Riana mengerjap-ngerjap kedua matanya resah saat dengan sengaja mentari memberikan sedikit sinarnya mengenai sepasang bolamata cantiknya. Bergerak resah, Riana kembali memejamkan mata itu saat kembali menemukan kenyamanan di dalam tidurnya. Namun, Riana merasa ada yang janggal sebab dia merasa tubuhnya seperti tertimpa sebuah beban. Membuka kedua matanya berat, Riana berusaha mengumpulkan nyawanya yang masih tercerai-berai. Sontak--Rania menegang, wajahnya mendadak pucat saat melihat ada sebuah tangan yang melingkar di perutnya. Cepat, Rania membalikkan tubuhnya-dan kaget luar biasa saat mendapati adanya Devan. "AAHHHHHHH----------." Rania berteriak histeris, sungguh dia begitu shyok saat mendapati Devan tidur seranjang dengannya dengan posisi yang begitu intim. Devan yang tak mengetahui apa yang membuat Rania histeris--turut melakukan hal yang sama. Pria itu pun berteriak dengan tak kalah kencangnya. "AAHHHHHH----------." Devan pun bangun dari duduknya, dengan air muka yang nam
Rania baru saja menapaki kakinya di halaman dari Wijaya Group. Melangkahkan kakinya dengan santai, namun sedetik kemudian langkah kaki itu dia hentikan saat tiba-tiba saja ada seseorang yang mencekal tangannya. Berbalik, dan betapa kagetnya Rania--saat mendapati adanya Andra. "Lepaskan!" hardik Rania, seraya menghempaskan kuat cekalan tangan Andra dan itu berhasil, "Bisa nggak, kamu nggak ganggu hidup aku lagi!" tambah Rania dengan nada penuh emosi. Wajahnya mengeras, bara terlihat jelas pada sepasang iris hitamnya. Andra berusaha untuk tenang menghadapi sikap Rania, dia tidak ingin sang mantan semakin menjauh darinya jika dia bersikap kasar, dirinya harus bersikap lembut,"Oke, maafkan aku. Tapi, bisakah kita berbicara sebentar? Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu," pinta Andra, memelas--kedua mata pria itu menatap Rania dengan penuh harap. "Tapi, sayangnya aku nggak punya waktu untuk bicara sama kamu!" sahut Rania acuh, dan kembali melanjutkan langkah kakinya--na
Devan adalah sosok yang tertutup, dan tak suka mempublikasikan kehidupan pribadinya di media sosial. Bahkan akun pria itu diprivate, walaupun begitu menutup diri dan tak ingin orang di luar sana mengetahui tentangnya-- namun pria itu tak pernah melakukan penyamaran saat berkunjung ke perusahaan kakeknya. Namun, kali ini berbeda. Devan terpaksa melakukannya sejak Rania-istrinya bekerja di perusahaan keluarganya. Mobil yang membawa Devan telah tiba di depan gedung. Pria itu tak langsung menurunkan kedua kakinya. Menghembuskan napasnya tegas, Devan mengambil masker berwarna hitam pekat--menutupi mulutnya, dan topi dari jacket hoody yang sedari tadi menggelantung di leher dia pasangkan di kepalanya. Ini, gila! Bagi Devan ini hal gila yang dia lakukan seumur hidupnya dan itu hanya karena seorang Rania. "Aku sama sekali tidak menyangkah akan sampai melakukan hal gila ini-hanya karena seorang wanita," gumam Devan, dan mantap menurunkan kedua kakinya setelah sepersekian detik. Menge
Devan membawah langkah kakinya masuk ke dalam ruangan, pria itu masuk tanpa ditemani Deni dan juga anak buahnya. Mengingat perbuatan kakeknya dimasa lalu--dengan apa yang dia lakukan pada keluarga milik Dion membuat emosi di dalam diri Devan ke luar. "Mau, sampai kapan-kau berdiri terus di sana?!" Devan yang tak kunjung menghampirinya--memaksa sang kakek untuk bersuara padanya. "Dia, cucuku-anak dari, anak mendiang anak laki-lakiku Adam, dan menantuku Ana," ujar kakek Darma yang memperkenalkan Devan pada rekan bisnisnya itu. Ada sebuah kebanggaan di wajah tua kakek Darma saat memperkenalkan Devan. "Anak dari Adam?" sahut pria paruh baya itu dengan air muka yang sedikit kaget, dan terus menatap pada Devan yang kini sudah mengayunkan langkah kakinya. "Devan-kenalkan ini pak Bima, dia adalah pemilik dari Malayka Group!" ujar kakek Darma, saat memperkenalkan Devan pada rekan bisnisnya itu. Devan tersenyum samar, dengan tetap memasang wajah datarnya--pria itu mengulurkan tangan.
Kenyataan yang baru dia tahu hari ini--sungguh mengguncangkan dunia seorang Devan Wijaya. Memory itu terhantar kembali pada kejadian beberapa tahun silam--yang meninggalkan luka begitu dalam untuknya hingga saat ini. FLAASBACK ONE "Selama ini aku sudah cukup bersabar, Mas! Aku berharap kau sadar dengan sendirinya, namun ternyata kau terus menjalin hubungan dengan mantan kekasihmu, itu!" Ibu kandung Devan, Mama Ana--yang saat itu duduk disebelah suaminya yang tengah menyetir, terus saja meluapkan rasa kecewanya. Airmata tak henti-hentinya menetes dari kedua pelupuk matanya. "Siapa suruh, kamu mau menerima perjodohan ini! Bukankah, sebelumnya kamu sudah mengetahui kalau aku telah memiliki wanita yang aku cinta. Tapi, kau tetap memaksakan diri untuk tetap menikah denganku!" Papa Adam, yang tengah menyetir--nampak tak berpengaruh sedikitpun dengan airmata sang istri. Pria itu justru menyalahkan wanita yang sudah memberikan dirinya satu orang anak itu. Devan hanya bisa menatap nanar, d
Matahari telah tersenyum-menatap indahnya dunia, membuka hari baru baru dan lembaran yang baru. Cahayanya menyinari seluruh bumi--mencuri masuk, hingga kilauan cahayanya mengenai kelopak mata yang masih setia tertutup itu.Rania mengerjap-ngerjapkan kedua kelopak mata--yang masih tertutup. Bergerak kian gelisah, saat cahaya kecil itu tak kunjung pergi.Tak lagi mampu menahan cahaya yang begitu menyilaukan--Rania akhirnya dengan terpaksa membuka kedua mata itu. Matanya telah terbuka, namun nyawa itu belum sepenuhnya terkumpul. Rania mengumpulkan nyawa yang masih tercerai-berai, dan kesadaran itu kembali datang. Menolehkan wajahnya cepat, panik dan juga gugup sontak memenuhi wajah Rania, Devan wajah Devan begitu dekat dengannya. Rania berkali-kali menelan salivanya, dia teramatn gugup setengah mati--bahkan Rania dapat merasakan tubuhnya berkeringat dingin.Rania masih tak memutuskan pandangannya sama sekali dari Devan, menatap---dan terus menatap. Hingga, bolamata itu langsung Rania k
Rania masih terus menatap pada Devan--menelisik begitu lama, gadis itu seolah tengah mencari jawaban akan rasa penasaran yang seketika timbul dalam dirinya. Bahkan bolamata Rania tak berkedip sama sekali saat menatap pria berstatus suaminya itu. Tatapan Rania penuh mengintimidasi. Ditatap seperti itu membuat Devan kian gugup, dan juga salah tingkah. "Kau melihatnya, juga?" Sekian detik membiarkan keheningan melanda dirinya dan Devan, mulut Rania akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang tentunya tak diinginkan Devan. Devan menyengir. Pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, namun semua itu hanyalah akal-akalannya saja untuk mengelabui Rania, agar tak menyadari perubahan bahasa tubuhnya. "Ha--ha---ha, bicara apa, aku ini. Aku hanya salah bicara. Bagaimana seorang kuli seperti aku, mampu melihat cucu Darma Wijaya," ujar Devan, dan diakhir ucapannya pria itu kembali terkekeh dan tentunya dalam hati, Devan berharap agar Rania dapat percaya dengan kebohongan yang dia katakan. "Oh
Devan berpaling. Tamparan keras yang Dion--berikan membuat wajahnya menoleh, terasa kaku dan juga kebas. Amarah telah memenuhi wajahnya. Rahangnya mengeras, giginya gemerlatuk--menahan emosi yang benar-benar telah membakar di dalam dirinya. Namun, Devan berusaha untuk membendung amarah--dan mengerti dengan keadaan Dion saat ini. Menyeringai, sorot mata Devan laksana pisau yang baru saja di asa. Sekian lama membiarkan keheningan melanda, dengan suasana yang begitu tegang, Devan akhirnya bersuara. "Aku akan mengembalikkan apa yang telah kakekku ambil!" Devan dingin Devan bersuara, berusaha menunjukkan sikap biasanya walaupun saat ini dadanya tengah bergejolak. Seringai rendah tercetak sempurna disudut bibir Dion--rahangnya mengeras, amarah itu semakin terlihat nyata di wajahnya pria itu, "Anda memang kehilangan kedua orangtua anda, namun anda tidak pernah merasakan penderitaan seperti yang saya dan adik saya lewati. Tidur di jalanan, menahan lapar, bahkan--." Dion menjeda ucapanny
5 bulan kemudian Oeek---- Oeek---- Suara tangisan bayi menggema di dalam ruangan operasi, dan suara tangisan bayi yang terdengar, membuat sosok-sosok dewasa itu seketika mengucapkan rasa syukur. "Selamat ya, Deni, akhir nya kamu sudah menjadi ayah," ujar Devan, menghampiri Deni dan memeluk sebentar pria itu. "Terima kasih Tuan," ujar Deni, dengan senyum lepas di wajah--kebahagiaan nyata terlihat di wajah pria itu, di mana binar bahagia nyata terlihat di bola mata nya. "Deni----," panggil Rania beberapa menit kemudian. Datang nya sosok Rania, mengembangkan senyum di wajah Deni, namun ada nya air mata yang dia temukan pada kelopak mata kakak angkat nya, membuat Deni pun tak mampu membendung kesedihan itu lagi. Bagi Deni, Rania adalah sosok kakak yang baik untuk nya. Melangkah menghampiri, Deni segera memeluk tubuh wanita itu saat sudah berada dekat dengan nya. "Kau, sudah menjadi seorang, ayah, Deni, selamat!" ujar Rania dengan lirih, sudah ada butir kristal yang mene
Kaget, dengan bola mata yang membeliak penuh. Namun, menyadari bagaimana sambutan nya dengan segera Rania, mengembalikan mimik wajah nya. "Maaf," ujar Rania dengan kikuk, wanita itu nampak salah tingkah merasa tidak enak hati pada Sarah. Sarah yang menunduk, seketika mendongak--iris hitam nya, begitu dalam dan tajam, menatap manik hitam Rania. Masih menatap, Sarah akhir nya bersuara. "Apakah, kau tidak akan memaafkan aku?" tanya Sarah dengan lirih, ada mendung yang sudah menyelimuti wajah cantik wanita itu bagaimana mendapati sambutan Rania akan permintaan maaf dari nya. Wajah Rania mendadak kaku, terperangah--sebab merasa Sarah sudah salah sangkah pada nya," Oh, bukan begitu maksudku, kau salah sangkah! Aku, sudah memaafkan mu, sejak kau mengijinkan Papa, dan Mamaku untuk kembali bersatu " jelas Rania. "Benarkah?" ujar Sarah dengan senyum yang mengembang di wajah, wanita yang sedang mengandung 4 bulan itu terlihat sumringah, bola mata nya pun berbinar bahagia. "Yaa!"
Dua Minggu kemudian Duduk berdampingan, namun walaupun duduk bersama, Sarah, maupun Deni tak ada yang saling berbicara. Ntah, apa yang ada dalam pikiran kedua nya, namun kedua sosok itu lebih memilih untuk diam. Suasana canggung begitu terasa. Ingin berbicara, namun--Deni bingung harus memulai nya dari mana. Sarah terus saja mendiam kan nya. Alhasil, Deni tetap dengan diam nya--dengan sesekali melirik kan pandangan nya pada Sarah. Mendapati Sarah yang meremas jari-jari nya, pria itu hanya bisa mendesahkan napas nya berat. "Aku seperti melihat orang lain. Padahal Sarah yang aku kenal, adalah sosok yang arogant, dan suka, banyak bicara!" gumam Deni dalam hati, dengan diam-diam menatap pada Sarah. Hening--- Hening--- Sampai kapan--mereka saling, diam? Setidak nya itu lah yang ada di dalam pikiran Deni saat ini. Tak, mampu menahan diri itu lagi--Deni memilih untuk bersuara terlebih dahulu. "Kenapa, kau tidak memberitahukan padaku--kalau kau, sedang mengandung?" ujar Deni
Malam hari "Rania----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Rania membelah, wanita berambut indah itu seketika memindai pandangan nya pada asal suara. "Dev---,"gumam nya, saat mendapati kedatangan sang suami. Sebagai seseorang yang sangat mengenal baik Rania, tentu Devan tahu-seperti apa istri nya itu. Air muka yang Rania tunjukkan saat ini, Devan yakin ada sesuatu yang begitu membebani istri nya itu saat ini. "Kamu, baik-baik saja'kan?" tanya Devan. Menutup pintu ruangan, pria itu menyeretkan langkah berat nya menuju Rania. Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan. Pertanyaan yang pria itu berikan, kembali menyadarkan Rania atas kenyataan yang dia ketahui hari ini. Diam, iris hitam Rania begitu lekat, dan dalam, menatap manik hitam Devan. "Tidak! Aku tidak boleh memberitahukan hal ini pada Devan." Rania bermonolog dalam hati, wanita itu sedang berperang dengan suara hati nya sendiri. "Aku baik-baik saja!" sahut Rania, memutuskan pandangan-ber
Sarah telah kembali berada di dalam mobil. Namun, bukan nya langsung pergi meninggalkan area depan restorant, Desicner perhiasan itu justru masih setia tetap berada di sana. Begitu malu saat Rania melihat tanda merah di leher nya, membuat Sarah menenggelamkan wajah nya sedalam mungkin di antara bundaran setir, dengan tak henti-henti nya menggerutu. "Sebel! Sebel! Bagaimana, bisa aku seceroboh ini?!" gerutu Sarah, sembari memukul-mukul kuat bundaran setir. Puas meluapkan kekesalan nya, Sarah mendongak, dan wanita itu mendapati Rania yang melintasi depan mobil nya. Mendapati Rania yang tersenyum--Sarah yakin kalau saudara tiri nya itu tengah menertawakan diri nya. Masih setia memandang Rania, hingga berakhir diri nya mendapati Ibu satu anak itu yang berlalu dengan sebuah mobil mewah. Lama memandang, Sarah memutuskan pandangan setelah teringat rencana nya yang akan berziarah ke makam sang Bunda. Menghidupkan mesin mobil, dan berlalu pergi meninggalkan depan restorant. **** *****
Beberapa hari ini Devan merasa ada yang berbeda dengan Deni. Orang kepercayaan, juga adik ipar nya. Menurut Devan sedang tidak baik-baik saja. Deni yang selalu smart, dan selalu terlihat gentle, akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. Terus memandang, Devan yang selama ini memendam rasa penasaran nya akhir nya bertanya. "Bolehkah, aku bertanya sesuatu?" tanya Devan, dengan nada suara yang terdengar ragu. Deni yang tengah memandang wajah ponsel, seketika menengadah--pria itu menatap Devan dengan lekat-lekat. Devan tak langsung melontarkan pertanyaan. Di tatap nya wajah Deni lamat-lamat, lingkaran hitam pada kelopak mata, wajah yang kusut, seperti nya pria itu akhir-akhir ini kurang beristirahat. "Apakah, kau sedang ada masalah? Sebab yang aku perhatikan beberapa hari ini kau nampak murung. Mata mu pun nampak menghitam. Bukankah, aku jarang memberikan kau pekerjaan yang membuat kau lembur. Atau jangan-jangan, kau sering menghabiskan waktu di Klup malam bersama para wani
Beberapa menit kemudian "Apa, menginap di sini?!" sahut Deni. Bola mata nya membeliak, kaget juga sedikit shyok setelah mendengar keinginan Sarah barusan. "I-ya," sahut Sarah dengan ragu, sambutan Deni menciptakan mimik wajah yang berubah pada wanita itu. Sarah nampak menahan malu. "Nggak!" Deni menolak dengan tegas, dan penolakan keras dari pria itu menciptakan kekecewaan, juga sedih di wajah Sarah. Namun, hanya sesaat saja. Seketika wanita cantik berdarah Jepang Indonesia itu, kembali memohon pada Deni. Memegang tangan pria itu dengan erat-erat, dan menatap nya dengan memohon. "Den, aku mohon-kali ini saja. Aku sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Kematian Mama, dan hubungan ku dan Papa yang merenggang, membuat aku merasakan rumahku seperti di neraka," pinta Sarah. Memasang wajah memelas nya, Sarah menatap Deni dengan bola mata berair. "Bukankah, kau memiliki teman? Jika kau tidak nyaman berada di rumah mu, kau bisa pergi menginap di rumah mer
Waktu telah berada di pukul 11 malam. Di saat banyak penghuni bumi sudah menjemput alam mimpi nya, hal serupa tak berlaku bagi Sarah. Walaupun telah dilanda rasa kantuk yang teramat sangat--namun Desicner cantik itu tak kunjung dapat tidur. Bangkit dari tidur nya, Sarah mengacak-ngacak rambut nya frustasi. "Kenapa, aku terus memikirkan omongan Rania, terus-sih?!" gerutu Sarah, dengan wajah frustasi nya. Karena tak dapat kunjung tidur, berakhir Sarah memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia akan mengambil beberapa cemilan ringan, dan juga minuman soda, guna untuk menemani nya menonton film. Kedua kaki Sarah telah memijak di lantai dasar. Akan melangkah menuju arah dapur, namun hal itu Sarah urungkan saat dari jauh lebih tak sengaja wanita berkulit putih itu mendapati keberadaan papa Akio. "Papa," gumam Sarah, dengan pandangan tak terputus dari papa Akio, di mana pria paruh baya itu tengah berdiri di depan jendela kaca besar, sembari melemparkan pandangan nya ke arah luar. Lama me
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j