Beberapa menit mengemudikan kendaraan roda duanya, kini Devan dan Rania telah tiba di sebuah hunian kecil yang begitu sederhana.
Pandangan Rania tak pernah putus dari rumah kecil itu. Dia begitu penasaran kediaman di depannya itu milik siapa. "Apakah ini, rumahmu?" tanya Rania hati-hati, seraya kedua kakinya melangkah dengan ragu. Devan menggeleng. "Bukan. Ini rumah kontrakkan kita. Setidaknya, jauh lebih baik kalau kita tinggal di sini, dari pada hidup di rumah orang tuamu!" tegasnya. Tak lama, pria itu melangkah masuk ke dalam pekarangan rumah. Namun, Devan menghentikan langkah kakinya saat menyadari kalau Rania yang masih berada jauh di belakangnya. "Ayo! Ngapain kamu masih di sana?" "Tapi, bagaimana kita membayarnya? Akan lebih baik kalau kita mencari kos saja. Bukankah, kalau menyewa sebuah rumah akan lebih menguras kantong?" Devan menarik napasnya dalam. Seandainya saja wanita di depannya ini mengetahui siapa dia, mungkin Rania tidak akan mencemaskan masalah biayanya. Tapi, Devan tak mungkin membongkar identitasnya sekarang. Kalau ada yang tahu, kakeknya bisa-bisa menemukan dirinya dan menyuruhnya menikah. Apa kata dunia kalau Devan beristri dua?! Dia tak mau! Satu saja sudah repot. "Kita akan membahas hal itu nanti. Jadi, masuklah sekarang!" ucap Devan akhirnya. Meski ragu, Rania pun akhirnya menurut. Dilangkahkannya kaki menuju ke dalam rumah mungil itu. Ternyata, ada dua kamar di sana! Rania menghela napas lega. Status sebagai suami-istri hanya sebuah formalitas, sehingga dia dan Devan dapat menempati kamar yang berbeda. Suara ketukan pintu kamar yang tiba-tiba, menyadarkan Rania dari lamunan. Dia pun bangkit dari duduknya dan menuju pintu kamar. Namun, wajah Rania mendadak terasa panas….. Devan berdiri di depan pintunya dan terlihat sangat tampan…? Tampaknya, pria itu baru saja selesai mandi. Rambutnya yang masih basah, menambah kesan maskulin pada lelaki bertubuh tinggi itu. “UHUUK!” Menyadari Rania terus menatap padanya, Devan jelas malu. Dia pun segera pura-pura batuk. Untungnya, Rania tersadar. Hanya saja, wajah wanita seketika bersemu merah karena malu. “Ke–kenapa, Devan?” ucapnya berusaha mengendalikan diri. "Kamu nggak mandi?" tanya Devan yang sengaja mengalihkan perhatian. "Mandi?" Seperti baru menyadari keadaan, raut wajah Rania mendadak kaget. "Iya mandi. Bukankah saat kita datang, kamu belum mandi?" Kini Rania tersentak. Bukan karena menahan rasa pada seorang Devan Adma Wijaya, namun melainkan karena ucapan pria itu yang begitu jujur. Apa kini dia begitu kucel dan bau, ya? "Aku baru saja ingin mandi!" sahut Rania akhirnya, sedikit ketus. Mendapati ekspresi dari wanita itu, Devan hanya tersenyum. Senyuman pria itu sangat begitu manis, hingga sekali lagi seorang Devan dapat membuat jantung Rania tak bekerja dengan normal. "Kenapa aku baru menyadari kalau ternyata dia sangat tampan?" gumam Rania dalam hati. Namun, itu tak lama. Seketika Rania kembali disadarkan dengan keadaan bagaimana status pernikahannya dan Devan. Dia tidak boleh jatuh cinta pada pria di depannya itu! "Baiklah. Kamar mandinya di sebelah sana, ya" ujar Devan, dengan melemparkan pandangannya pada arah kamar mandi "Cepatlah mandi sebab ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu," tambahnya sebelum berlalu meninggalkan Rania yang begitu penasaran. "Hal penting? Hal penting apa yang ingin dia bicarakan?" gumamnya. Tak menunggu waktu lama, perempuan itu pun bergegas membersihkan diri. Dia pun menuju ruang makan sederhana di rumah itu. Aroma yang terbawa dari ruang makan, membuat rasa lapar seketika menyerang diri gadis itu. Namun, matanya membelalak sempurna kala melihat penampakkan beberapa menu makanan yang tersaji di atas meja. Selain menggugah selera, Rania yakin kalau makanan-makanan itu harganya pasti mahal! "Kamu ambil di mana makanan-makanan ini?" tanya Rania dengan nada suara yang menuntut. Wanita itu kini telah melupakan rasa laparnya, dan sangat penasaran dari mana suaminya itu mendapati makanan-makanan enak ini. "Yang jelas aku tidak mencurinya," sahut Devan dengan entengnya. "Apakah kau tidak ingin mencicipinya? Aku yakin, kalau kau pasti belum pernah menikmati makanan-makanan ini,'kan?" lanjut pria itu sembari tersenyum miring. Rania menyipitkan mata, curiga. Namun, satu tangannya menarik kursi dan mendaratkan tubuhnya di sana. Berhadapan langsung dengan menu-menu lezat yang berada di depan matanya, membuat Rania tak mampu menahan dirinya lagi. Seolah melupakan adanya Devan yang saat ini tengah bersamanya, Rania dengan tidak tahu malunya mulai menikmati satu persatu menu yang tersaji di atas meja. "Kamu, nggak makan?" tanya Rania, dengan mulut yang terus mengunyah makanan. "Melihatmu makan saja aku sudah kenyang," sahut Devan dengan menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya. Rania sontak mengerutkan dahi bingung. Hanya saja, kelezatan menu-menu yang tersaji di depannya membuat Rania memilih tak ambil pusing. Beberapa menit berlalu, Rania akhirnya tak mampu lagi melanjutkan kegiatan makannya. Perutnya sudah terasa sesak, dan tak tahu harus menampungnya di mana lagi. Diteguknya air putih, lalu bersendawa. Menyadari apa yang baru saja terjadi Rania cepat-cepat menutup mulutnya. "Maaf," gumamnya canggung. Di sisi lain, Devan mengulas senyum tipis di wajah. Entah mengapa, seru sekali melihat tingkah dan ekspresi Rania yang polos dan apa adanya. Tingkahnya yang sedikit konyol membuat dunia Devan yang selama ini hanya terlihat hitam dan putih–kini jauh lebih berwarna. Namun, mimik wajah itu mendadak layu, saat ingatan Devan terhantar pada-bagaimana dia melihat kehidupan yang Rania jalani selama ini. Wanita itu terlihat tegar walaupun keluarganya tak menyayangi dirinya. "Dia adalah gadis yang baik, dan begitu sayang pada keluarganya. Namun, yang aku lihat mereka memperlakukan dia seolah, dia bukan bagian dari keluarga mereka," batin Devan, “aneh sekali.” Seketika, Devan teringat tujuannya meminta Rania menemuinya. Sebuah map berwarna merah pun diserahkannya pada Rania, hingga gadis itu mengerutkan kening bingung. "Apa ini?" tanya Rania pada Devan. "Buka, dan bacalah. Maka kau akan mengetahuinya." Tanpa menunggu lama, satu tangan Rania menarik ujung dari map itu dan membukanya. Kedua manik gelap Rania menelusuri setiap barisan huruf yang tertulis di dalamnya. Selesai membaca, wanita itu langsung melemparkan pandangannya pada Devan dengan pandangan yang sangat sulit diartikan. "Di antara kita dilarang untuk saling jatuh cinta. Dengan adanya surat perjanjian ini, kamu tidak akan pernah menganggap serius pernikahan kita.” “Satu tahun setelahnya, kita akan bercerai. Dan, selama kita menjalani rumah tangga ini-aku harap kamu hanya menganggapku hanya sebagai temanmu saja," jelas Devan panjang lebar. Pria itu menekan kata-kata di penghujung ucapannya, seolah apa yang dia katakan harus diikuti. Rania menghela napas. "Jadi, di mana aku harus menandatanganinya?" tegasnya bersiap menandatangani kontrak itu. Hal ini membuat Devan mengangguk. Jari telunjuk pria itu menunjukkan sebuah kolom dimana tertera nama Rania di bawanya. Tingkahnya yang gentle ini jelas membuat Rania frustasi. "Tuhan, jangan sampai aku jatuh cinta padanya. Kenapa aku baru menyadari, ternyata dia sangat tampan?” batinnya panik. Dia pun segera membubuhkan tangannya. "Sekarang giliran kamu, Devan!" tegas Rania memutar map bewarna merah itu menghadap pada Devan. Dengan cepat, Devan menarik map berwarna merah itu dan membubuhi tanda tangannya di sana seperti sudah ahli. Rania sampai tertegun. Apakah kuli bangunan sering mengurusi dokumen-dokumen, ya? "Apakah kamu tidak berniat untuk mencari kekasih? Sebab, di dalam surat perjanjian kita, aku membebaskanmu mencari pasangan." Ucapan Devan menyadarkan Rania dari lamunan. Pertanyaan yang Devan lontarkan membawa ingatan wanita itu pada kisah cintanya yang telah gagal bersama Andra. Agaknya, dia masih trauma… "Aku belum mau siap menjalin sebuah hubungan yang baru. Mungkin aku ingin kembali mencari pekerjaan, dan juga mencari pinjaman." "Mencari pinjaman?" sahut Devan. Dahinya berkerut samar, tatapannya pun begitu lekat pada Rania. "Iya. Aku ingin melunasi utang keluargaku pada juragan Jarwo." Devan tampak mendengus kesal. "Buat apa kau masih memikirkan itu? Bukankah keluargamu saja tidak peduli padamu." Deg! "Aku hanya ingin melaksanakan kewajibanku sebagai seorang anak. Walaupun mereka tak pernah sayang padaku, namun aku akan tetap melunasi utang itu."Untungnya, Devan tak berkomentar lebih banyak dan memutuskan menghormati keputusan Rania.Mereka pun akhirnya beristirahat, hingga kini sinar mentari mulai masuk lewat jendela kamar.Silau, Rania pun terpaksa bangun dari tidurnya.Dia merenggangkan otot-otot yang terasa kaku meski rasa malas yang masih mendera. Lalu, istri Devan itu pun turun dari atas ranjang dan mendapati hari sudahg pagi."Di mana, dia?" gumam Rania seraya mengedarkan pandangannya ke segala arah.Sedari tadi, dirinya tak menemukan sosok Devan sama sekali.Jadi, dengan ragu, gadis itu membuka pintu kamar pria itu.Menjelajahi setiap sudut kamar dengan kedua matanya, dirinya masih tak menemukan Devan sama sekali."Bahkan di kamarpun dia tidak ada. Apakah, dia sudam pergi kerja?" gumam Rania, yang bertanya pada dirinya sendiri.Ditutupnya kembali pintu kamar, dan berbalik.Namun, seketika tubuh Rania meremang--saat mendapati Devan yang menjulang di depannya.Hampir saja Rania menabrak tubuh telanjang itu, dan dengan s
Devan melangkah menuju kamar Rania. Namun betapa kagetnya Devan, saat mendapati Rania yang ditarik paksa oleh juragan Jarwo. "Lepaskan dia!" teriak Devan dengan lantang, dan membawa langkah kakinya menuju teras rumah. Teriakan Devan menghentikan kegiatan juragan Jarwo. Memalingkan pandangannya pada sumber suara, dan mendapati kedatangan Devan. "Lepaskan dia!"pinta Devan lagi, saat sudah berada di teras rumah. Pria bertubuh tambun itu terkekeh. Devan yang bersikap bak seorang pahlawan untuk Rania serasa menggelitik untuknya. Menolehkan wajah--menatap satu persatu wajah kedua anak buahnya, dan sedetik kemudian, ketiganya sama-sama tertawa. "Melepaskannya?" tanya juragan Jarwo menjeda ucapannya sejenak, juragan Jarwo berusaha mengontrol emosinya," Apakah saya tidak salah dengar, anak muda?!" lanjutnya lagi. "Rania adalah istri saya, dan saya minta lepaskan dia!" Raut wajah juragan Jarwo berubah keruh. Rahangnya mengetat, otot-otot lehernya pun nampak menegang, akan emosi
Tanpa terasa, malam hari telah menyambut kembali. Hanya saja, saat ini hujan turun dengan sangat deras, sesekali petir menyambar menimbulkan bunga api yang berpijar di awan gelap hingga menampakkan pemandangan yang sangat indah. Terdengar suara hentakkan kaki yang begitu kencang. Bersamaan dengan itu, tampak sosok pria muda yang tengah berlari dengan kedua tangan yang dia gunakan untuk menutupi kepalanya. Menemukan halte, pria itu berteduh. Sosok itu berangsut mundur, menghindari siraman hujan agar tak membasahi tubuhnya. Dan tak lama, sebuah mobil mewah melaju pelan, dan berhenti tepat di depan sosok itu. Pintu mobil yang terbuka, dan menampilkan sosok pria berjas ke luar dari dalamnya dengan membawa sebuah payung yang telah dia buka. "Selamat malam Tuan," sapa seorang pria, saat Devan baru saja mendaratkan tubuhnya dikursi. "Malam." Devan membalas sapaan pria itu dengan datar, "Apakah kalian sudah membereskannya?" tanya Devan kemudian, tanpa menatap pria yang duduk disebelahny
Apa yang menjadi penyebab sang kakek sampai berakhir di rumah sakit cukup membuat seorang Devan kaget dan juga syok. Pria itu pun segera meminta orang-orang kepercayaan kakeknya untuk mencari pelaku. "Hallo Tuan." "Kalian segera periksa pelayan yang bertugas saat acara berlangsung, dan juga chef-chef yang mengelola menu-menu hari ini. Tuan Besar diracun!" perintah Devan, dengan nada suaranyanya yang mengandung emosi. "BaikTuan," sahutnya, dan segera memutuskan sambungan teleponenya. Devan mengusap wajahnya kasar, mencoba menahan gemuruh di dalam dada. Membalikkan tubuh, dan mendapati keberadaan Dion--yang tengah menatapnya dengan tatapan yang tak biasa. "Tuan," gumam Dion, dengan menatap lurus pada Devan yang tengah membawa langkah kaki padanya. "Kakek diracun, dan aku sangat yakin kalau apa yang terjadi pada kakek pasti melibatkan orang dalam!" ujar Devan, dengan menekan setiap kata yang dia ucapkan. Mimik wajah Dion berubah. Pria itu menelan ludahnya berat, wajah Dion n
Devan hendak melayangkan ketukkan pada badan pintu kamar. Namun, gerakan tangan Devan terhenti di udara setelah mendengar suara Rania yang tengah melakukan panggilan telepone dengan seseorang. Speaker yang sengaja dibesarkan membuat pria itu mampu mendengar dengan sangat jelas semua percakapan Rania, dan temannya, yang bernama Indah itu."Tapi dia sangat tampan, dan juga baik." Mendengar kalimat seperti itu yang Rania ucapkan tentangnya membuat senyum kecil terbit di wajah Devan tanpa dirinya sadari. Devan merasa Rania tidak malu memiliki suami seperti dirinya walaupun pekerjaannya hanya seorang kuli bangunan. Menyadari dirinya yang sedang membawa makanan untuk Rania, Devan memutuskan untuk mengetuk pintu kamar.TOKTOKTOKKetukan sebanyak tiga kali yang dia berikan--membuat Rania menyudahi kegiatan menelponenya. Dan, tak lamapun terdengar suara pintu yang dibuka dari dalam kamar. "Devan." Senyum terukir di wajah Rania, ntah kenapa dia terlihat sangat cantik di depan mata Devan. Te
Dion sama sekali tidak menyangkah kalau dirinya akan gagal saat akan mencoba menyingkirkan Darma Wijaya sesuai rencananya dan...."Dion!" Devan yang tiba-tiba menyeruhkan namanya membuat Dion tercengang. Pria itu sontak melemparkan pandangan pada Devan yang kembali bertanya, "Bagaimana? Apakah, kau sudah mendapatkan informasi--siapa pelakunya?""Belum Tuan," sahut Dion dengan nada suaranya yang terdengar ragu.Hal ini jelas membuat Devan emosi. Pria muda itu nampak terlihat marah dan segera menurunkan gawai yang dipegangnya. "Bagaimana bisa kalian selambat ini? Bahkan mencari seekor semut saja kalian tidak bisa?!" hardik Devan, dengan nada suaranya yang mulai meninggi. "Maafkan saya Tuan, tapi sepertinya pelakunya sangat pintar. Dia sepertinya sudah membaca situasi apa saja yang akan dilakukan oleh orang kita. Tapi, kami akan tetap berusaha mencari tahunya.""Bagaimanapun kalian harus mencari pelakunya sampai dapat. Sebab, aku sangat yakin kalau pelakunya pasti akan kembali mengulan
Tawa kecil dari mulut Devan semakin menambah kebingungan di wajah Rania. Gadis itu nampak tidak terima dengan tanggapan dari pria yang berstatus suaminya itu. "Kenapa, kamu tertawa? Apakah kamu pikir ini, lucu?!" tanya Rania, dengan nada suaranya yang telah mengandung emosi. Devan berusaha meredam sisa-sita tawa yang masih ada. Pria itu kemvbali bersuara, "Bagaimana aku tidak tertawa? Kecurigaan kamu serasa menggelitik untukku. KIamu mencurigai aku seorang penjahat, dan lain sebagainya!" tegas Devan, pria itu kembali menciptakan senyuman diakhir ucapannya. "Bagaimana aku tidak curiga. Kau selalu saja datang dengan membawa makanan enak, dan aku sangat yakin kalau makanan-makanan yang kau bawa ini harganya pasti mahal. Sebab walaupun bukan orang kaya, tapi aku tahu kalau jenis-jenis makanan seperti itu biasanya disajikan oleh restotant mahal. Belum lagi laptopemu yang aku lihat di dalam kamar. Laptope dengan merek seperti itu memiliki harga yang tidak sedikit." Semua ucapan Rania
Berdiri disebuah halte. Menunggu dengan gusar tak lama sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Pintu yang telah terbuka, Devan segera membawa langkah kakinya masuk ke dalam mobil. "Berikan pakaianku!" titah Devan pada seorang pria berjas hitam, dan tanpa menunggu lama lagi pria itu segera memberikan jas berwarna biru donker pada Devan. "Bagaimana bisa, proyek di kota J mengalami kerugian sebesar itu?!" cecar Devan, dengan nada suaranya yang mengandung amarah. "Saya tidak tahu, Tuan. Bahkan ada beberapa investor yang berniat menarik sahamnya dari kita," ujar salah satu anak buah lirih, pria itu menunduk takut. Hingga beberapa menit kemudian mereka telah berhenti disebuah gedung bertingkat. Pintu mobil terbuka. Devan turun dari dalam mobil, semua orang yang berada di depan seketika menunduk hormat pada pria jangkung itu. Menegakkan wajahnya angku, dengan penuh percaya diri Devan membawa langkah kakinya masuk ke dalam perusahaan mengabaikan karyawan-karyawan Wijaya Group yang menat
5 bulan kemudian Oeek---- Oeek---- Suara tangisan bayi menggema di dalam ruangan operasi, dan suara tangisan bayi yang terdengar, membuat sosok-sosok dewasa itu seketika mengucapkan rasa syukur. "Selamat ya, Deni, akhir nya kamu sudah menjadi ayah," ujar Devan, menghampiri Deni dan memeluk sebentar pria itu. "Terima kasih Tuan," ujar Deni, dengan senyum lepas di wajah--kebahagiaan nyata terlihat di wajah pria itu, di mana binar bahagia nyata terlihat di bola mata nya. "Deni----," panggil Rania beberapa menit kemudian. Datang nya sosok Rania, mengembangkan senyum di wajah Deni, namun ada nya air mata yang dia temukan pada kelopak mata kakak angkat nya, membuat Deni pun tak mampu membendung kesedihan itu lagi. Bagi Deni, Rania adalah sosok kakak yang baik untuk nya. Melangkah menghampiri, Deni segera memeluk tubuh wanita itu saat sudah berada dekat dengan nya. "Kau, sudah menjadi seorang, ayah, Deni, selamat!" ujar Rania dengan lirih, sudah ada butir kristal yang mene
Kaget, dengan bola mata yang membeliak penuh. Namun, menyadari bagaimana sambutan nya dengan segera Rania, mengembalikan mimik wajah nya. "Maaf," ujar Rania dengan kikuk, wanita itu nampak salah tingkah merasa tidak enak hati pada Sarah. Sarah yang menunduk, seketika mendongak--iris hitam nya, begitu dalam dan tajam, menatap manik hitam Rania. Masih menatap, Sarah akhir nya bersuara. "Apakah, kau tidak akan memaafkan aku?" tanya Sarah dengan lirih, ada mendung yang sudah menyelimuti wajah cantik wanita itu bagaimana mendapati sambutan Rania akan permintaan maaf dari nya. Wajah Rania mendadak kaku, terperangah--sebab merasa Sarah sudah salah sangkah pada nya," Oh, bukan begitu maksudku, kau salah sangkah! Aku, sudah memaafkan mu, sejak kau mengijinkan Papa, dan Mamaku untuk kembali bersatu " jelas Rania. "Benarkah?" ujar Sarah dengan senyum yang mengembang di wajah, wanita yang sedang mengandung 4 bulan itu terlihat sumringah, bola mata nya pun berbinar bahagia. "Yaa!"
Dua Minggu kemudian Duduk berdampingan, namun walaupun duduk bersama, Sarah, maupun Deni tak ada yang saling berbicara. Ntah, apa yang ada dalam pikiran kedua nya, namun kedua sosok itu lebih memilih untuk diam. Suasana canggung begitu terasa. Ingin berbicara, namun--Deni bingung harus memulai nya dari mana. Sarah terus saja mendiam kan nya. Alhasil, Deni tetap dengan diam nya--dengan sesekali melirik kan pandangan nya pada Sarah. Mendapati Sarah yang meremas jari-jari nya, pria itu hanya bisa mendesahkan napas nya berat. "Aku seperti melihat orang lain. Padahal Sarah yang aku kenal, adalah sosok yang arogant, dan suka, banyak bicara!" gumam Deni dalam hati, dengan diam-diam menatap pada Sarah. Hening--- Hening--- Sampai kapan--mereka saling, diam? Setidak nya itu lah yang ada di dalam pikiran Deni saat ini. Tak, mampu menahan diri itu lagi--Deni memilih untuk bersuara terlebih dahulu. "Kenapa, kau tidak memberitahukan padaku--kalau kau, sedang mengandung?" ujar Deni
Malam hari "Rania----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Rania membelah, wanita berambut indah itu seketika memindai pandangan nya pada asal suara. "Dev---,"gumam nya, saat mendapati kedatangan sang suami. Sebagai seseorang yang sangat mengenal baik Rania, tentu Devan tahu-seperti apa istri nya itu. Air muka yang Rania tunjukkan saat ini, Devan yakin ada sesuatu yang begitu membebani istri nya itu saat ini. "Kamu, baik-baik saja'kan?" tanya Devan. Menutup pintu ruangan, pria itu menyeretkan langkah berat nya menuju Rania. Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan. Pertanyaan yang pria itu berikan, kembali menyadarkan Rania atas kenyataan yang dia ketahui hari ini. Diam, iris hitam Rania begitu lekat, dan dalam, menatap manik hitam Devan. "Tidak! Aku tidak boleh memberitahukan hal ini pada Devan." Rania bermonolog dalam hati, wanita itu sedang berperang dengan suara hati nya sendiri. "Aku baik-baik saja!" sahut Rania, memutuskan pandangan-ber
Sarah telah kembali berada di dalam mobil. Namun, bukan nya langsung pergi meninggalkan area depan restorant, Desicner perhiasan itu justru masih setia tetap berada di sana. Begitu malu saat Rania melihat tanda merah di leher nya, membuat Sarah menenggelamkan wajah nya sedalam mungkin di antara bundaran setir, dengan tak henti-henti nya menggerutu. "Sebel! Sebel! Bagaimana, bisa aku seceroboh ini?!" gerutu Sarah, sembari memukul-mukul kuat bundaran setir. Puas meluapkan kekesalan nya, Sarah mendongak, dan wanita itu mendapati Rania yang melintasi depan mobil nya. Mendapati Rania yang tersenyum--Sarah yakin kalau saudara tiri nya itu tengah menertawakan diri nya. Masih setia memandang Rania, hingga berakhir diri nya mendapati Ibu satu anak itu yang berlalu dengan sebuah mobil mewah. Lama memandang, Sarah memutuskan pandangan setelah teringat rencana nya yang akan berziarah ke makam sang Bunda. Menghidupkan mesin mobil, dan berlalu pergi meninggalkan depan restorant. **** *****
Beberapa hari ini Devan merasa ada yang berbeda dengan Deni. Orang kepercayaan, juga adik ipar nya. Menurut Devan sedang tidak baik-baik saja. Deni yang selalu smart, dan selalu terlihat gentle, akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. Terus memandang, Devan yang selama ini memendam rasa penasaran nya akhir nya bertanya. "Bolehkah, aku bertanya sesuatu?" tanya Devan, dengan nada suara yang terdengar ragu. Deni yang tengah memandang wajah ponsel, seketika menengadah--pria itu menatap Devan dengan lekat-lekat. Devan tak langsung melontarkan pertanyaan. Di tatap nya wajah Deni lamat-lamat, lingkaran hitam pada kelopak mata, wajah yang kusut, seperti nya pria itu akhir-akhir ini kurang beristirahat. "Apakah, kau sedang ada masalah? Sebab yang aku perhatikan beberapa hari ini kau nampak murung. Mata mu pun nampak menghitam. Bukankah, aku jarang memberikan kau pekerjaan yang membuat kau lembur. Atau jangan-jangan, kau sering menghabiskan waktu di Klup malam bersama para wani
Beberapa menit kemudian "Apa, menginap di sini?!" sahut Deni. Bola mata nya membeliak, kaget juga sedikit shyok setelah mendengar keinginan Sarah barusan. "I-ya," sahut Sarah dengan ragu, sambutan Deni menciptakan mimik wajah yang berubah pada wanita itu. Sarah nampak menahan malu. "Nggak!" Deni menolak dengan tegas, dan penolakan keras dari pria itu menciptakan kekecewaan, juga sedih di wajah Sarah. Namun, hanya sesaat saja. Seketika wanita cantik berdarah Jepang Indonesia itu, kembali memohon pada Deni. Memegang tangan pria itu dengan erat-erat, dan menatap nya dengan memohon. "Den, aku mohon-kali ini saja. Aku sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Kematian Mama, dan hubungan ku dan Papa yang merenggang, membuat aku merasakan rumahku seperti di neraka," pinta Sarah. Memasang wajah memelas nya, Sarah menatap Deni dengan bola mata berair. "Bukankah, kau memiliki teman? Jika kau tidak nyaman berada di rumah mu, kau bisa pergi menginap di rumah mer
Waktu telah berada di pukul 11 malam. Di saat banyak penghuni bumi sudah menjemput alam mimpi nya, hal serupa tak berlaku bagi Sarah. Walaupun telah dilanda rasa kantuk yang teramat sangat--namun Desicner cantik itu tak kunjung dapat tidur. Bangkit dari tidur nya, Sarah mengacak-ngacak rambut nya frustasi. "Kenapa, aku terus memikirkan omongan Rania, terus-sih?!" gerutu Sarah, dengan wajah frustasi nya. Karena tak dapat kunjung tidur, berakhir Sarah memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia akan mengambil beberapa cemilan ringan, dan juga minuman soda, guna untuk menemani nya menonton film. Kedua kaki Sarah telah memijak di lantai dasar. Akan melangkah menuju arah dapur, namun hal itu Sarah urungkan saat dari jauh lebih tak sengaja wanita berkulit putih itu mendapati keberadaan papa Akio. "Papa," gumam Sarah, dengan pandangan tak terputus dari papa Akio, di mana pria paruh baya itu tengah berdiri di depan jendela kaca besar, sembari melemparkan pandangan nya ke arah luar. Lama me
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j