Pagi hariRania dan Devan tengah menikmati sarapan pagi mereka. Semalam gadis itu membiarkan Devan makan malam seorang diri, sungguh-dia belum siap untuk kembali bertemu dengan pria itu--setelah apa yang dia lakukan padanya. Namun, setelah dipikir-pikir--tak ada gunanya dia terus menghindar. Toh, dia hidup satu atap dengan Devan, dan hal penting lainnya, pernikahan mereka masih satu tahun lebih lagi. Satu tahun lebih itu adalah waktu yang sangat lama--jadi sampai kapan dia akan menghindari Devan, setidaknya itulah yang ada di dalam pikiran seorang Rania. Masih hangat-hangatnya terjadi, bahkan kecupan itu masih terasa di bibirnya hingga saat ini. Rania memilih untuk diam, menganggap Devan bagai angin tak terlihat, dan memfokuskan diri dengan sarapan paginya--walaupun saat ini dadanya tengah berbebar kencang, perasaannya pun tak karuan. Besar harapan Rania, Devan tidak menyinggung soal kecupan itu lagi."Semoga saja dia tidak menyinggung soal tadi malam. Apakah, dia tahu--gara-gara pe
Riana mengerjap-ngerjap kedua matanya resah saat dengan sengaja mentari memberikan sedikit sinarnya mengenai sepasang bolamata cantiknya. Bergerak resah, Riana kembali memejamkan mata itu saat kembali menemukan kenyamanan di dalam tidurnya. Namun, Riana merasa ada yang janggal sebab dia merasa tubuhnya seperti tertimpa sebuah beban. Membuka kedua matanya berat, Riana berusaha mengumpulkan nyawanya yang masih tercerai-berai. Sontak--Rania menegang, wajahnya mendadak pucat saat melihat ada sebuah tangan yang melingkar di perutnya. Cepat, Rania membalikkan tubuhnya-dan kaget luar biasa saat mendapati adanya Devan. "AAHHHHHHH----------." Rania berteriak histeris, sungguh dia begitu shyok saat mendapati Devan tidur seranjang dengannya dengan posisi yang begitu intim. Devan yang tak mengetahui apa yang membuat Rania histeris--turut melakukan hal yang sama. Pria itu pun berteriak dengan tak kalah kencangnya. "AAHHHHHH----------." Devan pun bangun dari duduknya, dengan air muka yang nam
Rania baru saja menapaki kakinya di halaman dari Wijaya Group. Melangkahkan kakinya dengan santai, namun sedetik kemudian langkah kaki itu dia hentikan saat tiba-tiba saja ada seseorang yang mencekal tangannya. Berbalik, dan betapa kagetnya Rania--saat mendapati adanya Andra. "Lepaskan!" hardik Rania, seraya menghempaskan kuat cekalan tangan Andra dan itu berhasil, "Bisa nggak, kamu nggak ganggu hidup aku lagi!" tambah Rania dengan nada penuh emosi. Wajahnya mengeras, bara terlihat jelas pada sepasang iris hitamnya. Andra berusaha untuk tenang menghadapi sikap Rania, dia tidak ingin sang mantan semakin menjauh darinya jika dia bersikap kasar, dirinya harus bersikap lembut,"Oke, maafkan aku. Tapi, bisakah kita berbicara sebentar? Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu," pinta Andra, memelas--kedua mata pria itu menatap Rania dengan penuh harap. "Tapi, sayangnya aku nggak punya waktu untuk bicara sama kamu!" sahut Rania acuh, dan kembali melanjutkan langkah kakinya--na
Devan adalah sosok yang tertutup, dan tak suka mempublikasikan kehidupan pribadinya di media sosial. Bahkan akun pria itu diprivate, walaupun begitu menutup diri dan tak ingin orang di luar sana mengetahui tentangnya-- namun pria itu tak pernah melakukan penyamaran saat berkunjung ke perusahaan kakeknya. Namun, kali ini berbeda. Devan terpaksa melakukannya sejak Rania-istrinya bekerja di perusahaan keluarganya. Mobil yang membawa Devan telah tiba di depan gedung. Pria itu tak langsung menurunkan kedua kakinya. Menghembuskan napasnya tegas, Devan mengambil masker berwarna hitam pekat--menutupi mulutnya, dan topi dari jacket hoody yang sedari tadi menggelantung di leher dia pasangkan di kepalanya. Ini, gila! Bagi Devan ini hal gila yang dia lakukan seumur hidupnya dan itu hanya karena seorang Rania. "Aku sama sekali tidak menyangkah akan sampai melakukan hal gila ini-hanya karena seorang wanita," gumam Devan, dan mantap menurunkan kedua kakinya setelah sepersekian detik. Menge
Devan membawah langkah kakinya masuk ke dalam ruangan, pria itu masuk tanpa ditemani Deni dan juga anak buahnya. Mengingat perbuatan kakeknya dimasa lalu--dengan apa yang dia lakukan pada keluarga milik Dion membuat emosi di dalam diri Devan ke luar. "Mau, sampai kapan-kau berdiri terus di sana?!" Devan yang tak kunjung menghampirinya--memaksa sang kakek untuk bersuara padanya. "Dia, cucuku-anak dari, anak mendiang anak laki-lakiku Adam, dan menantuku Ana," ujar kakek Darma yang memperkenalkan Devan pada rekan bisnisnya itu. Ada sebuah kebanggaan di wajah tua kakek Darma saat memperkenalkan Devan. "Anak dari Adam?" sahut pria paruh baya itu dengan air muka yang sedikit kaget, dan terus menatap pada Devan yang kini sudah mengayunkan langkah kakinya. "Devan-kenalkan ini pak Bima, dia adalah pemilik dari Malayka Group!" ujar kakek Darma, saat memperkenalkan Devan pada rekan bisnisnya itu. Devan tersenyum samar, dengan tetap memasang wajah datarnya--pria itu mengulurkan tangan.
Kenyataan yang baru dia tahu hari ini--sungguh mengguncangkan dunia seorang Devan Wijaya. Memory itu terhantar kembali pada kejadian beberapa tahun silam--yang meninggalkan luka begitu dalam untuknya hingga saat ini. FLAASBACK ONE "Selama ini aku sudah cukup bersabar, Mas! Aku berharap kau sadar dengan sendirinya, namun ternyata kau terus menjalin hubungan dengan mantan kekasihmu, itu!" Ibu kandung Devan, Mama Ana--yang saat itu duduk disebelah suaminya yang tengah menyetir, terus saja meluapkan rasa kecewanya. Airmata tak henti-hentinya menetes dari kedua pelupuk matanya. "Siapa suruh, kamu mau menerima perjodohan ini! Bukankah, sebelumnya kamu sudah mengetahui kalau aku telah memiliki wanita yang aku cinta. Tapi, kau tetap memaksakan diri untuk tetap menikah denganku!" Papa Adam, yang tengah menyetir--nampak tak berpengaruh sedikitpun dengan airmata sang istri. Pria itu justru menyalahkan wanita yang sudah memberikan dirinya satu orang anak itu. Devan hanya bisa menatap nanar, d
Matahari telah tersenyum-menatap indahnya dunia, membuka hari baru baru dan lembaran yang baru. Cahayanya menyinari seluruh bumi--mencuri masuk, hingga kilauan cahayanya mengenai kelopak mata yang masih setia tertutup itu.Rania mengerjap-ngerjapkan kedua kelopak mata--yang masih tertutup. Bergerak kian gelisah, saat cahaya kecil itu tak kunjung pergi.Tak lagi mampu menahan cahaya yang begitu menyilaukan--Rania akhirnya dengan terpaksa membuka kedua mata itu. Matanya telah terbuka, namun nyawa itu belum sepenuhnya terkumpul. Rania mengumpulkan nyawa yang masih tercerai-berai, dan kesadaran itu kembali datang. Menolehkan wajahnya cepat, panik dan juga gugup sontak memenuhi wajah Rania, Devan wajah Devan begitu dekat dengannya. Rania berkali-kali menelan salivanya, dia teramatn gugup setengah mati--bahkan Rania dapat merasakan tubuhnya berkeringat dingin.Rania masih tak memutuskan pandangannya sama sekali dari Devan, menatap---dan terus menatap. Hingga, bolamata itu langsung Rania k
Rania masih terus menatap pada Devan--menelisik begitu lama, gadis itu seolah tengah mencari jawaban akan rasa penasaran yang seketika timbul dalam dirinya. Bahkan bolamata Rania tak berkedip sama sekali saat menatap pria berstatus suaminya itu. Tatapan Rania penuh mengintimidasi. Ditatap seperti itu membuat Devan kian gugup, dan juga salah tingkah. "Kau melihatnya, juga?" Sekian detik membiarkan keheningan melanda dirinya dan Devan, mulut Rania akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang tentunya tak diinginkan Devan. Devan menyengir. Pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, namun semua itu hanyalah akal-akalannya saja untuk mengelabui Rania, agar tak menyadari perubahan bahasa tubuhnya. "Ha--ha---ha, bicara apa, aku ini. Aku hanya salah bicara. Bagaimana seorang kuli seperti aku, mampu melihat cucu Darma Wijaya," ujar Devan, dan diakhir ucapannya pria itu kembali terkekeh dan tentunya dalam hati, Devan berharap agar Rania dapat percaya dengan kebohongan yang dia katakan. "Oh