Ayah dari Tisya sangat kesal karena istrinya sangat tidak peka dengan apa yang dikatakan oleh Bu Margaret. Padahal dia sudah jelas mengatakan tidak akan memberikan bantuan keuangan lagi, dengan pembayaran hutang yang buruk mana ada yang akan memberikan pinjaman selain keluarga Huang. "Dasar bodoh, mengurus anak saja tidak becus. Untuk apa aku harus membela putri yang durhaka dan membuatku terhimpit kesusahan seperti ini," balas Ayah Tisya. "A-yah," ucap Tisya terbata sambil melihat ke arah Ayahnya namun setelahnya dia menundukkan pandangan sedih. Ibunya Tisya mengerutkan kening, menggertakkan gigi merasa kesal tidak bisa melakukan apapun demi melindungi putrinya. "Dengarkan kata-kata ayahmu dulu, minta maaflah. Baru kita pikirkan langkah selanjutnya," bisik Ibunya Tisya. "Baik," ucap Tisya sambil menggerutu kesal. Tisya akhirnya meminta maaf kepada Soraya dan juga Damar. Walau hatinya merasa dia tak pantas melakukan itu dihadapan wanita yang dia anggap rendahan itu tetapi demi m
Tisya menggigit ujung kuku jarinya. "Lebih kaya apanya, ternyata dia hanya seorang pembohong yang mengaku kaya, setiap hari hobinya mabuk-mabukkan dan bermain perempuan," ucap Tisya dalam hatinya."Kenapa ekpresi wajahmu seperti itu. Apakah kamu membohongi kami?" tanya Ayah Tisya."Tidak, suamiku sangat kaya, aku akan meminta bantuannya," ucap Tisya menipu ayahnya. Tentu saja dia akan malu kalau jujur tentang keadaannya saat ini.Mereka melanjutkan makan siang, karena sudah lega dengan jawaban Risya yang suaminya ternyata sangat kaya melebihi Damar. Kalau begitu mungkin mereka bisa membalas dendam atas penghinaan yang keluarga Damar lakukan."Lekas kamu minta suamimu untuk membantu keuangan pada keluarga kita yang hampir bangkrut," ucap Ayah Tisya."Dasar ayah mata duitan, bisa-bisanya dia meminta uang pada suamiku. Bukannya dia yang berusaha mencari uang kenapa dia harus selalu meminta uang pada anaknya," gumam Tisya dalam hati."Ayahmu benar loh, kamu harus jadi anak yang berbakti.
Soraya dan Damar membawa putranya pulang ke rumah, di sana mereka sudah disambut oleh beberapa pelayan yang menunggu kepulangan mereka. Ada Kakek Huang juga di sana. "Selamat datang cucu buyutku," ucap Kakek Huang. "Terima kasih, sambutannya Kek," ucap Soraya. "Ya Ampun, dia tampan sekali seperti aku waktu muda," balas Kakak Huang saat melihat wajah putra Damar. "Apa Kakek mau menggendongnya. Tapi aku rasa dia tampan seperti Ayahnya," balas Soraya. Kakek Huang menggendong cucu buyutnya yang baru pulang dari rumah sakit. Secercah kegembiraan tersirat diwajahnya. "Suamimu saja mewarisi gen ketampanan aku, berarti anakmu juga mirip seperti aku tampannya," ucap Kakek Huang. "Terserah saja dia mau berkata apa, biarkan dia senang walau sedikit saja," ledek Damar. "Dasar anak nakal," ucap Kakek Huang. "Nak, kamu kalau sudah dewasa nanti jangan seperti Ayahmu, ya. Dia tidak patut untuk di contoh," gumam Kakek Huang saat menggendong Bayi Damar. Damar hanya tersenyum saja, t
"Cerita apa, Ma?" tanya Soraya penasaran.Sebelum menjawab, Bu Margaret menghembuskan nafas panjang. Lalu tersenyum kepada Soraya."Ini cerita tentang Mama yang mengasuh Damar sendiri sejak bayi," ucap Bu Margaret."Bukankah ada pengasuh yang membatu mama?" tanya Soraya.Bu Margaret menggelengkan kepalanya, tanda berarti Bu Margaret tidak menggunakan pengasuh untuk membesarkan Damar."Tidak," jawab Bu Margaret singkat."Yang benar, Ma?" tanya Soraya."Iya, karena begitu bahaya kalau Damar sampai dipegang oleh orang lain. Banyak yang menginginkan putraku meninggal karena dia bisa mewarisi kekayaan kelurga Huang ketika dewasa," jawab Bu Margaret.Soraya mengangguk mengerti. Orang kaya memang sudah. Soraya pikir dahulu saat menjadi orang kaya. Semua beban hidup akan teratasi karena tak memikirkan kekurangan ekonomi. Tapi ternyata dia salah. Menjadi orang kaya masalahnya semakin pelik. Perebutan warisan lah, ingin menguasai perusahan keluarga sendirian lah, pokoknya saling sikut dan ingin
Kakek Huang mengangkat teleponnya lalu berbicara seolah dia enggan ditelepon. "Sudah tahu aku sedang bahagia, kenapa kamu malah menelponku?" bentak Kakek Huang. "Ayah, bagaimanapun aku ini adalah anak Ayah. Keponakanku sedang berbahagia memiliki anak, seharusnya aku juga ikut berbahagia bukan," ucap Paman ketiga Damar. "Semenjak kamu ingin mencelakai menantuku kamu bukan keluarga Huang lagi," ucap Kakek Huang kesal. Mendengar sang kakek mengucap itu, Damar langsung teringat paman ketiganya. Untuk apa Paman ketiga yang sudah lama tidak menghubungi Kakek Huang tiba-tiba menelponnya lagi. Apakah karena ada rencana lain yang sedang paman ketiga rencanakan dengan sang istri yang jahat itu. "Kakek, jangan biarkan dia ke sini. Aku tidak mau dia menyakiti istriku atau putraku," ucap Damar. "Kamu dengar sendiri 'kan. Keponakanmu tidak mau menemuimu," ucap Kakek Huang. "Damar, aku ini adik ayahmu. Aku akan datang sebagai keluargamu tanpa istriku jika kamu berkenan. Jangan sepeti i
sontak saja mendengar ada yang bertepuk tangan Soraya dan Damar melihat ke arah orang itu."Siapa dia?" tanya Soraya yang memang belum pernah melihat wajahnya."A-yah," ucap Damar terbata."Ayah?" ucap Soraya."Ya, dia adalah Ayah,"balas Damar.Damar berdiri langsung mendekat ke orang itu dan memeluknya. Rasa rindu yang sangat menyesakkan dada itu akhirnya tersampaikan. Ayah Damar, yakni putra sulung dari keluarga Huang, Darius Huang telah kembali setelah berada di luar negeri selama beberapa tahun terkahir."Dasar anak nakal, bahkan kamu menikah tidak meminta restuku!" seru Darius."Maaf Ayah, ini sangat darurat," balas Damar."Apanya yang darurat, padahal kamu tidak perlu menyamar sebagai seorang pelayan untuk mendapatkan gadis manapun yang kamu inginkan. kenapa kamu malah susah payah menyamar seperti itu?" tanya Darius."Tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu wanita mana yang cocok untukku saja," jawab Damar."Sudahlah, kenalkan menantuku sekarang," pinta Darius."Soraya, kembalilah,"
Soraya menggelengkan kepalanya, untuk saat ini kehidupannya sudah adem ayem karena keluarga Kwong tidak pernah mengganggunya lagi. Mungkin karena Damar ada di balik semua itu. Menekan keluarga Kwong agar tak lagi mempunyai kesempatan untuk menyakiti Soraya. "Semua berkat suamiku yang berkompeten ini. Jadi mereka tidak menggangguku," ucap Soraya. "Bagus kalau begitu, untuk menjaga citra keluarga Huang, kita undang saja mereka. Tapi kalau mereka berani ingin menyakitimu saat diundang diacara syukuran cucuku. Aku sendiri yang akan memperingatkan mereka," ucap Darius. "Terima kasih, Ayah," ucap Soraya. Awalnya Bu Margaret tidak menyetujui apa yang diinginkan suaminya. Tapi karena Darius berhasil menenangkan dan membuat yakin Bu Margaret kalau keluarga Kwong tidak akan berani macam-macam akhirnya Bu Margaret menyetujuinya. Bagaimanapun Bu Margaret tahu bagaimana kejamnya sang suami kalau sudah marah, perilakunya ini sangat sama dengan Damar kalau sudah tidak suka dengan orang. "Kalau
Yang namanya manusia pasti ada rasa capek dan lelah. Mengeluh sebentar itu wajar. Tapi yang namanya kehidupan pasti tetap berjalan kita harus menjalani hari-hari tanpa henti. Itulah jawaban dari Darius "Ayah, pasti jadi ayah capek sekali 'kan. Aku harus banyak belajar dari Ayah untuk menjadi Ayah yang baik untuk Kaveera," ucap Damar "Tidak usah belajar dariku. Kamu akan banyak belajar justru dari Anakmu kelak, jadilah dirimu sendiri untuk menjalani hidupmu," balas Darius. "Tentu saja, Ayah," ucap Damar. Mereka lalu mengobrol kecil tentang menjadi seorang Ayah. Maklum Damar adalah orang tua baru yang baru menjadi Ayah. Jadilah banyak hal yang harus Damar pelajari. "Akhirnya selesai," ucap Damar."Padahal kamu hanya memerintah saja. Tapi Ayah lihat raut wajahmu seperti orang yang kelelahan," ledek Darius."Walau memerintah saja, tapi tetap aku berpikir. Mereka enak tinggal menjalankan perintahku. Bukankah aku yang banyak berpikir?" tanya Damar."Berarti kamu sudah cocok menjadi s