“Aku dan Andra sudah menikah. Kini, usia kandunganku sudah 4 bulan. Kuharap kamu bisa menerima kenyataan.”
"Tidak mungkin. Ini sangat tidak mungkin," gumam Rania, tak percaya.Berkumpul kembali bersama keluarga tentunya akan mendatangkan kebahagian untuk siapapun, setelah sekian lama tak bersua.Namun, siapa sangka Rania akan mendengar kabar kakaknya telah menikah dengan kekasih dan tunangannya?!Bahkan, kedua orangtuanya pun menutupi hal ini darinya selama Rania bekerja di luar kota!"Tidak mungkin, bagaimana? Jelas-jelas, kau melihat sendiri perutku yang sudah membuncit. Ditambah lagi, kau sudah mendengar sendiri kalau Deni mengakui anak yang kukandung ini adalah anaknya, kan?"Bukan menyesali perbuatannya yang sudah merebut calon suami sang adik, perempuan itu justru menampilkan senyuman mencemoohnya pada Rania.Tak terlihat adanya penyesalan sama sekali di wajahnya."Lagian, kamu bodoh sekali sih! Bisa-bisanya meninggalkan Deni begitu lama di sini.""Bodoh?" sahut Rania yang geram dengan pembelaan diri dari Rasty, “Di sana, aku kerja untuk membantu ekonomi keluarga kita. Aku bukan berlibur! Bagaimana bisa–”"Cukup, Rania! Cukup! Di mana rasa hormatmu? Rasty ini Kakakmu dan dia sedang mengandung!" potong sang ibu mendadak dengan nada penuh emosi.Kini, hati Rania benar-benar hancur.Dia sama sekali tidak menyangka kalau wanita yang dihormatinya itu justru akan menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi."Tapi, Mas Deni calon suami Rania, Maa," lirih Rania, yang kini telah terisak.Namun, sang ibu tak tersentuh. Dengan tegas, dia kembali berkata, "Rasty adalah Kakakmu. Apakah kamu tidak bisa mengalah untuk kebahagiaannya? Apalagi sekarang dia sedang mengandung, dan itu adalah keponakan kamu!"Deg!Mengalah?Selama ini, Rania selalu mengalah dalam banyak hal dengan sang kakak.Tapi, mengapa orangtuanya bertingkah seakan dia tak peduli sama sekali?Belum sempat memprotes, kini ayahnya ikut berbicara, "Sudah. Sudah. Semuanya sudah terjadi. Bagaimanapun kamu harus menerima kenyataan kalau sekarang Deni adalah Kakak iparmu, Rania!""Undangan sudah tersebar. Mau tidak mau, pernikahanmu akan tetap berjalan!" ujar pria tua itu. Kali ini, dia bahkan menekan kata di ujung ucapannya.Apa yang ayahnya katakan, sontak membuat seorang Rania terkejut.Bukankah sang Kakak telah menikah dengan pria yang akan dia nikahi?Terus, pernikahan siapa yang dimaksudkan oleh ayahnya?"Siapa lagi yang akan menikah? Bukankah calon suami Rania sudah direbut oleh Kak Rasty?!" bingungnya."Kamu akan tetap menikah Rania," tegas sang ayah, "kamu tahu kalau Juragan Jarwo sudah lama suka sama kamu, kan?”“Dia yang akan menggantikan posisi Deni nanti sebagai pengantinmu!"Rania jelas terkejut mendengar apa yang baru saja ayahnya katakan.Bukan hanya menyembunyikan pernikahan sang kakak, bagaimana bisa keluarganya ini membuat keputusan tanpa meminta persetujuan Rania?"Aku tidak mau! Aku tidak mau menikah dengannya!" Rania menolak tegas.Wajah perempuan itu terlihat mengeras.Melihat itu, sang ayah justru semakin emosi. "Bagaimanapun, kamu harus menikah dengan juragan Jarwo!" bentaknya."Iya, Rania. Kamu harus menikah dengannya. Kalau tidak, keluarga kita akan malu," timpal sang ibu."Kenapa Mama dan Papa jadi menyalahkanku? Bukankah semua ini terjadi karena kedua manusia tidak tahu malu itu?!"PLAK!Sebuah tamparan keras mendarat sempurna di pipi kiri Rania."Mau tidak mau, kamu harus menikah dengan juragan Jarwo, Rania!" tegas sang ayah.Apa yang dilakukan oleh pria itu jelas membuat semua yang berada di sana terkejut.Rania bahkan memandang tidak percaya pada sang ayah. "Baiklah. Aku akan tetap menikah.”“Tapi, bukan dengan juragan Jarwo!" tegasnya dan berlalu pergi–meninggalkan keluarganya yang kebingungan di ruangan itu."Mungkinkah Rania sudah punya kekasih?"Sang ibu kembali berbicara–memecah keheningan yang melanda.***“Menjadi istri dari juragan Jarwo?” lirih Rania kalut.Juragan itu sudah memiliki dua istri.Jika Rania menikah dengannya, jelas dia akan menjadi istri yang ketiga.Jelas saja, Rania tak mau.Bagaimanapun juga, hari ini dia harus mendapatkan seorang yang mau menikah dengannya.Melangkah dan terus saja melangkah.Rania tampak seperti orang yang kehilangan arah hidup, hingga, langkah wanita itu mendadak terhenti kala tak sengaja melihat sosok tampan yang berdiri di depan sebuah bangunan yang sedang dalam proses pengerjaan.Lumayan tampan dan tampak giat sebagai tukang bangunan.Dan sepertinya, dia belum berkeluarga.“Semoga saja, dia mau," gumam Rania.Dengan semangat 45-nya, wanita itu pun menghampiri pada pria asing itu.Cukup lama mereka berbicara.Sayangnya, beberapa menit kemudian, pria tampan itu tampak emosi."Apa Mba sudah, gila? Kita ini tidak saling mengenal! Bagaimana bisa Mba tiba-tiba datang dan mengajak saya menikah?" cecarnya.Pria itu tampak akan membalikkan tubuhnya, tetapi Rania langsung mencekal tangannya."Aku mohon, Mas. Menikahlah denganku," pinta Rania mengatupkan kedua tangannya pada pria yang berdiri menjulang di depannya, “ini satu-satunya jalan agar saya selamat.”Alis pria itu naik sebelah.Baginya, Rania tampak seperti pasien sakit jiwa.Tanpa basa-basi, dihempaskan tangannya, hingga cengkraman Rania seketika terlepas.Pria bertubuh tinggi itu pun segera melangkah pergi meninggalkan Rania yang menatapnya dengan tatapan putus asa.Hal ini membuat Rania mengusap kasar wajahnya.Dirinya kini bingung di mana harus mencari pria yang mau menikahinya.Hingga, sebuah ide gila terlintas ….!‘Maafkan aku, tapi aku terpaksa melakukan ini,’ batinnya bersiap melakukan sebuah cara licik.Tangan Rania menyobek lengan bajunya, dan membuat rambutnya begitu acak-acakkan.Merasa cukup, Rania pun mantap melangkah pasti ke arah sosok tampan itu.Saat jarak mereka benar-benar tipis, Rania segera membalikkan tubuh pria itu menghadap padanya.Kini keduanya berhadapan.Saat pria itu belum sempat memproses apa yang terjadi, Rania seketika menarik tubuh pria itu dan menimpanya."Tolong! Tolong! Ada yang mau memperkosa saya…!""Hei Nona, apa yang kamu lakukan?!" panik pria itu.Dia mencoba bangun dengan ingin bangun dari atas tubuh Rania, tetapi perempuan itu menahannya dengan sangat kuat.Demi kelancaran rencananya, Rania kembali berteriak, "Tolong…tolong…!"Pucuk dicinta ulam pun tiba.Beberapa warga tampak datang.Salah satu dari mereka bahkan segera menarik kerah baju dari pria pilihan Rania itu.Bugh!Sebuah bogeman mendarat tepat di wajahnya."Tidak, Pak! Ini tidak seperti yang kalian lihat! Wanita itu menjebak saya!" protesnya.Rania sontak menggeleng. Dengan cepat, dia mengeluarkan air mata palsu."Tidak Pak dia berbohong. Mana ada maling yang mau ngaku?”“Dia ingin memperkosa saya. Bapak-bapak sendiri bisa melihat buktinya," ujar Rania yang kini telah menangis.Warga tampak setuju.Kondis Rania jelas lebih masuk akal mereka."Bagaimanapun anda harus bertanggung jawab!" ujar salah satu warga."Saya tidak mau menikah dengan wanita ini, Pak. Dia gila!" tolak pria muda itu tegas, “dia justru yang berusaha menyentuh saya.”Rania menganga mendengar itu.Dia jadi merasa bersalah. Namun, para warga justru tampak tertawa."Mas jangan berbohong! Mana ada perempuan yang mau memperkosa pria?’“Betul itu! Hari ini juga Mas harus menikahi Mba ini!" timpal warga lain yang langsung disetujui oleh semua orang.“SETUJU! Segera panggil Pak Penghulu!”“Sial,” lirih Devan Adma Wijaya di bawah langit gelap. Dia tak menyangka niatnya untuk menghindari perjodohan yang dilakukan oleh kakeknya dengan anak seorang pengusaha kaya, berakhir tragis seperti ini.Mendadak, Devan justru menikahi seorang wanita asing yang jauh dari kriterianya.Rania adalah wanita kampung dan juga dari kelas bawah. Mengedarkan pandangan–Devan menjelajahi setiap sudut ruangan. Dia mengamati satu per satu benda yang berada di dalam kamar, hingga suara pintu yang terbuka mengalihkan pandangan pria itu. Mendapati sosok yang melangkah masuk ke dalam kamar, membuat api yang sudah nyaris padam dalam diri Devan kembali berkobar. Emosi kini telah kembali menyelimuti wajah tampan sang casanova.Alis tebalnya menyatu dan matanya pun menggelap. "Kamu sudah menjebakku. Kamu lihat saja, apa yang akan aku lakukan pada hidupmu, Nona Rania!" ancam Devan seketika.Brak!Takut perkataan Devan terdengar oleh orang luar, Rania cepat-cepat menutup pintu.Dia khawatir ada yang me
Tanpa terasa, mentari sudah kembali bersinar. Pagi-pagi sekali, Rania sudah bangun dari tidurnya untuk menyiapkan keperluan Devan. Walaupun mereka sepakat akan bercerai setelah satu tahun pernikahan mereka, namun Rania berjanji akan mengurus Devan selayaknya seorang suami. Bagaimanapun juga, pria itu telah membantunya. Jadi, setelah membersihkan diri, Rania segera ke luar dari dalam kamar mengabaikan Devan yang masih tidur di sofa. Dia akan membuatkan kopi untuk suaminya. Dibukanya salah satu kabinet kecil, guna mengambil gula dan kopi yang tersimpan di dalamnya. Namun, begitu lama-menelusuri ruang kecil itu--Rania tak menemukan apa yang dia cari. "Bukankah biasanya kopi dan gula simpannya di sini?" gumam Rania yang bertanya pada dirinya sendiri. Mungkin saja sudah dipindahkan ketempat yang lainnya, setidaknya itulah yang ada di dalam pikiran Rania. Wanita itu kembali mencari di dalam kabinet yang lainnya. Namun, apa yang dia cari tak kunjung dia temukan, hingga Rania mend
Beberapa menit mengemudikan kendaraan roda duanya, kini Devan dan Rania telah tiba di sebuah hunian kecil yang begitu sederhana. Pandangan Rania tak pernah putus dari rumah kecil itu. Dia begitu penasaran kediaman di depannya itu milik siapa. "Apakah ini, rumahmu?" tanya Rania hati-hati, seraya kedua kakinya melangkah dengan ragu. Devan menggeleng. "Bukan. Ini rumah kontrakkan kita. Setidaknya, jauh lebih baik kalau kita tinggal di sini, dari pada hidup di rumah orang tuamu!" tegasnya. Tak lama, pria itu melangkah masuk ke dalam pekarangan rumah. Namun, Devan menghentikan langkah kakinya saat menyadari kalau Rania yang masih berada jauh di belakangnya. "Ayo! Ngapain kamu masih di sana?" "Tapi, bagaimana kita membayarnya? Akan lebih baik kalau kita mencari kos saja. Bukankah, kalau menyewa sebuah rumah akan lebih menguras kantong?" Devan menarik napasnya dalam. Seandainya saja wanita di depannya ini mengetahui siapa dia, mungkin Rania tidak akan mencemaskan masalah biayany
Untungnya, Devan tak berkomentar lebih banyak dan memutuskan menghormati keputusan Rania.Mereka pun akhirnya beristirahat, hingga kini sinar mentari mulai masuk lewat jendela kamar.Silau, Rania pun terpaksa bangun dari tidurnya.Dia merenggangkan otot-otot yang terasa kaku meski rasa malas yang masih mendera. Lalu, istri Devan itu pun turun dari atas ranjang dan mendapati hari sudahg pagi."Di mana, dia?" gumam Rania seraya mengedarkan pandangannya ke segala arah.Sedari tadi, dirinya tak menemukan sosok Devan sama sekali.Jadi, dengan ragu, gadis itu membuka pintu kamar pria itu.Menjelajahi setiap sudut kamar dengan kedua matanya, dirinya masih tak menemukan Devan sama sekali."Bahkan di kamarpun dia tidak ada. Apakah, dia sudam pergi kerja?" gumam Rania, yang bertanya pada dirinya sendiri.Ditutupnya kembali pintu kamar, dan berbalik.Namun, seketika tubuh Rania meremang--saat mendapati Devan yang menjulang di depannya.Hampir saja Rania menabrak tubuh telanjang itu, dan dengan s
Devan melangkah menuju kamar Rania. Namun betapa kagetnya Devan, saat mendapati Rania yang ditarik paksa oleh juragan Jarwo. "Lepaskan dia!" teriak Devan dengan lantang, dan membawa langkah kakinya menuju teras rumah. Teriakan Devan menghentikan kegiatan juragan Jarwo. Memalingkan pandangannya pada sumber suara, dan mendapati kedatangan Devan. "Lepaskan dia!"pinta Devan lagi, saat sudah berada di teras rumah. Pria bertubuh tambun itu terkekeh. Devan yang bersikap bak seorang pahlawan untuk Rania serasa menggelitik untuknya. Menolehkan wajah--menatap satu persatu wajah kedua anak buahnya, dan sedetik kemudian, ketiganya sama-sama tertawa. "Melepaskannya?" tanya juragan Jarwo menjeda ucapannya sejenak, juragan Jarwo berusaha mengontrol emosinya," Apakah saya tidak salah dengar, anak muda?!" lanjutnya lagi. "Rania adalah istri saya, dan saya minta lepaskan dia!" Raut wajah juragan Jarwo berubah keruh. Rahangnya mengetat, otot-otot lehernya pun nampak menegang, akan emosi
Tanpa terasa, malam hari telah menyambut kembali. Hanya saja, saat ini hujan turun dengan sangat deras, sesekali petir menyambar menimbulkan bunga api yang berpijar di awan gelap hingga menampakkan pemandangan yang sangat indah. Terdengar suara hentakkan kaki yang begitu kencang. Bersamaan dengan itu, tampak sosok pria muda yang tengah berlari dengan kedua tangan yang dia gunakan untuk menutupi kepalanya. Menemukan halte, pria itu berteduh. Sosok itu berangsut mundur, menghindari siraman hujan agar tak membasahi tubuhnya. Dan tak lama, sebuah mobil mewah melaju pelan, dan berhenti tepat di depan sosok itu. Pintu mobil yang terbuka, dan menampilkan sosok pria berjas ke luar dari dalamnya dengan membawa sebuah payung yang telah dia buka. "Selamat malam Tuan," sapa seorang pria, saat Devan baru saja mendaratkan tubuhnya dikursi. "Malam." Devan membalas sapaan pria itu dengan datar, "Apakah kalian sudah membereskannya?" tanya Devan kemudian, tanpa menatap pria yang duduk disebelahny
Apa yang menjadi penyebab sang kakek sampai berakhir di rumah sakit cukup membuat seorang Devan kaget dan juga syok. Pria itu pun segera meminta orang-orang kepercayaan kakeknya untuk mencari pelaku. "Hallo Tuan." "Kalian segera periksa pelayan yang bertugas saat acara berlangsung, dan juga chef-chef yang mengelola menu-menu hari ini. Tuan Besar diracun!" perintah Devan, dengan nada suaranyanya yang mengandung emosi. "BaikTuan," sahutnya, dan segera memutuskan sambungan teleponenya. Devan mengusap wajahnya kasar, mencoba menahan gemuruh di dalam dada. Membalikkan tubuh, dan mendapati keberadaan Dion--yang tengah menatapnya dengan tatapan yang tak biasa. "Tuan," gumam Dion, dengan menatap lurus pada Devan yang tengah membawa langkah kaki padanya. "Kakek diracun, dan aku sangat yakin kalau apa yang terjadi pada kakek pasti melibatkan orang dalam!" ujar Devan, dengan menekan setiap kata yang dia ucapkan. Mimik wajah Dion berubah. Pria itu menelan ludahnya berat, wajah Dion n
Devan hendak melayangkan ketukkan pada badan pintu kamar. Namun, gerakan tangan Devan terhenti di udara setelah mendengar suara Rania yang tengah melakukan panggilan telepone dengan seseorang. Speaker yang sengaja dibesarkan membuat pria itu mampu mendengar dengan sangat jelas semua percakapan Rania, dan temannya, yang bernama Indah itu."Tapi dia sangat tampan, dan juga baik." Mendengar kalimat seperti itu yang Rania ucapkan tentangnya membuat senyum kecil terbit di wajah Devan tanpa dirinya sadari. Devan merasa Rania tidak malu memiliki suami seperti dirinya walaupun pekerjaannya hanya seorang kuli bangunan. Menyadari dirinya yang sedang membawa makanan untuk Rania, Devan memutuskan untuk mengetuk pintu kamar.TOKTOKTOKKetukan sebanyak tiga kali yang dia berikan--membuat Rania menyudahi kegiatan menelponenya. Dan, tak lamapun terdengar suara pintu yang dibuka dari dalam kamar. "Devan." Senyum terukir di wajah Rania, ntah kenapa dia terlihat sangat cantik di depan mata Devan. Te