Setelah memperkenalkan Reinard pada seluruh karyawanku, kami memutuskan untuk makan siang sebelum Reinard Kembali ke rumah sakit. Aku pikir acara perkenalan ‘calon-suami’ ini akan berlangsung kurang dari sepuluh menit, namun realitanya adalah banyak sekali yang mengajak Reinard bercakap bahkan sampai hal sepele sekalipun, contohnya ‘klinik kecantikan rumah sakit buka jama berapa?’
Aku tahu mereka sedang mencari perhatian. Tapi please, itu norak! Ketika kalian bisa menemukan banyak sekali hal-hal tentang rumah sakit milik keluarga Saputra mulai dari f******k sampai I*******m. Bahkan kalian bisa menemukan situs webnya dan disana jelas tertulis pukul berapa sang dokter kecantikan itu praktek.
“Jul….mau makan apa?” suara Reinard langsung membuatku menoleh. Sejak tadi kami tidak berbicara satu sama lain karena aku masih cukup kesal dengan perlakukan karyawan-karyawanku pada Reinard tadi. Sudah jelas pria yang dari tadi mereka curi perhatiannya adalah calon suami bos mereka, tapi kelihatannya mereka sama sekali tidak peduli.
Pria berbau wangi itu terlihat santai dalam mengemudi. Pandangannya lurus ke depan, memperlihatkan hidung lancipnya yang mempesona dari arah samping. Membuat imajinasi liarku Kembali berontak. Andai saja, hidung itu bisa aku cium.
Akh Julia! Pemikiran macam apa itu! Ingatlah apa yang membuatmu berada di samping Reinard sekarang? Tak lebih dari sebuah perjodohan orang tua. Lantas, apakah harus dengan begitu mudahnya kamu menyukainya hanya karena dia tampan dan lebih muda? Ingatlah, menyukai hanya akan membuatmu tersiksa dan belum tentu Reinard yang muda dan multitalenta ini menyukaimu juga.
Tidak! Dia sudah mengatakan tertarik padaku.
Hei wanita tua! Tidak seharusnya di usiamu sekarang masih termakan oleh gombalan-gombalan tengik macam begitu. Di usiamu ini kamu harus bisa realistis. Ingat apa yang Reinard katakan selain ia tertarik padamu? Karena ia begitu menghormati orangtuanya. Mengerti?!
“Akh!” tanpa sadar aku mengacak-acak rambutku.
“Kenapa?” Reinard menatapku panik. Ia segera menepikan mobilnya.
“Pusing?”
Aku mengangkat dagu. Ingin menggeleng dan mengatakan ‘tidak’ Ketika tangannya tiba-tiba sudah terulur dan meraba keningku. Dadaku berdesir. Ini kedua kalinya kami bersentuhan. Pertama Ketika kami pertama kali bertemu dan saling berjabat tangan. Tapi waktu itu dadaku biasa saja Ketika ia menyentuhku, namun sekarang kenapa rasanya lain? ada sesuatu yang meletup-letup di dadaku, dan aku tidak bisa menggambarkannya dengan jelas.
“Aku….hanya teringat pekerjaan.” Aku menepis tangannya terburu-buru.
“Tapi wajahmu merah sekali Julia.”
Bolehkah aku menghilang sekarang?
Aku tdak yakin apakah Reinard sedang mengejekku atau memang sedang mencoba meng-anamnesa keadaanku—karena dia seorang dokter. Namun dilihat dari ekspresinya, sepertinya ia memang tidak menyadari kalau perubahan rona muka-ku karena gugup.
“Tidak…aku tidak apa-apa.” Aku tersenyum kecil. “Bisakah kamu Kembali menjalankan mobil? Aku sudah lapar.”
Reinard mengangguk meski sedikit agak ragu. Tangannya Kembali memutar setir agar mobil Kembali masuk jalan raya.
“Oh ya, kamu belum menjawab pertanyaanku tadi.” Katanya setelah mobil Kembali melenggang di jalan. “Mau makan dimana?”
Sebenarnya aku ingin sekali makan nasi padang. Sudah lama sekali aku tidak menikmati makanan itu karena Eli mengajakku berdiet belakangan ini. Namun kali ini, aku butuh kalori yang banyak untuk berfikir realistis. Siapa tahu monolog liar di kepalaku tadi diebabkan karena aku lapar.
“Sebenarnya aku ingin nasi padang.” Jawabku jujur. “Tapi aku tidak yakin jika kamu mau.”
“Ide bagus. Kebetulan aku juga ingin makan berat sekarang.”
Aku terhenyak, lantas menatapnya dengan mata berbinar. Bagaimana bisa pria disampingku ini begitu memahami apa yang aku inginkan, padahal Eli selalu mengomel Ketika aku menghabiskan sepiring nasi padang lengkap plus kerupuk.
Reinard memarkir mobilnya di depan salah satu restoran Padang langgananku. kami memilih tempat duduk di samping jendela. Alasan simple agar aku bisa sedikit mendapat pemandangan lain selain menatap Reinard. Aku yakin akan kecanduan jika terus menerus menatap wajah itu.
Aku pikir Reinard akan terkejut melihat porsi nasiku yang begitu banyak. Karena aku memang tidak mengatakan pada pelayannya untuk mengurangi porsiku. Untuk apa? Aku tidak ingin jaim di depan Reinard dengan makan sedikit. Setidaknya inilah hal awal yang aku lakukan untuk menunjukkan apa adanya diriku padanya.
“Besok ada waktu?” tanyaku sambil berusaha membuka tutup botol air mineral yang ku pegang.
“Aku seharian jaga di rumah sakit.” Reinard melirik botol air mineral ditanganku, menurunkan sendoknya lantas mengambil alih botol air mineral itu dan membuka tutupnya dengan mudah.
Aku terenyum samar. Rupanya ia ingat apa yang tadi Reza katakan padanya bahwa aku memang paling tidak bisa membuka tutup botol air mineral.
“Terimakasih.” Aku menerima air mineral itu lalu menenggaknya sedikit.
“Besok kita ada janji temu dengan designer. Membahas baju pengantin.” Lanjutku. “Tapi kalau kami sibuk, aku bisa membatalkannya.”
Reinard belum menyahut. Ia terlihat menyelesaikan kunyahannya.
“Tidak masalah. Aku bisa ijin keluar besok sore.” Jawabnya tenang.
“Kamu yakin tidak akan menganggu pekerjaanmu besok?” tanyaku ragu sambil memasukkan sesendok nasi padang ke dalam mulutku.
“Tidak.” Pria itu mengambil sebuah tissue lantas mengusapkannya di ujung bibirku. “Ada sisa remahan nasi Jul.”
Aku menunduk. Bukan malu karena remahan nasi, melainkan karena merasa tersanjung diperhatikan sebegitu baiknya oleh Reinard.
“Sorry…aku sering melakukan hal ini kalau sudah kelaparan.” Dalihku.
“Tidak apa-apa. Bagiku kamu tetap lucu.”
Aku mengangkat dagu, melihatnya tersenyum begitu lembut. Lagi-lagi hatiku meleleh. Entah kenapa aku selalu merasa deg-deg’an dengan setiap kalimat yang diucapkannya kepadaku.
“Oh ya, besok kamu bisa datang menjemputku?” Reinard mengalihkan pembicaraan.
“Ke rumah sakit?” Mataku terbeliak. Jika aku datang ke rumah sakit besok, berarti rekan-rekan kerja Reinard akan bertemu denganku. Bukankah secara tidak langsung ia sedang memperkenalkan aku pada karyawan-karyawan rumah sakit yang lain bahwa aku adalah calon istrinya?
“Jul, gimana?”
“Eh….” Aku mengangkat dagu dengan tergesa.
“Kamu bisa enggak jemput aku? Atau aku yang jemput lagi ke kantormu?”
“Akh….bisa kok. Aku bisa. Aku bisa jemput kamu besok.” Otakku mulai berfikir bagaimana harus menyelesaikan semua pekerjaanku sebelum pukul tiga sore agar aku punya waktu luang untuk bersamanya.Awalnya aku pikir kami hanya akan bertemu di butik dengan membawa kendaraan sendiri-sendiri. mengukur baju kemudian pulang. Tapi ternyata Reinard bahkan menginginkanku untuk datang ke rumah sakitnya. Bukankah itu berarti aku memang butuh waktu khusus buat dia?
“Baiklah, besok aku tunggu di rumah sakit.” Lagi-lagi suara merdu itu memecahkan monolog di kepalaku.
*****
“Lo enggak bisa ya Jul, menyembunyikan perasaan lo kalau lo udah jatuh cinta sama calon suami lo itu?”
Kalimat Reza membuatku terkikik. Bukannya senewen, aku malah menghempaskan tubuhku di atas Kasur dengana ponsel yang masih menempel di telinga.
“Gue enggak jatuh cinta sama dia.” Elakku dan aku yakin jika Reza juga bakalan tak percaya dengan apa yang aku katakan.
Dan benar saja, aku mendengarnya berdecak dari seberang sana. “Gue udah bilang kan, kalau lo itu kelihatan banget tertarik sama dia. Ayam tetangga gue aja juga tahu kalau udah ngelihat.”
“Emang tetangga apartement lo ada yang punya ayam?”
Reza terkekah. “Perumpamaan kuya!”
Aku meluruskan pandanganku kea rah langit-langit kamarku yang berwarna putih. Di sana ada tempelan beberapa bintang dan bulan yang akan bercahaya jika aku menghidupkan lampu. Aku masih ingat kapan aku membeli barang itu, Ketika aku masih SMP dan membelinya pada abanag-abang di depan sekolah. Aku jadi berfikir untuk membawa bintang dan bulanku itu Ketika aku pindah rumah setelah menikah nanti.
Woy! Kenapa aku jadi melankolis begini? Sejak kapan?
“Rez….emang kelihatan banget ya kalau gue suka sama Reinard?”
“Banget!”
“Jangan gitu dong!”
“Yaelah. Gue jawab jujur kali nek!” sahut Reza nyaring. “Cuma orang yang enggak normal aja yang enggak tertarik sama cowok se-handsome Reinard.”
“Berarti lo enggak tertarik dong?!”
“Maksud lo?”
“Yak an karena lo enggak normal.”
“Sialan! Nenek lampir kurang ajar!”
Aku terkekah.
“Jul tapi aneh enggak sih menurut lo?”
Aku menggeser tubuhku miring. “Aneh gimana?”
“Kok cowok sekeren Reinard mau ya sama perawan tua kayak lo? Udah judes, tua, hidup lagi.”
“Ngomong apa lo barusan?!” aku menegakkan tubuh dengan kesal. “Lo pikir gue udah nenek-nenek apa? cuma terpaut usia empat tahun Rez. Dan gue yakin kalau servis gue nanti lebih hebat daripada perawan-perawan umur duapuluh tahun.”
“Cieee….jadi lo udah siap nih main servis-servisan sama dia? Dia dokter lho Jul. pasti lebih tau anatomi daripada lo kan?”
“HUst!” Mukaku terasa panas sekarang. Sialnya, pikiran kotorku Kembali mendominasi. Dalam sekejap aku berhasil mmebayangkan jika bibir Reinard yang merah dan lembut itu melumat bibirku. Mungkin efek tak tersentuh bertahun-tahun membuat naluriku sebagai manusia Kembali bergejolak. Ya manusiawi sih.
“Jul….woy….Jul….lo enggak mikir macem-macem kan?!” Suara Reza berhasil menghalau pikiran absurdku. Entah aku haru mengucapkan banyak terimakasih atau mengumpat sekarang.
“Enggaklah. Lo gila!” Aku mengusap wajahku lantas beranjak dari Kasur untuk menuju kamar mandi. Siapa tahu dengan cuci muka, pikiran bersihku Kembali.
“Udah ah kalau gitu. Gue mau mandi! Bye!” aku segera menutup telepon Ketika sampai di depan wastafel. Menatap wajahku sesaat di depan cermin. Tiba-tiba senyumku mengembang begitu saja. Aku baru menyadari bahwa beberapa hari ini aku mudah sekali tersenyum. Apakah memang alasannya karena jatuh cinta?
“Tumben cantik.” Suara Rosa membuat langkahku terhenti tepat di depan pintu.Aku menoleh, sedang mendapati Rosa tengah menyisir kucing angora kesayangannya di teras sedangkan tak jauh darinya, di kursi teras papa tengah asyik dengan koran dan tentu saja dengan kolor santainya setiap pagi. Kalau kalian ingin tahu apa yang dilakukan sang pengusaha sukses Anwar Hartono di pagi hari? Ya beginilah! Duduk menyilangkan kaki di kursi teras memakai kolor legendarisnya ditemani secangkir teh hangat dan beberapa potong kue tradisinonal.“Emang dari dulu kakak kan udah cantik.” Cibirku.Rosa mencebik. Seakan tak percaya dengan apa yang aku katakan. Tentu saja dia tak akan percaya, karena pagi ini adalah pagi terniatku bangun sebelum subuh, mandi keramas, memilih baju sampai hampir satu jam lamanya dan tentu saja bersolek di depan cermin sangat lama. Hanya untuk mendapatkan predikat cumlaude di hasil make-upku.“Mau ketemu Reinard ya?&rdq
Semakin mendekati hari-H, aku dan Reinard makin disibukkan oleh berbagai macam kegiatan menjelang pernikahan. Setelah beberapa hari yang lalu kami sempat menghadiri acara makan malam keluarga, dan secara resmi diperkenalkanku dengan keluarga besar Saputra. Bahkan kakak perempuan Reinard yang berada di Perancis pun hadir dalam acara ini. Namanya Marina, seorang chef dan memiliki seorang anak perempuan blasteran Indo-Perancis bernama Lili.Keluarga Saputra menyambut kedatanganku dengan baik, meskipun aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan segala kebaikan yang Teguh Saputra—papa Reinard—berikan kepadaku. Entah kenapa, aku masih merasa canggung berada di depannya. Mungkin karena kami memang baru saja bertemu beberapa kali.Namun aku benar-benar merasa tersanjung dengan kebaikan Marina, dia memintaku untuk menjaga Reinard dengan baik karena pria itu satu-satunya adik sekaligus saudara yang ia miliki. Terlebih lagi ketika mama dan papa mereka m
Aku menarik nafas panjang—berulang kali—untuk mengurangi degup jantungku yang kian tak terkendali. Tak pernah kusangka jika hari pernikahanku akan tiba secepat ini. Ralat. Maksudku yah….aku bingung menjelaskannya. Dulu Ketika aku belum menemukan seseorang yang mau menikahiku, rasanya waktu berjalan begitu lama—meskipun aku tak begitu peduli tentang pernikahan—namun ketika hari ini aku dihadapkan pada kenyataan itu, menikah dengan pria asing yang tiba-tiba datang dalam hidupku dan bersedia menikahiku, rasanya begitu cepat.“Jul….rileks.” Eli menepuk pundakku dari belakang. Aku menatap wanita itu dari balik cermin lalu tersenyum. Oww….sungguh senyumku dibalik make up ini sangat tidak natural.Aku meremas pelan tangan Eli yang masih berada di pundakku sambil mengangguk.“Jul, ijab qabul segera dimulai!” Mama dari arah pintu masuk kamar berseru.Aku Kembali menarik nafas Panjang. Kulihat Eli
Aku menatap sarapanku tanpa ada keinginan untuk memakannya sedikitpun. Meskipun terlihat enak, sepiring nasi goreng dari hotel berbintang ini sungguh tak membuatku tertarik. Sebenarnya, aku ingin tinggal di kamar saja sampai waktu check-out berakhir, namun aku butuh udara segar atau setidaknya pemandangan segar untuk membuat mata sepet-ku yang semalaman tidak bisa terpejam ini bisa terasa nyaman.Mataku terasa panas dan berat karena semalaman memang sulit terpejam. Aku bahkan baru bisa tidur ketika suara adzan subuh menggema dari masjid yang letaknya tak jauh dari hotel. Biasanya memang pengantin baru akan kurang tidur di jam-jam awal pernikahan mereka, karena mereka menunaikan ibadah mereka setelah sah menjadi pasangan suami istri. Namun lain dengan ceritaku, aku tidak bisa tidur karena cemas memikirkan suamiku yang tiba-tiba pergi tanpa menjelaskan alasannya secara detail.Seperti yang dikatakannya di depan pintu semalam, Reinard benar-benar tidak pulang. Menyisakan
Aku menyeret koperku masuk ke dalam apartement setelah pintunya terbuka. Bau harum dari pewangi ruangan bercampur dengan bau sofa dan karpet baru menusuk hidungku. Sebelum benar-benar masuk, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Apartement yang akan aku tempati mulai hari ini begitu bersih, hasil dari kerja kerasku bersama Reinard beberapa hari sebelum hari pernikahan kami. Kami sepakat tidak akan menunda-nunda membersihkan apartement dan membuatnya rapi sebelum kami tempati. Rupanya ada persamaan diantara kami, yaitu suka kebersihan dan juga tidak suka menunda-nunda pekerjaan.Setelah meletakkan koperku di kamar, aku beranjak menuju dapur lalu membuka kulkas. Bukan air putih yang kuambil, melainkan sebungkus ice cream kacang hijau yang juga sudah aku masukkan di sana. Biasanya aku memang akan ngemut ice cream itu Ketika sibuk dengan pekerjaaan atau cemas akan suatu hal. Makanya untuk makanan itu, aku benar-benar harus menyimpannya di rumah.Aku begitu terlarut de
“What?!” Reza langsung berbalik arah ketika mendengar apa yang baru saja aku sampaikan. “Jadi tidak ada malam pertama sampai detik ini?” matanya hampir saja meloncat keluar.Aku menghela nafas, masih dengan bertopang dagu. Aku tahu reaksi Reza memang akan selebay itu, namun entah kenapa aku masih juga membicarakan hal ini dengannya.“Tapi gue lihat dia respect kok Jul sama lo.” Eli yang duduk bersebrangan denganku terlihat santai. Ia memang terlihat sedikit terkejut ketika aku mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa selama dua malam ini, namun itu tak berlangsung lama karena ia berhasil membuat dirinya bersikap seperti biasa.“Ya….mungkin.” sahutku tidak yakin. “Setelah malam pernikahan itu, dia bekerja. Pasiennya drop, dan yang semalam….aku yakin jika dia memang sudah sangat capek.” Hebat sekali aku dalam menghibur diriku sendiri.Eli manggut-manggut. Sepertinya sedang mencerna alas
Setelah ‘kejujuran’ yang dikatakan Reinard malam itu, aku berusaha untuk membatasi ruang temu diantara kami. Kami tinggal serumah, tidur dalam kasur yang sama namun aku berusaha untuk menjaga jarak dengannya sebaik mungkin. Ketika Reinard berada di depan TV, aku menyibukkan diriku di meja kerja dan baru akan masuk kamar ketika dia sudah terlelap. Begitu pagi tiba, kami akan bertemu sebentar di meja makan sebelum kembali ke rutinitas pekerjaan kami.Aku tidak tahu, apakah yang kulakukan pada Reinard adalah sesuatu yang salah atau benar. Aku sudah memberikan sepenuhnya hidupku untuknya bahkan juga hatiku dan berfikir bahwa dia tetap akan menginginkanku meskipun pernikahan kami adalah hasil dari sebuah perjodohan orangtua. Aku hanya berfikir, untuk apa mendekati seseorang yang tak menginginkanku? Aku istrinya, dia berhak atas diriku bahkan tubuhku dan tentu aja aku juga berhak atas dirinya. Namun, mendengar bahwa ia belum siap melakukan hal itu membuatku berfikir jik
Daniel tiba-tiba saja sudah duduk di depanku ketika aku baru saja membuka laptop, hendak meneruskan pekerjaanku. Jarak kantorku dan kantornya yang bisa dijangkau dengan lima menit berjalan kaki memudahkan pria berambut ikal itu datang—pergi sesuka hatinya . Seperti sore ini, ketika aku tengah menunggu Reinard di lobi sambil bermaksud menyelesaikan beberapa pekerjaan, dia malah mengangguku.“Ngapain?!” sapaku sewot. Seharusnya dia menjauh setiap kali aku memperlakukannya tidak manusiawi seperti ini.“Nggak ngapa-ngapain, tadi cuma lewat dan enggak sengaja lihat kamu di sini.” Sahut pria itu santai, tidak peduli dengan ucapan sengakku tadi.“Jadi enggak ada maksud apa-apa kan?” tanyaku lagi tanpa menatap matanya. Jemariku sibuk membuka folder laptop.“Enggak.”“Oke, lo boleh pergi.”“Eeeh…..kok gitu sih Jul?” bukannya pergi Daniel malah bertopang dagu di depan