"Aku tak habis pikir, tega-teganya Alicia dan Mas Pedro bersekongkol di belakangku, Tante!" seru Isyana Prameswari di dalam sebuah mobil BMW hitam yang melaju kencang di jalan raya Jakarta Selatan.
Wanita paruh baya di sebelah backseat mobil mewah itu menjawab dengan tawa sinis, "Derita kamu, Isya. Putriku jauh lebih menarik hati tunanganmu yang kaya raya. Buktinya pemuda itu tega mendepak kamu di hari bahagiamu. HAHAHA!"
"TANTE MARISSA!" hardik Isyana kepada ibu tirinya yang licik dan jahat hatinya itu.
"Sopir, buka pintu mobil dan hentikan!" titahnya lalu dia dengan sengaja mendorong anak tirinya keluar dari mobil yang bahkan belum berhenti sempurna.
"Aargh!" jerit Isyana yang tak siap dengan kejadian mendadak itu. Dia terguling dari mobil dan mendarat di jalan raya beraspal keras.
"BLAMM!" Pintu mobil ditutup lagi dengan cepat.
"Jalankan mobilnya, Sopir!" titah Nyonya Marissa Gunarti, ibu tiri Isyana yang telah tiga tahun belakangan menjanda karena ayah kandung Isyana telah berpulang akibat serangan jantung.
Isyana bangkit berdiri dari atas permukaan aspal yang menggores kulit lengannya dan menyisakan rasa seperti terbakar. Dia mendesis kesakitan dan berjalan agak pincang karena mendarat tak sempurna tadi. "Dasar wanita iblis sialan!" rutuknya dongkol sambil berjalan terseok-seok membawa tas tangan kecil fashionable.
Luka dalam hatinya masih menganga lebar karena pesta pertemuan keluarga dengan calon suami yang akan dinikahinya besok pagi disabotase oleh adik tirinya tadi.
"Apa sudah nggak laku si Alicia sampai calon kakak ipar juga diembat sama dia?!" gerutu Isyana sembari berjalan ke halte bus tak jauh dari tempat dia terjatuh dari mobil.
Sementara tak jauh dari situ, seorang pria sedang menelepon seorang gadis yang rencana akan dia pertemukan dengan sang oma. Wanita tua yang telah merawatnya sejak kecil itu butuh segera dioperasi untuk pemasangan ring jantung. Namun, Oma Widya memberikan satu syarat sebelum dia mau dioperasi, cucu kesayangannya yaitu Harvey Adi Dharmawan harus sudah menikahi wanita yang dipertemukan dengan beliau.
"Halo, Rania. Aku sudah dekat dengan taman yang kamu bilang. Silakan bersiap-siap, pengawalku akan menjemputmu!" ujar Harvey dengan nada dingin yang datar.
"Halo, Mas Harvey. Iya, aku siap kok. Ngomong-ngomong kalau boleh tahu, usia Mas tahun ini berapa sih kok ngebet mau langsung nikah padahal 'kan kita baru sekali ini ketemuan?" balas Rania Devina, wanita yang dipilih Harvey dari situs dating online.
"Aku 65 tahun sih, kenapa? Kamu suka sugar daddy 'kan katamu di chat kita kemarin! HAHAHA." Sebetulnya niat Harvey hanya mencandai Rania, toh mereka hanya nikah kontrak sampai kondisi Oma Widya stabil pasca operasi penting tersebut.
Wajah Rania sontak berubah pucat pasi karena syok. "WHAT?! Ehh ... Mas, teleponnya kututup dulu ya. Bye!" balas wanita muda itu dengan panik. Dia melepas high heels cantik di kedua kakinya dan bersiap untuk melarikan diri. Mana mau dia kencan buta dan berakhir menikahi bandot tua yang ngakunya tajir melintir.
"Anjiirr! Ketipu mentah-mentah gue, ini semua gara-gara situs dating online nggak jelas itu!" gerutu Rania dan segera kabur dari tempat pertemuannya dengan Harvey.
Memang hari sudah malam dan jalanan mulai sepi, Rania tetap nekad berjalan kaki tanpa alas kaki untuk menghilang dari teman kencannya secepatnya.
"Tuan Muda Harvey, apa tempat janji temunya di taman area ini?" tanya Bob, asisten pribadinya yang juga menjadi pengawal setia Harvey selama lima tahun terakhir.
"Yoii, buruan kamu jemput si Rania Devina ini. Katanya dia pake dress panjang warna merah. Aku nggak punya banyak waktu!" titah Harvey dengan seenaknya seperti khas seorang tuan muda.
"Baik, Tuan Muda Harvey!" sahut Bob dengan patuh. Dia segera meminta sopir menepikan mobil sport warna hitam mengkilap itu.
Selusin pengawal menemaninya menjemput calon istri bos mereka. Sepuluh menit berlalu tanpa hasil. Bob segera melapor mewakili rekan-rekannya, "Maaf, Tuan Muda Harvey, gadis yang Anda titahkan untuk dijemput tidak bisa kami temukan di area taman ini!"
"HAHH?! Itu tak mungkin, tadi aku sudah meneleponnya. Dia memakai gaun panjang warna merah. Coba kita maju lagi dan kalian sisir semua area hingga radius 500 meter. Dia harus ditemukan malam ini juga, PAHAM?!" teriak Harvey dengan emosional.
Dia jelas panik karena Oma Widya harus segera dioperasi, tidak boleh ditunda lagi karena calon istrinya kabur. Toh mereka hanya menikah pura-pura dengan surat kontrak tertulis nantinya dan bercerai lagi beberapa bulan ke depan. 'Di mana Rania Devina ini?' pikir Harvey kalut.
Para bawahannya segera menyisir area taman hingga ke sebuah halte bus sepi. "Bob, lihat gadis itu!" seru Ferry, pengawal Harvey sembari menunjuk ke satu titik di bangku tunggu halte.
"Syukurlah! Itu pasti gadis yang harus kita jemput untuk bos. Ayo bawa dia, Teman-teman!" ujar Bob dengan penuh semangat. Dia memimpin rekan-rekan pengawal Harvey untuk menghampiri gadis cantik bergaun merah tersebut.
"Nona, mari ikut kami menemui Tuan Muda Harvey. Beliau telah menunggu Anda di mobil. Kita harus cepat!" ujar Bob berbicara dengan gadis yang mereka cari.
Tentu saja Isyana curiga, dia tak kenal dengan bos para pria bersetelan hitam necis yang bergerombol mengepungnya itu. "Mungkin kalian salah orang, aku hanya menunggu taksi online. Ponselku malah lowbatt dan mati dayanya!" jawab Isyana menolak untuk beranjak dari bangku halte sepi itu.
"Jangan bohong, Nona. Kalau Anda ingin bercanda, ini bukan saat yang tepat. Oma Widya sedang kritis dan butuh segera bertemu dengan Anda secepatnya!" tegur Bob, dia bersikeras bahwa Isyana adalah Rania.
Kemudian Bob memberi kode untuk mencekal kedua lengan gadis itu. "Bawa dia, cepat!" perintahnya tegas.
Dua pria berpostur tinggi kekar khas bodyguard mencekal tangan Isyana di kanan dan kiri. Mereka setengah menjinjing wanita bertulang kecil itu seperti kucing saja.
"Hey, kalian salah orang. Lepaskan!" jerit Isyana histeris. Namun, tak ada orang yang bisa membantunya karena daerah itu sepi di malam hari.
Dia dijejalkan masuk ke backseat mobil sedan mewah lalu ditutup pintunya. Tentu saja Isyana panik dan segera mencoba kabur membuka pintu mobil. Sayangnya dia tak bisa melarikan diri ke mana pun. Matanya membulat terkesiap saat sepasang lengan kokoh melingkari tubuhnya dari balik punggung. Dia ingin meronta, tetapi tenaga pria beraroma wangi nyaris memabukkan indera penciumannya itu terlampau kuat.
"Lepas ... hey! Jangan kurang ajar ya!" hardik Isyana dengan galak. Dia mencoba menggigit punggung tangan yang tak tertutupi jas biru tua milik pria itu.
"Aduh! Sakit tahu? Kamu bukan pengidap rabies 'kan?!" teriak Harvey kesal. Dia tak menyangka calon istrinya seliar itu. Bekas gigi dua deret membekas di kulit tangan Harvey.
Isyana yang terlepas dari belitan lengan Harvey segera menoleh ke belakang punggungnya. Ternyata pria dalam mobil itu berparas rupawan dengan gugusan otot yang tak dapat disembunyikan oleh balutan setelan jas mahal.
"Kau siapa? Kenapa menyuruh anak buahmu menangkapku?" cecar Isyana, mengabaikan pesona mematikan pria di hadapannya.
"Apa kau amnesia?!" tukas Harvey mengerutkan sepasang alis tebalnya seraya menatap tajam gadis itu.
"Amnesia?!" ulang Isyana dengan kebingungan. Pria tampan itu sepertinya yang kurang waras, pikirnya. Harvey merasa habis kesabaran, dia sedang dikejar waktu karena Oma Widya harus segera dioperasi oleh dokter bedah. Dia pun akhirnya bertanya kepada gadis yang ada di hadapannya, "Okay, jadi siapa namamu? Kau bilang anak buahku salah jemput orang 'kan?"Sebuah tangan kanan yang ramping berjemari lentik terulur di depan Harvey. "Kenalkan, namaku Isyana Prameswari! Siapa nama kamu, Mas?" "Aku Harvey, panggil aja begitu. Jadi kamu bukan Rania Devina, hmm?" selidik Harvey. Dia menerima dengan kenyataan bahwa anak buahnya memang salah jemput orang yang pakaiannya sama gaun panjang warna merah."Siapa tuh? Kayak nama artis film pendek di TV deh, yang jelas itu bukan aku ya! Oya, kalau seumpama aku nebeng sampai di Greenwich Tower apa bisa? Aku akan ganti bensinnya lima puluh ribu rupiah deh!" Isyana berharap dia bisa menumpang pulang ke apartemennya karena ponselnya sudah habis daya dan mat
Mobil sedan mahal yang mengantarkan sang tuan muda dan istri barunya ke sebuah rumah bak istana Bogor itu berhenti di depan teras. Dengan sigap pengawal Harvey membukakan pintu mobil dan menunggu pria muda tampan itu turun dan mengulurkan tangan kanannya ke wanita yang ikut pulang bersamanya.Jantung Isyana berdebar kencang karena dia tak yakin menginginkan kekacauan yang telah disepakatinya tadi. Tanda tangannya di surat perjanjian nikah kontrak bersama Harvey Adi Dharmawan itu tak bisa dibatalkan begitu saja. Ditambah kenyataan nyawa seseorang dipertaruhkan bila dia mundur dari kesepakatan yang saling menguntungkan ini."Rumah kamu gede, bagus!" puji Isyana dengan tegang. Dia merasa tubuhnya kaku di tempat ketika Harvey menggamit tangannya."Ini akan jadi tempat tinggalmu selama menjadi istriku, Manis!" Harvey tersenyum tipis melirik ke wajah Isyana yang tersipu malu. Dia menyadari wanita di sampingnya sulit berjalan lalu bertanya, "kau ini kenapa? Apa kakimu kram, Isyana?" Tanpa me
"Hey, Putri Tidur! Bangunlah ... ini sudah siang, kau masih molor saja!" seru Harvey sembari menarik lepas selimut yang menutupi tubuh istri barunya."KYAAA!" jerit Isyana sambil terbangun dan duduk di tengah ranjang menatap nanar Harvey yang berdiri bersedekap di samping tempat tidur, "kamu siapa? Beraninya menerobos kamar tidurku!"Pria itu mendengkus geli lalu berkata, "Aduh duh, ckckck ... ternyata selain hobi bangun siang, istriku juga punya amnesia yang parah!""Oohh ... iya, aku baru ingat. Kamu Harvey, cowok yang semalem nawarin aku buat nikah kontrak, betul 'kan?" balas Isyana seraya terkikik konyol. "Betul. Tolong sekarang jangan buang-buang waktuku. Mandi cepetan lalu berdandan rapi. Kita lanjut ngobrol di ruang makan!" Harvey pun bertepuk tangan tiga kali dan beberapa pelayan wanita berseragam rapi segera muncul dari balik pintu kamar yang ditempati Isyana. Dia bertitah, "kalian urusi nyonyaku ya. Jangan lama-lama, pekerjaanku banyak hari ini!" Kemudian Harvey berbalik b
Isyana menimbang-nimbang tuntutan dari Harvey lalu menjawab, "Baiklah. Kalau memang harus melahirkan anak untukmu, aku akan coba—""Kau hanya perlu setuju, selebihnya serahkan saja padaku. Aku lebih dari sanggup untuk membuatmu hamil seperti adik tirimu itu!" Harvey mengerlingkan sebelah matanya sembari terkekeh. Dia memanggil taksi dan meminta Isyana memberi tahukan alamat rumah ibu tirinya. "Pak, Jalan Nakula nomor delapan belas!" ucap Isyana kepada sopir taksi lalu mobil itu pun meluncur menuju ke rumah peninggalan mendiang papanya. Sesampainya mereka di sebuah rumah mewah bergaya bangunan kuno tiga lantai di tengah kota, Harvey membayar ongkos taksi lalu mereka berdua berjalan kaki memasuki halaman luas rumah tersebut.Ternyata sedang ada acara perayaan di sana, mobil-mobil mewah berbagai merk terparkir berjejer di halaman depan. Suara musik berirama riang diputar menyemarakkan suasana pesta diselingi bunyi denting peralatan makan."Mas Harvey, mungkin kita terlalu cepat ke mar
"Selamat datang di unit apartemen mungil ini, Mas!" seru Isyana sembari terkikik. Tempat huniannya jadi nampak seperti liang kelinci dibandingkan mansion megah milik Harvey.Pria bertubuh jangkung dengan garis rahang tegas itu mengedarkan pandangannya ke seisi tempat tinggal istrinya. "Kecil, tapi rapi!" nilainya dengan nada dingin seperti biasa.Isyana tak mengharapkan pujian keren untuk unit sewaan seharga dua juta per bulan di daerah Jakarta. Dia pun berkata, "Mas Harvey, tunggu di sofa sebentar ya. Aku mau packing baju dan barang lainnya ke koper dulu!""Ehh ... ngapain? Ribet amat kamu, hmm!" sahut Harvey mengerutkan alis tebalnya sembari mencekal pergelangan tangan Isyana. Sedikit bengong karena memang tujuannya ke apartemen memang untuk mengambil baju dan lainnya, Isyana lalu menjawab, "Aku nggak ada baju ganti di rumahnya Mas Harvey 'kan?"Namun, Harvey menarik tangan Isyana hingga terpental ke dalam dekapannya seraya berkata, "Nggak perlu lagi. Walk-in-closet kamarmu sudah k
Bunyi notifikasi pesan masuk di ponsel Isyana di nakas samping tempat tidur membangunkannya di ujung pagi. Semalaman Harvey tak berhenti memùaskan dirinya menyentuh Isyana hingga mereka jatuh terlelap.Isyana meraih HP miliknya dan membaca pesan dari sahabatnya Elvina yang sama-sama bekerja di bawah naungan rumah mode Berlinni. 'Sori bangunin kamu pagi-pagi, Isya. Ini gawat banget, aku sudah lihat deretan outfit yang akan diperagakan di fashion show Berlinni untuk siang nanti. Delapan puluh persen mirip gambar di sketch book milikmu lho. Tebak siapa yang mengakui desain itu karya buatannya? Alicia!'"Ya Tuhan! Ckk ... dasar plagiat, sejak dulu dia selalu merebut dan mencuri apa pun yang kumiliki!" gerutu Isyana yang hilang kantuknya. Dia benci sekali dengan kenyataan bahwa adik tirinya selalu mendapatkan apa yang diinginkan dengan mudah padahal cara yang dilakukan Alicia selalu curang.Harvey yang terbangun karena mendengar suara Isyana marah-marah itu meraih pinggang Isyana yang dudu
Langkah Alicia terhenti di tengah atrium Mall Fritzgerald saat dia melihat Isyana mengatur para model yang akan tampil dalam peragaan busana Berlinni siang nanti. Dia mendengkus kasar tak senang mengetahui situasi ini lalu bersedekap sambil berteriak, "ISYANA, BERHENTI SOK MENGATUR MODEL!" Semua kepala menoleh ke arah Alicia, dia mengejutkan semua kru dan peserta fashion show. Mereka pun berbincang membicarakan keributan itu dan menatap penasaran.Isyana pun turun dari panggung untuk menghampiri Alicia, adik tirinya yang menatap penuh dengki kepadanya. "Aku hanya menjalankan perintah Nyonya Lorraine Suwito. Beliau yang memberiku tugas untuk mengatur para model. Dan ini sudah sangat siang sebetulnya, sebentar lagi mall akan dibuka untuk para pengunjung umum!" jawab Isyana apa adanya tanpa bermaksud mengkonfrontasi Alicia mengenai desain miliknya yang dicuri."Huhh, itu tugasku karena Nyonya Lorraine menggunakan desain outfit buatanku!" Senyum licik bermain di bibir Alicia, dia yakin k
"Isya!" seru Harvey terkejut saat istrinya dikasari oleh adik tiri perempuan itu. Belum sempat dia menolong Isyana yang terjerembap di panggung, beberapa kru event organizer sudah sigap membantu wanita itu berdiri."Kau wanita jahat penipu!" sembur Alicia kalap seraya menunjuk-nunjuk wajah Isyana. "Aku? Penipu, katamu?" Isyana tertawa kering. "Alicia, kata-katamu itu lebih cocok bila digunakan untuk dirimu sendiri!" ujarnya santai tanpa tersinggung."Ini baju-baju karya desainku. Kau mengaku-ngaku bahwa aku mencuri idemu. Apa yang tidak jahat kalau begitu?!" Nada suara nyaring Alicia menukik naik.Dari arah pintu masuk atrium, Pedro yang terlambat tiba ke acara fashion show bergegas menghampiri Alicia di atas panggung. Dia miris karena keributan istrinya dan Isyana menjadi tontonan publik. "Alicia, ada apa ini?" seru Pedro seraya merangkul bahu istrinya.Isyana merasa hatinya seperti tercubit melihat perhatian manis mantan tunangannya kepada Alicia. Dia menghela napas mencoba tegar k