Share

2. Lamaran Wanita Gila?

“A-apa dia bilang?!” Lelaki berambut gondrong langsung bangkit.

Dia berjalan menuju Annelies dan menariknya menjauh dari Dan Theo-pria berkemeja putih.

“Hei, Nona! Kau tahu apa yang kau katakan? Pria ini—”

“Saya tahu. Dia seorang Gigolo ‘kan? Kalian semua pria yang menerima bayaran dari wanita untuk tidur bersama. Saya juga mau membayar kalian!” sahut Annelies dengan tatapan tajam.

Semua orang tercengang seolah tak percaya dengan ucapan wanita itu.

“Kenapa? Kalian tidak mau menerima uang saya?” Annelies menantang.

Lelaki gondrong tadi mencekal Annelies lebih kuat. Namun, belum sempat menimpali, Dan Theo lebih dulu berkata, “semua uang berharga. Ayo kita lakukan, tidur bersama!”

“Dan Theo!” sambar lelaki gondrong tadi, tapi Theo tidak menggubris.

“Jadi nama Anda Dan Theo? Baiklah, ke mana kita pergi? Saya butuh kamar, secepatnya!” tukas Annelies dengan tatapan tajam, tapi entah mengapa Dan Theo bisa melihat getaran di matanya.

Pria itu mengamati penampilan Annelies yang berantakan. Annelies menekuk jari kakinya ke dalam saat Theo memperhatikannya. Tanpa diduga Dan Theo malah melepas sepatunya dan menyodorkannya ke depan Annelies.

“Pakai ini dan ikuti saya,” tuturnya.

Annelies mengernyit, jelas sekali sepatu itu kebesaran untuk kakinya yang mungil. Namun, Dan Theo sudah berjalan keluar ruangan lebih dulu.

‘Aish, kenapa dia tidak menungguku?’ batin Annelies terpaksa memakai sepatu tadi.

Baru saja hendak mangkir, lelaki gondrong tadi kembali menahannya.

“Sebaiknya kau berhenti. Kau tidak tahu siapa sebenarnya Dan Theo!” decaknya memberi peringatan.

“Tenang saja, saya akan membayar mahal!” sahut Annelies menghempas tangan lelaki itu.

Dia mengikuti Dan Theo naik ke lantai lima, lalu masuk ke ruang VIP. Alih-alih ke dalam, Annelies malah berdiri tegang di dekat pintu. Mungkin sekarang dia aman dari petugas rumah sakit jiwa atau pria misterius yang tadi melecehkannya, tapi tiba-tiba Annelies gugup saat hanya berdua dengan Theo di kamar itu.

“Masuklah, bukankah Anda tadi bersemangat?” ujar Dan Theo seraya melepas kemeja putihnya yang tersiram wine.

“Kenapa Anda melepas baju?” Annelies bertanya dengan iris membesar.

Dan Theo mendapukkan alisnya dan menjawab, “bukankah memang harus dilepas? Saya professional.”

“Sa-saya mau mandi dulu!” Annelies asal menyambar dan buru-buru ke kamar mandi.

Dia menutup pintunya dengan kencang, lalu menguncinya.

“Tu-tunggu, apa yang kau lakukan, Annelies? Kau malu?” tutur Annelies pada diri sendiri.

Dia tertawa konyol sembari melanjutkan. “Aish, sial! Kenapa harus malu? Aku kan tidak benar-benar melakukannya. Aku di sini hanya untuk sembunyi!”

Wanita itu menyugar belahan rambutnya, merasa frustasi.

Hingga beberapa menit berlalu, akhirnya Annelies keluar. Dia mengenakan bathrope putih yang tersedia di kamar mandi, lalu menghampiri Dan Theo yang duduk di sofa.

‘Sekarang dia terlihat seperti manusia,’ batin Dan Theo saat bertatapan mata dengan Annelies.

Dia bangkit seraya bertanya, “Anda mencuci rambut?”

“Iya, saya sedikit kotor, jadi ….” Annelies meredam ucapnya saat Theo mendekatinya.

“Saya penasaran dengan sesuatu.” Pria itu terus mengikis jarak sampai kaki Annelies menatap ranjang. 

“A-apa yang Anda lakukan?!” Annelies memicing, tapi Dan Theo malah menjulurkan tubuhnya hingga Annelies ambruk ke kasur.

Alih-alih mundur, Theo justru ikut naik ke ranjang dan mengungkung Annelies dengan tubuh atletisnya. Sial, leher Annelies tiba-tiba menegang melihat dada bidang pria itu.

“Nona, mengapa Anda memilih saya?” Dan Theo bertanya dengan sorot dingin.

Bulu mata Annelies bergetar saat membalas, “ka-karena Anda yang paling tampan?”

Seketika, seringai tipis merayapi sebelah bibir Dan Theo.

Belum sempat pria itu menimpali, Annelies berkata lagi. “Jangan salah paham. Anda terlihat bisa diajak diskusi dan saya memilih Anda untuk hal lain!”

“Apa itu?” sahut Theo penasaran.

“Menikah,” balas Annelies yang sontak memicu alis pria itu menyatu. “Saya serius, menikahlah dengan saya!”

“Anda membuang waktu saya, Nona!” decak Dan Theo yang lantas menarik diri.

Dia bangun, meraih kemeja putihnya dari sofa dan memakainya lagi.

“Bukankah Anda bilang semua uang berharga?!” Annelies mendengus saat bangkit. “Saya akan membayar mahal jika Anda mau menjadi suami saya selama satu tahun!”

‘Aish, sepertinya dia memang wanita gila!’ batin Theo sibuk mengancing kemejanya.

Annelies bergegas turun dari ranjang dan kembali mendecak, “satu miliar!”

Dan Theo menyeringai mendengar tawaran itu. Dia sulit percaya. Namun, Annelies langsung melepas satu antingnya dan menyerahkannya pada Theo.

“Saya tidak bohong, saya punya uang dan saya butuh Anda untuk menjadi suami!” katanya tegas.

Dilihat sekilas, anting Annelies memang tampak mahal. Ya, itu perhiasan koleksi musim semi yang bernilai ratusan juta dari brand Calline.

“Kenapa saya harus menjadi suami Anda?” tukas Dan Theo melirik tajam.

Annelies sempat terdiam lama. Dia menurunkan pandangan dan kemudian membalas, “saya harus menikah dalam waktu 6 bulan ini dan membuktikan pada semua orang kalau saya tidak gila. Bukankah Anda bekerja seperti ini demi uang? Menerima tawaran saya akan sangat menguntungkan, tanpa perlu menjadi Gigolo lagi.”

Dan Theo mengernyit mendengarnya. Anneline tampak jujur, tapi Theo merasa wanita itu masih menyembunyikan sesuatu dan itu membuatnya semakin penasaran.

Pria itu menatap lekat, lalu berkata, “bukankah satu miliar terlalu sedikit?”

“Kita bisa negosiasikan bayarannya lagi. Lusa, datanglah ke kantor L&F Cosmetic, saya akan menyiapkan detail kontraknya,” balas Annelies meyakinkan.

“Menarik,” sahut Dan Theo disertai seringai samar.

Malam itu Annelies benar-benar tidur di Miracle Night. Namun, saat bangun di pagi hari, Dan Theo sudah tidak ada di sana. Wanita itu mengernyit saat melihat sesuatu di sofa tempat Dan Theo berbaring semalam.

‘Dress?’ batin Annelies saat meraihnya.

Sebelah alis wanita itu terangkat. Dia tak menyangka Dan Theo memperhatikan bajunya.

“Aku harap dia benar-benar menerima tawaranku,” tutur Annelies yang lantas bersiap-siap.

Dia keluar dari Miracle Night, lalu menuju mansion Langford.

Begitu tiba di sana, tempat itu kembali mewah. Nuansa kabung atas kematian Feanton sudah hilang, padahal baru dua hari lalu ayahnya tersebut meninggal.

‘Mereka begitu cepat menyingkirkan kenangan Ayah!’ batin Annelies menggertakkan giginya, saat tak melihat lukisan diri Feanton di ruang tengah.

“Bibi Annelies?!” Samantha-putri Logan Langford itu terkejut dan menghentikan langkahnya di tengah tangga. “Apa-apaan ini? Bukankah Bibi harusnya di rumah sakit jiwa?!”

Annelies berpaling. Dengan tatapan tajamnya dia menyambar, “kenapa aku harus di rumah sakit jiwa?!”

“Kenapa lagi? Tentu saja karena Bibi gila!” dengus Samantha mengernyit jijik. “Bibi Annelies tidak ingat? Saat ucapara pemakaman Kakek, Bibi menggila seperti orang kerasukan! Bibi sangat berbahaya, jadi—”

“Tutup mulutmu, Samantha! Aku tahu kalian yang melakukannya. Kalian menjebakku!” sahut Annelies.

Samantha menyeringai, lalu turun mendekati Annelies. “Bibi tidak punya bukti. Tunggu saja, aku akan menelepon pihak rumah sakit karena ada pasien gilanya yang kabur!”

Baru saja Samantha mengeluarkan ponselnya, dia langsung tersenyum karena ada seseorang yang datang.

“Ah … sudah sampai?” katanya.

Annelies berpaling, maniknya seketika melebar saat melihat orang yang tiba.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Iren Vs
seru ceritanya lanjutlah
goodnovel comment avatar
guramebakar.jo
sangat bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status