“Bagaimana, Bu? Apa bisa Ibu tanda tangan di surat tersebut?” tanya Rangga.
“Rangga, saya bisa membiayai kuliahmu, bahkan sampai lulus,” ujar Abel, tidak menjawab pertanyaan dari mahasiswanya.
“B—bagaimana, Bu?”
“Menikahlah dengan saya. Dan saya akan membiayai kuliahmu sampai lulus.”
***
“Mulai sekarang, jangan ambil part time di waktu kuliah. Kamu boleh bekerja di malam hari, tapi tidak di jam kuliah. Saya membiayai kuliah kamu dan saya ingin kamu mendapatkan nilai yang baik, Rangga,” tutur Abel memberikan ultimatum kepada mahasiswanya, yang kini sudah menjadi suaminya.
“B—baik, Bu … saya akan datang kuliah setiap hari dan hanya bekerja di malam hari. Maaf, jika selama ini saya sering bolos kuliah, termasuk di mata kuliah Ibu,” ujar Rangga, malu dan juga merasa bersalah.
“Setelah ini, apa kamu ingin berangkat kuliah bersama saya?”
“B—bareng, Ibu? Satu mobil dengan Ibu?” tanya Rangga memastikan.
“Tidak. Kita keluar apartemen bersama, karena saya tidak memiliki kunci duplikat. Jika kamu ingin pergi lebih dulu atau lebih lama, kita harus mengaturnya sementara waktu,” jawab Abel.
Rangga menyeringai, malu.
‘Apa yang aku pikirkan terlalu masih terlalu jauh,’ batinnya merasa malu.
Ia sudah percaya diri, kalau Abel menawarinya tumpangan untuk ke kampus. Tetapi ternyata, bukan itu maksudnya.
“Baik, Bu ….”
Rangga melirik pada Abel, yang terlihat sedang serius dengan ponsel dan sarapannya.
‘Apa yang salah dari Bu Abel? Hingga di usianya yang sudah sangat matang, ia belum juga menikah? Dan harus melakukan nikah pura-pura seperti ini denganku. Beliau tidak jelek dan juga memiliki kehidupan yang sangat baik,’ batin Rangga ingin tahu lebih dalam lagi tentang istrinya.
“Rangga, habiskan sarapanmu. Saya sudah selesai,” perintah Abel mengakhiri sarapannya.
“B—baik Bu!”
Rangga, pria yang masih terbilang lugu, sama sekali tidak pernah terpikir olehnya akan menjadi seorang suami di usia muda. Bukan hanya menikah tanpa cinta, tetapi ia juga menikah dengan wanita yang 10 tahun lebih tua darinya.
Meski begitu, Rangga merasa baik-baik saja. Tidak risih ataupun menyesal. Hanya saja, di hari pertama pernikahannya, status dosen dan mahasiswa masih mereka bawa dalam kehidupan rumah tangga mereka.
“Ini uang makan kamu hari ini,” tutur Abel, memberikan sejumlah uang kepada Rangga. “Satu hal lagi … nanti jangan pulang terlalu larut, kunci rumah hanya satu, Rangga.”
“Iya, Bu …terima kasih … tapi untuk uang makan … saya masih ada untuk—”
“Kamu memang suami saya, yang seharusnya menafkahi istrinya. Tetapi untuk kondisi seperti sekarang ini, saya yang bertanggung jawab atas kamu.”
Rangga melipat kedua bibirnya, tidak bisa menolak dan sangat malu jika menerimanya.
“M—maaf, Bu … terima kasih. Saya terima, ya …,” balas Rangga akhirnya menerima sejumlah uang tersebut.
Abel berlalu usai mengunci pintu rumah mereka, meninggalkan Rangga yang masih berdiri di depan pintu rumah mereka, menatap punggung Abel yang berlalu menyusuri kordidor apartemen, semakin jauh dan menghilang saat pintu lift sudah tertutup.
***
“Pagi Rangga!” sapa Hanin sembari merangkul Rangga dari belakang.
Gadis yang selalu terlihat ceria itu, segera duduk di kursi, bersebelahan dengan Rangga.
“Kamu sedang belajar?” tanya Hanin, melihat heran pada Rangga yang tidak biasanya berkutik di depan laptop.
“Aku harus bekerja malam ini dan menyelesaikan tugas ini dengan segera. Kamu sudah makan siang?” tanya Rangga.
“Belum,” jawab Hanin menggelengkan kepala. “Aku menunggumu.”
“Pesanlah makananmu, aku akan menyusul usai mengerjakan tugas ini.”
“Aku menunggumu. Biar aku menemani kamu disini, ya,” ujar Hanin tersenyum, menunjukkan lesung dikedua pipinya.
Rangga tersenyum, mencubit gemas pipi Hanin.
“Kalau lapar, jangan dipaksakan, ya … kalau kamu sakit, kuliahmu bisa terbengkalai.”
Rangga kembali pada laptopnya dan meninggalkan bekas senyum Hanin yang melambat memudar.
‘Kamu masih saja tidak peka dengan perasaanmu padaku, Rangga,’ batin Hanin sedikit kecewa.
Hanin adalah teman dekat Rangga sejak masa orientasi. Bukan hanya teman dekat biasa, tetapi Rangga pernah menyatakan kalau ia ingin mendekati Hanin. Nyatanya, hingga satu semester berlalu, hubungan Rangga dan Hanin tidaklah lebih dari sekedar teman. Meski begitu, masih ada niat untuk memiliki dan menjalin hubungan dengan Hanin. Hanya saja waktunya sangat tidak tepat untuk saat ini.
Hanin diam, melihat Rangga yang sangat fokus dengan laptopnya. Ia tidak ingin mengganggu Rangga, tetapi juga tidak mungkin makan mendahului Rangga, sementara ia sudah bilang kalau ia akan menunggu Rangga selesai mengerjakan tugas.
“Hmmm … Rangga, bagaimana kalau—”
“Rangga.”
Rangga dan Hanin menoleh ke arah sumber suara, yang membuat Hanin menghentikan ucapannya.
“B—bu Abel,” ucap Rangga terlihat gugup.
“Bagaimana tugasnya?” tanya Abel pada Rangga, dengan lirikkan mata yang ditujukan untuk Hanin.
“Sedang proses, Bu. Kalau sudah, kirimkan ke email saya segera,” pinta Abel. “Dan jangan lupa untuk makan.”
Abel berlalu, tidak berbasa-basi lagi. Rangga menggigit bibir bawahnya, merasa tidak enak pada Abel, karena dipergoki sedang berdua dengan wanita lain.
“Hanin, aku harus pergi ke perpustakaan. Kamu bisa makan duluan, ya,” ucapnya kemudian berlalu bersama dengan laptopnya.
“T—tapi Ngga ….”
Rangga tidak lagi menoleh kepada Hanin.
‘Sial!’ umpatnya dalam hati.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan Rangga baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Ia segera pulang dengan menumpang kepada salah satu rekan kerjanya. Rangga merasa tidak enak pada Abel, yang harus menunggunya hingga selarut ini.
“Kamu kenapa, Ngga?” tanya Boby, dengan suaranya yang kurang jelas karena terbawa oleh angin.
“Sudah malam. Aku tidak enak dengan orang rumah, menunggu hingga selarut ini,” jawab Rangga.
“Ah kamu! Seperti memiliki istri saja, menyebut orang rumah, hahaha ….”
Rangga hanya menyeringai.
Sebenarnya, ini adalah jam wajarnya pulang kerja. Tetapi ia merasa tidak enak jika istrinya harus menunggu pintu hingga selarut ini.
Sepeda motor Boby menepi di sebuah komplek apartemen, tempat tinggal Rangga kini.
“Kamu sejak kapan kamu tinggal di apartemen, Ngga? Keren juga gaya hidupmu sekarang. Sanggup bayar bulanannya?” cibir Boby.
“Kamu, selalu saja menghina seperti itu. Terima kasih, ya. Kamu hati-hati di jalan,” ujar Rangga sembari melangkah mundur dan memberi lambaian tangan kepada Boby.
Rangga segera masuk ke dalam gedung apartemen tempat tinggalnya dan masuk ke dalam lift untuk menuju ke lantai umahnya.
Sudah sangat sepi dan sedikit seram. Tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan di apartemen di jam malam seperti ini.
Ting
Pintu lift terbuka dan Rangga segera keluar dari lift, menuju ke depan rumahnya yang terletak tidak jauh dari lift tersebut.
Tok tok tok
Ia mengetuk pintu lebih dulu dan menunggu Abel membukakan pintu untuknya.
Tok tok tok
Ia mengetuknya lagi, setelah beberapa saat menunggu.
Tidak ada kehadiran Abel untuk membukakan pintu.
‘Bisa-bisa aku tidur di depan pintu,’ keluhnya dalam hati.
Cklek
Pintu terbuka dan Rangga segera masuk.
“Bu, maaf … saya pulang terlalu larut dan membuat ibu menunggu terlalu la … ma—“
Rangga diam, terperanga melihat Abel.
“Hmmm … Rangga, bagaimana kalau—”“Rangga.”Rangga dan Hanin menoleh ke arah sumber suara, yang membuat Hanin menghentikan ucapannya.“B—bu Abel,” ucap Rangga terlihat gugup.“Bagaimana tugasnya?” tanya Abel pada Rangga, dengan lirikkan mata yang ditujukan untuk Hanin.“Sedang proses, Bu. Kalau sudah, kirimkan ke email saya segera,” pinta Abel. “Dan jangan lupa untuk makan.”Abel berlalu, tidak berbasa-basi lagi.“Hanin, aku harus pergi ke perpustakaan. Kamu bisa makan duluan, ya.”***Tok tok tokIa mengetuk pintu lebih dulu dan menunggu Abel membukakan pintu untuknya.Tok tok tokIa mengetuknya lagi, setelah beberapa saat menunggu.Tidak ada kehadiran Abel untuk membukakan pintu.‘Bisa-bisa aku tidur di depan pintu,’ keluhnya dalam hati.CklekPintu terbuka dan Rangga segera masuk.“Bu, maaf … saya pulang terlalu larut dan membuat ibu menunggu terlalu la … ma—”Rangga diam, terperanga melihat Abel.“B—bu … A—abel?”“Apa setiap hari kamu akan pulang larut seperti ini?”Rangga masih d
“Kerja dimana, Pak?” tanya petugas itu lagi.“S—saya hanya bekerja part time, sepulang kuliah,” jawab Rangga.“Lanjut S2, ya? Ingin menjadi dosen juga seperti Bu Abel.”“S—saya … masih semester satu … dan sedang mengambil S1, Pak,” ujar Rangga, sebenarnya malu untuk mengakui itu.“Kamu … sebegitu terpesonanya dengan Bu Abel, sampai rela menikah muda? Dia memang primadona di gedung ini,” bisik petugas tersebut.“Pak, sudah jangan mengganggunya. Lekas urus dan segera ganti mode pintu apartemen saya,” timpal Abel yang sejak tadi hanya diam, namun mendengarkan pembicaraan mereka.Rangga dan petugas itu hanya menyeringai, menanggapi ucapan Abel.“Banyak yang mengincar Bu Abel. Kamu harus menjaganya baik-baik, ya. Tunjukkan kalau Bu Abel ini adalah milikmu.”***“Rangga? Kamu sedang chat dengan siapa?”Rangga tersentak dan tidak sengaja menjatuhkan ponselnya ke lantai.“Rangga, saya hanya bertanya. Kenapa kamu sekaget ini?” tanya Abel, merasa heran.“S—saya kaget karena Ibu menegur tiba-tib
“Rangga, lain kali kamu tidak boleh seperti ini,” ucap Abel.“Hm? Seperti ini … bagaimana, Bu?” tanya Rangga tidak mengerti.“Jangan bediri di belakang saya. Berdirilah di depan atau di samping saya.”***Rangga masuk ke dalam mobil, ia menoleh pada Abel yang masih memasang raut datarnya, begitu dingin. Ia melipat kedua bibirnya, merasa memiliki salah kepada Abel.“Kenapa Rangga?” tanya Abel juga menoleh pada Rangga.“Hm?!”“Ada yang membuatmu gelisah?” tanya Abel.Rangga menggelengkan kepalanya, ia meyakinkan pada Abel kalau tidak ada yang mengganggu pikirannya serta membuat ia gelisah.Abel mengemudikan mobilnya keluar dari area kampus, untuk menuju ke sebuah pujasera yang tidak terlalu ramai pengunjung. Abel memilih makan siang di sana karena makanana di sana memiliki banyak varian menu dan juga rasanya yang lezat.Abel dan Rangga bersamaan keluar dari dalam mobilnya, mereka masuk ke area pujasera dan memilih tempat duduk sesuai yang diminta oleh Abel.“Silakan,” ucap salah satu pe
“Tujuan hidupku sebenarnya apa?” gumam Abel, bertanya pada dirinya sendiri. Ia tersenyum, meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja dengan keadaan yang seperti itu.TingNada pesan dari ponsel Abel membertahu adanya pesan. Pesan itu berasal dari Rangga.Rangga[Maaf tadi ibu belum sempat menjelaskan tugas untuk saya]***Rangga pulang lebih awal dari biasanya. Dia memilih untuk tidak bekerja dan segera pulang. Niatnya pulang cepat yakni ingin menyiapkan makan malam untuknya dan juga Abel. Dia juga ingin mengerjakan tugas kuliahnya, agar saat akhir pekan dia bisa fokus mempelajari pekerjaan Abel yang akan dialihkan kepadanya.Waktu menunjukkan pukul sembilan malam dan Abel tak kunjung pulang. Rangga mulai cemas dan menghubungi Abel. Dia tahu kalau Abel hanya mengambil perkuliahan pagi saja, dan seharusnya sudah pulang di jam enam sore. Sayangnya Abel tidak menerima panggilan dari Rangga dan membuat Rangga semakin cemas. Rangga pun segera bersiap dan tak lupa membawakan hasil masakann
“Selamat datang, ada yang bisa di—”“Rangga ada?” tanya Hanin menyela sambutan dari pelayan di kafe tempat Rangga bekerja.“Ouh, Rangga. Hmmm Rangga … tidak bekerja hari ini,” jawab pelayan tersebut.“Oh, baiklah. Terima kasih ya,” ucap Hanin kemudian berlalu pergi dari kafe itu.“Ternyata hanya mencari Rangga, bukan pelanggan yang hendak membeli. Eh, apa tadi itu pacar Rangga yang sering datang berkunjung?”***“Bukankah sudah diperingatkan untuk jangan terlalu lelah dan banyak pikiran?”“Aku seorang dosen, bukan penganggur. Bagaimana mungkin aku tidak lelah dan tidak memiliki sesuatu untuk dipikirkan.”“Gabella, aku bisa mengganti dokter mu jika kau tidak menurut.”“Iya iya, aku akan menurut dengan tidak memikirkan banyak hal dan tidak terlalu memforsir pekerjaan.”“Sudah seharusnya begitu, Abel. Kau dari dulu tidak berubah, ya … selalu saja membuat orang kesal dan gemas.”Abel hanya tersenyum mendengar ucapan dokter yang tak lain adalah temannya sendiri.“Bel, apa kau yakin tidak i
“Bu, tadi saat ke rumahku, apa ibu bertemu dengan Rangga?”“Tidak. Bukannya dia kuliah?”“Benar juga,” gumamnya menyeringai.“Sudah-sudah, kamu istirahat saja sekarang. Kamu ingin pulang besok pagi, bukan?”Abel mengangguk semangat.Abel meletakkan ponselnya di meja yang ada di samping ranjang tidurnya. Dia pun memejamkan matanya, mencoba untuk tidur.‘Mau sampai kapan kamu seperti ini, Bel? Rangga bukan Anton, yang bisa kamu bohongi terus menerus.’***“Apa aku datang menjenguk ayah mertua saja? Dengan begitu, aku bisa bertemu dengan Bu Abel, bukan? Tapi … bukankah Bu Abel akan marah jika aku datang begitu saja tanpa izin kepadanya? Hmmmm, namun jika aku tidak datang, ibu mertua pasti akan berpikir kalau aku ini suami dan menantu yang tidak pengertian,” gumam Rangga, sedang mempertimbangkan apakah dia harus pergi ke rumah sakit atau tidak.Sembari Rangga berpikir untuk memutuskan akan pergi atau tidak, Rangga memilih untuk membereskan rumah yang terlihat sedikit berantakan, karena di
“Selamat pagi, Bu.”“Pagi Rangga. Ini masih sepuluh menit sebelum alarm mu berbunyi. Apa saya mengganggumu?”“T—tidak. Sama sekali tidak mengganggu. Saya hanya terbangun lebih awal saja.“Yasudah, kamu mandi saja. Saya akan menyiapkan makanan untuk kita sarapan.”“Sarapan?” tanya Rangga kaget.“Iya. Saya masih mendapat MC dari rumah sakit, jadi pagi ini kita tidak perlu sarapan nasi goreng lagi,” jawab Abel.‘Bagaimana ini? Aku sudah berjanji akan sarapan bersama Hanin,’ batinnya bingung.“Rangga?”“Saya mandi dulu, ya Bu ….” Rangga berlalu menuju ke kamar mandi yang berada di lantai dua.***Rangga menyuap sarapannya. Pagi ini Abel memiliki waktu untuk menyiapkan berbagai macam makanan karena dirinya tidak bekerja. Rangga yang sudah berjanji akan sarapan bersama Hanin pun tidak berani mengambil makanan Abel dalam porsi banyak, itu membuat Abel tersinggung dan merasa kalau masakannya tidak cocok di lidah Rangga.“Makanannya tidak enak, ya ?” tanya Abel, raut wajahnya memperlihatkan ke
“Kapan nikah, Bel?”Pertanyaan yang kerap didengar oleh Abel, namun selalu diabaikannya.Gabella Anindya, dosen di salah satu universitas negeri di kota besar. Abel, kerap disapa, kini sudah berada di usia 29 tahun, dimana dirinya masih melajang dan sangat menikmati masa mudanya.Tetapi, kali ini pertanyaan ‘kapan nikah’ dari sang Ayah membuatnya berpikir ribuan kali untuk memulai hubungan yang lebih serius.“Tapi Abel sudah putus dengan Mas Anton, Ma. Tidak bisa secepat itu menikah,” tutur Abel kepada sang Mama, yang memintanya untuk segera menikah.“Kondisi Ayah sudah semakin parah, Bel. Hanya kamu seorang, anak kami yang belum menikah,” ujar Mamanya, seolah tidak peduli dengan status Abel. “Mama bisa menjodohkan kamu dengan anak teman Mama—”“T—tidak perlu, Ma. Abel akan meminta segera dilamar oleh pacar Abel,” sahut Abel memotong omongan sang Mama.“Kamu sudah memilki pacar lagi, Bel?”“Hmmm, n—nanti … Abel kenalkan, ya … belum lama ini kami berkencan,” balas Abel menyeringai.***