Wajah Rania mendadak kaku. Permintaan Devan barusan membuat gadis itu melupakan kesedihan yang baru saja dia alami. Rania menatap Devan dengan tatapan aneh. "Kau, meminta aku agar melamar pekerjaan ditempat lain saja, dan jangan bekerja di Wijaya Group?" tanya Rania. Gadis itu sengaja memelankan setiap kosa kata yang mengalir dari mulutnya, memastikan kalau dirinya sedang tidak salah dengar dengan apa yang Devan pinta. "Iya," sahut Devan dengan nada yang berat, raut wajahnya pun masih sama. Tidak bergairah. Kening Rania mengkerut. Tuatan alisnya menekuk dalam, sorot matanya pun semakin tajam menatap Devan, "Kenapa? Apakah, ada yang salah?" tanya Rania--nada suara gadis itu semakin meninggi, Rania bingung dengan sikap Devan yang aneh menurutnya.Tak langsung menyambut. Sangat tidak mungkin bagi Devan-mengatakan alasan dasar yang membuatnya keberatan Rania bekerja di perusahaan kakeknya, dan sangat tidak mungkin--Rania tidak mengetahui siapa dirinya suatu hari nanti."Devan!" Suara
Kakek Darma telah kembali ke rumahnya, setelah beberapa hari lelaki tua itu dirawat di rumah sakit. Kembali pulang, setelah beberapa hari dirinya dirawat-dan tak menemukan cucu kesayangannya, menimbulkan sesuatu yang asing untuk diri lelaki tua itu. Dia merindukan cucunya itu, sudah beberapa bulan Devan pergi dari rumah. Menelusuri setiap sudut rumah, pandangan kakek Darma berhenti pada sebuah bingkai photo berbahan jati yang menempel pada dinding rumah--tanpa sadar kedua kakinya telah melangkah.Perlahan satu tangan itu-dia angkat-menyentuh kaca bening transparant, seraya membelainya dengam lembut. Dia begitu teramat merinduhkan anak, dan menantunya, yang tewas dalam sebuah kecelakaan beberapa tahun silam. Dalam kecelakaan itu, anak dan menantunya meninggal, dan Devan selamat."Adam, Ana, putra kalian sudah besar--tumbuh menjadi pria yang tampan dan juga kuat. Kalian tahu, kami berdua sering bertengkar. Dan, kalian pernah mengatakan kalau dia menuruni sifatku. Devan, dia memang me
Rona bahagia terukir di wajah Rania, menatap dirinya dalam pantulan cermin. Hari ini dia akan memulai pekerjaannya sebagai OG di Wijaya Group. Rania terlihat sangat begitu bersemangat. "Nggak perduli pekerjaanku, apa?! Yang penting gajiku kali ini besar!" monolog Rania dengan senyuman, seraya satu tangannya meraih tote bag di atas ranjang, dan berlalu dari dalam kamar. Langkah kaki itu Rania jeda--gadis itu terperangah-begitu mendapati menu-menu yang tersaji di atas meja. Tak tahan untuk segera mencicipinya, gadis 25 tahun itu segera membawa langkah kakinya cepat. "Kamu, yang memesannya?" tanya Rania sekilas menatap Devan, dan kembali membawa pandangannya pada sajian di atas meja. Bahkan tanpa sadar gadis itu menelan ludahnya berkali-kali. "Memang kamu yang membelinya!" sarkas Devan--dengan senyuman mencemoohnya-menatap Rania, dan kata-kata menohok pria itu menembus hingga ke jantung Rania. "Maaf--," ujarnya lirih, Rania menenggelamkan wajahnya sedalam mungkin--sungguh dia t
Rasa penasaran tentang apa yang akan Deni sampaikan, Devan mengajak pria itu untuk segera bertemu. Keduanya bertemu disebuah restorant mewah diruangan private. "Kau, serius? Dion, menawarkan pada kakek untuk mencari tahu di mana aku tinggal? Dan, pekerjaan apa yang aku lakukan?" tanya Devan, dengan wajah yang mendadak kaget. Pria itu memandang tidak percaya pada Deni. "Iya. Walaupun itu hanya hal konyol, namun saran saya lebih baik anda pulang, Tuan. Sebab, sekarang nyawa kakek anda sedang terancam." "Aku telah menikah!" Devan bersuara dengan rendah dan datar, raut wajahnya pun menunjukkan keseriusan. Deni tersedak oleh minumannya sendiri. Devan membuatnya begitu sangat kaget luar biaaa. Bahkan celananya sedikit basah, akibat terkena cipratan dari minuman. Membersikannya dengan tissu, Deni segera membawa pandangannya pada Devan yang menatapnya dengan heran. "Menikah?" tanya Deni pelan setelah sekian detik lamanya. Matanya membulat penuh tanpa ekspresi, menatap Devan dengan begitu
Dion menutup pintu kamarnya. Tawa yang sedari tadi pria itu redam--lolos begitu saja. Tawa cukup menggema, melantun memenuhi ruangan membuat suasana di dalam kamar terasa horor. "Ha---ha----ha---, aku akan membuat hubungan kakek dan cucu itu kembali memanas! Aku akan membuat mereka terus berseteru!" geram Dion, rahangnya mengetat, iris hitamnya menggelap saat amarah telah berada di ubun-ubun. Suara panggilan telepone membuyarkan semuanya. Membawa wajah ponsel pada indera penglihatannya dan mendapati nama Hana, adik perempuannya membuat mimik wajah Dion berubah. Tanpa menunggu Dion segera menjawabnya. "Hallo." Dion bersuara dengan lembut, air mukanya berubah hangat tercipta sedikit senyum di sana. "Kakak. Kapan kau datang?!" tanya Hana, nada suara gadis itu terdengar kesal."Aku belum bisa pulang. Aku bahkan baru kembali mengatur rencana untuk kembali menyingkirkan siTua itu!""Kau terlalu sibuk membalaskan dendammu, sampai melupakan kalau besok adalah hari kematian papa dan Mama!"
Rania meremang. Tubuh gadis itu bagai tersengat arus listrik dengan tegangan yang cukup tinggi. Dirinya seolah tak mampu melakukan apa pun lagi. Apa yang baru saja Devan lakukan padanya--membuat fungsi otaknya mendadak berhenti. Satu detik Dua detik Tiga detik Rania mengerjap-ngerkapkan kedua bolamatanya, dengan tangan yang perlahan menyentuh lembut bibirnya. Rasanya masih membekas, ini bukan mimpi. "De, Devan mengecup bibirku?" gumam Rania pada diri sendiri, ingin menolak untuk mempercayainya--namun ini nyata. kecupan itu masih terasa. Hanyut dalam apa yang tengah terjadi, hingga suara telepone membuyarkan semuanya. Airmuka Rania berubah, begitu dirinya mendapati yang melakukan panggilan telepone adalah Andra. Teringat pertemuannya, dan Andra tadi di perusahaan membuat Rania enggan untuk menjawab panggilan telepone itu. Akan memasukkan gawai kembali ke dalam saku celananya, namun Rania urungkan saat terdengar nada pesan masuk. {Aku tahu, kalau kamu pasti nggak mengangkat t
Pagi hariRania dan Devan tengah menikmati sarapan pagi mereka. Semalam gadis itu membiarkan Devan makan malam seorang diri, sungguh-dia belum siap untuk kembali bertemu dengan pria itu--setelah apa yang dia lakukan padanya. Namun, setelah dipikir-pikir--tak ada gunanya dia terus menghindar. Toh, dia hidup satu atap dengan Devan, dan hal penting lainnya, pernikahan mereka masih satu tahun lebih lagi. Satu tahun lebih itu adalah waktu yang sangat lama--jadi sampai kapan dia akan menghindari Devan, setidaknya itulah yang ada di dalam pikiran seorang Rania. Masih hangat-hangatnya terjadi, bahkan kecupan itu masih terasa di bibirnya hingga saat ini. Rania memilih untuk diam, menganggap Devan bagai angin tak terlihat, dan memfokuskan diri dengan sarapan paginya--walaupun saat ini dadanya tengah berbebar kencang, perasaannya pun tak karuan. Besar harapan Rania, Devan tidak menyinggung soal kecupan itu lagi."Semoga saja dia tidak menyinggung soal tadi malam. Apakah, dia tahu--gara-gara pe
Riana mengerjap-ngerjap kedua matanya resah saat dengan sengaja mentari memberikan sedikit sinarnya mengenai sepasang bolamata cantiknya. Bergerak resah, Riana kembali memejamkan mata itu saat kembali menemukan kenyamanan di dalam tidurnya. Namun, Riana merasa ada yang janggal sebab dia merasa tubuhnya seperti tertimpa sebuah beban. Membuka kedua matanya berat, Riana berusaha mengumpulkan nyawanya yang masih tercerai-berai. Sontak--Rania menegang, wajahnya mendadak pucat saat melihat ada sebuah tangan yang melingkar di perutnya. Cepat, Rania membalikkan tubuhnya-dan kaget luar biasa saat mendapati adanya Devan. "AAHHHHHHH----------." Rania berteriak histeris, sungguh dia begitu shyok saat mendapati Devan tidur seranjang dengannya dengan posisi yang begitu intim. Devan yang tak mengetahui apa yang membuat Rania histeris--turut melakukan hal yang sama. Pria itu pun berteriak dengan tak kalah kencangnya. "AAHHHHHH----------." Devan pun bangun dari duduknya, dengan air muka yang nam