Beberapa menit kemudianDevan dan Rania telah menyelesaikan kegiatan makannya. Pasangan suami-istri itu tengah membersikan piring-piring sisa makan mereka. "Biar aku yang saja mencuci piringnya!" Devan bersuara dengan tergesa-gesa, pria itu telah bangun dari duduknya dengan memegang beberapa piring kotor."Biar aku saja. Bagaimanapun aku seorang wanita, dan itu sudah menjadi tugasku!" celah Rania, gadis itu melakukan hal yang sama. dengan Devan."Biar aku saja. Bukankah, kau sudah lelah karena memasak? Jadi biar piring-piring ini aku yang mencucinya," ungkap Devan. Pria itu mengambil piring kotor dalam genggaman Rania. "Biar aku saja yang mencucinya, Dev!" cecar Rania, dan kembali gadis itu mengambil piring kotor dalam genggaman Rania. Hingga, berakhir terjadi aksi berebut piring kotor antar keduanya, dan akibat kelakuan kedua pasangan suami-istri itu membuat piring-piring pun terjatuh. PRAANG! Rania, dan Devan seketika membeku. Saling menatap, dengan pias yang telah memenuhi wajah
Jawaban yang baru saja mengalir dari mulut Devan memancing rasa penasaran seorang Rania. Gadis itu menolehkan setengah wajah, menatap Devan dengan tatapan yang tak biasa, "Terus, apa?" tanya Rania, dengan tatapannya yang lekat. Devan bergeming. Fungsi otaknya mendadak berhenti--begitu wajahnya dan Rania dalam jarak yang sangat dekat. Pria itu seperti kehilangan kata-kata. "Devan--." Rania bersuara dengan lirih, dan suara panggilan dari Rania berhasil membawa Devan kembali pada dunianya. Pria itu tercengang, Devan nampak salah tingkah di depan Rania dan hal itu membuat Rania menatapnya dengan aneh,"Kamu, baik-baik saja? Bukankah, kamu ingin menceritakan sesuatu padaku? Mungkin saja aku bisa memberikan solusinya," lanjut Rania, gadis itu mendongak menatap Devan yang kini menjulang di depannya. Ditatap seperti itu oleh Rania membuat Devan kian gugup,"Aku mau kembali ke kamarku!" ujar Devan tergesa-gesa, pria itu segera membawa langkah kakinya cepat ke dalam kamar. Berlalunya Devan t
Bukan Rania saja yang dibuat kaget, akan kenyataan yang baru saja Rasty katakan, namun Andra dan juga Devan yang berada di sana tak kalah shyoknya. Andra yang masih menyimpan rasa pada Rania segera mencecar sang istri. "Rasty! Kenapa kamu berbicara sembarangan seperti itu?! Kamu sama sekali tidak memikirkan perasaan Rania!" Andra bersuara dengan lantang, terlihat jelas bara yang membakar sepasang iris hitam pria itu. "Sembarang bicara?" sahut Rasty, dengan nada suara yang dia pelankan,"Buat apa aku asal bicara. Sebab yang aku katakan ini memang adalah kenyataannya! Rania memang bukan adik kandungku, dan dia memang anak seorang jalang!" ujar Rasty, dan diakhir ucapannya wanita hamil itu menyunggingkan senyuman sinis disudut bibirnya. "Cukup! Cukup kataku!" teriak Rania dengan suaranya yang lantang, bahkan bibir wanita itu sampai bergetar. Rania yang membentak, serasa menggelitik untuk Rasty. Wanita yang tengah hamil itu kini menatap Rania dengan tatapan merendahkan, "Kamu memben
Alih-alih Devan akan mengajaknya pergi dengan kendaraan roda dua mereka. Namun, ternyata dugaan Rania salah. Pria itu justru menarik tangannya menuju belakang rumah--di mana di belakang rumah itu ada sebuah hutan kecil. Rania menghentikan langkahnya, dan apa yang gadis itu lakukan membuat Devan turut menghentikan langjah kakinya juga, "Ada apa? Apakah, ada sesuatu yang ingin kau ambil?" tanya Devan, pria itu menatap Rania dengan lekat. "Jangan katakan kalau kau akan mengajakku berbuat me--." Belum juga Rania menyelesaikan ucapannya Devan sudah menyelah lebih cepat,"Berbuat mesum, maksudmu?" tebak Devan. "Ya, itu!" Riana bersuara dengan tegas. Apa yang Rania tuduhkan sangat jauh dari kenyataan yang ada. Terasa sangat menggelitik untuknya, Devan tertawa sampai memegang perutnya, "Ha----ha----ha----ha---Rania---Rania---," ujar Devan dalam tawanya. Kening Rania mengkerut. Raut wajahnya telah berubah bingung--karena Devan terus saja menertawakan dirinya, "Kalau bukan untuk itu, te
Kediaman milik RastyAndra tak mampu membendung lagi rasa ingin tahunya tentang jati diri-Rania. Telah kembali berada di dalam kamar, pria itu segera menutup pintu dan menyerukan sang istri yang saat ini tengah melepaskan dress dari tubuhnya. "Rasty!" panggil Andra, "Apakah, yang tadi kamu katakan itu, benar?" lanjut nya. Begitu penasaran, membuat kedua bolamata Andra sangat intens menatap Rasty.Rasty tersenyum garing. Ada luka di wajah wanita hamil itu saat Andra kembali menyinggung tentang Rania, "Kenapa, kamu kembali bertanya? Jangan katakan kalau kamu masih ingin menemui wanita itu, Andra!" cecar Rasty, dengan sorot mata bak sebilah pisau.Pias seketika memenuhi wajah Andra. Ancaman dari Rasty sukses membuat nyali pria itu menciut, "Aku janji tidak akan menghubungi, atau menemui Rania lagi." Andra bersuara dengan begitu meyakinkan.Tak menyambut ucapan dari mulut Andra, Rasty hanya menampilkan senyuman mencemoohnya dan kembali melanjutkan kegiatannya."Tapi, apakah yang kau katak
Yang Rania tahu kalau Devan akan tidur sebab ini sudah jauh malam. Namun--, ternyata itu salah. Rania dibuat tercengang, setelah mendapati pria itu ke luar dengan sudah mengenakkan jacket berbahan parasut. Airmuka yang Devan tunjukkan nampak tak biasa. Ada kepanikan, dan ketakutan di sana. Devan mengambil langkah lebarnya. Pria itu mengabaikan Rania yang menatapnya dengan tatapan yang tak biasa. "Devan---," panggil Rania dengan setengah teriakkan, dan itu berhasil menjeda langkah kaki Devan dan kini berbalik menatapnya, "Kau, akan pergi? Apakah, ada sesuatu yang terjadi?" lanjut Rania tanpa memutuskan pandangannya sama sekali dari Devan. "Ada hal serius yang terjadi, dan aku harus segera pergi!" sahut Devan tergesa-gesa, pria itu kembali mengambil langkah lebarnya meninggalkan Rania yang menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Aku sangat penasaran sebenarnya apa yang terjadi," gumam Rania, yang kini nampak berpikir. Beberapa menit kemudianSunyi menyelimuti, berbalut dengan udara
Rasa penasaran akan sekarang di mana Rian--tinggal, membuat kakek Darma begitu hanyut dalam apa yang menjadi beban pikirannya. Hingga, suara pintu terbuka membuyarkan lamunan panjang pria itu. Mendapati kedatangan Deni, mimik wajah Kakek Darma berubah. Pria itu seperti mendapatkan suntikan energi. "Tuan besar!" Deni menyapa dengan canggung. Dalam dirinya bertanya-tanya, kenapa kakek Darma menatapnya dengan sorot mata yang tak biasa. "Kau, dari mana saja?! Kenapa lama sekali?!" tanya kakek Darma, nada suara lelaki tua terdengar dingin dan datar, menciptakan kesan horor untuk Deni yang kini bersamanya. "Saya membeli beberapa keperluan anda, Tuan," sahut Deni, dengan senyum kikuknya--namun kegugupan dan juga pasih, tetap terlihat jelas di wajah lelaki muda itu. "Oh, begitu!" sahut kakek Darma seraya manggut-manggut, namun sorot mata pria itu tetap terlihat tajam-dan menusuk. Deni mendaratkan tubuhnya dengan canggung pada sebuah kursi tunggal. Suasana mencekam begitu terasa, pria itu
Berlalunya Devan dari dalam rumah-meninggalkan Rania yang tenggelam dalam rasa penasarannya. Sekali lagi pria itu berhasil membuat Rania kebingungan dengan sikapnya yang aneh. "Siapa dia sebenarnya? Kenapa, dia selalusaja membuatku bingung?" Rania bermonolog pada dirinya sendiri, tenggelam dalam apa yang menjadi beban pikirannya. Hingga, gadis itu terperanjat--Rania seperti baru menyadari sesuat, "Kenapa, aku bisa melupakan hal itu? Bukankah, hari ini aku akan melamar pekerjaan di Wijaya Group?" gumam Rania panik, dan melangkahkan kakinya tergesa-gesa menuju kamar mandi. *** Wijya Group.Rania menatap penuh kagum--pada bangunan di depannya. Bangunannya sangat elegant, membuatkedua bolamata Rania tak berkedip sama sekali saat menatapnya. "Aku pernah mendengar kalau pemilik Wijaya Group memiliki cucu yang begitu tampan, namun dia selalu menutup dirinya dan tak ingin orang mengetahui siapa dia. Seandainya saja--." Rania mega-megap, membayangkan jika dirinya bersanding dengan cucu