Beberapa menit mengemudikan kendaraan roda duanya, kini Devan dan Rania telah tiba di sebuah hunian kecil yang begitu sederhana.
Pandangan Rania tak pernah putus dari rumah kecil itu. Dia begitu penasaran kediaman di depannya itu milik siapa. "Apakah ini, rumahmu?" tanya Rania hati-hati, seraya kedua kakinya melangkah dengan ragu. Devan menggeleng. "Bukan. Ini rumah kontrakkan kita. Setidaknya, jauh lebih baik kalau kita tinggal di sini, dari pada hidup di rumah orang tuamu!" tegasnya. Tak lama, pria itu melangkah masuk ke dalam pekarangan rumah. Namun, Devan menghentikan langkah kakinya saat menyadari kalau Rania yang masih berada jauh di belakangnya. "Ayo! Ngapain kamu masih di sana?" "Tapi, bagaimana kita membayarnya? Akan lebih baik kalau kita mencari kos saja. Bukankah, kalau menyewa sebuah rumah akan lebih menguras kantong?" Devan menarik napasnya dalam. Seandainya saja wanita di depannya ini mengetahui siapa dia, mungkin Rania tidak akan mencemaskan masalah biayanya. Tapi, Devan tak mungkin membongkar identitasnya sekarang. Kalau ada yang tahu, kakeknya bisa-bisa menemukan dirinya dan menyuruhnya menikah. Apa kata dunia kalau Devan beristri dua?! Dia tak mau! Satu saja sudah repot. "Kita akan membahas hal itu nanti. Jadi, masuklah sekarang!" ucap Devan akhirnya. Meski ragu, Rania pun akhirnya menurut. Dilangkahkannya kaki menuju ke dalam rumah mungil itu. Ternyata, ada dua kamar di sana! Rania menghela napas lega. Status sebagai suami-istri hanya sebuah formalitas, sehingga dia dan Devan dapat menempati kamar yang berbeda. Suara ketukan pintu kamar yang tiba-tiba, menyadarkan Rania dari lamunan. Dia pun bangkit dari duduknya dan menuju pintu kamar. Namun, wajah Rania mendadak terasa panas….. Devan berdiri di depan pintunya dan terlihat sangat tampan…? Tampaknya, pria itu baru saja selesai mandi. Rambutnya yang masih basah, menambah kesan maskulin pada lelaki bertubuh tinggi itu. “UHUUK!” Menyadari Rania terus menatap padanya, Devan jelas malu. Dia pun segera pura-pura batuk. Untungnya, Rania tersadar. Hanya saja, wajah wanita seketika bersemu merah karena malu. “Ke–kenapa, Devan?” ucapnya berusaha mengendalikan diri. "Kamu nggak mandi?" tanya Devan yang sengaja mengalihkan perhatian. "Mandi?" Seperti baru menyadari keadaan, raut wajah Rania mendadak kaget. "Iya mandi. Bukankah saat kita datang, kamu belum mandi?" Kini Rania tersentak. Bukan karena menahan rasa pada seorang Devan Adma Wijaya, namun melainkan karena ucapan pria itu yang begitu jujur. Apa kini dia begitu kucel dan bau, ya? "Aku baru saja ingin mandi!" sahut Rania akhirnya, sedikit ketus. Mendapati ekspresi dari wanita itu, Devan hanya tersenyum. Senyuman pria itu sangat begitu manis, hingga sekali lagi seorang Devan dapat membuat jantung Rania tak bekerja dengan normal. "Kenapa aku baru menyadari kalau ternyata dia sangat tampan?" gumam Rania dalam hati. Namun, itu tak lama. Seketika Rania kembali disadarkan dengan keadaan bagaimana status pernikahannya dan Devan. Dia tidak boleh jatuh cinta pada pria di depannya itu! "Baiklah. Kamar mandinya di sebelah sana, ya" ujar Devan, dengan melemparkan pandangannya pada arah kamar mandi "Cepatlah mandi sebab ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu," tambahnya sebelum berlalu meninggalkan Rania yang begitu penasaran. "Hal penting? Hal penting apa yang ingin dia bicarakan?" gumamnya. Tak menunggu waktu lama, perempuan itu pun bergegas membersihkan diri. Dia pun menuju ruang makan sederhana di rumah itu. Aroma yang terbawa dari ruang makan, membuat rasa lapar seketika menyerang diri gadis itu. Namun, matanya membelalak sempurna kala melihat penampakkan beberapa menu makanan yang tersaji di atas meja. Selain menggugah selera, Rania yakin kalau makanan-makanan itu harganya pasti mahal! "Kamu ambil di mana makanan-makanan ini?" tanya Rania dengan nada suara yang menuntut. Wanita itu kini telah melupakan rasa laparnya, dan sangat penasaran dari mana suaminya itu mendapati makanan-makanan enak ini. "Yang jelas aku tidak mencurinya," sahut Devan dengan entengnya. "Apakah kau tidak ingin mencicipinya? Aku yakin, kalau kau pasti belum pernah menikmati makanan-makanan ini,'kan?" lanjut pria itu sembari tersenyum miring. Rania menyipitkan mata, curiga. Namun, satu tangannya menarik kursi dan mendaratkan tubuhnya di sana. Berhadapan langsung dengan menu-menu lezat yang berada di depan matanya, membuat Rania tak mampu menahan dirinya lagi. Seolah melupakan adanya Devan yang saat ini tengah bersamanya, Rania dengan tidak tahu malunya mulai menikmati satu persatu menu yang tersaji di atas meja. "Kamu, nggak makan?" tanya Rania, dengan mulut yang terus mengunyah makanan. "Melihatmu makan saja aku sudah kenyang," sahut Devan dengan menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya. Rania sontak mengerutkan dahi bingung. Hanya saja, kelezatan menu-menu yang tersaji di depannya membuat Rania memilih tak ambil pusing. Beberapa menit berlalu, Rania akhirnya tak mampu lagi melanjutkan kegiatan makannya. Perutnya sudah terasa sesak, dan tak tahu harus menampungnya di mana lagi. Diteguknya air putih, lalu bersendawa. Menyadari apa yang baru saja terjadi Rania cepat-cepat menutup mulutnya. "Maaf," gumamnya canggung. Di sisi lain, Devan mengulas senyum tipis di wajah. Entah mengapa, seru sekali melihat tingkah dan ekspresi Rania yang polos dan apa adanya. Tingkahnya yang sedikit konyol membuat dunia Devan yang selama ini hanya terlihat hitam dan putih–kini jauh lebih berwarna. Namun, mimik wajah itu mendadak layu, saat ingatan Devan terhantar pada-bagaimana dia melihat kehidupan yang Rania jalani selama ini. Wanita itu terlihat tegar walaupun keluarganya tak menyayangi dirinya. "Dia adalah gadis yang baik, dan begitu sayang pada keluarganya. Namun, yang aku lihat mereka memperlakukan dia seolah, dia bukan bagian dari keluarga mereka," batin Devan, “aneh sekali.” Seketika, Devan teringat tujuannya meminta Rania menemuinya. Sebuah map berwarna merah pun diserahkannya pada Rania, hingga gadis itu mengerutkan kening bingung. "Apa ini?" tanya Rania pada Devan. "Buka, dan bacalah. Maka kau akan mengetahuinya." Tanpa menunggu lama, satu tangan Rania menarik ujung dari map itu dan membukanya. Kedua manik gelap Rania menelusuri setiap barisan huruf yang tertulis di dalamnya. Selesai membaca, wanita itu langsung melemparkan pandangannya pada Devan dengan pandangan yang sangat sulit diartikan. "Di antara kita dilarang untuk saling jatuh cinta. Dengan adanya surat perjanjian ini, kamu tidak akan pernah menganggap serius pernikahan kita.” “Satu tahun setelahnya, kita akan bercerai. Dan, selama kita menjalani rumah tangga ini-aku harap kamu hanya menganggapku hanya sebagai temanmu saja," jelas Devan panjang lebar. Pria itu menekan kata-kata di penghujung ucapannya, seolah apa yang dia katakan harus diikuti. Rania menghela napas. "Jadi, di mana aku harus menandatanganinya?" tegasnya bersiap menandatangani kontrak itu. Hal ini membuat Devan mengangguk. Jari telunjuk pria itu menunjukkan sebuah kolom dimana tertera nama Rania di bawanya. Tingkahnya yang gentle ini jelas membuat Rania frustasi. "Tuhan, jangan sampai aku jatuh cinta padanya. Kenapa aku baru menyadari, ternyata dia sangat tampan?” batinnya panik. Dia pun segera membubuhkan tangannya. "Sekarang giliran kamu, Devan!" tegas Rania memutar map bewarna merah itu menghadap pada Devan. Dengan cepat, Devan menarik map berwarna merah itu dan membubuhi tanda tangannya di sana seperti sudah ahli. Rania sampai tertegun. Apakah kuli bangunan sering mengurusi dokumen-dokumen, ya? "Apakah kamu tidak berniat untuk mencari kekasih? Sebab, di dalam surat perjanjian kita, aku membebaskanmu mencari pasangan." Ucapan Devan menyadarkan Rania dari lamunan. Pertanyaan yang Devan lontarkan membawa ingatan wanita itu pada kisah cintanya yang telah gagal bersama Andra. Agaknya, dia masih trauma… "Aku belum mau siap menjalin sebuah hubungan yang baru. Mungkin aku ingin kembali mencari pekerjaan, dan juga mencari pinjaman." "Mencari pinjaman?" sahut Devan. Dahinya berkerut samar, tatapannya pun begitu lekat pada Rania. "Iya. Aku ingin melunasi utang keluargaku pada juragan Jarwo." Devan tampak mendengus kesal. "Buat apa kau masih memikirkan itu? Bukankah keluargamu saja tidak peduli padamu." Deg! "Aku hanya ingin melaksanakan kewajibanku sebagai seorang anak. Walaupun mereka tak pernah sayang padaku, namun aku akan tetap melunasi utang itu."Untungnya, Devan tak berkomentar lebih banyak dan memutuskan menghormati keputusan Rania.Mereka pun akhirnya beristirahat, hingga kini sinar mentari mulai masuk lewat jendela kamar.Silau, Rania pun terpaksa bangun dari tidurnya.Dia merenggangkan otot-otot yang terasa kaku meski rasa malas yang masih mendera. Lalu, istri Devan itu pun turun dari atas ranjang dan mendapati hari sudahg pagi."Di mana, dia?" gumam Rania seraya mengedarkan pandangannya ke segala arah.Sedari tadi, dirinya tak menemukan sosok Devan sama sekali.Jadi, dengan ragu, gadis itu membuka pintu kamar pria itu.Menjelajahi setiap sudut kamar dengan kedua matanya, dirinya masih tak menemukan Devan sama sekali."Bahkan di kamarpun dia tidak ada. Apakah, dia sudam pergi kerja?" gumam Rania, yang bertanya pada dirinya sendiri.Ditutupnya kembali pintu kamar, dan berbalik.Namun, seketika tubuh Rania meremang--saat mendapati Devan yang menjulang di depannya.Hampir saja Rania menabrak tubuh telanjang itu, dan dengan s
Devan melangkah menuju kamar Rania. Namun betapa kagetnya Devan, saat mendapati Rania yang ditarik paksa oleh juragan Jarwo. "Lepaskan dia!" teriak Devan dengan lantang, dan membawa langkah kakinya menuju teras rumah. Teriakan Devan menghentikan kegiatan juragan Jarwo. Memalingkan pandangannya pada sumber suara, dan mendapati kedatangan Devan. "Lepaskan dia!"pinta Devan lagi, saat sudah berada di teras rumah. Pria bertubuh tambun itu terkekeh. Devan yang bersikap bak seorang pahlawan untuk Rania serasa menggelitik untuknya. Menolehkan wajah--menatap satu persatu wajah kedua anak buahnya, dan sedetik kemudian, ketiganya sama-sama tertawa. "Melepaskannya?" tanya juragan Jarwo menjeda ucapannya sejenak, juragan Jarwo berusaha mengontrol emosinya," Apakah saya tidak salah dengar, anak muda?!" lanjutnya lagi. "Rania adalah istri saya, dan saya minta lepaskan dia!" Raut wajah juragan Jarwo berubah keruh. Rahangnya mengetat, otot-otot lehernya pun nampak menegang, akan emosi
Tanpa terasa, malam hari telah menyambut kembali. Hanya saja, saat ini hujan turun dengan sangat deras, sesekali petir menyambar menimbulkan bunga api yang berpijar di awan gelap hingga menampakkan pemandangan yang sangat indah. Terdengar suara hentakkan kaki yang begitu kencang. Bersamaan dengan itu, tampak sosok pria muda yang tengah berlari dengan kedua tangan yang dia gunakan untuk menutupi kepalanya. Menemukan halte, pria itu berteduh. Sosok itu berangsut mundur, menghindari siraman hujan agar tak membasahi tubuhnya. Dan tak lama, sebuah mobil mewah melaju pelan, dan berhenti tepat di depan sosok itu. Pintu mobil yang terbuka, dan menampilkan sosok pria berjas ke luar dari dalamnya dengan membawa sebuah payung yang telah dia buka. "Selamat malam Tuan," sapa seorang pria, saat Devan baru saja mendaratkan tubuhnya dikursi. "Malam." Devan membalas sapaan pria itu dengan datar, "Apakah kalian sudah membereskannya?" tanya Devan kemudian, tanpa menatap pria yang duduk disebelahny
Apa yang menjadi penyebab sang kakek sampai berakhir di rumah sakit cukup membuat seorang Devan kaget dan juga syok. Pria itu pun segera meminta orang-orang kepercayaan kakeknya untuk mencari pelaku. "Hallo Tuan." "Kalian segera periksa pelayan yang bertugas saat acara berlangsung, dan juga chef-chef yang mengelola menu-menu hari ini. Tuan Besar diracun!" perintah Devan, dengan nada suaranyanya yang mengandung emosi. "BaikTuan," sahutnya, dan segera memutuskan sambungan teleponenya. Devan mengusap wajahnya kasar, mencoba menahan gemuruh di dalam dada. Membalikkan tubuh, dan mendapati keberadaan Dion--yang tengah menatapnya dengan tatapan yang tak biasa. "Tuan," gumam Dion, dengan menatap lurus pada Devan yang tengah membawa langkah kaki padanya. "Kakek diracun, dan aku sangat yakin kalau apa yang terjadi pada kakek pasti melibatkan orang dalam!" ujar Devan, dengan menekan setiap kata yang dia ucapkan. Mimik wajah Dion berubah. Pria itu menelan ludahnya berat, wajah Dion n
Devan hendak melayangkan ketukkan pada badan pintu kamar. Namun, gerakan tangan Devan terhenti di udara setelah mendengar suara Rania yang tengah melakukan panggilan telepone dengan seseorang. Speaker yang sengaja dibesarkan membuat pria itu mampu mendengar dengan sangat jelas semua percakapan Rania, dan temannya, yang bernama Indah itu."Tapi dia sangat tampan, dan juga baik." Mendengar kalimat seperti itu yang Rania ucapkan tentangnya membuat senyum kecil terbit di wajah Devan tanpa dirinya sadari. Devan merasa Rania tidak malu memiliki suami seperti dirinya walaupun pekerjaannya hanya seorang kuli bangunan. Menyadari dirinya yang sedang membawa makanan untuk Rania, Devan memutuskan untuk mengetuk pintu kamar.TOKTOKTOKKetukan sebanyak tiga kali yang dia berikan--membuat Rania menyudahi kegiatan menelponenya. Dan, tak lamapun terdengar suara pintu yang dibuka dari dalam kamar. "Devan." Senyum terukir di wajah Rania, ntah kenapa dia terlihat sangat cantik di depan mata Devan. Te
Dion sama sekali tidak menyangkah kalau dirinya akan gagal saat akan mencoba menyingkirkan Darma Wijaya sesuai rencananya dan...."Dion!" Devan yang tiba-tiba menyeruhkan namanya membuat Dion tercengang. Pria itu sontak melemparkan pandangan pada Devan yang kembali bertanya, "Bagaimana? Apakah, kau sudah mendapatkan informasi--siapa pelakunya?""Belum Tuan," sahut Dion dengan nada suaranya yang terdengar ragu.Hal ini jelas membuat Devan emosi. Pria muda itu nampak terlihat marah dan segera menurunkan gawai yang dipegangnya. "Bagaimana bisa kalian selambat ini? Bahkan mencari seekor semut saja kalian tidak bisa?!" hardik Devan, dengan nada suaranya yang mulai meninggi. "Maafkan saya Tuan, tapi sepertinya pelakunya sangat pintar. Dia sepertinya sudah membaca situasi apa saja yang akan dilakukan oleh orang kita. Tapi, kami akan tetap berusaha mencari tahunya.""Bagaimanapun kalian harus mencari pelakunya sampai dapat. Sebab, aku sangat yakin kalau pelakunya pasti akan kembali mengulan
Tawa kecil dari mulut Devan semakin menambah kebingungan di wajah Rania. Gadis itu nampak tidak terima dengan tanggapan dari pria yang berstatus suaminya itu. "Kenapa, kamu tertawa? Apakah kamu pikir ini, lucu?!" tanya Rania, dengan nada suaranya yang telah mengandung emosi. Devan berusaha meredam sisa-sita tawa yang masih ada. Pria itu kemvbali bersuara, "Bagaimana aku tidak tertawa? Kecurigaan kamu serasa menggelitik untukku. KIamu mencurigai aku seorang penjahat, dan lain sebagainya!" tegas Devan, pria itu kembali menciptakan senyuman diakhir ucapannya. "Bagaimana aku tidak curiga. Kau selalu saja datang dengan membawa makanan enak, dan aku sangat yakin kalau makanan-makanan yang kau bawa ini harganya pasti mahal. Sebab walaupun bukan orang kaya, tapi aku tahu kalau jenis-jenis makanan seperti itu biasanya disajikan oleh restotant mahal. Belum lagi laptopemu yang aku lihat di dalam kamar. Laptope dengan merek seperti itu memiliki harga yang tidak sedikit." Semua ucapan Rania
Berdiri disebuah halte. Menunggu dengan gusar tak lama sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Pintu yang telah terbuka, Devan segera membawa langkah kakinya masuk ke dalam mobil. "Berikan pakaianku!" titah Devan pada seorang pria berjas hitam, dan tanpa menunggu lama lagi pria itu segera memberikan jas berwarna biru donker pada Devan. "Bagaimana bisa, proyek di kota J mengalami kerugian sebesar itu?!" cecar Devan, dengan nada suaranya yang mengandung amarah. "Saya tidak tahu, Tuan. Bahkan ada beberapa investor yang berniat menarik sahamnya dari kita," ujar salah satu anak buah lirih, pria itu menunduk takut. Hingga beberapa menit kemudian mereka telah berhenti disebuah gedung bertingkat. Pintu mobil terbuka. Devan turun dari dalam mobil, semua orang yang berada di depan seketika menunduk hormat pada pria jangkung itu. Menegakkan wajahnya angku, dengan penuh percaya diri Devan membawa langkah kakinya masuk ke dalam perusahaan mengabaikan karyawan-karyawan Wijaya Group yang menat