“Rangga, lain kali kamu tidak boleh seperti ini,” ucap Abel.
“Hm? Seperti ini … bagaimana, Bu?” tanya Rangga tidak mengerti.
“Jangan bediri di belakang saya. Berdirilah di depan atau di samping saya.”
***
Rangga masuk ke dalam mobil, ia menoleh pada Abel yang masih memasang raut datarnya, begitu dingin. Ia melipat kedua bibirnya, merasa memiliki salah kepada Abel.
“Kenapa Rangga?” tanya Abel juga menoleh pada Rangga.
“Hm?!”
“Ada yang membuatmu gelisah?” tanya Abel.
Rangga menggelengkan kepalanya, ia meyakinkan pada Abel kalau tidak ada yang mengganggu pikirannya serta membuat ia gelisah.
Abel mengemudikan mobilnya keluar dari area kampus, untuk menuju ke sebuah pujasera yang tidak terlalu ramai pengunjung. Abel memilih makan siang di sana karena makanana di sana memiliki banyak varian menu dan juga rasanya yang lezat.
Abel dan Rangga bersamaan keluar dari dalam mobilnya, mereka masuk ke area pujasera dan memilih tempat duduk sesuai yang diminta oleh Abel.
“Silakan,” ucap salah satu pelayan di pujasera itu, sembari memberikan buku menu kepada Abel dan juga Rangga.
“Langsung pesan atau ingin memilih?” tanya Abel.
“Saya pesan ayam bumbu dan es jeruk saja, Bu,” jawab Rangga.
“Mas, ayam bumbu dan nasi dua porsi, sop iga satu, es jeruk satu dan lemon tea satu, ya,” ujar Abel kepada pelayan tersebut menyebutkan menu makanan yang dipesan olehnya dan juga Rangga.
“Baik, ditunggu pesananannya,” balas si pelayan dan kemudian berlalu.
Rangga lagi-lagi melihat Abel yang asyik sendiri dengan kegiatan yang ada dalam ponselnya. Sementara Rangga merasa dicueki dan tidak tahu harus bagaimana. Mata Rangga mengalihkan pandangan dan melihat ke sekeliling pujasera.
Matanya kini tertuju pada seorang gadis yang sedang sendiri, duduk di tengah pujasera sembari memainkan ponselnya.
“Rangga,” panggil Abel. “Bukankah itu perempuan yang ada bersamamu saat itu?”
Rangga mengangguk.
Benar, Hanin ada di sana seolah sedang menguntit dirinya.
“Hanin!” Terdengar suara Rangga memanggilnya.
Rangga menunggu hingga perempuan itu benar-benar menoleh padanya.
Damn
Perempuan itu menoleh dan mengumbar senyumnya kepada Rangga dan juga Abel.
‘Benar Hanin?’ batinnya mendadak gelisah.
“Hai, Rangga …,” sapa Hanin dengan ramah. “Siang, Bu ….” Hanin juga menyapa Abel dengan lebih ramah lagi.
“Siang,” balas Abel dengan senyumnya, kemudian ia kembali lagi pada ponselnya. Tidak memedulikan keadaan sekitarnya lagi. Termasuk Rangga yang ada di hadapannya.
“Hanin, sudah baca pesan dariku?” tanya Rangga.
Hanin mengangguk, ia tersenyum.
“Kenapa tidak dibalas—”
“Rangga, pesanan kita datang,” sela Abel, ketika pelayan mengantarkan makanan ke meja mereka.
Rangga menoleh pada Abel, mengangguk dan kemudian kembali melirik Hanin, memberikan senyum kepada gadis itu.
Hanin juga tidak menidak lanjutinya, ia lalu menerima pesanan, dimana ia hanya memesan es krim dan tidak makan siang.
Rangga meliriknya, ia merasa cemas karena Hanin bukan memesan makanan, malah memesan es krim. Hanin memiliki riwayat maag yang tidak bisa telat makan dan harus menjaga pola makannya dengan baik.
“Setelah ini, saya antarkan kamu ke kampus. Saya harus pergi ke suatu tempat,” ujar Abel.
“Iya, Bu,” balas Rangga, masih melihat pada Hanin, sama sekali tidak menoleh ke Abel dan membuat Abel merasa kalau keberadaan Hanin memang sangat berarti bagi Rangga.
***
Rangga berdiri dengan menyandarkan tubuhnya pada pilar yang menjulang. Ia menunggu Hanin yang sepertinya sedang dalam perjalanan kembali ke kampus. Tidak perlu menunggu lama, dari kejauhan ia sudah melihat kedatangan Hanin.
Namun Hanin yang melihat adanya Rangga di sana, memilih untuk memutar balik langkahnya, menghindar dari Rangga.
“Hanin!” panggil Rangga, kemudian ia berlari untuk mengejar Hanin.
Hanin tidak mau menoleh pada Rangga, sepertinya ia kecewa pada pria yang sudah bersamanya sejak satu semester terakhir, terhitung sejak hari pertama masa orientasi.
“Hanin, Hanin … kamu menghindar dariku?” tanya Rangga, berhasil meraih pergelangan tangan Hanin dan menahannya.
“Rangga, aku ada kelas,” ucap Hanin, menepis tangan Rangga.
“Aku tahu kamu kesal karena aku ingkar. Tapi kamu tahu, bukan? Aku bukanlah orang yang berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan dan juga biaya kuliah. Aku menerima tawaran untuk pekerjaan dari Bu Abel, untuk membayar uang kuliah,” tutur Rangga menjelaskannya. Ia tidak ingin Hanin salah paham kepadanya. “Maafkan aku, ya ….”
Hanin melemah, ia tidak lagi bersikukuh untuk lari dari Rangga. Hanin menunduk dan mengangguk, menarik kemeja Rangga yang bermaksud meminta dipeluk oleh Rangga.
Rangga tersenyum dan menarik bahu Hanin, memeluknya sesaat kemudian mengusap kepala Hanin.
“Kamu menguntit?” tanya Rangga.
“Aku penasaran. Maaf kalau kamu tidak nyaman karena aku menguntit seperti tadi,” jawab Hanin menyesal.
“Bukankah itu artinya kamu peduli dan sayang padaku?”
Hanin menengadah, menatap mata Rangga dengan binar cinta yang terlihat jelas di antara keduanya.
“Ayo ke kelas, Rangga. Aku tidak ingin telat,” ucap Hanin mengalihkannya.
Rangga tersenyum. Ia memindahkan tangannya untuk menggenggam tangan Hanin. Kemudian mereka berdua berjalan bersama menuju ke ruangan yang akan menjadi kelas Hanin berikutnya.
***
Abel masuk ke dalam ruangan kerjanya yang terpisah dengan dosen lainnya. Lagi-lagi ia sendiri, tiada teman bicara ataupun pemandangan lainnya selain ruangan senyap dengan suasana yang terlalu baku dan kaku. Wajar jika terkadang ia merasa jenuh dengan hidupnya. Tidak memiliki cinta ataupun sahabat dekat, benar-benar membuat Abel hanya berkutik dengan pekerjaan saja.
“Tujuan hidupku sebenarnya apa?” gumam Abel, bertanya pada dirinya sendiri. Ia tersenyum, meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja dengan keadaan yang seperti itu.
Ting
Nada pesan dari ponsel Abel membertahu adanya pesan. Pesan itu berasal dari Rangga.
Rangga
[Maaf tadi ibu belum sempat menjelaskan tugas untuk saya]
[Tapi jika berkenan, sore ini saya bisa tidak bekerja agar bisa mempelajari pekerjaan dari ibu]
Saat di kembali dari pujasera, Abel memilih untuk pulang ke apartemen dosen dan mengerjakan pekerjaannya dari sana, agar Rangga mengiranya pergi ke suatu tempat.
Raut datar Abel mengiringi dirinya untuk membalas pesan kepada Rangga.
Abel
[Tidak masalah]
[Kita bisa membahas ini di rumah saat akhir pekan]
[Hari ini saya pulang malam, jika kamu pulang lebih awal, belilah makanan untuk makan malam mu]
[Sepertinya saya tidak bisa masak malam ini]
Sementara itu, Rangga yang sedang berada di kelas, pandangan matanya tidak ia lepas dari layar ponsel, menunggu balasan pesan dari Abel yang sejak tadi membuatnya cemas.
“Pulang malam, ya?” tanya Rangga dalam gumamnya. Ia melipat kedua bibirnya dan kembali menarikan dua ibu jarinya di atas papan keyboard pada layar ponselnya.
Rangga
[Untuk yang tadi di pujasera, saya harap Ibu tidak berpikir kalau ia menguntit]
[Siang ini saya memiliki janji untuk makan siang bersama Hanin, tapi saya batalkan dan mengirim lokasi pujasera tadi]
Abel
[Saya sama sekali tidak berpikir dia menguntit]
[Pikiranmu saja yang terlalu jauh]
“Tujuan hidupku sebenarnya apa?” gumam Abel, bertanya pada dirinya sendiri. Ia tersenyum, meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja dengan keadaan yang seperti itu.TingNada pesan dari ponsel Abel membertahu adanya pesan. Pesan itu berasal dari Rangga.Rangga[Maaf tadi ibu belum sempat menjelaskan tugas untuk saya]***Rangga pulang lebih awal dari biasanya. Dia memilih untuk tidak bekerja dan segera pulang. Niatnya pulang cepat yakni ingin menyiapkan makan malam untuknya dan juga Abel. Dia juga ingin mengerjakan tugas kuliahnya, agar saat akhir pekan dia bisa fokus mempelajari pekerjaan Abel yang akan dialihkan kepadanya.Waktu menunjukkan pukul sembilan malam dan Abel tak kunjung pulang. Rangga mulai cemas dan menghubungi Abel. Dia tahu kalau Abel hanya mengambil perkuliahan pagi saja, dan seharusnya sudah pulang di jam enam sore. Sayangnya Abel tidak menerima panggilan dari Rangga dan membuat Rangga semakin cemas. Rangga pun segera bersiap dan tak lupa membawakan hasil masakann
“Selamat datang, ada yang bisa di—”“Rangga ada?” tanya Hanin menyela sambutan dari pelayan di kafe tempat Rangga bekerja.“Ouh, Rangga. Hmmm Rangga … tidak bekerja hari ini,” jawab pelayan tersebut.“Oh, baiklah. Terima kasih ya,” ucap Hanin kemudian berlalu pergi dari kafe itu.“Ternyata hanya mencari Rangga, bukan pelanggan yang hendak membeli. Eh, apa tadi itu pacar Rangga yang sering datang berkunjung?”***“Bukankah sudah diperingatkan untuk jangan terlalu lelah dan banyak pikiran?”“Aku seorang dosen, bukan penganggur. Bagaimana mungkin aku tidak lelah dan tidak memiliki sesuatu untuk dipikirkan.”“Gabella, aku bisa mengganti dokter mu jika kau tidak menurut.”“Iya iya, aku akan menurut dengan tidak memikirkan banyak hal dan tidak terlalu memforsir pekerjaan.”“Sudah seharusnya begitu, Abel. Kau dari dulu tidak berubah, ya … selalu saja membuat orang kesal dan gemas.”Abel hanya tersenyum mendengar ucapan dokter yang tak lain adalah temannya sendiri.“Bel, apa kau yakin tidak i
“Bu, tadi saat ke rumahku, apa ibu bertemu dengan Rangga?”“Tidak. Bukannya dia kuliah?”“Benar juga,” gumamnya menyeringai.“Sudah-sudah, kamu istirahat saja sekarang. Kamu ingin pulang besok pagi, bukan?”Abel mengangguk semangat.Abel meletakkan ponselnya di meja yang ada di samping ranjang tidurnya. Dia pun memejamkan matanya, mencoba untuk tidur.‘Mau sampai kapan kamu seperti ini, Bel? Rangga bukan Anton, yang bisa kamu bohongi terus menerus.’***“Apa aku datang menjenguk ayah mertua saja? Dengan begitu, aku bisa bertemu dengan Bu Abel, bukan? Tapi … bukankah Bu Abel akan marah jika aku datang begitu saja tanpa izin kepadanya? Hmmmm, namun jika aku tidak datang, ibu mertua pasti akan berpikir kalau aku ini suami dan menantu yang tidak pengertian,” gumam Rangga, sedang mempertimbangkan apakah dia harus pergi ke rumah sakit atau tidak.Sembari Rangga berpikir untuk memutuskan akan pergi atau tidak, Rangga memilih untuk membereskan rumah yang terlihat sedikit berantakan, karena di
“Selamat pagi, Bu.”“Pagi Rangga. Ini masih sepuluh menit sebelum alarm mu berbunyi. Apa saya mengganggumu?”“T—tidak. Sama sekali tidak mengganggu. Saya hanya terbangun lebih awal saja.“Yasudah, kamu mandi saja. Saya akan menyiapkan makanan untuk kita sarapan.”“Sarapan?” tanya Rangga kaget.“Iya. Saya masih mendapat MC dari rumah sakit, jadi pagi ini kita tidak perlu sarapan nasi goreng lagi,” jawab Abel.‘Bagaimana ini? Aku sudah berjanji akan sarapan bersama Hanin,’ batinnya bingung.“Rangga?”“Saya mandi dulu, ya Bu ….” Rangga berlalu menuju ke kamar mandi yang berada di lantai dua.***Rangga menyuap sarapannya. Pagi ini Abel memiliki waktu untuk menyiapkan berbagai macam makanan karena dirinya tidak bekerja. Rangga yang sudah berjanji akan sarapan bersama Hanin pun tidak berani mengambil makanan Abel dalam porsi banyak, itu membuat Abel tersinggung dan merasa kalau masakannya tidak cocok di lidah Rangga.“Makanannya tidak enak, ya ?” tanya Abel, raut wajahnya memperlihatkan ke
“Kapan nikah, Bel?”Pertanyaan yang kerap didengar oleh Abel, namun selalu diabaikannya.Gabella Anindya, dosen di salah satu universitas negeri di kota besar. Abel, kerap disapa, kini sudah berada di usia 29 tahun, dimana dirinya masih melajang dan sangat menikmati masa mudanya.Tetapi, kali ini pertanyaan ‘kapan nikah’ dari sang Ayah membuatnya berpikir ribuan kali untuk memulai hubungan yang lebih serius.“Tapi Abel sudah putus dengan Mas Anton, Ma. Tidak bisa secepat itu menikah,” tutur Abel kepada sang Mama, yang memintanya untuk segera menikah.“Kondisi Ayah sudah semakin parah, Bel. Hanya kamu seorang, anak kami yang belum menikah,” ujar Mamanya, seolah tidak peduli dengan status Abel. “Mama bisa menjodohkan kamu dengan anak teman Mama—”“T—tidak perlu, Ma. Abel akan meminta segera dilamar oleh pacar Abel,” sahut Abel memotong omongan sang Mama.“Kamu sudah memilki pacar lagi, Bel?”“Hmmm, n—nanti … Abel kenalkan, ya … belum lama ini kami berkencan,” balas Abel menyeringai.***
“Bagaimana, Bu? Apa bisa Ibu tanda tangan di surat tersebut?” tanya Rangga.“Rangga, saya bisa membiayai kuliahmu, bahkan sampai lulus,” ujar Abel, tidak menjawab pertanyaan dari mahasiswanya.“B—bagaimana, Bu?”“Menikahlah dengan saya. Dan saya akan membiayai kuliahmu sampai lulus.”***“Mulai sekarang, jangan ambil part time di waktu kuliah. Kamu boleh bekerja di malam hari, tapi tidak di jam kuliah. Saya membiayai kuliah kamu dan saya ingin kamu mendapatkan nilai yang baik, Rangga,” tutur Abel memberikan ultimatum kepada mahasiswanya, yang kini sudah menjadi suaminya.“B—baik, Bu … saya akan datang kuliah setiap hari dan hanya bekerja di malam hari. Maaf, jika selama ini saya sering bolos kuliah, termasuk di mata kuliah Ibu,” ujar Rangga, malu dan juga merasa bersalah.“Setelah ini, apa kamu ingin berangkat kuliah bersama saya?”“B—bareng, Ibu? Satu mobil dengan Ibu?” tanya Rangga memastikan.“Tidak. Kita keluar apartemen bersama, karena saya tidak memiliki kunci duplikat. Jika kam
“Hmmm … Rangga, bagaimana kalau—”“Rangga.”Rangga dan Hanin menoleh ke arah sumber suara, yang membuat Hanin menghentikan ucapannya.“B—bu Abel,” ucap Rangga terlihat gugup.“Bagaimana tugasnya?” tanya Abel pada Rangga, dengan lirikkan mata yang ditujukan untuk Hanin.“Sedang proses, Bu. Kalau sudah, kirimkan ke email saya segera,” pinta Abel. “Dan jangan lupa untuk makan.”Abel berlalu, tidak berbasa-basi lagi.“Hanin, aku harus pergi ke perpustakaan. Kamu bisa makan duluan, ya.”***Tok tok tokIa mengetuk pintu lebih dulu dan menunggu Abel membukakan pintu untuknya.Tok tok tokIa mengetuknya lagi, setelah beberapa saat menunggu.Tidak ada kehadiran Abel untuk membukakan pintu.‘Bisa-bisa aku tidur di depan pintu,’ keluhnya dalam hati.CklekPintu terbuka dan Rangga segera masuk.“Bu, maaf … saya pulang terlalu larut dan membuat ibu menunggu terlalu la … ma—”Rangga diam, terperanga melihat Abel.“B—bu … A—abel?”“Apa setiap hari kamu akan pulang larut seperti ini?”Rangga masih d
“Kerja dimana, Pak?” tanya petugas itu lagi.“S—saya hanya bekerja part time, sepulang kuliah,” jawab Rangga.“Lanjut S2, ya? Ingin menjadi dosen juga seperti Bu Abel.”“S—saya … masih semester satu … dan sedang mengambil S1, Pak,” ujar Rangga, sebenarnya malu untuk mengakui itu.“Kamu … sebegitu terpesonanya dengan Bu Abel, sampai rela menikah muda? Dia memang primadona di gedung ini,” bisik petugas tersebut.“Pak, sudah jangan mengganggunya. Lekas urus dan segera ganti mode pintu apartemen saya,” timpal Abel yang sejak tadi hanya diam, namun mendengarkan pembicaraan mereka.Rangga dan petugas itu hanya menyeringai, menanggapi ucapan Abel.“Banyak yang mengincar Bu Abel. Kamu harus menjaganya baik-baik, ya. Tunjukkan kalau Bu Abel ini adalah milikmu.”***“Rangga? Kamu sedang chat dengan siapa?”Rangga tersentak dan tidak sengaja menjatuhkan ponselnya ke lantai.“Rangga, saya hanya bertanya. Kenapa kamu sekaget ini?” tanya Abel, merasa heran.“S—saya kaget karena Ibu menegur tiba-tib