Mobil sedan mahal yang mengantarkan sang tuan muda dan istri barunya ke sebuah rumah bak istana Bogor itu berhenti di depan teras. Dengan sigap pengawal Harvey membukakan pintu mobil dan menunggu pria muda tampan itu turun dan mengulurkan tangan kanannya ke wanita yang ikut pulang bersamanya.
Jantung Isyana berdebar kencang karena dia tak yakin menginginkan kekacauan yang telah disepakatinya tadi. Tanda tangannya di surat perjanjian nikah kontrak bersama Harvey Adi Dharmawan itu tak bisa dibatalkan begitu saja. Ditambah kenyataan nyawa seseorang dipertaruhkan bila dia mundur dari kesepakatan yang saling menguntungkan ini.
"Rumah kamu gede, bagus!" puji Isyana dengan tegang. Dia merasa tubuhnya kaku di tempat ketika Harvey menggamit tangannya.
"Ini akan jadi tempat tinggalmu selama menjadi istriku, Manis!" Harvey tersenyum tipis melirik ke wajah Isyana yang tersipu malu. Dia menyadari wanita di sampingnya sulit berjalan lalu bertanya, "kau ini kenapa? Apa kakimu kram, Isyana?" Tanpa menunggu jawaban maka Harvey segera meraup bagian belakang tubuh Isyana ke gendongannya.
"Aarrh!" pekik Isyana terkejut saat dia tak lagi memijak bumi. Kedua lengannya reflek memeluk badan berotot suami barunya itu. Kemudian dia bertanya dengan suara mencicit panik, "apa yang akan kau lakukan?!"
Harvey gemas sekali dengan wanita yang tak sengaja ditemukan pengawalnya malam ini. Kalau diperhatikan justru pengantin penggantinya lebih cantik dibanding Rania Devina, calon istri kabur yang dikenalnya dari situs dating online.
"Memakanmu sebagai hidangan pencuci mulutku!" jawab Harvey mencandai Isyana yang tengah meronta-ronta dalam gendongannya.
"Jangan bercanda. Katamu tadi kau hanya mencari istri bukan mangsa untuk dijadikan santapan makan malam!" tantang Isyana dengan segenap keberaniannya.
Harvey pun tertawa renyah dan memberi kode asisten pribadinya untuk membukakan pintu kamar utama. "Ohh ya, istriku cerdas dan seorang pengingat yang baik rupanya!" pujinya puas. Standarnya untuk mencari pendamping hidup selama ini terlalu tinggi sehingga tak kunjung menikah.
"Kenapa kau tidak bisa menjawab pertanyaanku dengan singkat, padat, jelas? Dasar pria menyebalkan!" gerutu Isyana yang detik berikutnya menjerit karena dilemparkan oleh Harvey ke tengah ranjang king size miliknya dan segera ditindih dengan badan besarnya.
"Memangnya kenapa? Apa kau menyesal menjadi istriku? Sayangnya sudah terlambat. Bahkan, bila aku tak mengizinkanmu keluar dari kamar ini selamanya maka itu yang akan terjadi!" ujar Harvey santai sembari membelai pipi mulus Isyana.
"Dasar tukang paksa!" tukas Isyana seraya mendengkus kesal.
Harvey tak menghiraukan protes wanita keras kepala itu dan mulai menurunkan tali tipis gaun merah cantik yang ada di bahu putih mulus istri barunya. Kecupan-kecupan bibirnya menjalar dari leher jenjang Isyana menuju ke bahu dan turun lagi ke bulatan kembar yang menyembul dari tepian bagian dada gaun terbuka itu.
Tubuh Isyana yang tak pernah mendapat perlakuan intim seperti itu mulai bergetar. Dia tak sengaja melenguh, "Oohh ... mmh!"
Diam-diam Harvey tersenyum merasa menang kali ini. Dia yakin wanita di bawah kungkungan tubuh kekarnya itu masih perawan. Sensitif sekali dengan sentuhan bibirnya. Telapak tangan Harvey menyingkap ujung bawah gaun merah Isyana lalu membelai kulit mulus paha wanita itu.
"Apa kau suka dibeginikan?" tanya Harvey dengan suara Bass yang maskulin.
Sesaat kemudian tangan kanan Isyana terangkat ingin menampar Harvey. Namun, reflek pria itu terlalu bagus, dia menepisnya dengan mudah. "Jangan main kasar kepadaku, Sayang. Istri harus patuh pada kehendak suami. Dan jangan lupa, Oma Widya menginginkan cucunya segera dilahirkan ke dunia. Kau mengiyakan pesannya tadi!" tegur Harvey dengan nada malas.
"Kau menjebakku!" tuduh Isyana meradang. Dia tak menyangka malam yang kacau karena pesta midodareni yang diserobot adik tirinya harus berakhir dalam situasi berantakan seperti ini.
Bukannya membalas perkataan Isyana, bibir Harvey justru asyik melumat bibir kenyal beraroma cherry itu. Dia merasa hasratnya tak tertahan lagi padahal mereka baru berkenalan beberapa jam lalu. Segala penolakan Isyana membuatnya gemas, malu-malu sekalipun mau.
Isyana pun terhanyut sekali lagi di bawah kendali suami dadakannya yang teramat dominan. Kedua tangannya ditahan Harvey di atas kepala dan pahanya direnggangkan oleh lutut kokoh Harvey. Satu hal yang masih menyelamatkannya ... pakaian mereka berdua masih utuh menempel di tubuh masing-masing.
"Istriku, apa aku boleh menikmati malam pertama bersamamu?" tanya Harvey coba-coba. Dia bertaruh jawaban Isyana dalam hatinya.
Kepala berambut panjang hitam legam itu menggeleng kuat-kuat. "Lepaskan—"
"Bandel sekali!" potong Harvey gemas. Reaksi tubuh wanita itu tak ada penolakan, tetapi mulutnya terus saja berkata sebaliknya.
Akhirnya, Harvey memagut leher Isyana kuat-kuat dan meninggalkan bukti kepemilikan jelas berwarna merah di sana. "Aku menandai betinaku!" ucapnya lalu bangkit dari ranjang. Dia melenggang menuju ke kamar mandi untuk meredakan hawa panas yang membuatnya kegerahan.
"Dasar wanita sialan!" gumamnya lalu memutar keran shower air dingin.
Air mengguyur deras dari atas kepalanya dan membuat uap mengepul meninggalkan tubuh dengan gugusan otot padat nan kekar itu.
Sementara di atas ranjang luas yang sepreinya kusut, Isyana duduk memeluk kakinya yang bertungkai ramping sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Ukhh ... sepertinya suami dadakanku seorang milyarder. Tak seharusnya tadi aku kasar menolaknya. Dia menawariku satu milyar sebulan jika mau menjadi istrinya!" ucap lirih Isyana dengan menyesal.
Suara gemericik air yang terdengar dari arah kamar mandi berhenti dan Isyana kembali waspada. Dia bertanya-tanya apakah benar malam ini dia harus menyerahkan keperawanannya kepada Harvey yang baru saja dikenalnya?
"Ceklek!" Pintu kamar mandi berayun terbuka dan sosok yang hanya berbalut handuk putih di pinggulnya itu melangkah dengan gagah mendekati Isyana di atas tempat tidur.
Mulut Isyana menganga tidak anggun, dia seakan-akan sanggup mendengar bunyi detak jantungnya sendiri saking kencangnya. Wanita itu menelan ludah dan berdehem. "A—aku ... tidak—"
"Jangan kegeeran ya. Aku hanya ingin menawarimu untuk mandi. Kau tadi berkeringat di jalan, bukan?" potong Harvey lalu membalik lagi badannya. Dia berjalan beberapa langkah dan berkata lagi, "sayangnya kau belum melihat bagian terbaik dari tubuhku yang sempurna ini!" Lalu dia pun tertawa nyaring meninggalkan Isyana ke kamar sebelah yang memiliki pintu paralel dengan kamar yang ditempati Isyana.
Isyana cemberut memandangi pintu yang baru saja menutup rapat itu dan membeo perkataan sosok yang telah pergi tadi, "Dasar narsis! Sayangnya kau belum melihat bagian terbaik dari tubuhku yang sempurna ini!"
Jam dinding di kamar menunjukkan pukul 23.45 WIB. Isyana merasa terlalu dingin baginya untuk mandi maka dia mengabaikan tawaran Harvey untuk mandi. "Lebih baik tubuhku kecut dari pada aku mandi hingga wangi lalu dia jadi tambah napsu. BIG NO!" putus Isyana dengan keras kepala lalu dia menarik selimut menutupi dirinya rapat-rapat karena AC pendingin ruangan mulai bekerja. Dengan mudah Isyana jatuh tertidur karena terlalu lelah.
Beberapa menit berselang Harvey kembali lagi masuk ke kamar sebelah untuk memeriksa Isyana. Dia tak menyangka wanita itu menolak untuk mandi. 'Hmm ... keras kepala seperti keledai betina. Aku harus mendidiknya agar patuh dan bersikap manis seperti kucing!' batin Harvey, tak ingin membuat Isyana terbangun dari tidur lelapnya.
"Hey, Putri Tidur! Bangunlah ... ini sudah siang, kau masih molor saja!" seru Harvey sembari menarik lepas selimut yang menutupi tubuh istri barunya."KYAAA!" jerit Isyana sambil terbangun dan duduk di tengah ranjang menatap nanar Harvey yang berdiri bersedekap di samping tempat tidur, "kamu siapa? Beraninya menerobos kamar tidurku!"Pria itu mendengkus geli lalu berkata, "Aduh duh, ckckck ... ternyata selain hobi bangun siang, istriku juga punya amnesia yang parah!""Oohh ... iya, aku baru ingat. Kamu Harvey, cowok yang semalem nawarin aku buat nikah kontrak, betul 'kan?" balas Isyana seraya terkikik konyol. "Betul. Tolong sekarang jangan buang-buang waktuku. Mandi cepetan lalu berdandan rapi. Kita lanjut ngobrol di ruang makan!" Harvey pun bertepuk tangan tiga kali dan beberapa pelayan wanita berseragam rapi segera muncul dari balik pintu kamar yang ditempati Isyana. Dia bertitah, "kalian urusi nyonyaku ya. Jangan lama-lama, pekerjaanku banyak hari ini!" Kemudian Harvey berbalik b
Isyana menimbang-nimbang tuntutan dari Harvey lalu menjawab, "Baiklah. Kalau memang harus melahirkan anak untukmu, aku akan coba—""Kau hanya perlu setuju, selebihnya serahkan saja padaku. Aku lebih dari sanggup untuk membuatmu hamil seperti adik tirimu itu!" Harvey mengerlingkan sebelah matanya sembari terkekeh. Dia memanggil taksi dan meminta Isyana memberi tahukan alamat rumah ibu tirinya. "Pak, Jalan Nakula nomor delapan belas!" ucap Isyana kepada sopir taksi lalu mobil itu pun meluncur menuju ke rumah peninggalan mendiang papanya. Sesampainya mereka di sebuah rumah mewah bergaya bangunan kuno tiga lantai di tengah kota, Harvey membayar ongkos taksi lalu mereka berdua berjalan kaki memasuki halaman luas rumah tersebut.Ternyata sedang ada acara perayaan di sana, mobil-mobil mewah berbagai merk terparkir berjejer di halaman depan. Suara musik berirama riang diputar menyemarakkan suasana pesta diselingi bunyi denting peralatan makan."Mas Harvey, mungkin kita terlalu cepat ke mar
"Selamat datang di unit apartemen mungil ini, Mas!" seru Isyana sembari terkikik. Tempat huniannya jadi nampak seperti liang kelinci dibandingkan mansion megah milik Harvey.Pria bertubuh jangkung dengan garis rahang tegas itu mengedarkan pandangannya ke seisi tempat tinggal istrinya. "Kecil, tapi rapi!" nilainya dengan nada dingin seperti biasa.Isyana tak mengharapkan pujian keren untuk unit sewaan seharga dua juta per bulan di daerah Jakarta. Dia pun berkata, "Mas Harvey, tunggu di sofa sebentar ya. Aku mau packing baju dan barang lainnya ke koper dulu!""Ehh ... ngapain? Ribet amat kamu, hmm!" sahut Harvey mengerutkan alis tebalnya sembari mencekal pergelangan tangan Isyana. Sedikit bengong karena memang tujuannya ke apartemen memang untuk mengambil baju dan lainnya, Isyana lalu menjawab, "Aku nggak ada baju ganti di rumahnya Mas Harvey 'kan?"Namun, Harvey menarik tangan Isyana hingga terpental ke dalam dekapannya seraya berkata, "Nggak perlu lagi. Walk-in-closet kamarmu sudah k
Bunyi notifikasi pesan masuk di ponsel Isyana di nakas samping tempat tidur membangunkannya di ujung pagi. Semalaman Harvey tak berhenti memùaskan dirinya menyentuh Isyana hingga mereka jatuh terlelap.Isyana meraih HP miliknya dan membaca pesan dari sahabatnya Elvina yang sama-sama bekerja di bawah naungan rumah mode Berlinni. 'Sori bangunin kamu pagi-pagi, Isya. Ini gawat banget, aku sudah lihat deretan outfit yang akan diperagakan di fashion show Berlinni untuk siang nanti. Delapan puluh persen mirip gambar di sketch book milikmu lho. Tebak siapa yang mengakui desain itu karya buatannya? Alicia!'"Ya Tuhan! Ckk ... dasar plagiat, sejak dulu dia selalu merebut dan mencuri apa pun yang kumiliki!" gerutu Isyana yang hilang kantuknya. Dia benci sekali dengan kenyataan bahwa adik tirinya selalu mendapatkan apa yang diinginkan dengan mudah padahal cara yang dilakukan Alicia selalu curang.Harvey yang terbangun karena mendengar suara Isyana marah-marah itu meraih pinggang Isyana yang dudu
Langkah Alicia terhenti di tengah atrium Mall Fritzgerald saat dia melihat Isyana mengatur para model yang akan tampil dalam peragaan busana Berlinni siang nanti. Dia mendengkus kasar tak senang mengetahui situasi ini lalu bersedekap sambil berteriak, "ISYANA, BERHENTI SOK MENGATUR MODEL!" Semua kepala menoleh ke arah Alicia, dia mengejutkan semua kru dan peserta fashion show. Mereka pun berbincang membicarakan keributan itu dan menatap penasaran.Isyana pun turun dari panggung untuk menghampiri Alicia, adik tirinya yang menatap penuh dengki kepadanya. "Aku hanya menjalankan perintah Nyonya Lorraine Suwito. Beliau yang memberiku tugas untuk mengatur para model. Dan ini sudah sangat siang sebetulnya, sebentar lagi mall akan dibuka untuk para pengunjung umum!" jawab Isyana apa adanya tanpa bermaksud mengkonfrontasi Alicia mengenai desain miliknya yang dicuri."Huhh, itu tugasku karena Nyonya Lorraine menggunakan desain outfit buatanku!" Senyum licik bermain di bibir Alicia, dia yakin k
"Isya!" seru Harvey terkejut saat istrinya dikasari oleh adik tiri perempuan itu. Belum sempat dia menolong Isyana yang terjerembap di panggung, beberapa kru event organizer sudah sigap membantu wanita itu berdiri."Kau wanita jahat penipu!" sembur Alicia kalap seraya menunjuk-nunjuk wajah Isyana. "Aku? Penipu, katamu?" Isyana tertawa kering. "Alicia, kata-katamu itu lebih cocok bila digunakan untuk dirimu sendiri!" ujarnya santai tanpa tersinggung."Ini baju-baju karya desainku. Kau mengaku-ngaku bahwa aku mencuri idemu. Apa yang tidak jahat kalau begitu?!" Nada suara nyaring Alicia menukik naik.Dari arah pintu masuk atrium, Pedro yang terlambat tiba ke acara fashion show bergegas menghampiri Alicia di atas panggung. Dia miris karena keributan istrinya dan Isyana menjadi tontonan publik. "Alicia, ada apa ini?" seru Pedro seraya merangkul bahu istrinya.Isyana merasa hatinya seperti tercubit melihat perhatian manis mantan tunangannya kepada Alicia. Dia menghela napas mencoba tegar k
"Mas Harvey, untuk siapa semua gaun yang kamu borong dari fashion show tadi?" tanya Isyana serius. Dia pun berhitung dalam kepalanya nominal yang dikeluarkan suaminya untuk membeli dua puluh delapan potong gaun.Pria itu tertawa ringan. "Untukmu. Kau 'kan istriku!""Ya Tuhan, tidak. Itu pemborosan namanya! Bahkan, isi lemariku belum semuanya sempat kupakai dan masih berlabel merk dari butiknya. Jangan begitulah, Mas Harvey!" seru Isyana tak enak hati. Namun, di dalam mobil yang melaju menuju ke rumah mereka, Harvey meraih Isyana ke pelukannya dan mencicipi bibir yang terus memprotesnya sedari tadi. Dia mulai kecanduan dengan nikmatnya tubuh Isyana terlebih lagi ciuman wanita itu."Aku membuat uang mengalir ke kocekku setiap detiknya. Kenapa kamu mempersoalkan sedikit perhatianku itu, Isya? Chill out!" ujar Harvey sembari mengerlingkan sebelah matanya. Isyana memutar bola matanya ketika mendengar kata 'sedikit', di dunianya yang biasa-biasa saja dan terkadang berkekurangan akibat dit
"Makan yang banyak, Isya. Aku tak ingin kamu terlihat kurus atau kurang gizi karena terlalu banyak olah raga ranjang bersamaku!" Harvey menaruh potongan besar steak salmon ke piring istrinya.Para pelayan yang berdiri di sekitar pasangan pengantin baru itu di ruang makan hanya bisa menahan tawa dan saling lirik. Mereka turut berbahagia untuk tuan muda kesayangan nyonya besar Widya Dharmawan. Selama ini Harvey selalu nampak dingin tak tersentuh dan jarang berbicara kepada siapa pun kecuali Bob, asisten kepercayaannya."Mas Harvey, aku sudah kenyang. Masakan koki rumah ini memang lezat, tapi kapasitas lambungku sudah full tank. Udah ya!" tolak Isyana. Sejak tiga puluh menit yang lalu dia terus menerus mengunyah makanan yang diberikan Harvey ke piringnya.Suaminya mengangguk setuju. "Okay, kalau begitu kita balik ke kamar ya?" ujar Harvey seraya bangkit dari kursinya. Dia membantu Isyana dengan memundurkan kursi wanita itu."Apa Mas Harvey sudah ngantuk?" tanya Isyana karena suaminya ter