….sungguh senyumku dibalik make up ini sangat tidak natural.Aku meremas pelan tangan Eli yang masih berada di pundakku sambil mengangguk.“Jul, ijab qabul segera dimulai!” Mama dari arah pintu masuk kamar berseru.Aku Kembali menarik nafas Panjang. Kulihat Eli
Aku menatap sarapanku tanpa ada keinginan untuk memakannya sedikitpun. Meskipun terlihat enak, sepiring nasi goreng dari hotel berbintang ini sungguh tak membuatku tertarik. Sebenarnya, aku ingin tinggal di kamar saja sampai waktu check-out berakhir, namun aku butuh udara segar atau setidaknya pemandangan segar untuk membuat mata sepet-ku yang semalaman tidak bisa terpejam ini bisa terasa nyaman.Mataku terasa panas dan berat karena semalaman memang sulit terpejam. Aku bahkan baru bisa tidur ketika suara adzan subuh menggema dari masjid yang letaknya tak jauh dari hotel. Biasanya memang pengantin baru akan kurang tidur di jam-jam awal pernikahan mereka, karena mereka menunaikan ibadah mereka setelah sah menjadi pasangan suami istri. Namun lain dengan ceritaku, aku tidak bisa tidur karena cemas memikirkan suamiku yang tiba-tiba pergi tanpa menjelaskan alasannya secara detail.Seperti yang dikatakannya di depan pintu semalam, Reinard benar-benar tidak pulang. Menyisakan
Aku menyeret koperku masuk ke dalam apartement setelah pintunya terbuka. Bau harum dari pewangi ruangan bercampur dengan bau sofa dan karpet baru menusuk hidungku. Sebelum benar-benar masuk, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Apartement yang akan aku tempati mulai hari ini begitu bersih, hasil dari kerja kerasku bersama Reinard beberapa hari sebelum hari pernikahan kami. Kami sepakat tidak akan menunda-nunda membersihkan apartement dan membuatnya rapi sebelum kami tempati. Rupanya ada persamaan diantara kami, yaitu suka kebersihan dan juga tidak suka menunda-nunda pekerjaan.Setelah meletakkan koperku di kamar, aku beranjak menuju dapur lalu membuka kulkas. Bukan air putih yang kuambil, melainkan sebungkus ice cream kacang hijau yang juga sudah aku masukkan di sana. Biasanya aku memang akan ngemut ice cream itu Ketika sibuk dengan pekerjaaan atau cemas akan suatu hal. Makanya untuk makanan itu, aku benar-benar harus menyimpannya di rumah.Aku begitu terlarut de
“What?!” Reza langsung berbalik arah ketika mendengar apa yang baru saja aku sampaikan. “Jadi tidak ada malam pertama sampai detik ini?” matanya hampir saja meloncat keluar.Aku menghela nafas, masih dengan bertopang dagu. Aku tahu reaksi Reza memang akan selebay itu, namun entah kenapa aku masih juga membicarakan hal ini dengannya.“Tapi gue lihat dia respect kok Jul sama lo.” Eli yang duduk bersebrangan denganku terlihat santai. Ia memang terlihat sedikit terkejut ketika aku mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa selama dua malam ini, namun itu tak berlangsung lama karena ia berhasil membuat dirinya bersikap seperti biasa.“Ya….mungkin.” sahutku tidak yakin. “Setelah malam pernikahan itu, dia bekerja. Pasiennya drop, dan yang semalam….aku yakin jika dia memang sudah sangat capek.” Hebat sekali aku dalam menghibur diriku sendiri.Eli manggut-manggut. Sepertinya sedang mencerna alas
Setelah ‘kejujuran’ yang dikatakan Reinard malam itu, aku berusaha untuk membatasi ruang temu diantara kami. Kami tinggal serumah, tidur dalam kasur yang sama namun aku berusaha untuk menjaga jarak dengannya sebaik mungkin. Ketika Reinard berada di depan TV, aku menyibukkan diriku di meja kerja dan baru akan masuk kamar ketika dia sudah terlelap. Begitu pagi tiba, kami akan bertemu sebentar di meja makan sebelum kembali ke rutinitas pekerjaan kami.Aku tidak tahu, apakah yang kulakukan pada Reinard adalah sesuatu yang salah atau benar. Aku sudah memberikan sepenuhnya hidupku untuknya bahkan juga hatiku dan berfikir bahwa dia tetap akan menginginkanku meskipun pernikahan kami adalah hasil dari sebuah perjodohan orangtua. Aku hanya berfikir, untuk apa mendekati seseorang yang tak menginginkanku? Aku istrinya, dia berhak atas diriku bahkan tubuhku dan tentu aja aku juga berhak atas dirinya. Namun, mendengar bahwa ia belum siap melakukan hal itu membuatku berfikir jik
Daniel tiba-tiba saja sudah duduk di depanku ketika aku baru saja membuka laptop, hendak meneruskan pekerjaanku. Jarak kantorku dan kantornya yang bisa dijangkau dengan lima menit berjalan kaki memudahkan pria berambut ikal itu datang—pergi sesuka hatinya . Seperti sore ini, ketika aku tengah menunggu Reinard di lobi sambil bermaksud menyelesaikan beberapa pekerjaan, dia malah mengangguku.“Ngapain?!” sapaku sewot. Seharusnya dia menjauh setiap kali aku memperlakukannya tidak manusiawi seperti ini.“Nggak ngapa-ngapain, tadi cuma lewat dan enggak sengaja lihat kamu di sini.” Sahut pria itu santai, tidak peduli dengan ucapan sengakku tadi.“Jadi enggak ada maksud apa-apa kan?” tanyaku lagi tanpa menatap matanya. Jemariku sibuk membuka folder laptop.“Enggak.”“Oke, lo boleh pergi.”“Eeeh…..kok gitu sih Jul?” bukannya pergi Daniel malah bertopang dagu di depan
Hari minggu, adalah hari paling membahagiakan karena aku bisa bersantai di rumah untuk bermalas-malasan atau sekedar olahraga cardio. Aku memang paling malas datang ke tempat gym untuk berolahraga, alhasil jika ada kesempatan aku selalu menggelar matras di rumah untuk melakukan hal tersebut.Aku sedang melipat matras ketika Reinard keluar dari kamar. Wajahnya khas i bangun tidur, namun sama sekali tidak membuat aura tampannya memudar meskipun ia terlihat berantakan. Sudah beberapa minggu tinggal dengan Reinard, aku tahu beberapa kebiasannya. Ia paling tidak suka tidur dengan lampu padam, berkebalikan denganku. Untung saja, dia masih bisa menggunakan lampu tidur. Aku sering juga mendapatinya mengigau tidak jelas, dan tepukan di pundaknya berhasil membuatnya kembali tidur dengan tenang layaknya bayi.“Mau dibuatin sarapan?” aku meletakkan matrasku di pojok. Salah satu tanganku terulur menarik handuk di pundak lantas menyeka keringat di pelipisku. “Kamu