“Selamat datang, ada yang bisa di—”
“Rangga ada?” tanya Hanin menyela sambutan dari pelayan di kafe tempat Rangga bekerja.
“Ouh, Rangga. Hmmm Rangga … tidak bekerja hari ini,” jawab pelayan tersebut.
“Oh, baiklah. Terima kasih ya,” ucap Hanin kemudian berlalu pergi dari kafe itu.
“Ternyata hanya mencari Rangga, bukan pelanggan yang hendak membeli. Eh, apa tadi itu pacar Rangga yang sering datang berkunjung?”
***
“Bukankah sudah diperingatkan untuk jangan terlalu lelah dan banyak pikiran?”
“Aku seorang dosen, bukan penganggur. Bagaimana mungkin aku tidak lelah dan tidak memiliki sesuatu untuk dipikirkan.”
“Gabella, aku bisa mengganti dokter mu jika kau tidak menurut.”
“Iya iya, aku akan menurut dengan tidak memikirkan banyak hal dan tidak terlalu memforsir pekerjaan.”
“Sudah seharusnya begitu, Abel. Kau dari dulu tidak berubah, ya … selalu saja membuat orang kesal dan gemas.”
Abel hanya tersenyum mendengar ucapan dokter yang tak lain adalah temannya sendiri.
“Bel, apa kau yakin tidak ingin bertemu dengannya?”
“Tidak,” jawab Abel tegas.
Abel kemudian melihat layar ponselnya, ada sebuah pesan yang masuk untuknya, dari nomor tak dikenal.
xxxx
[Bagaimana hari ini, apa sudah membaik?]
“Bel?”
“Aku harus pergi. Terima kasih atas waktunya.”
“Apa suamimu menjemput?”
“Jangan terlalu penasaran, karena tidak ada yang perlu dicurigai dariku,” ucap Abel kemudian berlalu dari ruang kerja temannya, sekaligus dokter spesialis yang menanganinya.
***
“Siapa ya?”
“Kemungkinan mahasiswa kelas regular, karena mereka tidak ada yang mengenalinya.”
“Mereka sedang membicarakan apa?” tanya Rangga kepada Hanin, yang penasaran dengan obrolan teman-temannya sejak tadi, namun dia tidak paham apa yang mereka bicarakan.
“Oh, Bu Abel tadi malam pingsan. Mereka dengar dari mahasiswa kelas malam, yang menolong Bu Abel itu mahasiswa dari kelas regular,” jawab Hanin menjelaskan. “Oh ya, bagaimana keadaan Bu Abel? Seharusnya hari ini ada kelasnya bukan? Apa dia mengajar?”
“K—kenapa kamu bertanya padaku?” tanya Rangga berusahan menutupi rasa paniknya.
“Kalau bukan padamu, dengan siapa aku harus bertanya? Dosen lain? Tidak mungkin kan … yang ada mereka akan mengira kalau aku menanti masa-masa tidak ada kelas. Aku bertanya padamu, karena kamu asistennya. Bukankah kamu yang akan menggantikan Bu Abel sementara waktu untuk mengawasi kelas dan memberi tugas?”
Rangga membesarkan matanya dan kemudian menyeringai. Dia sudah terlanjur panik saat Hanin bertanya seperti itu, padahal apa yang dimaksud Hanin sangat berbeda dengan apa yang dipikirkannya.
“Bu Abel cuti selama dua hari,” ujar Rangga.
“Hmmmm, kelas Bu Abel hanya ada di hari ini saja, Rangga ….”
***
Rangga keluar kelas lagi-lagi bersama Hanin. Dua sejoli yang sudah dekat sejak ospek itu semakin hari semakin memperlihatkan diri mereka kalau keduanya saling menyukai. Namun sayang, hingga kini hubungan mereka masih saja sebatas teman. Rangga masih belum yakin dengan dirinya yang kurang mampu membahagiakan Hanin. Dia juga menyadari kalau pertemanannya dengan Hanin akan langgeng jika mereka tetap berteman baik.
“Oy, Romeo dan Juliet! Jangan lupa besok malam datang ke acara ulang tahunku!” ucap salah satu teman kelas mereka, yang mengundang teman-temannya yang berasal dari jurusan yang sama maupun lintas jurusan.
“Kamu datang?” tanya Hanin.
“Kalau kamu mau datang, aku akan datang,” jawab Rangga sembari mengusap lembut kepala Hanin.
“Mau!” jawab Hanin semangat.
***
Hari ini lagi-lagi Rangga pulang lebih awal, dengan niat hati ingin merawat Abel yang sedang sakit. Namun saat dirinya tiba di rumah, Abel belum juga pulang. Rangga pun berinisiatif menghubungi Abel dengan mengirimkan pesan.
Rangga
[Bu, belum selesai check up?]
Mata Rangga tak lepas dari layar ponselnya, namun sayang hingga lima menit berlalu Abel pun belum membalas juga pesan darinya.
“Apa aku susul saja ya ke rumah sakit? Tapi aku tidak tahu apa dia check up di rumah sakit yang sama atau berbeda dengan rumah sakit kemarin,” gumam Rangga.
TING
Ponsel Rangga berdering, sontak membuatnya segera melihat pemberitahuan tersebut.
Abel
[Saya sedang menemani ibu di rumah sakit]
[Mungkin saya tidak pulang]
“Hah! Sudah sengaja pulang cepat untuk merawatnya, yang mau dirawat justru tidak ada,” gumam Rangga menggerutu.
Karena kecewa, Rangga pun memilih untuk pergi ke tempat kerjanya dan tidak jadi mengambil izin, lalu menggantinya untuk hari besok, dimana dia akan menemani Hanin ke acara ulang tahun teman mereka.
***
Rangga
[Masih belum pulang ya, Bu ?]
[Hari ini saya ada acara dan akan pulang larut]
[Saya tidak sempat menyiapkan makan malam, jika ibu pulang, pesanlah makanan]
Rangga pun pergi dari rumah untuk menjemput Hanin. Malam ini Rangga sudah meminjam sepeda motor milik rekan kerjanya, agar bisa menjemput Hanin. Selama ini mereka pergi dengan sepeda motor milik Hanin, karena Rangga yang tidak memilikinya.
Sebuah acara ulang tahun yang cukup meriah, dimana si pemilik acara berteman dengan beberapa selebriti, yang membuat banyak teman-teman kampus menjadi heboh dan minta foto bersama.
“Kamu tidak ikut minta foto seperti mereka?” tanya Rangga.
“Untuk apa?” kekeh Hanin balik bertanya.
“Mereka selebriti, tampan, keren, kamu yakin tidak menyesal karena tidak foto bersama mereka?” tanya Rangga sekali lagi, sembari menggodanya.
“Bukankah pria di sebelahku jauh lebih tampan dan keren?”
BLUSH
Rangga tersenyum, menarik lembut tangan Hanin dan menggandengnya.
“Pria tampan harus berpasangan dengan wanita cantik, bukan?”
Hanin tersenyum manja, menyandarkan kepalanya pada bahu Rangga.
“Terima kasih Rangga ….”
Sementara itu di rumah sakit, Abel baru saja membaca pesan dari Rangga.
“Acara, acara apa?” gumamnya bertanya-tanya.
“Kenapa Bel?” tanya sang ibu.
“Bukan apa-apa, Bu. Oh ya, bagaimana kondisi Ayah?”
“Sudah lebih baik. Sekarang sedang tidur.”
“Bu, tadi saat ke rumahku, apa ibu bertemu dengan Rangga?”
“Tidak. Bukannya dia kuliah?”
“Benar juga,” gumamnya menyeringai.
“Sudah-sudah, kamu istirahat saja sekarang. Kamu ingin pulang besok pagi, bukan?”
Abel mengangguk semangat.
Abel meletakkan ponselnya di meja yang ada di samping ranjang tidurnya. Dia pun memejamkan matanya, mencoba untuk tidur.
‘Mau sampai kapan kamu seperti ini, Bel? Rangga bukan Anton, yang bisa kamu bohongi terus menerus.’
***
Rangga membuka matanya dan segera menuju ke kamar Abel. Lagi-lagi dia melihat kamar Abel yang masih kosong.
“Tidak pulang lagi? Apa aku harus menghubungi ibu mertua untuk menanyakan hal ini? Tapi … nanti Bu Abel pasti marah,” gerutu Rangga.
Rangga pun mencoba tidak peduli dan segera bersiap-siap untuk pergi kuliah, walau sebenarnya dia enggan kuliah hari ini, terlalu penasaran dengan keberadaan dan keadaan Abel saat ini. Namun lagi-lagi kenyataan mengingatkan kalau dia hanyalah suami bayaran, yang tidak perlu imut campur urusan pribadi Abel.
“Apa aku datang menjenguk ayah mertua saja? Dengan begitu, aku bisa bertemu dengan Bu Abel, bukan?”
“Bu, tadi saat ke rumahku, apa ibu bertemu dengan Rangga?”“Tidak. Bukannya dia kuliah?”“Benar juga,” gumamnya menyeringai.“Sudah-sudah, kamu istirahat saja sekarang. Kamu ingin pulang besok pagi, bukan?”Abel mengangguk semangat.Abel meletakkan ponselnya di meja yang ada di samping ranjang tidurnya. Dia pun memejamkan matanya, mencoba untuk tidur.‘Mau sampai kapan kamu seperti ini, Bel? Rangga bukan Anton, yang bisa kamu bohongi terus menerus.’***“Apa aku datang menjenguk ayah mertua saja? Dengan begitu, aku bisa bertemu dengan Bu Abel, bukan? Tapi … bukankah Bu Abel akan marah jika aku datang begitu saja tanpa izin kepadanya? Hmmmm, namun jika aku tidak datang, ibu mertua pasti akan berpikir kalau aku ini suami dan menantu yang tidak pengertian,” gumam Rangga, sedang mempertimbangkan apakah dia harus pergi ke rumah sakit atau tidak.Sembari Rangga berpikir untuk memutuskan akan pergi atau tidak, Rangga memilih untuk membereskan rumah yang terlihat sedikit berantakan, karena di
“Selamat pagi, Bu.”“Pagi Rangga. Ini masih sepuluh menit sebelum alarm mu berbunyi. Apa saya mengganggumu?”“T—tidak. Sama sekali tidak mengganggu. Saya hanya terbangun lebih awal saja.“Yasudah, kamu mandi saja. Saya akan menyiapkan makanan untuk kita sarapan.”“Sarapan?” tanya Rangga kaget.“Iya. Saya masih mendapat MC dari rumah sakit, jadi pagi ini kita tidak perlu sarapan nasi goreng lagi,” jawab Abel.‘Bagaimana ini? Aku sudah berjanji akan sarapan bersama Hanin,’ batinnya bingung.“Rangga?”“Saya mandi dulu, ya Bu ….” Rangga berlalu menuju ke kamar mandi yang berada di lantai dua.***Rangga menyuap sarapannya. Pagi ini Abel memiliki waktu untuk menyiapkan berbagai macam makanan karena dirinya tidak bekerja. Rangga yang sudah berjanji akan sarapan bersama Hanin pun tidak berani mengambil makanan Abel dalam porsi banyak, itu membuat Abel tersinggung dan merasa kalau masakannya tidak cocok di lidah Rangga.“Makanannya tidak enak, ya ?” tanya Abel, raut wajahnya memperlihatkan ke
“Kapan nikah, Bel?”Pertanyaan yang kerap didengar oleh Abel, namun selalu diabaikannya.Gabella Anindya, dosen di salah satu universitas negeri di kota besar. Abel, kerap disapa, kini sudah berada di usia 29 tahun, dimana dirinya masih melajang dan sangat menikmati masa mudanya.Tetapi, kali ini pertanyaan ‘kapan nikah’ dari sang Ayah membuatnya berpikir ribuan kali untuk memulai hubungan yang lebih serius.“Tapi Abel sudah putus dengan Mas Anton, Ma. Tidak bisa secepat itu menikah,” tutur Abel kepada sang Mama, yang memintanya untuk segera menikah.“Kondisi Ayah sudah semakin parah, Bel. Hanya kamu seorang, anak kami yang belum menikah,” ujar Mamanya, seolah tidak peduli dengan status Abel. “Mama bisa menjodohkan kamu dengan anak teman Mama—”“T—tidak perlu, Ma. Abel akan meminta segera dilamar oleh pacar Abel,” sahut Abel memotong omongan sang Mama.“Kamu sudah memilki pacar lagi, Bel?”“Hmmm, n—nanti … Abel kenalkan, ya … belum lama ini kami berkencan,” balas Abel menyeringai.***
“Bagaimana, Bu? Apa bisa Ibu tanda tangan di surat tersebut?” tanya Rangga.“Rangga, saya bisa membiayai kuliahmu, bahkan sampai lulus,” ujar Abel, tidak menjawab pertanyaan dari mahasiswanya.“B—bagaimana, Bu?”“Menikahlah dengan saya. Dan saya akan membiayai kuliahmu sampai lulus.”***“Mulai sekarang, jangan ambil part time di waktu kuliah. Kamu boleh bekerja di malam hari, tapi tidak di jam kuliah. Saya membiayai kuliah kamu dan saya ingin kamu mendapatkan nilai yang baik, Rangga,” tutur Abel memberikan ultimatum kepada mahasiswanya, yang kini sudah menjadi suaminya.“B—baik, Bu … saya akan datang kuliah setiap hari dan hanya bekerja di malam hari. Maaf, jika selama ini saya sering bolos kuliah, termasuk di mata kuliah Ibu,” ujar Rangga, malu dan juga merasa bersalah.“Setelah ini, apa kamu ingin berangkat kuliah bersama saya?”“B—bareng, Ibu? Satu mobil dengan Ibu?” tanya Rangga memastikan.“Tidak. Kita keluar apartemen bersama, karena saya tidak memiliki kunci duplikat. Jika kam
“Hmmm … Rangga, bagaimana kalau—”“Rangga.”Rangga dan Hanin menoleh ke arah sumber suara, yang membuat Hanin menghentikan ucapannya.“B—bu Abel,” ucap Rangga terlihat gugup.“Bagaimana tugasnya?” tanya Abel pada Rangga, dengan lirikkan mata yang ditujukan untuk Hanin.“Sedang proses, Bu. Kalau sudah, kirimkan ke email saya segera,” pinta Abel. “Dan jangan lupa untuk makan.”Abel berlalu, tidak berbasa-basi lagi.“Hanin, aku harus pergi ke perpustakaan. Kamu bisa makan duluan, ya.”***Tok tok tokIa mengetuk pintu lebih dulu dan menunggu Abel membukakan pintu untuknya.Tok tok tokIa mengetuknya lagi, setelah beberapa saat menunggu.Tidak ada kehadiran Abel untuk membukakan pintu.‘Bisa-bisa aku tidur di depan pintu,’ keluhnya dalam hati.CklekPintu terbuka dan Rangga segera masuk.“Bu, maaf … saya pulang terlalu larut dan membuat ibu menunggu terlalu la … ma—”Rangga diam, terperanga melihat Abel.“B—bu … A—abel?”“Apa setiap hari kamu akan pulang larut seperti ini?”Rangga masih d
“Kerja dimana, Pak?” tanya petugas itu lagi.“S—saya hanya bekerja part time, sepulang kuliah,” jawab Rangga.“Lanjut S2, ya? Ingin menjadi dosen juga seperti Bu Abel.”“S—saya … masih semester satu … dan sedang mengambil S1, Pak,” ujar Rangga, sebenarnya malu untuk mengakui itu.“Kamu … sebegitu terpesonanya dengan Bu Abel, sampai rela menikah muda? Dia memang primadona di gedung ini,” bisik petugas tersebut.“Pak, sudah jangan mengganggunya. Lekas urus dan segera ganti mode pintu apartemen saya,” timpal Abel yang sejak tadi hanya diam, namun mendengarkan pembicaraan mereka.Rangga dan petugas itu hanya menyeringai, menanggapi ucapan Abel.“Banyak yang mengincar Bu Abel. Kamu harus menjaganya baik-baik, ya. Tunjukkan kalau Bu Abel ini adalah milikmu.”***“Rangga? Kamu sedang chat dengan siapa?”Rangga tersentak dan tidak sengaja menjatuhkan ponselnya ke lantai.“Rangga, saya hanya bertanya. Kenapa kamu sekaget ini?” tanya Abel, merasa heran.“S—saya kaget karena Ibu menegur tiba-tib
“Rangga, lain kali kamu tidak boleh seperti ini,” ucap Abel.“Hm? Seperti ini … bagaimana, Bu?” tanya Rangga tidak mengerti.“Jangan bediri di belakang saya. Berdirilah di depan atau di samping saya.”***Rangga masuk ke dalam mobil, ia menoleh pada Abel yang masih memasang raut datarnya, begitu dingin. Ia melipat kedua bibirnya, merasa memiliki salah kepada Abel.“Kenapa Rangga?” tanya Abel juga menoleh pada Rangga.“Hm?!”“Ada yang membuatmu gelisah?” tanya Abel.Rangga menggelengkan kepalanya, ia meyakinkan pada Abel kalau tidak ada yang mengganggu pikirannya serta membuat ia gelisah.Abel mengemudikan mobilnya keluar dari area kampus, untuk menuju ke sebuah pujasera yang tidak terlalu ramai pengunjung. Abel memilih makan siang di sana karena makanana di sana memiliki banyak varian menu dan juga rasanya yang lezat.Abel dan Rangga bersamaan keluar dari dalam mobilnya, mereka masuk ke area pujasera dan memilih tempat duduk sesuai yang diminta oleh Abel.“Silakan,” ucap salah satu pe
“Tujuan hidupku sebenarnya apa?” gumam Abel, bertanya pada dirinya sendiri. Ia tersenyum, meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja dengan keadaan yang seperti itu.TingNada pesan dari ponsel Abel membertahu adanya pesan. Pesan itu berasal dari Rangga.Rangga[Maaf tadi ibu belum sempat menjelaskan tugas untuk saya]***Rangga pulang lebih awal dari biasanya. Dia memilih untuk tidak bekerja dan segera pulang. Niatnya pulang cepat yakni ingin menyiapkan makan malam untuknya dan juga Abel. Dia juga ingin mengerjakan tugas kuliahnya, agar saat akhir pekan dia bisa fokus mempelajari pekerjaan Abel yang akan dialihkan kepadanya.Waktu menunjukkan pukul sembilan malam dan Abel tak kunjung pulang. Rangga mulai cemas dan menghubungi Abel. Dia tahu kalau Abel hanya mengambil perkuliahan pagi saja, dan seharusnya sudah pulang di jam enam sore. Sayangnya Abel tidak menerima panggilan dari Rangga dan membuat Rangga semakin cemas. Rangga pun segera bersiap dan tak lupa membawakan hasil masakann