Yang Rania tahu kalau Devan akan tidur sebab ini sudah jauh malam. Namun--, ternyata itu salah. Rania dibuat tercengang, setelah mendapati pria itu ke luar dengan sudah mengenakkan jacket berbahan parasut. Airmuka yang Devan tunjukkan nampak tak biasa. Ada kepanikan, dan ketakutan di sana. Devan mengambil langkah lebarnya. Pria itu mengabaikan Rania yang menatapnya dengan tatapan yang tak biasa. "Devan---," panggil Rania dengan setengah teriakkan, dan itu berhasil menjeda langkah kaki Devan dan kini berbalik menatapnya, "Kau, akan pergi? Apakah, ada sesuatu yang terjadi?" lanjut Rania tanpa memutuskan pandangannya sama sekali dari Devan. "Ada hal serius yang terjadi, dan aku harus segera pergi!" sahut Devan tergesa-gesa, pria itu kembali mengambil langkah lebarnya meninggalkan Rania yang menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Aku sangat penasaran sebenarnya apa yang terjadi," gumam Rania, yang kini nampak berpikir. Beberapa menit kemudianSunyi menyelimuti, berbalut dengan udara
Rasa penasaran akan sekarang di mana Rian--tinggal, membuat kakek Darma begitu hanyut dalam apa yang menjadi beban pikirannya. Hingga, suara pintu terbuka membuyarkan lamunan panjang pria itu. Mendapati kedatangan Deni, mimik wajah Kakek Darma berubah. Pria itu seperti mendapatkan suntikan energi. "Tuan besar!" Deni menyapa dengan canggung. Dalam dirinya bertanya-tanya, kenapa kakek Darma menatapnya dengan sorot mata yang tak biasa. "Kau, dari mana saja?! Kenapa lama sekali?!" tanya kakek Darma, nada suara lelaki tua terdengar dingin dan datar, menciptakan kesan horor untuk Deni yang kini bersamanya. "Saya membeli beberapa keperluan anda, Tuan," sahut Deni, dengan senyum kikuknya--namun kegugupan dan juga pasih, tetap terlihat jelas di wajah lelaki muda itu. "Oh, begitu!" sahut kakek Darma seraya manggut-manggut, namun sorot mata pria itu tetap terlihat tajam-dan menusuk. Deni mendaratkan tubuhnya dengan canggung pada sebuah kursi tunggal. Suasana mencekam begitu terasa, pria itu
Berlalunya Devan dari dalam rumah-meninggalkan Rania yang tenggelam dalam rasa penasarannya. Sekali lagi pria itu berhasil membuat Rania kebingungan dengan sikapnya yang aneh. "Siapa dia sebenarnya? Kenapa, dia selalusaja membuatku bingung?" Rania bermonolog pada dirinya sendiri, tenggelam dalam apa yang menjadi beban pikirannya. Hingga, gadis itu terperanjat--Rania seperti baru menyadari sesuat, "Kenapa, aku bisa melupakan hal itu? Bukankah, hari ini aku akan melamar pekerjaan di Wijaya Group?" gumam Rania panik, dan melangkahkan kakinya tergesa-gesa menuju kamar mandi. *** Wijya Group.Rania menatap penuh kagum--pada bangunan di depannya. Bangunannya sangat elegant, membuatkedua bolamata Rania tak berkedip sama sekali saat menatapnya. "Aku pernah mendengar kalau pemilik Wijaya Group memiliki cucu yang begitu tampan, namun dia selalu menutup dirinya dan tak ingin orang mengetahui siapa dia. Seandainya saja--." Rania mega-megap, membayangkan jika dirinya bersanding dengan cucu
Devan benar-benar dikuasai api cemburunya. Dadanya kian bergejolak, Devan tak sanggup menahan gemuruh di dalam dada yang membuatnya semakin tersiksa. Akan membuka pintu mobil, namun suara Deni menyadarkan diri pria itu."Tuan. Anda, akan ke mana?" tanya Deni, menolehkan wajahnya dengan heran. Bukan Deni saja yang dibuat bingung dengan sikap Bos-nya, namun sang sopir juga.Devan kembali berangsut, membawa tubuhnya kembali pada kursi yang dia duduki tadi. Kembali menunjukkan wajah dinginnya, Devan berdehem seraya memperbaiki posisi dasinya saat kedua sosok yang saat ini tengah bersamanya terus memperhatikannya."EHEEM! EHEEM!"Sang sopir, dan Deni, segera mengalihkan wajahnya cepat, aura yang Devan ciptakan di dalam mobil--begitu dingin, dan terasa horor untuk Deni dan juga sopir itu. Walaupun menyimpan rasa penasaran yang teramat sangat, keduanya memutuskan untuk tak lagi bertanya walaupun rasa penasaran begitu menyelimuti diri mereka.******Lain dengan Devan yang tengah terbakar ole
Beberapa menit kemudian Saat ini Rania dan Devan tengah berada di ruang makan. Walaupun tangisnya sudah tak sekeras tadi lagi, namun gadis itu masih terisak kecil. Dan, mendapati Rania yang masih menangis kecil Devan hanya bisa menghela napasnya dalam, dadanya tiba-tiba terasa sesak. Beranjak dari duduknya, dan menghampiri galon air minum. Setelah mengisinya hingga setengah, pria itu kembali menghampiri Rania. "Minumlah!" pinta Devan, seraya satu tangannya menyodorkan segelas air putih itu. Rania berusaha meredam sisa-sisa tangis yang masih ada-meraih gelas dalam genggaman Devan--seraya bersuara, "Terima kasih," gumam Rania dengan suara paraunya, tersenyum seraya mmembawa bibir gelas ke mulutnya. Devan kembali mendaratkan tubuhnya. Untuk sesaat keheningan melanda keduanya saat pasangan suami-istri itu masing-masing larut dalam apa yang mereka pikirkan. Rania masih setia meneguk air putih, namun mendapati tatapan Devan yang nampak tak biasa--membuat gadis itu membeku. Menyuda
Wajah Rania mendadak kaku. Permintaan Devan barusan membuat gadis itu melupakan kesedihan yang baru saja dia alami. Rania menatap Devan dengan tatapan aneh. "Kau, meminta aku agar melamar pekerjaan ditempat lain saja, dan jangan bekerja di Wijaya Group?" tanya Rania. Gadis itu sengaja memelankan setiap kosa kata yang mengalir dari mulutnya, memastikan kalau dirinya sedang tidak salah dengar dengan apa yang Devan pinta. "Iya," sahut Devan dengan nada yang berat, raut wajahnya pun masih sama. Tidak bergairah. Kening Rania mengkerut. Tuatan alisnya menekuk dalam, sorot matanya pun semakin tajam menatap Devan, "Kenapa? Apakah, ada yang salah?" tanya Rania--nada suara gadis itu semakin meninggi, Rania bingung dengan sikap Devan yang aneh menurutnya.Tak langsung menyambut. Sangat tidak mungkin bagi Devan-mengatakan alasan dasar yang membuatnya keberatan Rania bekerja di perusahaan kakeknya, dan sangat tidak mungkin--Rania tidak mengetahui siapa dirinya suatu hari nanti."Devan!" Suara
Kakek Darma telah kembali ke rumahnya, setelah beberapa hari lelaki tua itu dirawat di rumah sakit. Kembali pulang, setelah beberapa hari dirinya dirawat-dan tak menemukan cucu kesayangannya, menimbulkan sesuatu yang asing untuk diri lelaki tua itu. Dia merindukan cucunya itu, sudah beberapa bulan Devan pergi dari rumah. Menelusuri setiap sudut rumah, pandangan kakek Darma berhenti pada sebuah bingkai photo berbahan jati yang menempel pada dinding rumah--tanpa sadar kedua kakinya telah melangkah.Perlahan satu tangan itu-dia angkat-menyentuh kaca bening transparant, seraya membelainya dengam lembut. Dia begitu teramat merinduhkan anak, dan menantunya, yang tewas dalam sebuah kecelakaan beberapa tahun silam. Dalam kecelakaan itu, anak dan menantunya meninggal, dan Devan selamat."Adam, Ana, putra kalian sudah besar--tumbuh menjadi pria yang tampan dan juga kuat. Kalian tahu, kami berdua sering bertengkar. Dan, kalian pernah mengatakan kalau dia menuruni sifatku. Devan, dia memang me
Rona bahagia terukir di wajah Rania, menatap dirinya dalam pantulan cermin. Hari ini dia akan memulai pekerjaannya sebagai OG di Wijaya Group. Rania terlihat sangat begitu bersemangat. "Nggak perduli pekerjaanku, apa?! Yang penting gajiku kali ini besar!" monolog Rania dengan senyuman, seraya satu tangannya meraih tote bag di atas ranjang, dan berlalu dari dalam kamar. Langkah kaki itu Rania jeda--gadis itu terperangah-begitu mendapati menu-menu yang tersaji di atas meja. Tak tahan untuk segera mencicipinya, gadis 25 tahun itu segera membawa langkah kakinya cepat. "Kamu, yang memesannya?" tanya Rania sekilas menatap Devan, dan kembali membawa pandangannya pada sajian di atas meja. Bahkan tanpa sadar gadis itu menelan ludahnya berkali-kali. "Memang kamu yang membelinya!" sarkas Devan--dengan senyuman mencemoohnya-menatap Rania, dan kata-kata menohok pria itu menembus hingga ke jantung Rania. "Maaf--," ujarnya lirih, Rania menenggelamkan wajahnya sedalam mungkin--sungguh dia t