“Kapan nikah, Bel?”
Pertanyaan yang kerap didengar oleh Abel, namun selalu diabaikannya.
Gabella Anindya, dosen di salah satu universitas negeri di kota besar. Abel, kerap disapa, kini sudah berada di usia 29 tahun, dimana dirinya masih melajang dan sangat menikmati masa mudanya.
Tetapi, kali ini pertanyaan ‘kapan nikah’ dari sang Ayah membuatnya berpikir ribuan kali untuk memulai hubungan yang lebih serius.
“Tapi Abel sudah putus dengan Mas Anton, Ma. Tidak bisa secepat itu menikah,” tutur Abel kepada sang Mama, yang memintanya untuk segera menikah.
“Kondisi Ayah sudah semakin parah, Bel. Hanya kamu seorang, anak kami yang belum menikah,” ujar Mamanya, seolah tidak peduli dengan status Abel. “Mama bisa menjodohkan kamu dengan anak teman Mama—”
“T—tidak perlu, Ma. Abel akan meminta segera dilamar oleh pacar Abel,” sahut Abel memotong omongan sang Mama.
“Kamu sudah memilki pacar lagi, Bel?”
“Hmmm, n—nanti … Abel kenalkan, ya … belum lama ini kami berkencan,” balas Abel menyeringai.
***
Permintaan orang tuanya membuat Abel terus kepikiran. Ia kerap melamun dan salah mengoreksi hasil kuis mahasiswanya. Abel benar-benar tidak tahu, harus menikah dengan siapa agar dapat membahagiakan Ayahnya yang kini sudah terbaring lemah di rumah sakit.
Mama
[Bel, Ayah kritis. Jika pacarmu ragu, biar Mama yang bicara dengannya]
Abel menutup ponselnya, tidak membalas pesan dari Mamanya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, tidak tahu harus berbuat apa.
‘Bagaimana ini …?’ rintihnya dalam hati.
Tok tok tok
Pintu ruangannya diketuk.
Abel menurunkan tangan dari wajahnya dan mengusap air mata yang membasahi pipinya. Ia memastikan kalau rautnya tidak terlihat menyedihkan di hadapan mahasiswanya.
“Masuk!” sahut Abel, memberikan izin kepada mahasiswa yang ingin menemuinya.
Cklek
Seorang mahasiswa yang jarang terlihat oleh Abel, memohon izin untuk menghadapnya.
“Siapa namanya?” tanya Abel dengan senyum sumringahnya.
“Rangga, Bu,” jawab mahasiswa itu dengan menunduk.
“Silakan duduk. Ada perlu apa?”
Rangga duduk dan memberikan secarik kertas kepada Abel. Tanpa bertanya lagi, Abel segera membaca isi dari surat itu.
“Penundaan biaya semester?” tanya Abel mengernyit.
Rangga mengangguk, menatap ragu pada Abel.
“Ada apa? Saya jarang melihatmu ada di kelas dan sekarang datang untuk penundaan biaya semester.”
Rangga melipat kedua bibirnya, seperti bingung, bagaimana harus menceritakannya.
“S—saya … seorang yatim. Dan ibu saya … harus membiayai adik-adik saya yang lainnya. Saya pikir, saya akan mendapatkan beasiswa, tapi ternyata … tidak semudah itu,” tutur Rangga, membuka suara.
“Kamu bekerja?” tanya Abel.
Rangga mengangguk.
“Part time. Untuk kebutuhan sehari-hari saya … tapi masih kurang jika harus membayar uang semester saat ini, Bu,” ujar Rangga.
Abel menggigit bibir bagian bawah, seolah ada yang ingin disampaikannya.
“Bagaimana, Bu? Apa bisa Ibu tanda tangan di surat tersebut?” tanya Rangga.
“Rangga, saya bisa membiayai kuliahmu, bahkan sampai lulus,” ujar Abel, tidak menjawab pertanyaan dari mahasiswanya.
“B—bagaimana, Bu?”
“Menikahlah dengan saya. Dan saya akan membiayai kuliahmu sampai lulus.”
***
Satu minggu kemudian ….Pernikahan yang diadakan secara privasi, yang hanya mengundang tokoh agama untuk men-sahkan pernikahan mereka, juga kedua orang tua Abel dan Rangga yang turut mendampingi. Ya, pada akhirnya Abel dan Rangga memutuskan untuk menikah dengan sebuah perjanjian kontrak.Abel hanya meminta Rangga untuk tampil sempurna menjadi suaminya di depan keluarganya, terutama sang ayah, selain itu mereka hanyalah sebatas dosen dan mahasiswanya. Rangga hanya bisa menurutinya saja demi biaya kuliahnya.“Maaf Rangga, apartemen saya kecil,” tutur Abel segera membenahi ruang tamu yang berantakan dengan bungkus bekas camilannya. “S—saya buru-buru ke rumah sakit … jadi belum sempat membersihkannya,” lanjutnya menyeringai, malu.
“Tidak apa-apa, Bu. Saya bantu membersihkannya, ya,” balas Rangga dengan senyuman, ia membantu Abel membersihkan dan merapikan ruang tamu apartemennya.
Rangga melanjutkan merapikan ruang tamu tersebut, sementara Abel pergi ke kamarnya yang berada di lantai atas, untuk mandi.
“Rangga, kamu bisa pakai kamar mandi setelah saya mandi, ya.”
“B—baik, Bu.”
Rangga menyelesaikannya dengan cepat dan dapat beristirahat setelah lelah seharian berada di rumah sakit dan membenahi barang-barangnya untuk ia pindahkan ke apartemen Abel.
Ting
Sebuah pesan masuk dan membuat Rangga tergerak untuk mengintip pemberitahuan yang terpampang di layar ponselnya.
“Hanin?” gumamnya segera mengambil ponsel miliknya dan membalas pesan dari gadis bernama ‘Hanin’.
Hanin
[Kamu sedang apa?]
[Kenapa tidak ada kabar seharian?]
Rangga
[Aku ada urusan dengan wali dosen, jadi tidak sempat mengabarimu]
[Kamu sedang apa? Sudah makan?]
Hanin
[Sudah]
[Kamu tidak bekerja malam ini?]
Rangga
[Aku mengambil izin selama beberapa hari]
“….”
Tidak ada jawaban lagi dari Hanin, ia sedang offline.
Huft ….
Rangga mendengus, bukan karena lega.
Tetapi ia harus menghadapi masalah baru, demi uang kuliahnya yang sudah dijamin sampai lulus.
“Rangga! Kamu bisa pakai kamar mandinya, saya sudah selesai!” seru Abel dari kamarnya dan membuat Rangga segera mengambil handuk yang masih berada di dalam koper miliknya.
“Iya, Bu!” sahut Rangga, segera menuju ke lantai atas apartemen Abel.
Langkah Rangga terhenti ketika melihat lantai atas tersebut hanya berisi kamar mandi dan sebuah ruangan tanpa sekat apapun.
“Ouh, Rangga. Ini kamar saya. Besok saya akan memasang tirai. Jadi kalau kamu ingin ke kamar mandi, kamu tidak perlu merasa sungkan,” ujar Abel masih mengenakan baju handuknya.
“I—iya, Bu … tidak masalah,” balas Rangga tersenyum.
“Kamu tidur di sofa, tidak masalah kan? Saya hampir tidak pernah kedatangan tamu. Jadi … kamu bebas memakai lantai satu apartemen saya,” tutur Abel, lagi.
“Iya, Bu. Ini saja saya sudah sangat berterima kasih.”
***
Rangga merasa canggung. Sangat canggung.
Ia harus sarapan bersama dengan Abel dan menikmati masakan Abel yang tak lain adalah dosen dan juga istrinya.
“T—te—rima, kasih,” tuturnya gagap.
Abel baru saja menyendokkan nasi goreng untuk Rangga.
“Sebelum pergi ke kampus, tolong kamu baca dulu surat perjanjian ini, Rangga,” ujar Abel memberikan secarik kertas berukuran A4 kepada Rangga.
Pada surat itu berisikan bahwasanya Rangga hanyalah suami rental yang Abel sewa jasanya hanya selama Rangga menempuh ilmu di kampus tempatnya bekerja. Setelah Rangga lulus, mereka bisa bercerai dengan kembali menjalani kehidupannya masing-masing.
“A—apa ini harus ditanda tangan sekarang?” tanya Rangga.
“Nanti malam saja. Sekarang kamu sarapan dulu, sebelum pergi ke kampus. Maaf, saya tidak bisa masak lebih dari ini saat pagi. Saya tidak ingin telat dan membuat mahasiswa menunggu,” ujar Abel.
Rangga tersenyum.
Ya. Hanya bisa merespon apapun yang diucapkan oleh Abel dengan senyuman.
‘Padahal, seluruh mahasiswa akan senang jika dosen datang terlambat atau tidak datang sama sekali,’ batin Rangga ingin terkekeh.
“Mulai sekarang, jangan ambil part time di waktu kuliah. Kamu boleh bekerja di malam hari, tapi tidak di jam kuliah. Saya membiayai kuliah kamu dan saya ingin kamu mendapatkan nilai yang baik, Rangga,” tutur Abel memberikan ultimatum kepada mahasiswanya, yang kini sudah menjadi suaminya.
“B—baik, Bu … saya akan datang kuliah setiap hari dan hanya bekerja di malam hari. Maaf, jika selama ini saya sering bolos kuliah, termasuk di mata kuliah Ibu,” ujar Rangga, malu dan juga merasa bersalah.
“Setelah ini, apa kamu ingin berangkat kuliah bersama saya?”
“Bagaimana, Bu? Apa bisa Ibu tanda tangan di surat tersebut?” tanya Rangga.“Rangga, saya bisa membiayai kuliahmu, bahkan sampai lulus,” ujar Abel, tidak menjawab pertanyaan dari mahasiswanya.“B—bagaimana, Bu?”“Menikahlah dengan saya. Dan saya akan membiayai kuliahmu sampai lulus.”***“Mulai sekarang, jangan ambil part time di waktu kuliah. Kamu boleh bekerja di malam hari, tapi tidak di jam kuliah. Saya membiayai kuliah kamu dan saya ingin kamu mendapatkan nilai yang baik, Rangga,” tutur Abel memberikan ultimatum kepada mahasiswanya, yang kini sudah menjadi suaminya.“B—baik, Bu … saya akan datang kuliah setiap hari dan hanya bekerja di malam hari. Maaf, jika selama ini saya sering bolos kuliah, termasuk di mata kuliah Ibu,” ujar Rangga, malu dan juga merasa bersalah.“Setelah ini, apa kamu ingin berangkat kuliah bersama saya?”“B—bareng, Ibu? Satu mobil dengan Ibu?” tanya Rangga memastikan.“Tidak. Kita keluar apartemen bersama, karena saya tidak memiliki kunci duplikat. Jika kam
“Hmmm … Rangga, bagaimana kalau—”“Rangga.”Rangga dan Hanin menoleh ke arah sumber suara, yang membuat Hanin menghentikan ucapannya.“B—bu Abel,” ucap Rangga terlihat gugup.“Bagaimana tugasnya?” tanya Abel pada Rangga, dengan lirikkan mata yang ditujukan untuk Hanin.“Sedang proses, Bu. Kalau sudah, kirimkan ke email saya segera,” pinta Abel. “Dan jangan lupa untuk makan.”Abel berlalu, tidak berbasa-basi lagi.“Hanin, aku harus pergi ke perpustakaan. Kamu bisa makan duluan, ya.”***Tok tok tokIa mengetuk pintu lebih dulu dan menunggu Abel membukakan pintu untuknya.Tok tok tokIa mengetuknya lagi, setelah beberapa saat menunggu.Tidak ada kehadiran Abel untuk membukakan pintu.‘Bisa-bisa aku tidur di depan pintu,’ keluhnya dalam hati.CklekPintu terbuka dan Rangga segera masuk.“Bu, maaf … saya pulang terlalu larut dan membuat ibu menunggu terlalu la … ma—”Rangga diam, terperanga melihat Abel.“B—bu … A—abel?”“Apa setiap hari kamu akan pulang larut seperti ini?”Rangga masih d
“Kerja dimana, Pak?” tanya petugas itu lagi.“S—saya hanya bekerja part time, sepulang kuliah,” jawab Rangga.“Lanjut S2, ya? Ingin menjadi dosen juga seperti Bu Abel.”“S—saya … masih semester satu … dan sedang mengambil S1, Pak,” ujar Rangga, sebenarnya malu untuk mengakui itu.“Kamu … sebegitu terpesonanya dengan Bu Abel, sampai rela menikah muda? Dia memang primadona di gedung ini,” bisik petugas tersebut.“Pak, sudah jangan mengganggunya. Lekas urus dan segera ganti mode pintu apartemen saya,” timpal Abel yang sejak tadi hanya diam, namun mendengarkan pembicaraan mereka.Rangga dan petugas itu hanya menyeringai, menanggapi ucapan Abel.“Banyak yang mengincar Bu Abel. Kamu harus menjaganya baik-baik, ya. Tunjukkan kalau Bu Abel ini adalah milikmu.”***“Rangga? Kamu sedang chat dengan siapa?”Rangga tersentak dan tidak sengaja menjatuhkan ponselnya ke lantai.“Rangga, saya hanya bertanya. Kenapa kamu sekaget ini?” tanya Abel, merasa heran.“S—saya kaget karena Ibu menegur tiba-tib
“Rangga, lain kali kamu tidak boleh seperti ini,” ucap Abel.“Hm? Seperti ini … bagaimana, Bu?” tanya Rangga tidak mengerti.“Jangan bediri di belakang saya. Berdirilah di depan atau di samping saya.”***Rangga masuk ke dalam mobil, ia menoleh pada Abel yang masih memasang raut datarnya, begitu dingin. Ia melipat kedua bibirnya, merasa memiliki salah kepada Abel.“Kenapa Rangga?” tanya Abel juga menoleh pada Rangga.“Hm?!”“Ada yang membuatmu gelisah?” tanya Abel.Rangga menggelengkan kepalanya, ia meyakinkan pada Abel kalau tidak ada yang mengganggu pikirannya serta membuat ia gelisah.Abel mengemudikan mobilnya keluar dari area kampus, untuk menuju ke sebuah pujasera yang tidak terlalu ramai pengunjung. Abel memilih makan siang di sana karena makanana di sana memiliki banyak varian menu dan juga rasanya yang lezat.Abel dan Rangga bersamaan keluar dari dalam mobilnya, mereka masuk ke area pujasera dan memilih tempat duduk sesuai yang diminta oleh Abel.“Silakan,” ucap salah satu pe
“Tujuan hidupku sebenarnya apa?” gumam Abel, bertanya pada dirinya sendiri. Ia tersenyum, meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja dengan keadaan yang seperti itu.TingNada pesan dari ponsel Abel membertahu adanya pesan. Pesan itu berasal dari Rangga.Rangga[Maaf tadi ibu belum sempat menjelaskan tugas untuk saya]***Rangga pulang lebih awal dari biasanya. Dia memilih untuk tidak bekerja dan segera pulang. Niatnya pulang cepat yakni ingin menyiapkan makan malam untuknya dan juga Abel. Dia juga ingin mengerjakan tugas kuliahnya, agar saat akhir pekan dia bisa fokus mempelajari pekerjaan Abel yang akan dialihkan kepadanya.Waktu menunjukkan pukul sembilan malam dan Abel tak kunjung pulang. Rangga mulai cemas dan menghubungi Abel. Dia tahu kalau Abel hanya mengambil perkuliahan pagi saja, dan seharusnya sudah pulang di jam enam sore. Sayangnya Abel tidak menerima panggilan dari Rangga dan membuat Rangga semakin cemas. Rangga pun segera bersiap dan tak lupa membawakan hasil masakann
“Selamat datang, ada yang bisa di—”“Rangga ada?” tanya Hanin menyela sambutan dari pelayan di kafe tempat Rangga bekerja.“Ouh, Rangga. Hmmm Rangga … tidak bekerja hari ini,” jawab pelayan tersebut.“Oh, baiklah. Terima kasih ya,” ucap Hanin kemudian berlalu pergi dari kafe itu.“Ternyata hanya mencari Rangga, bukan pelanggan yang hendak membeli. Eh, apa tadi itu pacar Rangga yang sering datang berkunjung?”***“Bukankah sudah diperingatkan untuk jangan terlalu lelah dan banyak pikiran?”“Aku seorang dosen, bukan penganggur. Bagaimana mungkin aku tidak lelah dan tidak memiliki sesuatu untuk dipikirkan.”“Gabella, aku bisa mengganti dokter mu jika kau tidak menurut.”“Iya iya, aku akan menurut dengan tidak memikirkan banyak hal dan tidak terlalu memforsir pekerjaan.”“Sudah seharusnya begitu, Abel. Kau dari dulu tidak berubah, ya … selalu saja membuat orang kesal dan gemas.”Abel hanya tersenyum mendengar ucapan dokter yang tak lain adalah temannya sendiri.“Bel, apa kau yakin tidak i
“Bu, tadi saat ke rumahku, apa ibu bertemu dengan Rangga?”“Tidak. Bukannya dia kuliah?”“Benar juga,” gumamnya menyeringai.“Sudah-sudah, kamu istirahat saja sekarang. Kamu ingin pulang besok pagi, bukan?”Abel mengangguk semangat.Abel meletakkan ponselnya di meja yang ada di samping ranjang tidurnya. Dia pun memejamkan matanya, mencoba untuk tidur.‘Mau sampai kapan kamu seperti ini, Bel? Rangga bukan Anton, yang bisa kamu bohongi terus menerus.’***“Apa aku datang menjenguk ayah mertua saja? Dengan begitu, aku bisa bertemu dengan Bu Abel, bukan? Tapi … bukankah Bu Abel akan marah jika aku datang begitu saja tanpa izin kepadanya? Hmmmm, namun jika aku tidak datang, ibu mertua pasti akan berpikir kalau aku ini suami dan menantu yang tidak pengertian,” gumam Rangga, sedang mempertimbangkan apakah dia harus pergi ke rumah sakit atau tidak.Sembari Rangga berpikir untuk memutuskan akan pergi atau tidak, Rangga memilih untuk membereskan rumah yang terlihat sedikit berantakan, karena di
“Selamat pagi, Bu.”“Pagi Rangga. Ini masih sepuluh menit sebelum alarm mu berbunyi. Apa saya mengganggumu?”“T—tidak. Sama sekali tidak mengganggu. Saya hanya terbangun lebih awal saja.“Yasudah, kamu mandi saja. Saya akan menyiapkan makanan untuk kita sarapan.”“Sarapan?” tanya Rangga kaget.“Iya. Saya masih mendapat MC dari rumah sakit, jadi pagi ini kita tidak perlu sarapan nasi goreng lagi,” jawab Abel.‘Bagaimana ini? Aku sudah berjanji akan sarapan bersama Hanin,’ batinnya bingung.“Rangga?”“Saya mandi dulu, ya Bu ….” Rangga berlalu menuju ke kamar mandi yang berada di lantai dua.***Rangga menyuap sarapannya. Pagi ini Abel memiliki waktu untuk menyiapkan berbagai macam makanan karena dirinya tidak bekerja. Rangga yang sudah berjanji akan sarapan bersama Hanin pun tidak berani mengambil makanan Abel dalam porsi banyak, itu membuat Abel tersinggung dan merasa kalau masakannya tidak cocok di lidah Rangga.“Makanannya tidak enak, ya ?” tanya Abel, raut wajahnya memperlihatkan ke