Setelah memperkenalkan Reinard pada seluruh karyawanku, kami memutuskan untuk makan siang sebelum Reinard Kembali ke rumah sakit. Aku pikir acara perkenalan ‘calon-suami’ ini akan berlangsung kurang dari sepuluh menit, namun realitanya adalah banyak sekali yang mengajak Reinard bercakap bahkan sampai hal sepele sekalipun, contohnya ‘klinik kecantikan rumah sakit buka jama berapa?’
Aku tahu mereka sedang mencari perhatian. Tapi please, itu norak! Ketika kalian bisa menemukan banyak sekali hal-hal tentang rumah sakit milik keluarga Saputra mulai dari f******k sampai I*******m. Bahkan kalian bisa menemukan situs webnya dan disana jelas tertulis pukul berapa sang dokter kecantikan itu praktek.
“Jul….mau makan apa?” suara Reinard langsung membuatku menoleh. Sejak tadi kami tidak berbicara satu sama lain karena aku masih cukup kesal dengan perlakukan karyawan-karyawanku pada Reinard tadi. Sudah jelas pria yang dari tadi mereka curi perhatiannya adalah calon suami bos mereka, tapi kelihatannya mereka sama sekali tidak peduli.
Pria berbau wangi itu terlihat santai dalam mengemudi. Pandangannya lurus ke depan, memperlihatkan hidung lancipnya yang mempesona dari arah samping. Membuat imajinasi liarku Kembali berontak. Andai saja, hidung itu bisa aku cium.
Akh Julia! Pemikiran macam apa itu! Ingatlah apa yang membuatmu berada di samping Reinard sekarang? Tak lebih dari sebuah perjodohan orang tua. Lantas, apakah harus dengan begitu mudahnya kamu menyukainya hanya karena dia tampan dan lebih muda? Ingatlah, menyukai hanya akan membuatmu tersiksa dan belum tentu Reinard yang muda dan multitalenta ini menyukaimu juga.
Tidak! Dia sudah mengatakan tertarik padaku.
Hei wanita tua! Tidak seharusnya di usiamu sekarang masih termakan oleh gombalan-gombalan tengik macam begitu. Di usiamu ini kamu harus bisa realistis. Ingat apa yang Reinard katakan selain ia tertarik padamu? Karena ia begitu menghormati orangtuanya. Mengerti?!
“Akh!” tanpa sadar aku mengacak-acak rambutku.
“Kenapa?” Reinard menatapku panik. Ia segera menepikan mobilnya.
“Pusing?”
Aku mengangkat dagu. Ingin menggeleng dan mengatakan ‘tidak’ Ketika tangannya tiba-tiba sudah terulur dan meraba keningku. Dadaku berdesir. Ini kedua kalinya kami bersentuhan. Pertama Ketika kami pertama kali bertemu dan saling berjabat tangan. Tapi waktu itu dadaku biasa saja Ketika ia menyentuhku, namun sekarang kenapa rasanya lain? ada sesuatu yang meletup-letup di dadaku, dan aku tidak bisa menggambarkannya dengan jelas.
“Aku….hanya teringat pekerjaan.” Aku menepis tangannya terburu-buru.
“Tapi wajahmu merah sekali Julia.”
Bolehkah aku menghilang sekarang?
Aku tdak yakin apakah Reinard sedang mengejekku atau memang sedang mencoba meng-anamnesa keadaanku—karena dia seorang dokter. Namun dilihat dari ekspresinya, sepertinya ia memang tidak menyadari kalau perubahan rona muka-ku karena gugup.
“Tidak…aku tidak apa-apa.” Aku tersenyum kecil. “Bisakah kamu Kembali menjalankan mobil? Aku sudah lapar.”
Reinard mengangguk meski sedikit agak ragu. Tangannya Kembali memutar setir agar mobil Kembali masuk jalan raya.
“Oh ya, kamu belum menjawab pertanyaanku tadi.” Katanya setelah mobil Kembali melenggang di jalan. “Mau makan dimana?”
Sebenarnya aku ingin sekali makan nasi padang. Sudah lama sekali aku tidak menikmati makanan itu karena Eli mengajakku berdiet belakangan ini. Namun kali ini, aku butuh kalori yang banyak untuk berfikir realistis. Siapa tahu monolog liar di kepalaku tadi diebabkan karena aku lapar.
“Sebenarnya aku ingin nasi padang.” Jawabku jujur. “Tapi aku tidak yakin jika kamu mau.”
“Ide bagus. Kebetulan aku juga ingin makan berat sekarang.”
Aku terhenyak, lantas menatapnya dengan mata berbinar. Bagaimana bisa pria disampingku ini begitu memahami apa yang aku inginkan, padahal Eli selalu mengomel Ketika aku menghabiskan sepiring nasi padang lengkap plus kerupuk.
Reinard memarkir mobilnya di depan salah satu restoran Padang langgananku. kami memilih tempat duduk di samping jendela. Alasan simple agar aku bisa sedikit mendapat pemandangan lain selain menatap Reinard. Aku yakin akan kecanduan jika terus menerus menatap wajah itu.
Aku pikir Reinard akan terkejut melihat porsi nasiku yang begitu banyak. Karena aku memang tidak mengatakan pada pelayannya untuk mengurangi porsiku. Untuk apa? Aku tidak ingin jaim di depan Reinard dengan makan sedikit. Setidaknya inilah hal awal yang aku lakukan untuk menunjukkan apa adanya diriku padanya.
“Besok ada waktu?” tanyaku sambil berusaha membuka tutup botol air mineral yang ku pegang.
“Aku seharian jaga di rumah sakit.” Reinard melirik botol air mineral ditanganku, menurunkan sendoknya lantas mengambil alih botol air mineral itu dan membuka tutupnya dengan mudah.
Aku terenyum samar. Rupanya ia ingat apa yang tadi Reza katakan padanya bahwa aku memang paling tidak bisa membuka tutup botol air mineral.
“Terimakasih.” Aku menerima air mineral itu lalu menenggaknya sedikit.
“Besok kita ada janji temu dengan designer. Membahas baju pengantin.” Lanjutku. “Tapi kalau kami sibuk, aku bisa membatalkannya.”
Reinard belum menyahut. Ia terlihat menyelesaikan kunyahannya.
“Tidak masalah. Aku bisa ijin keluar besok sore.” Jawabnya tenang.
“Kamu yakin tidak akan menganggu pekerjaanmu besok?” tanyaku ragu sambil memasukkan sesendok nasi padang ke dalam mulutku.
“Tidak.” Pria itu mengambil sebuah tissue lantas mengusapkannya di ujung bibirku. “Ada sisa remahan nasi Jul.”
Aku menunduk. Bukan malu karena remahan nasi, melainkan karena merasa tersanjung diperhatikan sebegitu baiknya oleh Reinard.
“Sorry…aku sering melakukan hal ini kalau sudah kelaparan.” Dalihku.
“Tidak apa-apa. Bagiku kamu tetap lucu.”
Aku mengangkat dagu, melihatnya tersenyum begitu lembut. Lagi-lagi hatiku meleleh. Entah kenapa aku selalu merasa deg-deg’an dengan setiap kalimat yang diucapkannya kepadaku.
“Oh ya, besok kamu bisa datang menjemputku?” Reinard mengalihkan pembicaraan.
“Ke rumah sakit?” Mataku terbeliak. Jika aku datang ke rumah sakit besok, berarti rekan-rekan kerja Reinard akan bertemu denganku. Bukankah secara tidak langsung ia sedang memperkenalkan aku pada karyawan-karyawan rumah sakit yang lain bahwa aku adalah calon istrinya?
“Jul, gimana?”
“Eh….” Aku mengangkat dagu dengan tergesa.
“Kamu bisa enggak jemput aku? Atau aku yang jemput lagi ke kantormu?”
“Akh….bisa kok. Aku bisa. Aku bisa jemput kamu besok.” Otakku mulai berfikir bagaimana harus menyelesaikan semua pekerjaanku sebelum pukul tiga sore agar aku punya waktu luang untuk bersamanya.Awalnya aku pikir kami hanya akan bertemu di butik dengan membawa kendaraan sendiri-sendiri. mengukur baju kemudian pulang. Tapi ternyata Reinard bahkan menginginkanku untuk datang ke rumah sakitnya. Bukankah itu berarti aku memang butuh waktu khusus buat dia?
“Baiklah, besok aku tunggu di rumah sakit.” Lagi-lagi suara merdu itu memecahkan monolog di kepalaku.
*****
“Lo enggak bisa ya Jul, menyembunyikan perasaan lo kalau lo udah jatuh cinta sama calon suami lo itu?”
Kalimat Reza membuatku terkikik. Bukannya senewen, aku malah menghempaskan tubuhku di atas Kasur dengana ponsel yang masih menempel di telinga.
“Gue enggak jatuh cinta sama dia.” Elakku dan aku yakin jika Reza juga bakalan tak percaya dengan apa yang aku katakan.
Dan benar saja, aku mendengarnya berdecak dari seberang sana. “Gue udah bilang kan, kalau lo itu kelihatan banget tertarik sama dia. Ayam tetangga gue aja juga tahu kalau udah ngelihat.”
“Emang tetangga apartement lo ada yang punya ayam?”
Reza terkekah. “Perumpamaan kuya!”
Aku meluruskan pandanganku kea rah langit-langit kamarku yang berwarna putih. Di sana ada tempelan beberapa bintang dan bulan yang akan bercahaya jika aku menghidupkan lampu. Aku masih ingat kapan aku membeli barang itu, Ketika aku masih SMP dan membelinya pada abanag-abang di depan sekolah. Aku jadi berfikir untuk membawa bintang dan bulanku itu Ketika aku pindah rumah setelah menikah nanti.
Woy! Kenapa aku jadi melankolis begini? Sejak kapan?
“Rez….emang kelihatan banget ya kalau gue suka sama Reinard?”
“Banget!”
“Jangan gitu dong!”
“Yaelah. Gue jawab jujur kali nek!” sahut Reza nyaring. “Cuma orang yang enggak normal aja yang enggak tertarik sama cowok se-handsome Reinard.”
“Berarti lo enggak tertarik dong?!”
“Maksud lo?”
“Yak an karena lo enggak normal.”
“Sialan! Nenek lampir kurang ajar!”
Aku terkekah.
“Jul tapi aneh enggak sih menurut lo?”
Aku menggeser tubuhku miring. “Aneh gimana?”
“Kok cowok sekeren Reinard mau ya sama perawan tua kayak lo? Udah judes, tua, hidup lagi.”
“Ngomong apa lo barusan?!” aku menegakkan tubuh dengan kesal. “Lo pikir gue udah nenek-nenek apa? cuma terpaut usia empat tahun Rez. Dan gue yakin kalau servis gue nanti lebih hebat daripada perawan-perawan umur duapuluh tahun.”
“Cieee….jadi lo udah siap nih main servis-servisan sama dia? Dia dokter lho Jul. pasti lebih tau anatomi daripada lo kan?”
“HUst!” Mukaku terasa panas sekarang. Sialnya, pikiran kotorku Kembali mendominasi. Dalam sekejap aku berhasil mmebayangkan jika bibir Reinard yang merah dan lembut itu melumat bibirku. Mungkin efek tak tersentuh bertahun-tahun membuat naluriku sebagai manusia Kembali bergejolak. Ya manusiawi sih.
“Jul….woy….Jul….lo enggak mikir macem-macem kan?!” Suara Reza berhasil menghalau pikiran absurdku. Entah aku haru mengucapkan banyak terimakasih atau mengumpat sekarang.
“Enggaklah. Lo gila!” Aku mengusap wajahku lantas beranjak dari Kasur untuk menuju kamar mandi. Siapa tahu dengan cuci muka, pikiran bersihku Kembali.
“Udah ah kalau gitu. Gue mau mandi! Bye!” aku segera menutup telepon Ketika sampai di depan wastafel. Menatap wajahku sesaat di depan cermin. Tiba-tiba senyumku mengembang begitu saja. Aku baru menyadari bahwa beberapa hari ini aku mudah sekali tersenyum. Apakah memang alasannya karena jatuh cinta?
“Tumben cantik.” Suara Rosa membuat langkahku terhenti tepat di depan pintu.Aku menoleh, sedang mendapati Rosa tengah menyisir kucing angora kesayangannya di teras sedangkan tak jauh darinya, di kursi teras papa tengah asyik dengan koran dan tentu saja dengan kolor santainya setiap pagi. Kalau kalian ingin tahu apa yang dilakukan sang pengusaha sukses Anwar Hartono di pagi hari? Ya beginilah! Duduk menyilangkan kaki di kursi teras memakai kolor legendarisnya ditemani secangkir teh hangat dan beberapa potong kue tradisinonal.“Emang dari dulu kakak kan udah cantik.” Cibirku.Rosa mencebik. Seakan tak percaya dengan apa yang aku katakan. Tentu saja dia tak akan percaya, karena pagi ini adalah pagi terniatku bangun sebelum subuh, mandi keramas, memilih baju sampai hampir satu jam lamanya dan tentu saja bersolek di depan cermin sangat lama. Hanya untuk mendapatkan predikat cumlaude di hasil make-upku.“Mau ketemu Reinard ya?&rdq
Semakin mendekati hari-H, aku dan Reinard makin disibukkan oleh berbagai macam kegiatan menjelang pernikahan. Setelah beberapa hari yang lalu kami sempat menghadiri acara makan malam keluarga, dan secara resmi diperkenalkanku dengan keluarga besar Saputra. Bahkan kakak perempuan Reinard yang berada di Perancis pun hadir dalam acara ini. Namanya Marina, seorang chef dan memiliki seorang anak perempuan blasteran Indo-Perancis bernama Lili.Keluarga Saputra menyambut kedatanganku dengan baik, meskipun aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan segala kebaikan yang Teguh Saputra—papa Reinard—berikan kepadaku. Entah kenapa, aku masih merasa canggung berada di depannya. Mungkin karena kami memang baru saja bertemu beberapa kali.Namun aku benar-benar merasa tersanjung dengan kebaikan Marina, dia memintaku untuk menjaga Reinard dengan baik karena pria itu satu-satunya adik sekaligus saudara yang ia miliki. Terlebih lagi ketika mama dan papa mereka m
Aku menarik nafas panjang—berulang kali—untuk mengurangi degup jantungku yang kian tak terkendali. Tak pernah kusangka jika hari pernikahanku akan tiba secepat ini. Ralat. Maksudku yah….aku bingung menjelaskannya. Dulu Ketika aku belum menemukan seseorang yang mau menikahiku, rasanya waktu berjalan begitu lama—meskipun aku tak begitu peduli tentang pernikahan—namun ketika hari ini aku dihadapkan pada kenyataan itu, menikah dengan pria asing yang tiba-tiba datang dalam hidupku dan bersedia menikahiku, rasanya begitu cepat.“Jul….rileks.” Eli menepuk pundakku dari belakang. Aku menatap wanita itu dari balik cermin lalu tersenyum. Oww….sungguh senyumku dibalik make up ini sangat tidak natural.Aku meremas pelan tangan Eli yang masih berada di pundakku sambil mengangguk.“Jul, ijab qabul segera dimulai!” Mama dari arah pintu masuk kamar berseru.Aku Kembali menarik nafas Panjang. Kulihat Eli
Aku menatap sarapanku tanpa ada keinginan untuk memakannya sedikitpun. Meskipun terlihat enak, sepiring nasi goreng dari hotel berbintang ini sungguh tak membuatku tertarik. Sebenarnya, aku ingin tinggal di kamar saja sampai waktu check-out berakhir, namun aku butuh udara segar atau setidaknya pemandangan segar untuk membuat mata sepet-ku yang semalaman tidak bisa terpejam ini bisa terasa nyaman.Mataku terasa panas dan berat karena semalaman memang sulit terpejam. Aku bahkan baru bisa tidur ketika suara adzan subuh menggema dari masjid yang letaknya tak jauh dari hotel. Biasanya memang pengantin baru akan kurang tidur di jam-jam awal pernikahan mereka, karena mereka menunaikan ibadah mereka setelah sah menjadi pasangan suami istri. Namun lain dengan ceritaku, aku tidak bisa tidur karena cemas memikirkan suamiku yang tiba-tiba pergi tanpa menjelaskan alasannya secara detail.Seperti yang dikatakannya di depan pintu semalam, Reinard benar-benar tidak pulang. Menyisakan
Aku menyeret koperku masuk ke dalam apartement setelah pintunya terbuka. Bau harum dari pewangi ruangan bercampur dengan bau sofa dan karpet baru menusuk hidungku. Sebelum benar-benar masuk, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Apartement yang akan aku tempati mulai hari ini begitu bersih, hasil dari kerja kerasku bersama Reinard beberapa hari sebelum hari pernikahan kami. Kami sepakat tidak akan menunda-nunda membersihkan apartement dan membuatnya rapi sebelum kami tempati. Rupanya ada persamaan diantara kami, yaitu suka kebersihan dan juga tidak suka menunda-nunda pekerjaan.Setelah meletakkan koperku di kamar, aku beranjak menuju dapur lalu membuka kulkas. Bukan air putih yang kuambil, melainkan sebungkus ice cream kacang hijau yang juga sudah aku masukkan di sana. Biasanya aku memang akan ngemut ice cream itu Ketika sibuk dengan pekerjaaan atau cemas akan suatu hal. Makanya untuk makanan itu, aku benar-benar harus menyimpannya di rumah.Aku begitu terlarut de
“What?!” Reza langsung berbalik arah ketika mendengar apa yang baru saja aku sampaikan. “Jadi tidak ada malam pertama sampai detik ini?” matanya hampir saja meloncat keluar.Aku menghela nafas, masih dengan bertopang dagu. Aku tahu reaksi Reza memang akan selebay itu, namun entah kenapa aku masih juga membicarakan hal ini dengannya.“Tapi gue lihat dia respect kok Jul sama lo.” Eli yang duduk bersebrangan denganku terlihat santai. Ia memang terlihat sedikit terkejut ketika aku mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa selama dua malam ini, namun itu tak berlangsung lama karena ia berhasil membuat dirinya bersikap seperti biasa.“Ya….mungkin.” sahutku tidak yakin. “Setelah malam pernikahan itu, dia bekerja. Pasiennya drop, dan yang semalam….aku yakin jika dia memang sudah sangat capek.” Hebat sekali aku dalam menghibur diriku sendiri.Eli manggut-manggut. Sepertinya sedang mencerna alas
Setelah ‘kejujuran’ yang dikatakan Reinard malam itu, aku berusaha untuk membatasi ruang temu diantara kami. Kami tinggal serumah, tidur dalam kasur yang sama namun aku berusaha untuk menjaga jarak dengannya sebaik mungkin. Ketika Reinard berada di depan TV, aku menyibukkan diriku di meja kerja dan baru akan masuk kamar ketika dia sudah terlelap. Begitu pagi tiba, kami akan bertemu sebentar di meja makan sebelum kembali ke rutinitas pekerjaan kami.Aku tidak tahu, apakah yang kulakukan pada Reinard adalah sesuatu yang salah atau benar. Aku sudah memberikan sepenuhnya hidupku untuknya bahkan juga hatiku dan berfikir bahwa dia tetap akan menginginkanku meskipun pernikahan kami adalah hasil dari sebuah perjodohan orangtua. Aku hanya berfikir, untuk apa mendekati seseorang yang tak menginginkanku? Aku istrinya, dia berhak atas diriku bahkan tubuhku dan tentu aja aku juga berhak atas dirinya. Namun, mendengar bahwa ia belum siap melakukan hal itu membuatku berfikir jik
Daniel tiba-tiba saja sudah duduk di depanku ketika aku baru saja membuka laptop, hendak meneruskan pekerjaanku. Jarak kantorku dan kantornya yang bisa dijangkau dengan lima menit berjalan kaki memudahkan pria berambut ikal itu datang—pergi sesuka hatinya . Seperti sore ini, ketika aku tengah menunggu Reinard di lobi sambil bermaksud menyelesaikan beberapa pekerjaan, dia malah mengangguku.“Ngapain?!” sapaku sewot. Seharusnya dia menjauh setiap kali aku memperlakukannya tidak manusiawi seperti ini.“Nggak ngapa-ngapain, tadi cuma lewat dan enggak sengaja lihat kamu di sini.” Sahut pria itu santai, tidak peduli dengan ucapan sengakku tadi.“Jadi enggak ada maksud apa-apa kan?” tanyaku lagi tanpa menatap matanya. Jemariku sibuk membuka folder laptop.“Enggak.”“Oke, lo boleh pergi.”“Eeeh…..kok gitu sih Jul?” bukannya pergi Daniel malah bertopang dagu di depan
“Oke…..selamat berbelanja.” Kata Brian sebelum mengakhiri teleponnya.Siang ini aku pergi berbelanja ke supermarket untuk membeli kebutuhan harianku yang sudah menipis. Aku juga butuh beberapa coklat agar pikiranku rileks. Semenjak pertemuanku dengan Reinard dua hari yang lalu, aku jadi sulit tidur dan pikiranku bergejolak tidak tenang.Aku membeli beberapa ikat sayuran, makanan olahan, daging beku, ikan beku dan kebutuhan yang lain seperti peralatan mandi.Nge-mall untuk sekedar membeli sayuran atau sabun adalah hal paling menggembirakan bagiku. Setidaknya aku berhasil membuat perasaanku menjadi lebih tenang dan bahagia. Apalagi jika aku sudah disuguhkan dengan toko sepatu, tas ataupun toko pakaian. Yakin, aku bisa lupa diri.Setelah lebih dari satu jam asyik mengitari satu etalase ke etalase yang lain, akhirnya aku menyerah. Menuju kasir untuk membayar lalu pulang. Aku ingin bersantai sambil selonjoran kaki di rumah, menonton TV dan meminum soda.Saat siap mengambil plastic belanjaa
Seandainya bisa, aku ingin memutar waktu kembali ke satu jam yang lalu. Dimana aku mengenyahkan perasaanku dan menggunakan logikaku untuk berfikir. Karena yang terjadi sekarang, aku menyesal dengan tindakan gegabahku dan bertemu dengan Reinard.Aku bisa melihat jika sorot mata pria yang duduk di hadapanku sekarang ini begitu bahagia. Mungkin karena aku datang setelah ia menunggu berjam-jam.“Kenapa baru datang sekarang Jul?” tanyanya dengan nada lembut.“Awalnya aku tidak ingin datang.” Sahutku ketus.“Tapi nyatanya kamu datang kan?” ia tertawa kecil.Aku membuang wajahku keluar jendela. Hujan masih terlihat rintik-rintik dan beberapa orang masih menggunakan payung agar terhindar dari basah, dan beberapa yang tidak membawa payung tengah berteduh di emperan toko yang sudah tutup.“Aku memang sengaja datang di jam segini. Aku pikir kamu sudah tidak ada.” Jawabku pada akhirnya, menahan malu.“Aku kan sudah bilang, kalau aku bakalan nungguin kamu disini Julia.”“Kalau aku tidak datang?” a
“Halo ma……” Brian mencium pipi mamanya, lalu menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana.“Kenapa baru datang? Mama dan Julia sudah menunggu kamu sejak tadi.” Sahut Lydia ketika putranya tersebut sudah duduk.“Tadi sore setelah kelas terakhir, Brian ada keperluan dengan rector.” Brian menoleh kepadaku. “Kamu sudah pesan makan?” tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan mengedik kearah meja. Ada beberapa makanan yang tersaji di sana, dan semua itu Lydia-lah yang memesan. Perutku masih cukup kenyak meskipun baru terisi makanan ketika sarapan tadi. Tapi pertemuanku dengan Reinard tadi berhasil membuatku tidak berselera makan.“Kami berdua sudah pesan, tinggal kamu Brian.” Lydia yang menyahut.Brian memanggil salah satu waiters lalu memesan beberapa makanan. Selama menunggu makanan tiba, kami berbincang.“Bagaimana kesehatan mama?” Tanya Brian sambil menuang air putih ke dalam gelas.“Kata dokter mama sudah membaik kok.” Sahut Lydia. “Iya kan Julia?”Aku mengangguk. “Iya bibi.” Meskipun sebe
Sejam lalu, Brian menelponku agar aku bisa menyisihkan waktu untuk menemani mama-nya check up ke rumah sakit. Awalnya aku bingung, apakah yang terjadi antara aku dan dia beberapa malam yang lalu itu membuat hubungan kami berubah? Apakah sebuah ciuman memang bisa merubah status seseorang dari lajang menjadi berpacaran?Aku sulit memahami itu. Namun dari yang tersirat, sepertinya Brian memang sudah menganggap aku sebagai kekasihnya. Mungkin tindakan yang aku lakukan malam itu memang sepenuhnya tidak benar, aku terlalu terpukul sehingga logikaku memang tidak jalan. Saat itu aku butuh sebuah sandaran, sebuah kekuatan. Dan nyatanya kekuatan itu hadir dari ciuman Brian yang berhasil membuat dadaku terasa nyaman.“Maaf bibi, sudah menunggu lama.” aku berjalan tergesa untuk menemui Lydia yang sudah menungguku di depan rumah sakit. Wanita itu sendirian, aku tak menemukan Yohana di sampingnya.“Tidak. Bibi juga baru datang kok.” Sahut Lydia tersenyum manis ke arahku.“Bibi Yohana kemana?” tanya
Aku hanya tersenyum ketika melihat Claire yang sudah asyik berbincang dengan seorang pria yang baru dikenalnya. Pria itu bernama Jo dan seorang keponakan dari teman sekelas kami. Pria itu masih single dan terlihat jika Jo maupun Claire saling tertarik satu sama lain. Maka dari itu, sebagai teman yang baik aku memberi mereka ruang untuk saling berbincang, lagipula sebentar lagi Marina juga akan datang menemuiku.“Kamu seharusnya di dalam, di luar begitu dingin.” Brian datang menyusulku.Aku menoleh padanya. Aku pikir setelah apa yang dilakukannya semalam dengan tiba-tiba menungguku di depan pintu apartement, lalu memelukku akan membuatnya canggung ketika bertemu denganku. Namun kenyataannya, pria itu malah semakin memperlihatkan perasaannya kepadaku. Ia begitu hangat, bahkan sore tadi ia datang menjemputku. Mengabaikan bisik-bisik dari orang-orang di kampus yang menerka-nerka tentang hubungan kami.“Aku sedang menunggu Marina.” Sahutku.“Perempuan kemarin?” Ia mengerutkan dahinya. Memp
Marina langsung memelukku ketika kami saling berhadapan. Pelukannya sangat erat, seakan ini wujud pelampiasan rindunya yang ia tahan untukku selama ini. Karena memang semenjak perceraian itu, aku sama sekali tidak bertemu dengannya. Bahkan saat bercerai, aku hanya mengabarinya lewat telepon dan itu benar-benar membuat Marina menangis terisak-isak.“Julia, aku tak menyangka bahwa akan bertemu denganmu lagi.” Perempuan itu melepaskan pelukannya, lalu mengusap ujung matanya yang basah. Marina tak banyak berubah. Wajah perempuan itu masih saja terlihat cantik. Hanya saja rambutnya kini berubah warna menjadi coklat terang.“Aku juga tidak menyangka jika kamu akan menelponku Marina. Bagaimana kabarmu? Dan dimana si kecil Lily?” tanyaku bertubi-tubi. Mataku beralih pandang ke sekeliling. Tapi aku tak menemukan Lily di sekitar sini. Padahal aku sudah berharap akan menemukan gadis cantik itu disana. Lily sudah berusia kurang lebih lima tahun sekarang. Dan pasti ia akan bertambah cantik dan men
Lydia, seorang wanita berusaha setengah abad lebih, namun terlihat masih begitu muda dan cantik meskipun kali ini ia terlihat pucat dan terbaring lemah di rumah sakit.Melihat kedatanganku dan Brian, perempuan itu berusaha untuk duduk dengan dibantu seorang wanita yang usianya tak jauh berbeda. Di luar tadi Brian sempat cerita bahwa perempuan itu adalah seorang bibi yang Lydia bawa dari Indonesia, namanya Yohana.“Siapa ini Brian?” matanya berbinar saat menatapku. Kelihatan ia sangat terkejut namun juga bahagia.Aku hanya mengulum senyum sedangkan Brian tiba-tiba merangkulku, dan reflek giliran aku yang sekarang terkejut.“Brian kan sudah bilang ma, kalau ini adalah pacar Brian.”Aku melotot tidak percaya. Setidaknya Brian harus mengenalkanku sebagai sahabatnya saja, bukan pacarnya. Lagipula kami juga tidak dalam hubungan seperti itu bukan? Saat Brian menyatakan cintanya saja, aku menolak.“Brian…..”Desisku dengan alis berkerut. Tidak nyaman saja dengan apa yang dia lakukan.Bukannya
Aku tahu jika Brian sedang tidak main-main dengan kata-katanya. Dan aku juga tahu, bahwa pria itu juga sungguh-sungguh dengan niatannya untuk menikah denganku. Namun semua hal tidak akan semudah itu. Andai saja aku tidak mengalami trauma dengan masa laluku, mungkin Brian adalah salah satu pria yang bisa kuperhitungkan. Hanya saja, untuk saat ini luka yang singgah di hatiku dua tahu lalu sama sekali belum mengering dengan sempurna. Ada saja nyeri yang masih menusuk hatiku setiap ingat tentang hal itu.Bukankah ada suatu pepatah yaitu, jika kamu masih teringat trauma masa lalumu dan hatimu sudah tidak sakit lagi, berarti lukamu sudah sembuh? Sedangkan aku, setiap mengingat saat-saat itu, hatiku masih sakit seperti biasanya.Setelah menjawab kalimat Brian dengan. “Brian, aku tidak bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa. Lupakan aku dan carilah wanita lain yang bisa memberimu semua hal yang kamu inginkan.”, aku segera menghabiskan makanku dan mengajakny untuk pulang.Meskipun berulang ka
Aku menatap arloji kecil yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah lebih dari limabelas menit dan Claire belum juga nampak batang hidungnya sama sekali. Padahal aku tahu dengan jelas bahwa Claire adalah tipe orang yang selalu tepat waktu. Bahkan sering pula ia yang menungguku. Jadi malam ini ia begitu aneh dengan telatdi acara pertemuan yang sudah kami rancang beberapa hari ini.Setelah kembali menunggu lima menit, dan mobil Claire juga belum terlihat masuk ke dalam restoran, aku mulai cemas. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan perempuan itu. Dengan cepat aku membuka handbag yang sejak tadi ku pegang erat, dari sana aku mengeluarkan ponselku dan dengan cepat mencari nama Claire di kontak teleponku.Setelah bunyi ‘tuuut’ ketiga perempuan itu mengangkat teleponnya.“Claire kau dimana? Aku sudah menunggu hampir setengah jam di depan restoran dengan penampilan yang……” aku berdecak dan menelisik penampilanku. Sangat formal sekali aku pikir. Karena Claire yang memintaku berpakaian demi