Ketika ayam berkokok menjelang fajar, Alicia yang pucat pasi melangkah gontai keluar dari pintu rumah Mbah Darwis. Wajahnya basah oleh air mata menghampiri mamanya yang duduk terkantuk-kantuk di teras pendopo joglo kayu jati menunggu Alicia semalam suntuk hingga dikerubungi nyamuk."Maa—" panggil Alicia dengan suara sengau.Nyonya Marissa pun segera tersentak dari kantuknya. Wanita itu bangkit berdiri dan mendadak prihatin melihat kondisi puterinya. "Al ... kamu diapain sama si embah?" "Dasar dukun cabul! Lelaki bau tanah itu minta diservis plus plus sama aku, Ma! Awas saja kalau Harvey nggak tertarik kepadaku, akan kubakar rumah ini!" geram Alicia dengan berapi-api.Ibu dan anak itu pun berpelukan lalu bergegas meninggalkan rumah Mbah Darwis. Seharian Alicia memilih untuk memulihkan diri dengan tidur panjang. Badannya serasa rontok seperti kena masuk angin pasca digenjot dukun cabul itu di kolam semalaman. Sementara itu Isyana yang telah kembali ke tanah air dengan pesawat Japan Ai
"Mas, kalau aku tinggal bareng di rumah kamu apa boleh?" rayu Alicia seraya melarikan tangan berjemari lentiknya ke paha Harvey.Sebenarnya pria itu risih dengan kegatalan Alicia. Namun, dia teringat akan rencana yang jauh lebih dahsyat efeknya demi ketenangan hidup istrinya kelak. Keluarga tiri Isyana terlalu sering merongrong kedamaian wanita itu dan sayangnya hati Isyana terlalu lembut untuk memainkan sebuah intrik keji. "Hmm ... boleh dong, kapan mau pindah tinggal sama aku, Alice? Biar pelayan rumah kuminta menyiapkan sebuah kamar untukmu!" jawab Harvey santai. Dia membiarkan Alicia mengrepe-grepe badan atletisnya."Beneran, Mas? Malam ini juga kalau bisa ... aku akan ambil koper buat pindahan!" seru Alicia penuh semangat. Dia tak sabar menjadi Nyonya Muda Dharmawan menggantikan Isyana yang sepertinya tak sanggup memuaskan suami."Okay, silakan saja. Kamu 'kan adiknya Isyana. Dia pasti nggak keberatan kalau kita tinggal di atap yang sama!" balas Harvey. Dia akan memberi kabar pe
"Lho, kok kamu tersinggung sih, Isya? Harvey 'kan hanya berbaik hati menampung kami di rumahnya yang luas. Pastinya ada banyak kamar di sini, nggak usah lebay deh!" Nyonya Marissa tersenyum licik seraya menatap putri sambungnya itu dengan tajam.Isyana bertolak pinggang dengan wajah galak. Dia berseru, "Tante, cukup rumah warisan orang tuaku yang kalian kuasai, tak perlu merusuh di rumah suamiku juga! Niat kalian pasti tidak baik dengan pindah ke mari—""Hey, dengar ya ... Harvey sendiri yang mengundangku untuk tinggal bersamanya. Coba tanyakan suamimu langsung, dia ada di sebelahmu, Kak Isya!" potong Alicia dengan penuh kemenangan. Dia ingin melihat seperti apa pengaruh ajian pengasihan itu terhadap Harvey. Seharusnya pria itu akan memilihnya dan membela dia di hadapan Isyana.Setelah menghela napas dalam-dalam Isyana pun bertekad menyelesaikan sandiwara yang telah dia mulai tadi. "Mas, kamu jawab pertanyaanku. Apa benar Mas Harvey mengundang Alicia tinggal di sini?" tanyanya dengan
"Aku tak habis pikir, tega-teganya Alicia dan Mas Pedro bersekongkol di belakangku, Tante!" seru Isyana Prameswari di dalam sebuah mobil BMW hitam yang melaju kencang di jalan raya Jakarta Selatan.Wanita paruh baya di sebelah backseat mobil mewah itu menjawab dengan tawa sinis, "Derita kamu, Isya. Putriku jauh lebih menarik hati tunanganmu yang kaya raya. Buktinya pemuda itu tega mendepak kamu di hari bahagiamu. HAHAHA!" "TANTE MARISSA!" hardik Isyana kepada ibu tirinya yang licik dan jahat hatinya itu."Sopir, buka pintu mobil dan hentikan!" titahnya lalu dia dengan sengaja mendorong anak tirinya keluar dari mobil yang bahkan belum berhenti sempurna."Aargh!" jerit Isyana yang tak siap dengan kejadian mendadak itu. Dia terguling dari mobil dan mendarat di jalan raya beraspal keras."BLAMM!" Pintu mobil ditutup lagi dengan cepat."Jalankan mobilnya, Sopir!" titah Nyonya Marissa Gunarti, ibu tiri Isyana yang telah tiga tahun belakangan menjanda karena ayah kandung Isyana telah berpul
"Amnesia?!" ulang Isyana dengan kebingungan. Pria tampan itu sepertinya yang kurang waras, pikirnya. Harvey merasa habis kesabaran, dia sedang dikejar waktu karena Oma Widya harus segera dioperasi oleh dokter bedah. Dia pun akhirnya bertanya kepada gadis yang ada di hadapannya, "Okay, jadi siapa namamu? Kau bilang anak buahku salah jemput orang 'kan?"Sebuah tangan kanan yang ramping berjemari lentik terulur di depan Harvey. "Kenalkan, namaku Isyana Prameswari! Siapa nama kamu, Mas?" "Aku Harvey, panggil aja begitu. Jadi kamu bukan Rania Devina, hmm?" selidik Harvey. Dia menerima dengan kenyataan bahwa anak buahnya memang salah jemput orang yang pakaiannya sama gaun panjang warna merah."Siapa tuh? Kayak nama artis film pendek di TV deh, yang jelas itu bukan aku ya! Oya, kalau seumpama aku nebeng sampai di Greenwich Tower apa bisa? Aku akan ganti bensinnya lima puluh ribu rupiah deh!" Isyana berharap dia bisa menumpang pulang ke apartemennya karena ponselnya sudah habis daya dan mat
Mobil sedan mahal yang mengantarkan sang tuan muda dan istri barunya ke sebuah rumah bak istana Bogor itu berhenti di depan teras. Dengan sigap pengawal Harvey membukakan pintu mobil dan menunggu pria muda tampan itu turun dan mengulurkan tangan kanannya ke wanita yang ikut pulang bersamanya.Jantung Isyana berdebar kencang karena dia tak yakin menginginkan kekacauan yang telah disepakatinya tadi. Tanda tangannya di surat perjanjian nikah kontrak bersama Harvey Adi Dharmawan itu tak bisa dibatalkan begitu saja. Ditambah kenyataan nyawa seseorang dipertaruhkan bila dia mundur dari kesepakatan yang saling menguntungkan ini."Rumah kamu gede, bagus!" puji Isyana dengan tegang. Dia merasa tubuhnya kaku di tempat ketika Harvey menggamit tangannya."Ini akan jadi tempat tinggalmu selama menjadi istriku, Manis!" Harvey tersenyum tipis melirik ke wajah Isyana yang tersipu malu. Dia menyadari wanita di sampingnya sulit berjalan lalu bertanya, "kau ini kenapa? Apa kakimu kram, Isyana?" Tanpa me
"Hey, Putri Tidur! Bangunlah ... ini sudah siang, kau masih molor saja!" seru Harvey sembari menarik lepas selimut yang menutupi tubuh istri barunya."KYAAA!" jerit Isyana sambil terbangun dan duduk di tengah ranjang menatap nanar Harvey yang berdiri bersedekap di samping tempat tidur, "kamu siapa? Beraninya menerobos kamar tidurku!"Pria itu mendengkus geli lalu berkata, "Aduh duh, ckckck ... ternyata selain hobi bangun siang, istriku juga punya amnesia yang parah!""Oohh ... iya, aku baru ingat. Kamu Harvey, cowok yang semalem nawarin aku buat nikah kontrak, betul 'kan?" balas Isyana seraya terkikik konyol. "Betul. Tolong sekarang jangan buang-buang waktuku. Mandi cepetan lalu berdandan rapi. Kita lanjut ngobrol di ruang makan!" Harvey pun bertepuk tangan tiga kali dan beberapa pelayan wanita berseragam rapi segera muncul dari balik pintu kamar yang ditempati Isyana. Dia bertitah, "kalian urusi nyonyaku ya. Jangan lama-lama, pekerjaanku banyak hari ini!" Kemudian Harvey berbalik b
Isyana menimbang-nimbang tuntutan dari Harvey lalu menjawab, "Baiklah. Kalau memang harus melahirkan anak untukmu, aku akan coba—""Kau hanya perlu setuju, selebihnya serahkan saja padaku. Aku lebih dari sanggup untuk membuatmu hamil seperti adik tirimu itu!" Harvey mengerlingkan sebelah matanya sembari terkekeh. Dia memanggil taksi dan meminta Isyana memberi tahukan alamat rumah ibu tirinya. "Pak, Jalan Nakula nomor delapan belas!" ucap Isyana kepada sopir taksi lalu mobil itu pun meluncur menuju ke rumah peninggalan mendiang papanya. Sesampainya mereka di sebuah rumah mewah bergaya bangunan kuno tiga lantai di tengah kota, Harvey membayar ongkos taksi lalu mereka berdua berjalan kaki memasuki halaman luas rumah tersebut.Ternyata sedang ada acara perayaan di sana, mobil-mobil mewah berbagai merk terparkir berjejer di halaman depan. Suara musik berirama riang diputar menyemarakkan suasana pesta diselingi bunyi denting peralatan makan."Mas Harvey, mungkin kita terlalu cepat ke mar