“Aku dan Andra sudah menikah. Kini, usia kandunganku sudah 4 bulan. Kuharap kamu bisa menerima kenyataan.”
"Tidak mungkin. Ini sangat tidak mungkin," gumam Rania, tak percaya.Berkumpul kembali bersama keluarga tentunya akan mendatangkan kebahagian untuk siapapun, setelah sekian lama tak bersua.Namun, siapa sangka Rania akan mendengar kabar kakaknya telah menikah dengan kekasih dan tunangannya?!Bahkan, kedua orangtuanya pun menutupi hal ini darinya selama Rania bekerja di luar kota!"Tidak mungkin, bagaimana? Jelas-jelas, kau melihat sendiri perutku yang sudah membuncit. Ditambah lagi, kau sudah mendengar sendiri kalau Deni mengakui anak yang kukandung ini adalah anaknya, kan?"Bukan menyesali perbuatannya yang sudah merebut calon suami sang adik, perempuan itu justru menampilkan senyuman mencemoohnya pada Rania.Tak terlihat adanya penyesalan sama sekali di wajahnya."Lagian, kamu bodoh sekali sih! Bisa-bisanya meninggalkan Deni begitu lama di sini.""Bodoh?" sahut Rania yang geram dengan pembelaan diri dari Rasty, “Di sana, aku kerja untuk membantu ekonomi keluarga kita. Aku bukan berlibur! Bagaimana bisa–”"Cukup, Rania! Cukup! Di mana rasa hormatmu? Rasty ini Kakakmu dan dia sedang mengandung!" potong sang ibu mendadak dengan nada penuh emosi.Kini, hati Rania benar-benar hancur.Dia sama sekali tidak menyangka kalau wanita yang dihormatinya itu justru akan menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi."Tapi, Mas Deni calon suami Rania, Maa," lirih Rania, yang kini telah terisak.Namun, sang ibu tak tersentuh. Dengan tegas, dia kembali berkata, "Rasty adalah Kakakmu. Apakah kamu tidak bisa mengalah untuk kebahagiaannya? Apalagi sekarang dia sedang mengandung, dan itu adalah keponakan kamu!"Deg!Mengalah?Selama ini, Rania selalu mengalah dalam banyak hal dengan sang kakak.Tapi, mengapa orangtuanya bertingkah seakan dia tak peduli sama sekali?Belum sempat memprotes, kini ayahnya ikut berbicara, "Sudah. Sudah. Semuanya sudah terjadi. Bagaimanapun kamu harus menerima kenyataan kalau sekarang Deni adalah Kakak iparmu, Rania!""Undangan sudah tersebar. Mau tidak mau, pernikahanmu akan tetap berjalan!" ujar pria tua itu. Kali ini, dia bahkan menekan kata di ujung ucapannya.Apa yang ayahnya katakan, sontak membuat seorang Rania terkejut.Bukankah sang Kakak telah menikah dengan pria yang akan dia nikahi?Terus, pernikahan siapa yang dimaksudkan oleh ayahnya?"Siapa lagi yang akan menikah? Bukankah calon suami Rania sudah direbut oleh Kak Rasty?!" bingungnya."Kamu akan tetap menikah Rania," tegas sang ayah, "kamu tahu kalau Juragan Jarwo sudah lama suka sama kamu, kan?”“Dia yang akan menggantikan posisi Deni nanti sebagai pengantinmu!"Rania jelas terkejut mendengar apa yang baru saja ayahnya katakan.Bukan hanya menyembunyikan pernikahan sang kakak, bagaimana bisa keluarganya ini membuat keputusan tanpa meminta persetujuan Rania?"Aku tidak mau! Aku tidak mau menikah dengannya!" Rania menolak tegas.Wajah perempuan itu terlihat mengeras.Melihat itu, sang ayah justru semakin emosi. "Bagaimanapun, kamu harus menikah dengan juragan Jarwo!" bentaknya."Iya, Rania. Kamu harus menikah dengannya. Kalau tidak, keluarga kita akan malu," timpal sang ibu."Kenapa Mama dan Papa jadi menyalahkanku? Bukankah semua ini terjadi karena kedua manusia tidak tahu malu itu?!"PLAK!Sebuah tamparan keras mendarat sempurna di pipi kiri Rania."Mau tidak mau, kamu harus menikah dengan juragan Jarwo, Rania!" tegas sang ayah.Apa yang dilakukan oleh pria itu jelas membuat semua yang berada di sana terkejut.Rania bahkan memandang tidak percaya pada sang ayah. "Baiklah. Aku akan tetap menikah.”“Tapi, bukan dengan juragan Jarwo!" tegasnya dan berlalu pergi–meninggalkan keluarganya yang kebingungan di ruangan itu."Mungkinkah Rania sudah punya kekasih?"Sang ibu kembali berbicara–memecah keheningan yang melanda.***“Menjadi istri dari juragan Jarwo?” lirih Rania kalut.Juragan itu sudah memiliki dua istri.Jika Rania menikah dengannya, jelas dia akan menjadi istri yang ketiga.Jelas saja, Rania tak mau.Bagaimanapun juga, hari ini dia harus mendapatkan seorang yang mau menikah dengannya.Melangkah dan terus saja melangkah.Rania tampak seperti orang yang kehilangan arah hidup, hingga, langkah wanita itu mendadak terhenti kala tak sengaja melihat sosok tampan yang berdiri di depan sebuah bangunan yang sedang dalam proses pengerjaan.Lumayan tampan dan tampak giat sebagai tukang bangunan.Dan sepertinya, dia belum berkeluarga.“Semoga saja, dia mau," gumam Rania.Dengan semangat 45-nya, wanita itu pun menghampiri pada pria asing itu.Cukup lama mereka berbicara.Sayangnya, beberapa menit kemudian, pria tampan itu tampak emosi."Apa Mba sudah, gila? Kita ini tidak saling mengenal! Bagaimana bisa Mba tiba-tiba datang dan mengajak saya menikah?" cecarnya.Pria itu tampak akan membalikkan tubuhnya, tetapi Rania langsung mencekal tangannya."Aku mohon, Mas. Menikahlah denganku," pinta Rania mengatupkan kedua tangannya pada pria yang berdiri menjulang di depannya, “ini satu-satunya jalan agar saya selamat.”Alis pria itu naik sebelah.Baginya, Rania tampak seperti pasien sakit jiwa.Tanpa basa-basi, dihempaskan tangannya, hingga cengkraman Rania seketika terlepas.Pria bertubuh tinggi itu pun segera melangkah pergi meninggalkan Rania yang menatapnya dengan tatapan putus asa.Hal ini membuat Rania mengusap kasar wajahnya.Dirinya kini bingung di mana harus mencari pria yang mau menikahinya.Hingga, sebuah ide gila terlintas ….!‘Maafkan aku, tapi aku terpaksa melakukan ini,’ batinnya bersiap melakukan sebuah cara licik.Tangan Rania menyobek lengan bajunya, dan membuat rambutnya begitu acak-acakkan.Merasa cukup, Rania pun mantap melangkah pasti ke arah sosok tampan itu.Saat jarak mereka benar-benar tipis, Rania segera membalikkan tubuh pria itu menghadap padanya.Kini keduanya berhadapan.Saat pria itu belum sempat memproses apa yang terjadi, Rania seketika menarik tubuh pria itu dan menimpanya."Tolong! Tolong! Ada yang mau memperkosa saya…!""Hei Nona, apa yang kamu lakukan?!" panik pria itu.Dia mencoba bangun dengan ingin bangun dari atas tubuh Rania, tetapi perempuan itu menahannya dengan sangat kuat.Demi kelancaran rencananya, Rania kembali berteriak, "Tolong…tolong…!"Pucuk dicinta ulam pun tiba.Beberapa warga tampak datang.Salah satu dari mereka bahkan segera menarik kerah baju dari pria pilihan Rania itu.Bugh!Sebuah bogeman mendarat tepat di wajahnya."Tidak, Pak! Ini tidak seperti yang kalian lihat! Wanita itu menjebak saya!" protesnya.Rania sontak menggeleng. Dengan cepat, dia mengeluarkan air mata palsu."Tidak Pak dia berbohong. Mana ada maling yang mau ngaku?”“Dia ingin memperkosa saya. Bapak-bapak sendiri bisa melihat buktinya," ujar Rania yang kini telah menangis.Warga tampak setuju.Kondis Rania jelas lebih masuk akal mereka."Bagaimanapun anda harus bertanggung jawab!" ujar salah satu warga."Saya tidak mau menikah dengan wanita ini, Pak. Dia gila!" tolak pria muda itu tegas, “dia justru yang berusaha menyentuh saya.”Rania menganga mendengar itu.Dia jadi merasa bersalah. Namun, para warga justru tampak tertawa."Mas jangan berbohong! Mana ada perempuan yang mau memperkosa pria?’“Betul itu! Hari ini juga Mas harus menikahi Mba ini!" timpal warga lain yang langsung disetujui oleh semua orang.“SETUJU! Segera panggil Pak Penghulu!”“Sial,” lirih Devan Adma Wijaya di bawah langit gelap. Dia tak menyangka niatnya untuk menghindari perjodohan yang dilakukan oleh kakeknya dengan anak seorang pengusaha kaya, berakhir tragis seperti ini.Mendadak, Devan justru menikahi seorang wanita asing yang jauh dari kriterianya.Rania adalah wanita kampung dan juga dari kelas bawah. Mengedarkan pandangan–Devan menjelajahi setiap sudut ruangan. Dia mengamati satu per satu benda yang berada di dalam kamar, hingga suara pintu yang terbuka mengalihkan pandangan pria itu. Mendapati sosok yang melangkah masuk ke dalam kamar, membuat api yang sudah nyaris padam dalam diri Devan kembali berkobar. Emosi kini telah kembali menyelimuti wajah tampan sang casanova.Alis tebalnya menyatu dan matanya pun menggelap. "Kamu sudah menjebakku. Kamu lihat saja, apa yang akan aku lakukan pada hidupmu, Nona Rania!" ancam Devan seketika.Brak!Takut perkataan Devan terdengar oleh orang luar, Rania cepat-cepat menutup pintu.Dia khawatir ada yang me
Tanpa terasa, mentari sudah kembali bersinar. Pagi-pagi sekali, Rania sudah bangun dari tidurnya untuk menyiapkan keperluan Devan. Walaupun mereka sepakat akan bercerai setelah satu tahun pernikahan mereka, namun Rania berjanji akan mengurus Devan selayaknya seorang suami. Bagaimanapun juga, pria itu telah membantunya. Jadi, setelah membersihkan diri, Rania segera ke luar dari dalam kamar mengabaikan Devan yang masih tidur di sofa. Dia akan membuatkan kopi untuk suaminya. Dibukanya salah satu kabinet kecil, guna mengambil gula dan kopi yang tersimpan di dalamnya. Namun, begitu lama-menelusuri ruang kecil itu--Rania tak menemukan apa yang dia cari. "Bukankah biasanya kopi dan gula simpannya di sini?" gumam Rania yang bertanya pada dirinya sendiri. Mungkin saja sudah dipindahkan ketempat yang lainnya, setidaknya itulah yang ada di dalam pikiran Rania. Wanita itu kembali mencari di dalam kabinet yang lainnya. Namun, apa yang dia cari tak kunjung dia temukan, hingga Rania mend
Beberapa menit mengemudikan kendaraan roda duanya, kini Devan dan Rania telah tiba di sebuah hunian kecil yang begitu sederhana. Pandangan Rania tak pernah putus dari rumah kecil itu. Dia begitu penasaran kediaman di depannya itu milik siapa. "Apakah ini, rumahmu?" tanya Rania hati-hati, seraya kedua kakinya melangkah dengan ragu. Devan menggeleng. "Bukan. Ini rumah kontrakkan kita. Setidaknya, jauh lebih baik kalau kita tinggal di sini, dari pada hidup di rumah orang tuamu!" tegasnya. Tak lama, pria itu melangkah masuk ke dalam pekarangan rumah. Namun, Devan menghentikan langkah kakinya saat menyadari kalau Rania yang masih berada jauh di belakangnya. "Ayo! Ngapain kamu masih di sana?" "Tapi, bagaimana kita membayarnya? Akan lebih baik kalau kita mencari kos saja. Bukankah, kalau menyewa sebuah rumah akan lebih menguras kantong?" Devan menarik napasnya dalam. Seandainya saja wanita di depannya ini mengetahui siapa dia, mungkin Rania tidak akan mencemaskan masalah biayany
Untungnya, Devan tak berkomentar lebih banyak dan memutuskan menghormati keputusan Rania.Mereka pun akhirnya beristirahat, hingga kini sinar mentari mulai masuk lewat jendela kamar.Silau, Rania pun terpaksa bangun dari tidurnya.Dia merenggangkan otot-otot yang terasa kaku meski rasa malas yang masih mendera. Lalu, istri Devan itu pun turun dari atas ranjang dan mendapati hari sudahg pagi."Di mana, dia?" gumam Rania seraya mengedarkan pandangannya ke segala arah.Sedari tadi, dirinya tak menemukan sosok Devan sama sekali.Jadi, dengan ragu, gadis itu membuka pintu kamar pria itu.Menjelajahi setiap sudut kamar dengan kedua matanya, dirinya masih tak menemukan Devan sama sekali."Bahkan di kamarpun dia tidak ada. Apakah, dia sudam pergi kerja?" gumam Rania, yang bertanya pada dirinya sendiri.Ditutupnya kembali pintu kamar, dan berbalik.Namun, seketika tubuh Rania meremang--saat mendapati Devan yang menjulang di depannya.Hampir saja Rania menabrak tubuh telanjang itu, dan dengan s
Devan melangkah menuju kamar Rania. Namun betapa kagetnya Devan, saat mendapati Rania yang ditarik paksa oleh juragan Jarwo. "Lepaskan dia!" teriak Devan dengan lantang, dan membawa langkah kakinya menuju teras rumah. Teriakan Devan menghentikan kegiatan juragan Jarwo. Memalingkan pandangannya pada sumber suara, dan mendapati kedatangan Devan. "Lepaskan dia!"pinta Devan lagi, saat sudah berada di teras rumah. Pria bertubuh tambun itu terkekeh. Devan yang bersikap bak seorang pahlawan untuk Rania serasa menggelitik untuknya. Menolehkan wajah--menatap satu persatu wajah kedua anak buahnya, dan sedetik kemudian, ketiganya sama-sama tertawa. "Melepaskannya?" tanya juragan Jarwo menjeda ucapannya sejenak, juragan Jarwo berusaha mengontrol emosinya," Apakah saya tidak salah dengar, anak muda?!" lanjutnya lagi. "Rania adalah istri saya, dan saya minta lepaskan dia!" Raut wajah juragan Jarwo berubah keruh. Rahangnya mengetat, otot-otot lehernya pun nampak menegang, akan emosi
Tanpa terasa, malam hari telah menyambut kembali. Hanya saja, saat ini hujan turun dengan sangat deras, sesekali petir menyambar menimbulkan bunga api yang berpijar di awan gelap hingga menampakkan pemandangan yang sangat indah. Terdengar suara hentakkan kaki yang begitu kencang. Bersamaan dengan itu, tampak sosok pria muda yang tengah berlari dengan kedua tangan yang dia gunakan untuk menutupi kepalanya. Menemukan halte, pria itu berteduh. Sosok itu berangsut mundur, menghindari siraman hujan agar tak membasahi tubuhnya. Dan tak lama, sebuah mobil mewah melaju pelan, dan berhenti tepat di depan sosok itu. Pintu mobil yang terbuka, dan menampilkan sosok pria berjas ke luar dari dalamnya dengan membawa sebuah payung yang telah dia buka. "Selamat malam Tuan," sapa seorang pria, saat Devan baru saja mendaratkan tubuhnya dikursi. "Malam." Devan membalas sapaan pria itu dengan datar, "Apakah kalian sudah membereskannya?" tanya Devan kemudian, tanpa menatap pria yang duduk disebelahny
Apa yang menjadi penyebab sang kakek sampai berakhir di rumah sakit cukup membuat seorang Devan kaget dan juga syok. Pria itu pun segera meminta orang-orang kepercayaan kakeknya untuk mencari pelaku. "Hallo Tuan." "Kalian segera periksa pelayan yang bertugas saat acara berlangsung, dan juga chef-chef yang mengelola menu-menu hari ini. Tuan Besar diracun!" perintah Devan, dengan nada suaranyanya yang mengandung emosi. "BaikTuan," sahutnya, dan segera memutuskan sambungan teleponenya. Devan mengusap wajahnya kasar, mencoba menahan gemuruh di dalam dada. Membalikkan tubuh, dan mendapati keberadaan Dion--yang tengah menatapnya dengan tatapan yang tak biasa. "Tuan," gumam Dion, dengan menatap lurus pada Devan yang tengah membawa langkah kaki padanya. "Kakek diracun, dan aku sangat yakin kalau apa yang terjadi pada kakek pasti melibatkan orang dalam!" ujar Devan, dengan menekan setiap kata yang dia ucapkan. Mimik wajah Dion berubah. Pria itu menelan ludahnya berat, wajah Dion n
Devan hendak melayangkan ketukkan pada badan pintu kamar. Namun, gerakan tangan Devan terhenti di udara setelah mendengar suara Rania yang tengah melakukan panggilan telepone dengan seseorang. Speaker yang sengaja dibesarkan membuat pria itu mampu mendengar dengan sangat jelas semua percakapan Rania, dan temannya, yang bernama Indah itu."Tapi dia sangat tampan, dan juga baik." Mendengar kalimat seperti itu yang Rania ucapkan tentangnya membuat senyum kecil terbit di wajah Devan tanpa dirinya sadari. Devan merasa Rania tidak malu memiliki suami seperti dirinya walaupun pekerjaannya hanya seorang kuli bangunan. Menyadari dirinya yang sedang membawa makanan untuk Rania, Devan memutuskan untuk mengetuk pintu kamar.TOKTOKTOKKetukan sebanyak tiga kali yang dia berikan--membuat Rania menyudahi kegiatan menelponenya. Dan, tak lamapun terdengar suara pintu yang dibuka dari dalam kamar. "Devan." Senyum terukir di wajah Rania, ntah kenapa dia terlihat sangat cantik di depan mata Devan. Te
5 bulan kemudian Oeek---- Oeek---- Suara tangisan bayi menggema di dalam ruangan operasi, dan suara tangisan bayi yang terdengar, membuat sosok-sosok dewasa itu seketika mengucapkan rasa syukur. "Selamat ya, Deni, akhir nya kamu sudah menjadi ayah," ujar Devan, menghampiri Deni dan memeluk sebentar pria itu. "Terima kasih Tuan," ujar Deni, dengan senyum lepas di wajah--kebahagiaan nyata terlihat di wajah pria itu, di mana binar bahagia nyata terlihat di bola mata nya. "Deni----," panggil Rania beberapa menit kemudian. Datang nya sosok Rania, mengembangkan senyum di wajah Deni, namun ada nya air mata yang dia temukan pada kelopak mata kakak angkat nya, membuat Deni pun tak mampu membendung kesedihan itu lagi. Bagi Deni, Rania adalah sosok kakak yang baik untuk nya. Melangkah menghampiri, Deni segera memeluk tubuh wanita itu saat sudah berada dekat dengan nya. "Kau, sudah menjadi seorang, ayah, Deni, selamat!" ujar Rania dengan lirih, sudah ada butir kristal yang mene
Kaget, dengan bola mata yang membeliak penuh. Namun, menyadari bagaimana sambutan nya dengan segera Rania, mengembalikan mimik wajah nya. "Maaf," ujar Rania dengan kikuk, wanita itu nampak salah tingkah merasa tidak enak hati pada Sarah. Sarah yang menunduk, seketika mendongak--iris hitam nya, begitu dalam dan tajam, menatap manik hitam Rania. Masih menatap, Sarah akhir nya bersuara. "Apakah, kau tidak akan memaafkan aku?" tanya Sarah dengan lirih, ada mendung yang sudah menyelimuti wajah cantik wanita itu bagaimana mendapati sambutan Rania akan permintaan maaf dari nya. Wajah Rania mendadak kaku, terperangah--sebab merasa Sarah sudah salah sangkah pada nya," Oh, bukan begitu maksudku, kau salah sangkah! Aku, sudah memaafkan mu, sejak kau mengijinkan Papa, dan Mamaku untuk kembali bersatu " jelas Rania. "Benarkah?" ujar Sarah dengan senyum yang mengembang di wajah, wanita yang sedang mengandung 4 bulan itu terlihat sumringah, bola mata nya pun berbinar bahagia. "Yaa!"
Dua Minggu kemudian Duduk berdampingan, namun walaupun duduk bersama, Sarah, maupun Deni tak ada yang saling berbicara. Ntah, apa yang ada dalam pikiran kedua nya, namun kedua sosok itu lebih memilih untuk diam. Suasana canggung begitu terasa. Ingin berbicara, namun--Deni bingung harus memulai nya dari mana. Sarah terus saja mendiam kan nya. Alhasil, Deni tetap dengan diam nya--dengan sesekali melirik kan pandangan nya pada Sarah. Mendapati Sarah yang meremas jari-jari nya, pria itu hanya bisa mendesahkan napas nya berat. "Aku seperti melihat orang lain. Padahal Sarah yang aku kenal, adalah sosok yang arogant, dan suka, banyak bicara!" gumam Deni dalam hati, dengan diam-diam menatap pada Sarah. Hening--- Hening--- Sampai kapan--mereka saling, diam? Setidak nya itu lah yang ada di dalam pikiran Deni saat ini. Tak, mampu menahan diri itu lagi--Deni memilih untuk bersuara terlebih dahulu. "Kenapa, kau tidak memberitahukan padaku--kalau kau, sedang mengandung?" ujar Deni
Malam hari "Rania----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Rania membelah, wanita berambut indah itu seketika memindai pandangan nya pada asal suara. "Dev---,"gumam nya, saat mendapati kedatangan sang suami. Sebagai seseorang yang sangat mengenal baik Rania, tentu Devan tahu-seperti apa istri nya itu. Air muka yang Rania tunjukkan saat ini, Devan yakin ada sesuatu yang begitu membebani istri nya itu saat ini. "Kamu, baik-baik saja'kan?" tanya Devan. Menutup pintu ruangan, pria itu menyeretkan langkah berat nya menuju Rania. Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan. Pertanyaan yang pria itu berikan, kembali menyadarkan Rania atas kenyataan yang dia ketahui hari ini. Diam, iris hitam Rania begitu lekat, dan dalam, menatap manik hitam Devan. "Tidak! Aku tidak boleh memberitahukan hal ini pada Devan." Rania bermonolog dalam hati, wanita itu sedang berperang dengan suara hati nya sendiri. "Aku baik-baik saja!" sahut Rania, memutuskan pandangan-ber
Sarah telah kembali berada di dalam mobil. Namun, bukan nya langsung pergi meninggalkan area depan restorant, Desicner perhiasan itu justru masih setia tetap berada di sana. Begitu malu saat Rania melihat tanda merah di leher nya, membuat Sarah menenggelamkan wajah nya sedalam mungkin di antara bundaran setir, dengan tak henti-henti nya menggerutu. "Sebel! Sebel! Bagaimana, bisa aku seceroboh ini?!" gerutu Sarah, sembari memukul-mukul kuat bundaran setir. Puas meluapkan kekesalan nya, Sarah mendongak, dan wanita itu mendapati Rania yang melintasi depan mobil nya. Mendapati Rania yang tersenyum--Sarah yakin kalau saudara tiri nya itu tengah menertawakan diri nya. Masih setia memandang Rania, hingga berakhir diri nya mendapati Ibu satu anak itu yang berlalu dengan sebuah mobil mewah. Lama memandang, Sarah memutuskan pandangan setelah teringat rencana nya yang akan berziarah ke makam sang Bunda. Menghidupkan mesin mobil, dan berlalu pergi meninggalkan depan restorant. **** *****
Beberapa hari ini Devan merasa ada yang berbeda dengan Deni. Orang kepercayaan, juga adik ipar nya. Menurut Devan sedang tidak baik-baik saja. Deni yang selalu smart, dan selalu terlihat gentle, akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. Terus memandang, Devan yang selama ini memendam rasa penasaran nya akhir nya bertanya. "Bolehkah, aku bertanya sesuatu?" tanya Devan, dengan nada suara yang terdengar ragu. Deni yang tengah memandang wajah ponsel, seketika menengadah--pria itu menatap Devan dengan lekat-lekat. Devan tak langsung melontarkan pertanyaan. Di tatap nya wajah Deni lamat-lamat, lingkaran hitam pada kelopak mata, wajah yang kusut, seperti nya pria itu akhir-akhir ini kurang beristirahat. "Apakah, kau sedang ada masalah? Sebab yang aku perhatikan beberapa hari ini kau nampak murung. Mata mu pun nampak menghitam. Bukankah, aku jarang memberikan kau pekerjaan yang membuat kau lembur. Atau jangan-jangan, kau sering menghabiskan waktu di Klup malam bersama para wani
Beberapa menit kemudian "Apa, menginap di sini?!" sahut Deni. Bola mata nya membeliak, kaget juga sedikit shyok setelah mendengar keinginan Sarah barusan. "I-ya," sahut Sarah dengan ragu, sambutan Deni menciptakan mimik wajah yang berubah pada wanita itu. Sarah nampak menahan malu. "Nggak!" Deni menolak dengan tegas, dan penolakan keras dari pria itu menciptakan kekecewaan, juga sedih di wajah Sarah. Namun, hanya sesaat saja. Seketika wanita cantik berdarah Jepang Indonesia itu, kembali memohon pada Deni. Memegang tangan pria itu dengan erat-erat, dan menatap nya dengan memohon. "Den, aku mohon-kali ini saja. Aku sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Kematian Mama, dan hubungan ku dan Papa yang merenggang, membuat aku merasakan rumahku seperti di neraka," pinta Sarah. Memasang wajah memelas nya, Sarah menatap Deni dengan bola mata berair. "Bukankah, kau memiliki teman? Jika kau tidak nyaman berada di rumah mu, kau bisa pergi menginap di rumah mer
Waktu telah berada di pukul 11 malam. Di saat banyak penghuni bumi sudah menjemput alam mimpi nya, hal serupa tak berlaku bagi Sarah. Walaupun telah dilanda rasa kantuk yang teramat sangat--namun Desicner cantik itu tak kunjung dapat tidur. Bangkit dari tidur nya, Sarah mengacak-ngacak rambut nya frustasi. "Kenapa, aku terus memikirkan omongan Rania, terus-sih?!" gerutu Sarah, dengan wajah frustasi nya. Karena tak dapat kunjung tidur, berakhir Sarah memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia akan mengambil beberapa cemilan ringan, dan juga minuman soda, guna untuk menemani nya menonton film. Kedua kaki Sarah telah memijak di lantai dasar. Akan melangkah menuju arah dapur, namun hal itu Sarah urungkan saat dari jauh lebih tak sengaja wanita berkulit putih itu mendapati keberadaan papa Akio. "Papa," gumam Sarah, dengan pandangan tak terputus dari papa Akio, di mana pria paruh baya itu tengah berdiri di depan jendela kaca besar, sembari melemparkan pandangan nya ke arah luar. Lama me
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j