"Harvey, ke mari duduk sama Oma sebentar!" panggil neneknya yang nampak sedang menunggu kepulangan sang cucu.Tanpa protes Harvey mendaratkan bokongnya di sofa bersebelahan dengan Oma Widya. Dia pun bertanya, "Tumben Oma kok pengin ngajak ngobrol aku, ada apa?" "Ini penting, Cucuku. Dengar, tadi Marni dan Diyah belanja kebutuhan rumah tangga di supermarket. Mereka berdua dibujuk dan diiming-imingi uang jutaan rupiah untuk menyerahkan celana dalam milikmu. Kalau pengalaman Oma sewaktu muda, barang pribadi semacam itu biasanya digunakan untuk ilmu pelet. Bisa jadi ada yang sedang mengincarmu untuk dirayu, Harvey!" cerita Oma Widya.Harvey pun menebak-nebak dalam pikirannya siapa yang mencoba mengguna-gunainya. "Apa Oma tahu siapa nama orang yang mencoba menyogok pelayan rumah kita?" tanyanya."Alicia dan satunya lagi entah siapa namanya, kata Marni mungkin ibu perempuan muda itu. Apa kamu kenal mereka, Harvey? Jangan dianggap remeh hal yang begini kadang bisa berbahaya!" jawab Oma Widy
"Jeng Citra cerita kalau Mbah Darwis ini sakti mandraguna. Apa bisa kami minta tolong untuk ajian pengasihan?" ujar Nyonya Marissa yang duduk di lantai beralas tikar bersebelahan dengan Alicia. Mereka menghadap dukun yang penampilannya nampak sudah uzur dan menyeramkan. Perawakan Mbah Darwis kurus kering berkulit sawo matang agak gelap dengan rambut panjang beruban yang kusam. Pipinya cekung dengan sorot mata tajam. Aroma kemenyan dan dupa tercium sangat kuat di ruangan berpencahayaan lampu teplok minyak tanah itu hingga menimbulkan aura mistis yang menaikkan bulu kuduk."Khekhekhek ... bisa-bisa saja. Apa sudah tahu syaratnya? Siapa yang ingin diberi ajian pengasihan? Nyonya atau anak perempuan cantik ini?" jawab Mbah Darwis yang melirik penuh minat ke arah Alicia.Tatapan jelalatan sang dukun membuat Alicia merasa jengah sekaligus risih. Dia merapikan blazer biru navy yang dikenakannya untuk menutupi bulatan kembar miliknya yang makin montok usai disumpal silikon di Korea."Ehh ...
Ketika ayam berkokok menjelang fajar, Alicia yang pucat pasi melangkah gontai keluar dari pintu rumah Mbah Darwis. Wajahnya basah oleh air mata menghampiri mamanya yang duduk terkantuk-kantuk di teras pendopo joglo kayu jati menunggu Alicia semalam suntuk hingga dikerubungi nyamuk."Maa—" panggil Alicia dengan suara sengau.Nyonya Marissa pun segera tersentak dari kantuknya. Wanita itu bangkit berdiri dan mendadak prihatin melihat kondisi puterinya. "Al ... kamu diapain sama si embah?" "Dasar dukun cabul! Lelaki bau tanah itu minta diservis plus plus sama aku, Ma! Awas saja kalau Harvey nggak tertarik kepadaku, akan kubakar rumah ini!" geram Alicia dengan berapi-api.Ibu dan anak itu pun berpelukan lalu bergegas meninggalkan rumah Mbah Darwis. Seharian Alicia memilih untuk memulihkan diri dengan tidur panjang. Badannya serasa rontok seperti kena masuk angin pasca digenjot dukun cabul itu di kolam semalaman. Sementara itu Isyana yang telah kembali ke tanah air dengan pesawat Japan Ai
"Mas, kalau aku tinggal bareng di rumah kamu apa boleh?" rayu Alicia seraya melarikan tangan berjemari lentiknya ke paha Harvey.Sebenarnya pria itu risih dengan kegatalan Alicia. Namun, dia teringat akan rencana yang jauh lebih dahsyat efeknya demi ketenangan hidup istrinya kelak. Keluarga tiri Isyana terlalu sering merongrong kedamaian wanita itu dan sayangnya hati Isyana terlalu lembut untuk memainkan sebuah intrik keji. "Hmm ... boleh dong, kapan mau pindah tinggal sama aku, Alice? Biar pelayan rumah kuminta menyiapkan sebuah kamar untukmu!" jawab Harvey santai. Dia membiarkan Alicia mengrepe-grepe badan atletisnya."Beneran, Mas? Malam ini juga kalau bisa ... aku akan ambil koper buat pindahan!" seru Alicia penuh semangat. Dia tak sabar menjadi Nyonya Muda Dharmawan menggantikan Isyana yang sepertinya tak sanggup memuaskan suami."Okay, silakan saja. Kamu 'kan adiknya Isyana. Dia pasti nggak keberatan kalau kita tinggal di atap yang sama!" balas Harvey. Dia akan memberi kabar pe
"Lho, kok kamu tersinggung sih, Isya? Harvey 'kan hanya berbaik hati menampung kami di rumahnya yang luas. Pastinya ada banyak kamar di sini, nggak usah lebay deh!" Nyonya Marissa tersenyum licik seraya menatap putri sambungnya itu dengan tajam.Isyana bertolak pinggang dengan wajah galak. Dia berseru, "Tante, cukup rumah warisan orang tuaku yang kalian kuasai, tak perlu merusuh di rumah suamiku juga! Niat kalian pasti tidak baik dengan pindah ke mari—""Hey, dengar ya ... Harvey sendiri yang mengundangku untuk tinggal bersamanya. Coba tanyakan suamimu langsung, dia ada di sebelahmu, Kak Isya!" potong Alicia dengan penuh kemenangan. Dia ingin melihat seperti apa pengaruh ajian pengasihan itu terhadap Harvey. Seharusnya pria itu akan memilihnya dan membela dia di hadapan Isyana.Setelah menghela napas dalam-dalam Isyana pun bertekad menyelesaikan sandiwara yang telah dia mulai tadi. "Mas, kamu jawab pertanyaanku. Apa benar Mas Harvey mengundang Alicia tinggal di sini?" tanyanya dengan
"Hai, Mas Harvey. Gimana tidur kamu semalam? Sayang banget kamar kamu dikunci pintunya dari dalam, padahal aku pengin nyusul buat nemenin kamu bobo biar nggak kesepian dan kedinginan setelah ditinggalin sama Kak Isya!" celoteh Alicia di meja makan pagi itu.Harvey tersenyum tipis memandangi wajah full vermak perempuan keganjenan itu. "Hai juga, Alicia. Makasih sudah perhatian sama aku ya. Memang sudah kebiasaanku sejak dulu kalau tidur selalu kunci pintu. Takut dimasukin orang yang berniat jahat aja sih alasannya. Tahu sendiri kalau orang kaya takut mati!" jawab Harvey berkelit dengan ahli."Kalau nanti aku minta ditemani belanja di mall apa boleh, Mas?" Alicia sudah tak sabar untuk berfoya-foya dengan uang Harvey yang unlimited. "Boleh, sepulang kantor ya? Aku soalnya hari ini aku sibuk meeting sama klien," jawab Harvey lalu dia bangkit dari kursinya sesudah sarapan paginya berakhir singkat. Alicia yang bangun siang dan baru akan mulai sarapan pun terpaksa berdiri lalu mengantarkan
"Bu Cintya, ada yang mencari di depan ruangan. Namanya Pak Pedro. Apa boleh saya persilakan masuk ke mari?" Sekretaris Cintya menghadap di ruang kerja presdir.Mata Cintya membulat karena dia tak menyangka akan mendapat kunjungan dari ayah janinnya setelah nomor ponsel Pedro dia blokir beberapa hari lalu. Pasalnya, dia mendengar bahwa pria itu masih jalan dengan Tante Vina. Dia tak mau berada di balik bayang-bayang perselingkuhan. Lebih baik menjadi single mom yang bermartabat dari pada mengemis pertanggung jawaban ke pendonor benih tak sengaja di rahimnya."Ehm ... gimana, Bu?" tegur Karmila yang lama tak kunjung mendapat jawaban dari bosnya."Oke, suruh masuk deh. Akan aku temui sebentar. Oya, tahan telepon atau tamu lain yang ingin menghubungiku ya, Mil!" jawab Cintya seraya bangkit berdiri dari kursi kerja presdir. Dia pindah ke sofa dan menantikan kehadiran Pedro."TOK TOK TOK." Ketokan jamak itu terdengar disusul seorang pria bertubuh jangkung atletis dengan balutan setelan jas
"Mama, ini istri baru Pedro. Namanya Cintya!" ujar pemuda itu ketika menemui ibundanya, Nyonya Rosma Husodo di ruang tengah kediaman Husodo.Dengan sedikit terkejut karena baru sekali menemui wanita yang tengah berbadan dua di hadapannya itu, ibunda Pedro bangkit dari sofa lalu menghampiri Cintya. Dia memeluk menantunya lalu berkata, "Selamat datang di rumah keluarga kami. Kalau boleh tahu, apa ini calon cucuku, Cintya?" "Terima kasih, Nyonya. Sayangnya ... iya, aku dan Pedro khilaf—" Cintya menunduk dengan wajah merona karena malu. "Jangan panggil Nyonya, cukup mama saja. Kamu istrinya Pedro sekarang. Nanti kalau suamiku pulang kantor, kamu akan kuperkenalkan juga," balas Nyonya Rosma lalu dia berpaling ke putranya dan bertanya, "Pedro, apa istrimu akan tinggal di sini mulai hari ini? Tidur di kamar yang mana?" "Bersamaku di kamar yang kutempati sekarang, Ma. Aku ingin menjaga calon cucu Mama dengan baik kali ini. Kehamilannya juga sisa beberapa bulan saja, aku akan jadi suami si