Bukan Rania saja yang dibuat kaget, akan kenyataan yang baru saja Rasty katakan, namun Andra dan juga Devan yang berada di sana tak kalah shyoknya. Andra yang masih menyimpan rasa pada Rania segera mencecar sang istri. "Rasty! Kenapa kamu berbicara sembarangan seperti itu?! Kamu sama sekali tidak memikirkan perasaan Rania!" Andra bersuara dengan lantang, terlihat jelas bara yang membakar sepasang iris hitam pria itu. "Sembarang bicara?" sahut Rasty, dengan nada suara yang dia pelankan,"Buat apa aku asal bicara. Sebab yang aku katakan ini memang adalah kenyataannya! Rania memang bukan adik kandungku, dan dia memang anak seorang jalang!" ujar Rasty, dan diakhir ucapannya wanita hamil itu menyunggingkan senyuman sinis disudut bibirnya. "Cukup! Cukup kataku!" teriak Rania dengan suaranya yang lantang, bahkan bibir wanita itu sampai bergetar. Rania yang membentak, serasa menggelitik untuk Rasty. Wanita yang tengah hamil itu kini menatap Rania dengan tatapan merendahkan, "Kamu memben
Alih-alih Devan akan mengajaknya pergi dengan kendaraan roda dua mereka. Namun, ternyata dugaan Rania salah. Pria itu justru menarik tangannya menuju belakang rumah--di mana di belakang rumah itu ada sebuah hutan kecil. Rania menghentikan langkahnya, dan apa yang gadis itu lakukan membuat Devan turut menghentikan langjah kakinya juga, "Ada apa? Apakah, ada sesuatu yang ingin kau ambil?" tanya Devan, pria itu menatap Rania dengan lekat. "Jangan katakan kalau kau akan mengajakku berbuat me--." Belum juga Rania menyelesaikan ucapannya Devan sudah menyelah lebih cepat,"Berbuat mesum, maksudmu?" tebak Devan. "Ya, itu!" Riana bersuara dengan tegas. Apa yang Rania tuduhkan sangat jauh dari kenyataan yang ada. Terasa sangat menggelitik untuknya, Devan tertawa sampai memegang perutnya, "Ha----ha----ha----ha---Rania---Rania---," ujar Devan dalam tawanya. Kening Rania mengkerut. Raut wajahnya telah berubah bingung--karena Devan terus saja menertawakan dirinya, "Kalau bukan untuk itu, te
Kediaman milik RastyAndra tak mampu membendung lagi rasa ingin tahunya tentang jati diri-Rania. Telah kembali berada di dalam kamar, pria itu segera menutup pintu dan menyerukan sang istri yang saat ini tengah melepaskan dress dari tubuhnya. "Rasty!" panggil Andra, "Apakah, yang tadi kamu katakan itu, benar?" lanjut nya. Begitu penasaran, membuat kedua bolamata Andra sangat intens menatap Rasty.Rasty tersenyum garing. Ada luka di wajah wanita hamil itu saat Andra kembali menyinggung tentang Rania, "Kenapa, kamu kembali bertanya? Jangan katakan kalau kamu masih ingin menemui wanita itu, Andra!" cecar Rasty, dengan sorot mata bak sebilah pisau.Pias seketika memenuhi wajah Andra. Ancaman dari Rasty sukses membuat nyali pria itu menciut, "Aku janji tidak akan menghubungi, atau menemui Rania lagi." Andra bersuara dengan begitu meyakinkan.Tak menyambut ucapan dari mulut Andra, Rasty hanya menampilkan senyuman mencemoohnya dan kembali melanjutkan kegiatannya."Tapi, apakah yang kau katak
Yang Rania tahu kalau Devan akan tidur sebab ini sudah jauh malam. Namun--, ternyata itu salah. Rania dibuat tercengang, setelah mendapati pria itu ke luar dengan sudah mengenakkan jacket berbahan parasut. Airmuka yang Devan tunjukkan nampak tak biasa. Ada kepanikan, dan ketakutan di sana. Devan mengambil langkah lebarnya. Pria itu mengabaikan Rania yang menatapnya dengan tatapan yang tak biasa. "Devan---," panggil Rania dengan setengah teriakkan, dan itu berhasil menjeda langkah kaki Devan dan kini berbalik menatapnya, "Kau, akan pergi? Apakah, ada sesuatu yang terjadi?" lanjut Rania tanpa memutuskan pandangannya sama sekali dari Devan. "Ada hal serius yang terjadi, dan aku harus segera pergi!" sahut Devan tergesa-gesa, pria itu kembali mengambil langkah lebarnya meninggalkan Rania yang menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Aku sangat penasaran sebenarnya apa yang terjadi," gumam Rania, yang kini nampak berpikir. Beberapa menit kemudianSunyi menyelimuti, berbalut dengan udara
Rasa penasaran akan sekarang di mana Rian--tinggal, membuat kakek Darma begitu hanyut dalam apa yang menjadi beban pikirannya. Hingga, suara pintu terbuka membuyarkan lamunan panjang pria itu. Mendapati kedatangan Deni, mimik wajah Kakek Darma berubah. Pria itu seperti mendapatkan suntikan energi. "Tuan besar!" Deni menyapa dengan canggung. Dalam dirinya bertanya-tanya, kenapa kakek Darma menatapnya dengan sorot mata yang tak biasa. "Kau, dari mana saja?! Kenapa lama sekali?!" tanya kakek Darma, nada suara lelaki tua terdengar dingin dan datar, menciptakan kesan horor untuk Deni yang kini bersamanya. "Saya membeli beberapa keperluan anda, Tuan," sahut Deni, dengan senyum kikuknya--namun kegugupan dan juga pasih, tetap terlihat jelas di wajah lelaki muda itu. "Oh, begitu!" sahut kakek Darma seraya manggut-manggut, namun sorot mata pria itu tetap terlihat tajam-dan menusuk. Deni mendaratkan tubuhnya dengan canggung pada sebuah kursi tunggal. Suasana mencekam begitu terasa, pria itu
Berlalunya Devan dari dalam rumah-meninggalkan Rania yang tenggelam dalam rasa penasarannya. Sekali lagi pria itu berhasil membuat Rania kebingungan dengan sikapnya yang aneh. "Siapa dia sebenarnya? Kenapa, dia selalusaja membuatku bingung?" Rania bermonolog pada dirinya sendiri, tenggelam dalam apa yang menjadi beban pikirannya. Hingga, gadis itu terperanjat--Rania seperti baru menyadari sesuat, "Kenapa, aku bisa melupakan hal itu? Bukankah, hari ini aku akan melamar pekerjaan di Wijaya Group?" gumam Rania panik, dan melangkahkan kakinya tergesa-gesa menuju kamar mandi. *** Wijya Group.Rania menatap penuh kagum--pada bangunan di depannya. Bangunannya sangat elegant, membuatkedua bolamata Rania tak berkedip sama sekali saat menatapnya. "Aku pernah mendengar kalau pemilik Wijaya Group memiliki cucu yang begitu tampan, namun dia selalu menutup dirinya dan tak ingin orang mengetahui siapa dia. Seandainya saja--." Rania mega-megap, membayangkan jika dirinya bersanding dengan cucu
Devan benar-benar dikuasai api cemburunya. Dadanya kian bergejolak, Devan tak sanggup menahan gemuruh di dalam dada yang membuatnya semakin tersiksa. Akan membuka pintu mobil, namun suara Deni menyadarkan diri pria itu."Tuan. Anda, akan ke mana?" tanya Deni, menolehkan wajahnya dengan heran. Bukan Deni saja yang dibuat bingung dengan sikap Bos-nya, namun sang sopir juga.Devan kembali berangsut, membawa tubuhnya kembali pada kursi yang dia duduki tadi. Kembali menunjukkan wajah dinginnya, Devan berdehem seraya memperbaiki posisi dasinya saat kedua sosok yang saat ini tengah bersamanya terus memperhatikannya."EHEEM! EHEEM!"Sang sopir, dan Deni, segera mengalihkan wajahnya cepat, aura yang Devan ciptakan di dalam mobil--begitu dingin, dan terasa horor untuk Deni dan juga sopir itu. Walaupun menyimpan rasa penasaran yang teramat sangat, keduanya memutuskan untuk tak lagi bertanya walaupun rasa penasaran begitu menyelimuti diri mereka.******Lain dengan Devan yang tengah terbakar ole
Beberapa menit kemudian Saat ini Rania dan Devan tengah berada di ruang makan. Walaupun tangisnya sudah tak sekeras tadi lagi, namun gadis itu masih terisak kecil. Dan, mendapati Rania yang masih menangis kecil Devan hanya bisa menghela napasnya dalam, dadanya tiba-tiba terasa sesak. Beranjak dari duduknya, dan menghampiri galon air minum. Setelah mengisinya hingga setengah, pria itu kembali menghampiri Rania. "Minumlah!" pinta Devan, seraya satu tangannya menyodorkan segelas air putih itu. Rania berusaha meredam sisa-sisa tangis yang masih ada-meraih gelas dalam genggaman Devan--seraya bersuara, "Terima kasih," gumam Rania dengan suara paraunya, tersenyum seraya mmembawa bibir gelas ke mulutnya. Devan kembali mendaratkan tubuhnya. Untuk sesaat keheningan melanda keduanya saat pasangan suami-istri itu masing-masing larut dalam apa yang mereka pikirkan. Rania masih setia meneguk air putih, namun mendapati tatapan Devan yang nampak tak biasa--membuat gadis itu membeku. Menyuda