Apa yang menjadi penyebab sang kakek sampai berakhir di rumah sakit cukup membuat seorang Devan kaget dan juga syok. Pria itu pun segera meminta orang-orang kepercayaan kakeknya untuk mencari pelaku. "Hallo Tuan." "Kalian segera periksa pelayan yang bertugas saat acara berlangsung, dan juga chef-chef yang mengelola menu-menu hari ini. Tuan Besar diracun!" perintah Devan, dengan nada suaranyanya yang mengandung emosi. "BaikTuan," sahutnya, dan segera memutuskan sambungan teleponenya. Devan mengusap wajahnya kasar, mencoba menahan gemuruh di dalam dada. Membalikkan tubuh, dan mendapati keberadaan Dion--yang tengah menatapnya dengan tatapan yang tak biasa. "Tuan," gumam Dion, dengan menatap lurus pada Devan yang tengah membawa langkah kaki padanya. "Kakek diracun, dan aku sangat yakin kalau apa yang terjadi pada kakek pasti melibatkan orang dalam!" ujar Devan, dengan menekan setiap kata yang dia ucapkan. Mimik wajah Dion berubah. Pria itu menelan ludahnya berat, wajah Dion n
Devan hendak melayangkan ketukkan pada badan pintu kamar. Namun, gerakan tangan Devan terhenti di udara setelah mendengar suara Rania yang tengah melakukan panggilan telepone dengan seseorang. Speaker yang sengaja dibesarkan membuat pria itu mampu mendengar dengan sangat jelas semua percakapan Rania, dan temannya, yang bernama Indah itu."Tapi dia sangat tampan, dan juga baik." Mendengar kalimat seperti itu yang Rania ucapkan tentangnya membuat senyum kecil terbit di wajah Devan tanpa dirinya sadari. Devan merasa Rania tidak malu memiliki suami seperti dirinya walaupun pekerjaannya hanya seorang kuli bangunan. Menyadari dirinya yang sedang membawa makanan untuk Rania, Devan memutuskan untuk mengetuk pintu kamar.TOKTOKTOKKetukan sebanyak tiga kali yang dia berikan--membuat Rania menyudahi kegiatan menelponenya. Dan, tak lamapun terdengar suara pintu yang dibuka dari dalam kamar. "Devan." Senyum terukir di wajah Rania, ntah kenapa dia terlihat sangat cantik di depan mata Devan. Te
Dion sama sekali tidak menyangkah kalau dirinya akan gagal saat akan mencoba menyingkirkan Darma Wijaya sesuai rencananya dan...."Dion!" Devan yang tiba-tiba menyeruhkan namanya membuat Dion tercengang. Pria itu sontak melemparkan pandangan pada Devan yang kembali bertanya, "Bagaimana? Apakah, kau sudah mendapatkan informasi--siapa pelakunya?""Belum Tuan," sahut Dion dengan nada suaranya yang terdengar ragu.Hal ini jelas membuat Devan emosi. Pria muda itu nampak terlihat marah dan segera menurunkan gawai yang dipegangnya. "Bagaimana bisa kalian selambat ini? Bahkan mencari seekor semut saja kalian tidak bisa?!" hardik Devan, dengan nada suaranya yang mulai meninggi. "Maafkan saya Tuan, tapi sepertinya pelakunya sangat pintar. Dia sepertinya sudah membaca situasi apa saja yang akan dilakukan oleh orang kita. Tapi, kami akan tetap berusaha mencari tahunya.""Bagaimanapun kalian harus mencari pelakunya sampai dapat. Sebab, aku sangat yakin kalau pelakunya pasti akan kembali mengulan
Tawa kecil dari mulut Devan semakin menambah kebingungan di wajah Rania. Gadis itu nampak tidak terima dengan tanggapan dari pria yang berstatus suaminya itu. "Kenapa, kamu tertawa? Apakah kamu pikir ini, lucu?!" tanya Rania, dengan nada suaranya yang telah mengandung emosi. Devan berusaha meredam sisa-sita tawa yang masih ada. Pria itu kemvbali bersuara, "Bagaimana aku tidak tertawa? Kecurigaan kamu serasa menggelitik untukku. KIamu mencurigai aku seorang penjahat, dan lain sebagainya!" tegas Devan, pria itu kembali menciptakan senyuman diakhir ucapannya. "Bagaimana aku tidak curiga. Kau selalu saja datang dengan membawa makanan enak, dan aku sangat yakin kalau makanan-makanan yang kau bawa ini harganya pasti mahal. Sebab walaupun bukan orang kaya, tapi aku tahu kalau jenis-jenis makanan seperti itu biasanya disajikan oleh restotant mahal. Belum lagi laptopemu yang aku lihat di dalam kamar. Laptope dengan merek seperti itu memiliki harga yang tidak sedikit." Semua ucapan Rania
Berdiri disebuah halte. Menunggu dengan gusar tak lama sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Pintu yang telah terbuka, Devan segera membawa langkah kakinya masuk ke dalam mobil. "Berikan pakaianku!" titah Devan pada seorang pria berjas hitam, dan tanpa menunggu lama lagi pria itu segera memberikan jas berwarna biru donker pada Devan. "Bagaimana bisa, proyek di kota J mengalami kerugian sebesar itu?!" cecar Devan, dengan nada suaranya yang mengandung amarah. "Saya tidak tahu, Tuan. Bahkan ada beberapa investor yang berniat menarik sahamnya dari kita," ujar salah satu anak buah lirih, pria itu menunduk takut. Hingga beberapa menit kemudian mereka telah berhenti disebuah gedung bertingkat. Pintu mobil terbuka. Devan turun dari dalam mobil, semua orang yang berada di depan seketika menunduk hormat pada pria jangkung itu. Menegakkan wajahnya angku, dengan penuh percaya diri Devan membawa langkah kakinya masuk ke dalam perusahaan mengabaikan karyawan-karyawan Wijaya Group yang menat
Rania terlihat sumringah. Gadis itu melangkahkan kakinya ringan-sembari menikmati ice tehnya. Namun, sekejap Rania memuntahkan minuman dalam mulutnya saat mendapati keberadaan Andra. "Andra!" gumam Rania, tanpa sadar. "Ran--." Andra tersenyum lembut menatap Rania. Seperti baru disadari oleh kenyataan--seketika Rania memasang ekspresi datarnya, "Maaf, saya tidak mengenal anda!" ujar Rania dingin, dan kembali melanjutkan langkah kaki itu. Namun, Rania terperanjat saat Andra mencekal tangan, dan membawa tubuh itu ke dalam pelukannya. "Andra! Apa, yang kamu lakukan?! Lepaskan!" Rania memberontakkan tubuhnya sekuat mungkin, namun bukannya melepaskan Andra justru kian mengeratkan pelukan itu. "Ran, jujur. Aku masih cinta sama kamu. Aku masih cinta sama kamu, Rania. Aku begitu merindukan dirimu," ujar Andra tergesa-gesa, pria itu seperti orang yang takut kehilangan. Kata-kata yang baru saja mengalir dari mulut Andra kian menyulutkan kemarahan Rania. Dia semakin gencar member
Kepastian yang Devan berikan benar-benar menggelitik perut Rania. Gadis itu terus saja tertawa. Hingga, saat mendapati tatapan Devan yang serasa ingin membunuhnya--membuat tawa itu luntur seketika. "Mana mungkin aku tidak merasa lucu. Apakah kamu sudah lupa dengan surat perjanjian, kita?" tanya Rania. "Ya, sudah kalau kamu tidak mau menjawabnya. Dan, lupakan tentang pertanyaanku tadi!" ujar Devan ketus, pria itu kembali melanjutkan langkah kakinya. Namun, langkah kaki itu Devan jeda saat Rania menghalangi jalannya, "Ada apa?" tanya Devan datar, pria itu menatap Rania dengan dingin."Ayo kita makan. Aku sudah masak makan malam untuk kita berduya.""Aku sedang tidak lapar," sahut Devan dengan malas, pria itu akan menyerobotkan tubuhnya. Namun, kembali gagal saat lagi-lagi Rania kembali menghalangi jalannya, "Ada apa, lagi?!" lanjut Devan. Terkesan biasa namun nada suara pria itu telah mengandung emosi.'"Walaupun kamu sedang tidak lapar-aku ingin kamu tetap memakan-masakan buatanku, d
Beberapa menit kemudianDevan dan Rania telah menyelesaikan kegiatan makannya. Pasangan suami-istri itu tengah membersikan piring-piring sisa makan mereka. "Biar aku yang saja mencuci piringnya!" Devan bersuara dengan tergesa-gesa, pria itu telah bangun dari duduknya dengan memegang beberapa piring kotor."Biar aku saja. Bagaimanapun aku seorang wanita, dan itu sudah menjadi tugasku!" celah Rania, gadis itu melakukan hal yang sama. dengan Devan."Biar aku saja. Bukankah, kau sudah lelah karena memasak? Jadi biar piring-piring ini aku yang mencucinya," ungkap Devan. Pria itu mengambil piring kotor dalam genggaman Rania. "Biar aku saja yang mencucinya, Dev!" cecar Rania, dan kembali gadis itu mengambil piring kotor dalam genggaman Rania. Hingga, berakhir terjadi aksi berebut piring kotor antar keduanya, dan akibat kelakuan kedua pasangan suami-istri itu membuat piring-piring pun terjatuh. PRAANG! Rania, dan Devan seketika membeku. Saling menatap, dengan pias yang telah memenuhi wajah
5 bulan kemudian Oeek---- Oeek---- Suara tangisan bayi menggema di dalam ruangan operasi, dan suara tangisan bayi yang terdengar, membuat sosok-sosok dewasa itu seketika mengucapkan rasa syukur. "Selamat ya, Deni, akhir nya kamu sudah menjadi ayah," ujar Devan, menghampiri Deni dan memeluk sebentar pria itu. "Terima kasih Tuan," ujar Deni, dengan senyum lepas di wajah--kebahagiaan nyata terlihat di wajah pria itu, di mana binar bahagia nyata terlihat di bola mata nya. "Deni----," panggil Rania beberapa menit kemudian. Datang nya sosok Rania, mengembangkan senyum di wajah Deni, namun ada nya air mata yang dia temukan pada kelopak mata kakak angkat nya, membuat Deni pun tak mampu membendung kesedihan itu lagi. Bagi Deni, Rania adalah sosok kakak yang baik untuk nya. Melangkah menghampiri, Deni segera memeluk tubuh wanita itu saat sudah berada dekat dengan nya. "Kau, sudah menjadi seorang, ayah, Deni, selamat!" ujar Rania dengan lirih, sudah ada butir kristal yang mene
Kaget, dengan bola mata yang membeliak penuh. Namun, menyadari bagaimana sambutan nya dengan segera Rania, mengembalikan mimik wajah nya. "Maaf," ujar Rania dengan kikuk, wanita itu nampak salah tingkah merasa tidak enak hati pada Sarah. Sarah yang menunduk, seketika mendongak--iris hitam nya, begitu dalam dan tajam, menatap manik hitam Rania. Masih menatap, Sarah akhir nya bersuara. "Apakah, kau tidak akan memaafkan aku?" tanya Sarah dengan lirih, ada mendung yang sudah menyelimuti wajah cantik wanita itu bagaimana mendapati sambutan Rania akan permintaan maaf dari nya. Wajah Rania mendadak kaku, terperangah--sebab merasa Sarah sudah salah sangkah pada nya," Oh, bukan begitu maksudku, kau salah sangkah! Aku, sudah memaafkan mu, sejak kau mengijinkan Papa, dan Mamaku untuk kembali bersatu " jelas Rania. "Benarkah?" ujar Sarah dengan senyum yang mengembang di wajah, wanita yang sedang mengandung 4 bulan itu terlihat sumringah, bola mata nya pun berbinar bahagia. "Yaa!"
Dua Minggu kemudian Duduk berdampingan, namun walaupun duduk bersama, Sarah, maupun Deni tak ada yang saling berbicara. Ntah, apa yang ada dalam pikiran kedua nya, namun kedua sosok itu lebih memilih untuk diam. Suasana canggung begitu terasa. Ingin berbicara, namun--Deni bingung harus memulai nya dari mana. Sarah terus saja mendiam kan nya. Alhasil, Deni tetap dengan diam nya--dengan sesekali melirik kan pandangan nya pada Sarah. Mendapati Sarah yang meremas jari-jari nya, pria itu hanya bisa mendesahkan napas nya berat. "Aku seperti melihat orang lain. Padahal Sarah yang aku kenal, adalah sosok yang arogant, dan suka, banyak bicara!" gumam Deni dalam hati, dengan diam-diam menatap pada Sarah. Hening--- Hening--- Sampai kapan--mereka saling, diam? Setidak nya itu lah yang ada di dalam pikiran Deni saat ini. Tak, mampu menahan diri itu lagi--Deni memilih untuk bersuara terlebih dahulu. "Kenapa, kau tidak memberitahukan padaku--kalau kau, sedang mengandung?" ujar Deni
Malam hari "Rania----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Rania membelah, wanita berambut indah itu seketika memindai pandangan nya pada asal suara. "Dev---,"gumam nya, saat mendapati kedatangan sang suami. Sebagai seseorang yang sangat mengenal baik Rania, tentu Devan tahu-seperti apa istri nya itu. Air muka yang Rania tunjukkan saat ini, Devan yakin ada sesuatu yang begitu membebani istri nya itu saat ini. "Kamu, baik-baik saja'kan?" tanya Devan. Menutup pintu ruangan, pria itu menyeretkan langkah berat nya menuju Rania. Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan. Pertanyaan yang pria itu berikan, kembali menyadarkan Rania atas kenyataan yang dia ketahui hari ini. Diam, iris hitam Rania begitu lekat, dan dalam, menatap manik hitam Devan. "Tidak! Aku tidak boleh memberitahukan hal ini pada Devan." Rania bermonolog dalam hati, wanita itu sedang berperang dengan suara hati nya sendiri. "Aku baik-baik saja!" sahut Rania, memutuskan pandangan-ber
Sarah telah kembali berada di dalam mobil. Namun, bukan nya langsung pergi meninggalkan area depan restorant, Desicner perhiasan itu justru masih setia tetap berada di sana. Begitu malu saat Rania melihat tanda merah di leher nya, membuat Sarah menenggelamkan wajah nya sedalam mungkin di antara bundaran setir, dengan tak henti-henti nya menggerutu. "Sebel! Sebel! Bagaimana, bisa aku seceroboh ini?!" gerutu Sarah, sembari memukul-mukul kuat bundaran setir. Puas meluapkan kekesalan nya, Sarah mendongak, dan wanita itu mendapati Rania yang melintasi depan mobil nya. Mendapati Rania yang tersenyum--Sarah yakin kalau saudara tiri nya itu tengah menertawakan diri nya. Masih setia memandang Rania, hingga berakhir diri nya mendapati Ibu satu anak itu yang berlalu dengan sebuah mobil mewah. Lama memandang, Sarah memutuskan pandangan setelah teringat rencana nya yang akan berziarah ke makam sang Bunda. Menghidupkan mesin mobil, dan berlalu pergi meninggalkan depan restorant. **** *****
Beberapa hari ini Devan merasa ada yang berbeda dengan Deni. Orang kepercayaan, juga adik ipar nya. Menurut Devan sedang tidak baik-baik saja. Deni yang selalu smart, dan selalu terlihat gentle, akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. Terus memandang, Devan yang selama ini memendam rasa penasaran nya akhir nya bertanya. "Bolehkah, aku bertanya sesuatu?" tanya Devan, dengan nada suara yang terdengar ragu. Deni yang tengah memandang wajah ponsel, seketika menengadah--pria itu menatap Devan dengan lekat-lekat. Devan tak langsung melontarkan pertanyaan. Di tatap nya wajah Deni lamat-lamat, lingkaran hitam pada kelopak mata, wajah yang kusut, seperti nya pria itu akhir-akhir ini kurang beristirahat. "Apakah, kau sedang ada masalah? Sebab yang aku perhatikan beberapa hari ini kau nampak murung. Mata mu pun nampak menghitam. Bukankah, aku jarang memberikan kau pekerjaan yang membuat kau lembur. Atau jangan-jangan, kau sering menghabiskan waktu di Klup malam bersama para wani
Beberapa menit kemudian "Apa, menginap di sini?!" sahut Deni. Bola mata nya membeliak, kaget juga sedikit shyok setelah mendengar keinginan Sarah barusan. "I-ya," sahut Sarah dengan ragu, sambutan Deni menciptakan mimik wajah yang berubah pada wanita itu. Sarah nampak menahan malu. "Nggak!" Deni menolak dengan tegas, dan penolakan keras dari pria itu menciptakan kekecewaan, juga sedih di wajah Sarah. Namun, hanya sesaat saja. Seketika wanita cantik berdarah Jepang Indonesia itu, kembali memohon pada Deni. Memegang tangan pria itu dengan erat-erat, dan menatap nya dengan memohon. "Den, aku mohon-kali ini saja. Aku sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Kematian Mama, dan hubungan ku dan Papa yang merenggang, membuat aku merasakan rumahku seperti di neraka," pinta Sarah. Memasang wajah memelas nya, Sarah menatap Deni dengan bola mata berair. "Bukankah, kau memiliki teman? Jika kau tidak nyaman berada di rumah mu, kau bisa pergi menginap di rumah mer
Waktu telah berada di pukul 11 malam. Di saat banyak penghuni bumi sudah menjemput alam mimpi nya, hal serupa tak berlaku bagi Sarah. Walaupun telah dilanda rasa kantuk yang teramat sangat--namun Desicner cantik itu tak kunjung dapat tidur. Bangkit dari tidur nya, Sarah mengacak-ngacak rambut nya frustasi. "Kenapa, aku terus memikirkan omongan Rania, terus-sih?!" gerutu Sarah, dengan wajah frustasi nya. Karena tak dapat kunjung tidur, berakhir Sarah memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia akan mengambil beberapa cemilan ringan, dan juga minuman soda, guna untuk menemani nya menonton film. Kedua kaki Sarah telah memijak di lantai dasar. Akan melangkah menuju arah dapur, namun hal itu Sarah urungkan saat dari jauh lebih tak sengaja wanita berkulit putih itu mendapati keberadaan papa Akio. "Papa," gumam Sarah, dengan pandangan tak terputus dari papa Akio, di mana pria paruh baya itu tengah berdiri di depan jendela kaca besar, sembari melemparkan pandangan nya ke arah luar. Lama me
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j