“Siapa yang mau menikahi wanita gila, hah?!” Samantha mendecak dengan mata terbelalak.
Semua orang heran karena selama ini Annelies tak pernah dekat dengan pria dan hanya sibuk kerja. Itu membuat mendiang Feanton cemas jika Annelies jadi perawan tua. Hingga dia pun menambahkan syarat bahwa Annelies harus menikah dalam kurun waktu enam bulan untuk mendapat hak waris. Jika tidak, Feanton akan menyumbangkan seluruh asetnya ke yayasan panti jompo dan anak yatim piatu.
Karena inilah Logan murka habis-habisan dan berusaha menyingkirkan Annelies. Dia yang merupakan putra tertua malah tidak mendapat apa-apa.
“Benarkah? Kau mau menikah?” Seringai berbahaya merayapi bibir Logan, seiring tangannya yang melepaskan leher Annelies.
Annelies menatap tajam, tapi belum sempat menimpali, Logan kembali berkata, “baiklah, kita lihat apa kau bisa melakukannya!”
“Daddy! Apa yang Daddy katakan? Jika Bibi Annelies menikah … aish, intinya dia tidak boleh menikah, Daddy! Daddy tahu itu!” Samantha menyambar geram.
Bukannya menjawab, Logan justru berjalan keluar dengan sorot dinginnya.
“Daddy!” Samantha memekik, tapi Logan tak menggubrisnya.
Gadis itu beralih menatap Grace dan merengek, “Mommy … bagaimana ini? Kenapa Daddy mengalah begitu saja? Aku tidak mau jadi gembel!”
“Tenanglah, Samantha. Daddy tidak akan membiarkan itu terjadi,” sahut Grace yang lantas memeriksa luka putrinya. “Sekarang kita harus mengobati lukamu sebelum infeksi.”
Samantha berlalu keluar sambil menggandeng lengan Harvey.
Dan saat melewati Annelies di dekat pintu, dia kembali mencibir, “aku akan membalasmu, jalang gila!”
Ya, Annelies pun tahu Logan tak semudah itu menyerah. Dia pasti menyusun rencana lain untuk menyingkirkannya.
Benar saja, esok harinya media dibuat heboh oleh video konglomerat gila. Rekaman Annelies yang sedang mengacau di upacara pemakaman Feanton, kini bocor dan menjadi topik panas masyarakat.
‘Menarik, Kak Logan. Ternyata ini rencanamu?’ batin Annelies tersenyum miring saat melihat unggahan video tersebut.
Di layar tab itu, tampak jelas Annelies yang dalam pengaruh narkotika sedang menangis, kadang tertawa dan meracau tidak jelas. Orang-orang coba menghentikannya, tapi Annelies malah menyerangnya dengan cakaran sambil memukuli kepalanya sendiri.
Karena berita ini, ponsel Annelies sejak tadi berdering. Para karyawan dan sekretarisnya di L&F Cosmetic tak hentinya menelepon. Annelies jelas tahu apa akibat skandal ini pada perusahaannya.
Dia akhirnya mengangkat panggilan Sekretarisnya dan berkata, “saya akan ke kantor sekarang!”
Annelies datang ke L&F Cosmetic dengan pakaian serba hitam. Bahkan dia memakai kacamata dan masker agar orang-orang tidak mengenalinya.
Begitu tiba di sana, sang Sekretaris langsung menghujamnya dengan fakta. “Mohon maaf, Direktur. Saat ini saham L&F Cosmetic turun drastis. Vendor baru yang harusnya tanda tangan kontrak dengan kita, tiba-tiba mundur. Bahkan beberapa vendor lama juga ingin memutus kontrak secara sepihak, Direktur.”
Leher Annelies menegang saat duduk di kursi kerjanya. Dia mengangkat pandangan dan membalas, “siapa saja yang membatalkan kontrak?”
Sekretaris itu pun menyerahkan dokumen padanya. Annelies seketika membelalak begitu melihat daftar vendor tersebut.
“Bahkan Pasar Raya Prince?” katanya nyaris tak percaya.
Sang sekretaris hanya diam. Dia tahu betapa kecewanya Annelies karena pasar raya Prince vendor mereka yang paling lama.
“Direktur, saya dan Tim IT sudah berusaha menghapus video itu, tapi salinannya sudah banyak menyebar dan ….”
“Terima kasih, tapi kalian tidak perlu mengurusnya lagi, saya akan menanganinya langsung,” sahut Annelies.
Dengan ragu, Sekretaris itu kembali bertanya, “maaf, Direktur. A-apa Anda baik-baik saja?”
“Mengapa? Apa menurut Anda saya juga gila?” balas Annelies getir.
“Ah, bu-bukan seperti itu, Direktur.” Sekretaris itu segera membungkuk untuk memohon ampun. “Mohon maaf, maksud saya bukan—”
“Saya mengerti. Terima kasih sudah mencemaskan saya, tapi saya baik-baik saja,” sahut Annelies disertai senyum tipis.
Itu membuat sekretarisnya lega.
“Saya turut berduka atas kepergian Ketua Feanton, Direktur,” tuturnya yang lantas mendapat anggukan dari Annelies.
Dia agak kikuk karena tiba-tiba membicarakan ini. Sebab itu dirinya langsung mengalihkan topik. “Jika ada yang harus saya kerjakan, tolong beritahu langsung.”
“Baiklah, tolong hubungi beberapa vendor yang masih bisa dipertahankan,” sahut Annelies yang langsung dimengerti Sekretaris itu.
Begitu sekretarisnya keluar ruangan tersebut, Annelies dikejutkan oleh video lain yang baru dirilis media.
“Apa-apaan dia?!” Annelies mendecak dengan gigi terkatup.
Amarahnya membumbung saat melihat video wawancara Samantha yang terluka dan memfitnahnya.
“Nona, apa benar Nona Annelies yang melukai wajah Anda sampai seperti ini?” tanya seorang Wartawan di video.
Samantha menangis terisak dan menjawab lirih. “I-itu benar. Penyakit mental Bibi Annelies kumat dan saya diserang saat mencoba menenangkannya.”
“Tunggu, Anda bilang penyakit mental? Jadi rumor bahwa Nona Annelies gila itu benar?”
“Iya, sebelumnya kami sudah membawa Bibi Annelies ke rumah sakit jiwa untuk dirawat. Tapi entah bagaimana dia kabur dan membuat keributan lagi di rumah.” Samantha berkata disertai isak tangis. “Sa-saya sangat sedih, tapi kami harus mengambil tindakan agar Bibi Annelies bisa diobati dan tidak membahayakan orang lain.”
Tangan Annelies mengepal geram mendengar ocehan gadis itu.
‘Sialan! Dia berkata seolah aku memang gila!’ batinnya menahan amukan.
Di tengah kemarahannya, sang sekretaris tiba-tiba mendatanginya lagi.
“Ada apa?” Annelies bertanya dengan wajah tegangnya.
“Maaf, Direktur. Kabarnya, saat ini Tuan Logan sedang mengadakan rapat dengan para Dewan Direksi,” balas Sekretaris itu yang sontak membuat Annelies tambah mendidih.
Dia tahu, Logan akan memengaruhi para dewan direksi untuk mendukungnya.
Annelies pun memejam dengan tangan memijit kening. Rasanya kepala wanita itu hampir pecah ditimpa masalah bertubi-tubi.
Hingga sampai malam hari, Annelies pun memilih lembur untuk mengatasi krisis yang terjadi di perusahaannya. Namun, tiba-tiba saja listrik di ruangan tersebut mati. Sialnya komputer Annelies juga kehabisan daya, padahal dia masih mengerjakan konsep yang penting.
“Aish, sial! Aku tidak bisa kehilangan konsep ini!” tukasnya menyugar belahan rambut.
Dia celingukan dan bergumam, “apakah ada yang salah dengan pusat listriknya?”
Annelies meraih ponsel dan menyalakan senternya. Dia turun ke lantai bawah mencari penjaga yang bertugas malam, tapi tidak menemukannya.
“Kenapa tidak ada orang di sini?” katanya saat melihat pos penjaga kosong.
“Aku harus menemukan sakelar utamanya sendiri!”
Wanita itu pun beralih menuju basement. Meski situasi gelap, dia nekat pergi demi menyelesaikan pekerjaannya.
“Aku yakin, harusnya ada disekitar sini,” gumamnya mencari sakelar utama.
Maniknya melebar begitu menemukan pembangkit listriknya. Annelies membuka penutup luar dan melihat banyak tuas pembangkit.
Tanpa diduga, Annelies mendengar suara langkah seseorang dari belakang. Dia sontak berpaling dan mengarahkan senter ponselnya ke sumber suara.
“Siapa di sana?!” decaknya waspada, tapi tidak ada orang.
Leher Annelies menegang, jantungnya berdegup lebih kencang seiring irisnya yang memindai sekitar. Saat dia beralih ke sakelar utama lagi, mendadak ada seorang lelaki yang membekap mulutnya. Annelies memberontak, dia tak bisa melihat jelas karena situasi gelap dan lelaki itu berusaha mencekal kedua tangannya.
“Ugh!” Annelies menginjak kaki lelaki itu sekuat tenaga dan menyikut ulu hatinya.
Begitu berhasil lepas, dia segera lari meninggalkan basement.
‘Sial! Siapa dia sebenarnya?!’ batin Annelies dengan napas terengah-engah.
Dia mati-matian menuju lantai satu, tapi karena suasana yang gelap, dia tak sadar menabrak sesorang.
“Ahh!” Annelies memekik.
Dirinya berusaha menjauh, tapi orang itu menahan tangannya.
“Diamlah,” bisiknya.
Annelies sontak melebarkan maniknya saat mengarahkan senter ke wajah orang tersebut.
“Dan Theo?!” Leher Annelies menegang.Alih-alih menjawab, pria itu langsung menarik Annelies bersembunyi di balik dinding.“Dan Theo, kenapa kau—”“Sstt … dia akan mendengarnya,” sahut Dan Theo menutup mulut Annelies saat lelaki misterius tadi celingukan di lobi.Manik Annelies kembali melebar ketika lelaki itu berjalan ke arah mereka. Dia kian cemas, dan Theo menyadari itu. “Diam dan bersembunyilah di sini,” bisik Theo menenangkan.Tanpa menunggu sahutan Annelies, dia langsung berbalik dan memukul wajah lelaki misterius tadi hingga terhuyung.“Argh, brengsek!” umpat lelaki itu kesal.Dia menyipit, tapi tak bisa melihat wajah Dan Theo dengan jelas.“Siapa kau? Beraninya ikut campur urusanku!” sambungnya geram.Dan Theo menghampirinya, tapi lelaki itu mengeluarkan belati dan melayangkannya ke arah Theo. Beruntung Dan Theo berhasil menghindar, lalu dengan cepat menonjok wajah lelaki tadi lebih keras.Darah menggelenyar dari sudut mulut lelaki tersebut. Dengan geram dia menggenggam bela
Annelies membuka pintu lebih lebar usai beberapa saat dan masuk bersama Dan Theo.“Tempat ini agak berantakan, aku belum merapikan semuanya,” tutur wanita itu yang lantas melirik sofa. “Hanya ada satu ranjang, apa kau tidak masalah tidur di sana?”Alih-alih menjawab, Dan Theo malah balik bertanya, “apa hal seperti itu sering terjadi?”Leher Annelies menegang saat Dan Theo membahas terror tadi. Itu memicu sensasi empedu naik ke tenggorokannya dan membuatnya mual.“Ini baru pertama kali,” sahutnya dengan manik gemetar.Dia meraih bantal dan selimut, lalu menyerahkannya pada Dan Theo. “Kau bisa memakainya.”Pria itu hanya diam, tapi bisa melihat jelas bahwa Annelies masih sangat terkejut. Bahkan ketika wanita itu tidur, Dan Theo mendengar dia merintih.‘Dia mengigau?’ batin pria tersebut yang lantas bangkit dari sofa.Dirinya memeriksa Annelies yang mengigil di ranjang.‘Demam?’ geming Dan Theo saat menyentuh dahi wanita itu.Ya, tubuh Annelies sangat panas, mulutnya terus merisik dan me
“Apa ini jelas untuk kalian?!” tukas Annelies saat menarik diri.Sorot matanya yang tajam membuat semua wartawan diam. Bahkan Dan Theo hanya tersenyum miring melihat langkah berani istrinya ini. Satu tindakan Annelies, akan menggilas rumor buruk kesehatan jiwanya, sekaligus pengumuman perang pada Logan.“Mari, suamiku. Kita harus menetapkan tanggal dan mengurus resepsi pernikahan!” decaknya merengkuh lengan Dan Theo.“Tolong permisi,” tutur pria itu membelah kerumunan.Para wartawan itu mundur, tapi masih haus berita.“Nona, kalau begitu tolong beritahu kami tanggal dan lokasi pernikahan Anda nanti!”“Benar, Nona. Tolong katakan juga, apa keluarga Langford merestui penikahan Anda?” tanya Wartawan sambil mengejar Annelies.Seorang lainnya bahkan menghadang dan bertanya, “Jadi, apa Nona Samantha bohong soal penyakit mental Anda?”Annelies tetap bungkam, tapi para wartawan itu berdesakan dan mendorongnya hingga hampir jatuh. Beruntung Dan Theo memeganginya, hingga Annelies tak sampai amb
“Aku sangat muak, tapi malam ini kita harus datang ke mansion Langford!” Wajah Annelies berubah masam usai mendapat telepon dari kuasa hukum mendiang Feanton. Dirinya menatap sang suami, seraya melanjutkan. “Dan Theo, apapun yang mereka katakan nanti, kau tidak perlu meladeninya. Mereka lebih gila dari pasien rumah sakit jiwa!”Pria itu menaikan sebelah alisnya sebagai respon. Dan malamnya, Annelies benar-benar datang bersama Dan Theo ke mansion yang belum lama ditinggalkannya. Dia mengenakan dress formal hitam yang tampak elegan, berjalan menggandeng Dan Theo dengan setelan jas warna senada. ‘Ayah, aku tidak tahu apa maksudmu memberiku tanggung jawab besar ini. Tapi aku yakin, Ayah pasti punya tujuan ‘kan?’ batin Annelies mengingat mendiang Feanton kala melewati rumah kaca, tempat ayahnya biasa merawat bonsai.Mereka menuju ruang keluarga di bangunan utama. Di sana, semua anggota Langford sudah berkumpul.“Astaga, bukankah pertemuan ini hanya untuk anggota keluarga Langford? Kenap
Dan Theo mendekap Annelies, lalu berguling ke samping tepat saat Dave menghantamkan batu ke arahnya. “Brengsek!” Dave mengumpat saat mereka berhasil menghindar. Dia buru-buru lari layaknya pengecut, begitu Dan Theo hendak mengejarnya. Namun, Annelies menahan lengan Dan Theo seraya berkata, “aku ingin pulang.” Dan Theo tahu Annelies sangat terkejut, jadi dirinya pun mengantar sang istri kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan wanita itu hanya bungkam, itu membuat Dan Theo jadi bertanya-tanya. “Aku akan menemanimu lagi malam ini,” tutur Dan Theo melirik Annelies sekilas. “Tidak perlu, kau istirahatlah di rumah karena besok mulai pemotretan,” sahut Annelies tanpa berpaling padanya. Saat tiba di apartemennya, Annelies melihat bekas cekikan Dave yang membuat lehernya merah. ‘Kak Dave, apa kau benar-benar ingin membunuhku?’ batinnya menatap diri di cermin. Annelies menyugar rambutnya, lalu menarik resleting belakang dress-nya untuk ganti pakaian. Namun, tiba-tiba saja ad
Annelies menelan saliva berat, lalu berkata, “bu-bukankah kau ada di pihakku?”“Maksudku bukan sebagai musuh,” sahut Dan Theo menaikkan sebelah alisnya.“Lalu?!” Dagu Annelies terangkat, kini dia waspada pada Dan Theo. Pria itu malah menjulurkan wajahnya hingga hidungnya nyaris bertumbukan dengan Annelies. “Aku juga seorang pria, Annelies. Kau tidak takut aku melakukan sesuatu padamu?” bisik Dan Theo yang memicu manik Annelies selebar cakram.Wanita itu baru sadar kalau pakaiannya sangat terbuka. Dia buru-buru menutup tubuhnya dengan outer lingerie tipis itu dan berdehem canggung. “Ma-maaf, aku lupa kalau kita tinggal bersama,” tutur Annelies kikuk. Irisnya berputar, lalu melanjutkan. “Aku sangat mengantuk, aku akan tidur sekarang.”Wanita itu segera beranjak menuju kamarnya. Dan Theo melipat tangan ke depan dada, dia terus mengawasi punggung Annelies menjauh sampai masuk ke kamar.‘Menarik,’ batinnya menyeringai samar.Sementara di kamar, Annelies tak hentinya merutuki diri sendi
“Dasar iblis! Beraninya kau menikah setelah membunuh putriku, hah?!” decak wanita paruh baya yang memicu semua orang tercengang.Bahkan Annelies sendiri tak mengerti dan bertanya bingung. “Apa maksud Anda?!”“Jangan pura-pura bodoh, sialan!” Wanita paruh baya itu menyambar sambil melempar telur busuk lagi ke arah Annelies.Beruntung Dan Theo lekas menghalangi dan memeluk Annelies, hingga telur itu mengenai punggung lebarnya.Dia melihat Annelies memejam tegang, lalu bertutur, “kau tidak apa-apa?”Annelies perlahan membuka matanya dan lantas mengangguk. Namun, Dan Theo tau bahwa istrinya ini sangat terkejut. Terlebih ada banyak tamu penting dan media di sini.Pria tersebut menoleh pada para penjaga keamanan seraya berkata tegas. “Bawa pergi wanita itu!”“Baik, Tuan!”Namun, belum sempat penjaga itu mengusir wanita paruh baya tadi, kini seorang lelaki berkemeja hitam dan beberapa orang membawa poster wajah Annelies yang dicoret-coret, menerobos aula.“Apa-apaan ini?!” Para tamu berdiri
“Anda pasti salah. Mengapa tiba-tiba Tuan Morgan resign?!” tukas Cloe tak percaya.Jelas sekali itu meragukan, sebab Morgan adalah kepala produksi sejak pabrik L&F Cosmetic berdiri. Dia sangat loyal pada perusahaan dan tidak punya catatan buruk selama bekerja.“Beliau menyerahkan surat resign-nya pagi tadi, tapi kami semua tidak tahu alasan beliau mengundurkan diri, Nona,” sahut Staff pabrik itu.Cloe mengernyit, lalu bertanya, “selain Tuan Morgan, siapa yang bertanggung jawab atas bahan dasar produksi?”“Selama ini hanya Tuan Morgan yang menanganinya, Nona. Beliau tidak memiliki asisten,” balas Staff tadi yang kian membuat Cloe buntu.Namun, hal ini membuatnya jadi curiga. Seolah kepala produksi itu menghindari masalah tepat saat skandal besar menyeret perusahaan.“Tunjukan di mana ruangan Kepala Produksi,” tutur Cloe kemudian.“Baik, mari ikuti saya, Nona.” Staff tadi lantas memandu Cloe masuk.Sementara di kantor polisi metropolitan Linberg, Annelies sedang duduk di ruang interogas
“Aku yang akan membawa keranjang ini untuk Bibi Cloe!” Gadis kecil itu berujar tegas. Dia berbalik, bermaksud pergi. Tapi Ditrian langsung menahan bahunya, hingga anak perempuan tadi berhenti. “Aku yang melihatnya lebih dulu. Jadi berikan padaku!” tukas Ditrian dengan tekanan di akhir katanya. Lawan bincangnya menoleh dan lantas membantah, “kau tidak dengar? Keranjang bunga untuk anak perempuan. Memang kau perempuan?!”Tangannya menepis pegangan Ditrian, lalu mengamati anak laki-laki itu sambil tersenyum miring. “Yah … karena kau merengek terus, kau memang mirip anak perempuan,” ujarnya yang lantas menyodorkan keranjang bunga itu. “Ambillah kalau kau mau!”Alih-alih meraihnya, Ditrian justru bungkam seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana. Ya, dia pernah melihat Dan Theo melakukan itu saat bicara dengan bodyguardnya.“Anak kecil, siapa namamu?” Ditrian bertanya penasaran.“Hah! Anak kecil?!” Gadis tadi menyahut sambil merapatkan alis. “Aku saja lebih tinggi darimu. Beraninya
“Hah!” Annelies bergegas mendorong Dan Theo agar menjauh darinya. Meski gerakan itu tiba-tiba, tapi Dan Theo bisa menjaga keseimbangan tubuhnya hingga tak sampai terhuyung. ‘Aish!’ Pria tersebut mendesis dalam batin sambil mengusap dagunya. “Ada apa dengan wajah Mommy? Apa Mommy sakit?” Ditrian bertanya dengan polosnya saat mengamati ekspresi buncah sang ibu. Annelies seketika mengubah iras mukanya. Dia tersenyum, sambil membenarkan posisi dasi kupu-kupu kecil yang berada di kerah putranya. “Mommy tidak apa-apa, Ian,” tukas Annelies yang kini berjongkok setinggi putranya. “Oho … putra Mommy sangat tampan dengan pakaian ini!” Ya, bocah lima tahun itu memang tampak menawan. Terlebih caranya melirik dan berucap sangat mirip Dan Theo. Sungguh menggemaskan. Tangan mungil Ditrian menjulur, coba memeriksa kening Annelies di hadapannya. “Tubuh Mommy tidak panas. Mommy tidak demam,” katanya. Sial, tindakan anak laki-laki itu benar-benar di luar bayangan Dan Theo. Dia yang sejak tadi me
***San Carlo, musim semi.“Dan Theo, lihat aku. Apa gaun ini cocok untukku?” Annelies bertanya sambil menyelipkan anakan rambut ke telinga.Sang suami yang tengah menata dasi di depan cermin, lantas mengangkat pandangan. Dari pantulan kaca, jelas sekali istrinya tampak memesona. Tapi perhatian pria itu seketika terganggu, saat mengamati belahan dada Annelies yang terpampang jelas.“Ini gaun karya Fashion Designer terkenal Jenny Shu. Aku beruntung bisa mendapatkan edisi terbatas dari koleksi ‘Cinta Musim Panas’ ini!” sambung Annelies masih menantikan pendapat suaminya.Dan Theo menarik seringai tipis, lalu menimpali pelan. “Jenny Shu, ya? Sepertinya aku harus mendatangi Fashion Designer itu dan mengajarinya cara membuat pakaian dengan benar!”“Heuh? Kau bilang apa?” Annelies mengernyit karena tak mendengar kata-kata Dan Theo dengan jelas.Sang suami kini berbalik. Dia mendekati Annelies dengan raut wajah datar. Irisnya mengamati Annelies dari atas sampai bawah dengan serius.“Gaunnya
Dan Theo meraih tangan Annelies sembari berujar, “kau akan tau setelah melihatnya, istriku.”Dia pun menarik Annelies mangkir dari belakang vila Serena itu. Annelies jadi kian penasaran sebab Dan Theo membawanya keluar area vila.“Dan Theo, sebenarnya kita mau ke mana?” Annelies bertanya sambil membenarkan cardigannya yang melorot.Sang suami yang melihatnya jadi menghentikan langkah. Dia membantu wanita itu merapikan pakaiannya yang tipis. Dia menilik sampai ke kaki istrinya dan menyadari bahwa Annelies hanya mengenakan sandal rumah.Tanpa menjelaskan tempat tujuannya, Dan Theo malah berbalik lalu berjongkok di depan Annelies.“Naiklah, istriku,” katanya yang bermaksud menggendong Annelies ke punggungnya.“Aku bukan anak kecil!” sahut sang wanita tersenyum miring.Akan tetapi Dan Theo tetap mempertahankan posisi itu, hingga membuat Annelies naik ke punggungnya.“Jangan bilang aku berat!” Annelies mendecak sebelum suaminya tersebut protes.Dan Theo tersenyum miring, lalu menimpali, “si
“Istriku.” Dan Theo memanggil selaras dengan langkahnya yang kini mendekati Annelies.Tangannya merengkuh pinggang wanita itu, lalu bertanya, “kau menyukainya? Karena waktunya singkat, kami hanya menata lampu-lampu yang sudah ada.”Annelies memindai sekitar, sepasang manik hazelnya berbinar melihat beberapa lampion berbentuk panjang khas Ceko yang terpajang di beberapa pagar. Ada juga yang menggantung di dekat taman. Sungguh, tempat itu semakin memukau dan suasana pun berubah hangat.“Sangat indah, suamiku.” Annelies membalas saat menoleh pada Dan Theo.“Setiap akhir musim panas, ada festival delle Lanterne. Orang-orang Ceko akan menerbangkan lampion seperti itu di pinggir pantai.” Serena yang berada di belakang, kini buka suara.Annelies beralih menatapnya, sembari bertanya, “benarkah? Aku baru mendengarnya, Ibu.”“Ya, sebab itu Ibu selalu menyiapkan banyak lampion saat mendekati hari festival. Kalian beruntung datang sebelum akhir musim panas. Nanti kita semua bisa datang ke festiv
“Kaelus? Apa yang terjadi pada wajahnya?” Cloe berujar dengan alis bertaut. Annelies yang mengerti kecemasannya pun mundur, seraya berkata, “kalian bicaralah, kami akan masuk dulu.”Begitu lawan bincangnya mengangguk, Annelies dan yang lainnya beranjak ke dalam vila. Serena berjalan di depan sambil menggendong Ditrian.Tapi saat tiba di dekat pintu, dia lantas bicara pada anak buahnya, “tambah penjagaan di vila ini, terutama malam hari!”“Baik, Ketua!” balas anteknya sigap. Sementara di luar, Cloe menghampiri Kaelus dengan iras muka cemasnya. “Kau terluka?” katanya saat berhenti di hadapan pria tersebut.Bukannya menimpali dengan ucapan, Kaelus justru memeluk Cloe dengan hangat. Dekapannya semakin erat seakan menyalurkan seluruh rindu yang tertahan berbulan-bulan.“Kaelus, kau dengar aku? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa wajahmu jadi seperti ini?” tukas Cloe lagi.“Ehei … kita baru bertemu, tapi kau sudah mengomeliku?” sahut pria itu protes.Cloe mengembuskan napas panjang, tang
“Dan Theo ….” Annelies berpaling pada sang suami.Maniknya yang gemetar seakan meminta kepastian pria itu bahwa dirinya tidak salah lihat.“Ya, istriku. Bukankah kau merindukan beliau?” tutur Dan Theo menaikkan kedua alisnya.Annelies mengerjap. Dia nyaris tak percaya, tapi pengelihatan dan ucapan Dan Theo benar-benar nyata.“Mari kita temui Ibu mertua!” Pria itu melanjutkan katanya sambil memandu sang istri melangkah ke depan.Mereka pun berjalan mendekati Serena yang kini berada di antara antek-antek geng Ceko. Wanita itu berdiri dengan suit putih tulang dan syal elegan yang melingkari lehernya.Benar, setelah berbulan-bulan menghilang akibat insiden penembakan di dermaga De Forte, akhirnya Serena kembali. Semua orang berpikir dirinya sudah tiada, tapi anak buah Velos berhasil menemukannya. Dan selama Annelies di Sociolla, Serena telah menerima perawatan hingga berhasil pulih.Serena menarik sudut bibirnya tipis begitu Annelies dan sang suami berhenti di hadapannya.“Lama tidak bert
“Menurutlah selagi aku belum berubah pikiran, Theodore!” Anthony berujar dengan tatapan tegas.Dan Theo tahu, mustahil jika melawan. Bahkan mungkin akan membuat posisinya dan Annelies dalam bahaya karena hal ini memang perjanjian awal.Dengan rahang berubah ketat, Dan Theo pun berujar, “baiklah, aku akan pergi bersama Annelies. Tapi Ayah harus menepati janji. Jangan pernah mengganggu kami lagi!”“Apa kau pernah melihatku berkhianat?!” sambar Anthony yang lantas meraih cerutunya.Tangan Dan Theo mengepal geram, sampai kapan pun dia tak rela meninggalkan satu putranya bersama Anthony.‘Tunggu Daddy, Dylan. Suatu hari, Daddy pasti menjemputmu!’ batin pria itu penuh tekad. Dirinya lantas menunduk hormat di hadapan sang ayah. Tanpa bertukar suara lagi, Dan Theo pun mangkir dari ruangan tersebut.Sialnya, Eugen masih menunggu di luar. Rasanya Dan Theo ingin menghajarnya, tapi Annelies pasti sudah menunggu. Dia tak akan membuang waktu untuk hal yang sia-sia.Namun, bukannya membiarkan Dan T
“Mohon maaf, Tuan Theodore. Tuan Eugen sudah membawa pergi bayi pertama Anda!” tukas sang Perawat menunduk.Dan Theo yang mendengarnya pun mengernyit geram. Belum juga Annelies dan dirinya menggendong bayi itu, tapi sang ayah sudah buru-buru mengambilnya. Bukankah bayi itu butuh Annelies untuk menyusu?‘Sial! Kenapa Ayah sampai bertindak seperti ini? Anak itu masih bayi dan butuh ibunya!’ batin Dan Theo meradang dalam dada.Dirinya tak sanggup menyampaikan perkara ini pada sang istri. Terlebih kondisi Annelies masih lemas. Dia tak mau wanita itu cemas, bahkan kesehatannya menurun jika memikirkan bayi pertamanya.‘Sebaiknya aku tidak membahas bayi dulu,’ geming Dan Theo dengan alis berkedut.Dia akhirnya kembali mendekati Annelies dan berupaya mengalihkan perhatian.“Istriku, para Perawat akan memandikan bayi-bayi kita dulu. Kau tenang saja, bayi-bayi kita sangat tampan dan memiliki mata yang indah sepertimu,” tutur Dan Theo merengkuh tangan Annelies.Sang wanita tersenyum binar, semba