“Kerja dimana, Pak?” tanya petugas itu lagi.
“S—saya hanya bekerja part time, sepulang kuliah,” jawab Rangga.
“Lanjut S2, ya? Ingin menjadi dosen juga seperti Bu Abel.”
“S—saya … masih semester satu … dan sedang mengambil S1, Pak,” ujar Rangga, sebenarnya malu untuk mengakui itu.
“Kamu … sebegitu terpesonanya dengan Bu Abel, sampai rela menikah muda? Dia memang primadona di gedung ini,” bisik petugas tersebut.
“Pak, sudah jangan mengganggunya. Lekas urus dan segera ganti mode pintu apartemen saya,” timpal Abel yang sejak tadi hanya diam, namun mendengarkan pembicaraan mereka.
Rangga dan petugas itu hanya menyeringai, menanggapi ucapan Abel.
“Banyak yang mengincar Bu Abel. Kamu harus menjaganya baik-baik, ya. Tunjukkan kalau Bu Abel ini adalah milikmu.”
***
“Rangga? Kamu sedang chat dengan siapa?”
Rangga tersentak dan tidak sengaja menjatuhkan ponselnya ke lantai.
“Rangga, saya hanya bertanya. Kenapa kamu sekaget ini?” tanya Abel, merasa heran.
“S—saya kaget karena Ibu menegur tiba-tiba. M—maaf, Bu …,” jawab Rangga, segera mengambil ponselnya yang jatuh.
Abel menggelengkan kepalanya, melihat gelagat aneh Rangga. Abel beranjak dari tempat duduknya, ia menoleh pada Rangga yang terlihat begitu tegang.
“Saya akan ke kamar untuk tidur. Sebaiknya kamu juga segera tidur, Rangga,” ujar Abel, dengan nada tidak mengenakkan.
Abel melangkahkan kaki menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Sementara Rangga masih melihat Abel yang berlalu kian menjauh dan menaiki satu persatu anak tangga hingga tidak terlihat lagi.
Rangga merasa kalau ada yang lain dengan istrinya. Sedikit lebih dingin, mungkin saja karena Abel adalah dosen yang mood-nya terkadang bisa naik dan turun, mengikuti banyaknya pekerjaan di kampus yang menumpuk.
Rangga melihat layar ponselnya, ada pesan lagi dari Hanin, namun ia memilih untuk me-non aktifkannya saja. Rangga mengambil remote untuk mematikan televisi dan akhirnya menuruti perkataan Abel untuk segera tidur.
***
Di kampus, Rangga mendapat pesan dari Abel untuk datang ke ruangannya. Sedikit ada rasa cemas, karena tadi malam Abel begitu dingin padanya. Sayang, saat diperjalanan ia bertemu dengan Hanin dan akhirnya ia memilih untuk bicara dengan Hanin lebih dulu dan menunda perjalanannya menuju ke ruangan Abel.
“Ada tugas yang harus dikumpul?” tanya Hanin, penuh perhatian.
“Iya. Bu Abel menungguku. Hmmm, apa siang ini kita bisa makan bersama?” tanya Rangga.
“Tentu saja. Segeralah pergi ke ruangan dosenmu, aku akan menunggu di kantin,” jawab Hanin begitu sumringah.
“Baik, nona cantik! Tunggu aku, ya …,” balas Rangga, mengusap rambut Hanin dengan gemas.
Rangga berlalu dan segera masuk ke dalam gedung perkuliahannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke lift, yang akan membawanya ke lantai empat, dimana ruangan para dosen berada di sana, termasuk ruangan Abel yang terpisah dengan dosen yang lain, karena selain perannya sebagai dosen wali, ia adalah seorang ketua program studi.
Tok tok tok
Rangga mengetuk pintu ruangan Abel, meminta izin untuk masuk.
Abel menoleh dan melihat Rangga yang sudah berada dibalik pintu.
“Masuk!” ucap Abel, memberikannya izin.
Cklek
Rangga membuka pintu dan kembali menutupnya. Ia segera melangkahkan kakinya menghampiri meja sang istri.
“Ada apa, Bu?” tanya Rangga, yang tidak tahu apa maksud dan tujuan Abel memanggilnya ke ruangan itu.
“Siang ini temani saya makan di luar. Setelah itu, saya akan memberikan sedikit pekerrjaan untukmu, untuk menggantikan saya selama saya pergi dinas,” ujar Abel, tetap fokus pada pekerjaannya, dimana matanya sama sekali tidak beralih dari laptop.
Rangga diam, berusaha menyembunyikan rasa cemasnya.
“Kenapa diam?” tanya Abel kali ini menoleh pada Rangga, ia butuh jawaban dari Rangga.
“B—baik, Bu,” jawab Rangga, akhirnya menyetujuinya.
“Tunggu saya di bawah. Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya sebentar,” perintah Abel.
Rangga menunduk. Ia berbalik badan dan segera keluar dari ruangan Abel.
Cklek
Rangga menutup pintu ruangan tersebut, ia menghela napasnya, bukan karena merasa lega. Tetapi karena bingung harus beralasan apa pada Hanin.
“Hanin pasti kecewa,” gumamnya risau.
Rangga tidak berani menghampiri Hanin ke kantin, karena ia khawatir kalau Abel akan cepat menyelesaikan pekerjaannya.
Rangga
[Hanin, maaf sekali]
[Siang ini aku diminta untuk membantu Bu Abel]
[Ada beberapa pekerjaan yang harus dijelaskan padaku, untuk menggantikannya selama Bu Abel pergi dinas]
[Jadi siang ini aku harus pergi makan siang dengannya, untuk membicarakan pekerjaan ini]
Rangga hanya bisa mengirimkan pesan kepada Hanin.
Cklek
“Rangga? Kamu masih di sini? Saya memintamu untuk menunggu di bawah, di lobi,” ujar Abel heran, melihat suaminya masih berada di depan ruangannya.
“Oh, s—saya baru saja mendapat panggilan dari teman saya. Kalau saya terima dan masuk ke dalam lift, pasti signal-nya hilang, Bu,” jawab Rangga, memiliki alasan yang tepat.
“Oh, begitu … ayo kita pergi.”
Abel berjalan lebih dulu dari Rangga. Dan bahkan saat di dalam lift, Rangga juga tetap berada di belakang Abel.
“Rangga, lain kali kamu tidak boleh seperti ini,” ucap Abel.
“Hm? Seperti ini … bagaimana, Bu?” tanya Rangga tidak mengerti.
“Jangan berdiri di belakang saya. Berdirilah di depan atau di samping saya,” pinta Abel.
Ting
Pintu lift terbuka, membuat Rangga tidak memiliki kesempatan untuk menyahuti lagi ucapan Abel.
Mengikuti permintaan Abel, Rangga berusaha untuk berjalan di sebelah Abel, tidak lagi di belakangnya. Langkah mereka menuju ke area parkir mobil untuk dosen. Meski ia adalah suami Abel yang sudah tinggal satu rumah, tapi ia merasa bangga jika bisa berpergian bersama Abel, yang nyatanya adalah seorang dosen. Teman-teman akan memandangnya kalau Rangga adalah mahasiswa terbaik yang dapat diandalkan oleh dosen. Padahal, bukan seperti itu kenyataannya.
‘Seharusnya aku bangga memiliki istri seperti Bu Abel. Namun sayang, aku tidak bisa membanggakannya,’ batin Rangga bergumam.
“Rangga, segera masuk!” perintah Abel menyadarkan Rangga dari lamunannya, dimana ia yang sudah lebih dulu berada di dalam mobil.
Rangga mengangguk, merasa malu dan segera masuk ke dalam mobil.
Mobil Abel berlalu dan memperlihatkan Hanin yang sedang berdiri dibalik sebuah mobil, penasaran dengan Rangga yang akan pergi dengan Abel.
“Rangga bukan mahasiswa berprestasi, tapi kenapa Bu Abel memilih dan mempercayainya untuk menjadikannya asisten?” gumam Hanin bertanya-tanya.
Hanin segera menuju ke area parkir mobil mahasiswa dan juga umum, untuk ke mobilnya dan ia kemudikan, mengikuti mobil Abel yang baru saja berlalu.
Hanin membawa mobilnya sedikit lebih cepat dari biasanya, karena Abel mengemudi dengan laju. Ia sedikit kesulitan karena belum begitu mahir mengemudi. Namun takdir masih memberikannya kesempatan untuk dapat menguntit Rangga dan Abel, hingga mobil mereka menepi di sebuah pujasera.
Hanin menunggu Rangga dan Abel keluar lebih dulu dan masuk ke dalam area pujasera tersebut. Hanin membiarkannya agar tidak terlalu terlihat kalau ia sedang menguntit.
Hampir lima menit Hanin menunggu dan akhirnya ia tidak sabar dan memilih untuk keluar dan segera mencari keberadaan Rangga dan Abel.
Ketemu
Rangga dan Abel duduk di tengah, dimana Hanin akan mengambil tempat duduk di dekat mereka. Hanin sengaja memainkan ponselnya, agar tidak menoleh pada Rangga.
“Hanin!” Terdengar suara Rangga memanggilnya.
Hanin tersenyum, memunggungi tempat duduk Rangga dan Abel.
Hanin menoleh dan mengumbar senyumnya kepada Rangga dan juga Abel.
“Rangga, lain kali kamu tidak boleh seperti ini,” ucap Abel.“Hm? Seperti ini … bagaimana, Bu?” tanya Rangga tidak mengerti.“Jangan bediri di belakang saya. Berdirilah di depan atau di samping saya.”***Rangga masuk ke dalam mobil, ia menoleh pada Abel yang masih memasang raut datarnya, begitu dingin. Ia melipat kedua bibirnya, merasa memiliki salah kepada Abel.“Kenapa Rangga?” tanya Abel juga menoleh pada Rangga.“Hm?!”“Ada yang membuatmu gelisah?” tanya Abel.Rangga menggelengkan kepalanya, ia meyakinkan pada Abel kalau tidak ada yang mengganggu pikirannya serta membuat ia gelisah.Abel mengemudikan mobilnya keluar dari area kampus, untuk menuju ke sebuah pujasera yang tidak terlalu ramai pengunjung. Abel memilih makan siang di sana karena makanana di sana memiliki banyak varian menu dan juga rasanya yang lezat.Abel dan Rangga bersamaan keluar dari dalam mobilnya, mereka masuk ke area pujasera dan memilih tempat duduk sesuai yang diminta oleh Abel.“Silakan,” ucap salah satu pe
“Tujuan hidupku sebenarnya apa?” gumam Abel, bertanya pada dirinya sendiri. Ia tersenyum, meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja dengan keadaan yang seperti itu.TingNada pesan dari ponsel Abel membertahu adanya pesan. Pesan itu berasal dari Rangga.Rangga[Maaf tadi ibu belum sempat menjelaskan tugas untuk saya]***Rangga pulang lebih awal dari biasanya. Dia memilih untuk tidak bekerja dan segera pulang. Niatnya pulang cepat yakni ingin menyiapkan makan malam untuknya dan juga Abel. Dia juga ingin mengerjakan tugas kuliahnya, agar saat akhir pekan dia bisa fokus mempelajari pekerjaan Abel yang akan dialihkan kepadanya.Waktu menunjukkan pukul sembilan malam dan Abel tak kunjung pulang. Rangga mulai cemas dan menghubungi Abel. Dia tahu kalau Abel hanya mengambil perkuliahan pagi saja, dan seharusnya sudah pulang di jam enam sore. Sayangnya Abel tidak menerima panggilan dari Rangga dan membuat Rangga semakin cemas. Rangga pun segera bersiap dan tak lupa membawakan hasil masakann
“Selamat datang, ada yang bisa di—”“Rangga ada?” tanya Hanin menyela sambutan dari pelayan di kafe tempat Rangga bekerja.“Ouh, Rangga. Hmmm Rangga … tidak bekerja hari ini,” jawab pelayan tersebut.“Oh, baiklah. Terima kasih ya,” ucap Hanin kemudian berlalu pergi dari kafe itu.“Ternyata hanya mencari Rangga, bukan pelanggan yang hendak membeli. Eh, apa tadi itu pacar Rangga yang sering datang berkunjung?”***“Bukankah sudah diperingatkan untuk jangan terlalu lelah dan banyak pikiran?”“Aku seorang dosen, bukan penganggur. Bagaimana mungkin aku tidak lelah dan tidak memiliki sesuatu untuk dipikirkan.”“Gabella, aku bisa mengganti dokter mu jika kau tidak menurut.”“Iya iya, aku akan menurut dengan tidak memikirkan banyak hal dan tidak terlalu memforsir pekerjaan.”“Sudah seharusnya begitu, Abel. Kau dari dulu tidak berubah, ya … selalu saja membuat orang kesal dan gemas.”Abel hanya tersenyum mendengar ucapan dokter yang tak lain adalah temannya sendiri.“Bel, apa kau yakin tidak i
“Bu, tadi saat ke rumahku, apa ibu bertemu dengan Rangga?”“Tidak. Bukannya dia kuliah?”“Benar juga,” gumamnya menyeringai.“Sudah-sudah, kamu istirahat saja sekarang. Kamu ingin pulang besok pagi, bukan?”Abel mengangguk semangat.Abel meletakkan ponselnya di meja yang ada di samping ranjang tidurnya. Dia pun memejamkan matanya, mencoba untuk tidur.‘Mau sampai kapan kamu seperti ini, Bel? Rangga bukan Anton, yang bisa kamu bohongi terus menerus.’***“Apa aku datang menjenguk ayah mertua saja? Dengan begitu, aku bisa bertemu dengan Bu Abel, bukan? Tapi … bukankah Bu Abel akan marah jika aku datang begitu saja tanpa izin kepadanya? Hmmmm, namun jika aku tidak datang, ibu mertua pasti akan berpikir kalau aku ini suami dan menantu yang tidak pengertian,” gumam Rangga, sedang mempertimbangkan apakah dia harus pergi ke rumah sakit atau tidak.Sembari Rangga berpikir untuk memutuskan akan pergi atau tidak, Rangga memilih untuk membereskan rumah yang terlihat sedikit berantakan, karena di
“Selamat pagi, Bu.”“Pagi Rangga. Ini masih sepuluh menit sebelum alarm mu berbunyi. Apa saya mengganggumu?”“T—tidak. Sama sekali tidak mengganggu. Saya hanya terbangun lebih awal saja.“Yasudah, kamu mandi saja. Saya akan menyiapkan makanan untuk kita sarapan.”“Sarapan?” tanya Rangga kaget.“Iya. Saya masih mendapat MC dari rumah sakit, jadi pagi ini kita tidak perlu sarapan nasi goreng lagi,” jawab Abel.‘Bagaimana ini? Aku sudah berjanji akan sarapan bersama Hanin,’ batinnya bingung.“Rangga?”“Saya mandi dulu, ya Bu ….” Rangga berlalu menuju ke kamar mandi yang berada di lantai dua.***Rangga menyuap sarapannya. Pagi ini Abel memiliki waktu untuk menyiapkan berbagai macam makanan karena dirinya tidak bekerja. Rangga yang sudah berjanji akan sarapan bersama Hanin pun tidak berani mengambil makanan Abel dalam porsi banyak, itu membuat Abel tersinggung dan merasa kalau masakannya tidak cocok di lidah Rangga.“Makanannya tidak enak, ya ?” tanya Abel, raut wajahnya memperlihatkan ke
“Kapan nikah, Bel?”Pertanyaan yang kerap didengar oleh Abel, namun selalu diabaikannya.Gabella Anindya, dosen di salah satu universitas negeri di kota besar. Abel, kerap disapa, kini sudah berada di usia 29 tahun, dimana dirinya masih melajang dan sangat menikmati masa mudanya.Tetapi, kali ini pertanyaan ‘kapan nikah’ dari sang Ayah membuatnya berpikir ribuan kali untuk memulai hubungan yang lebih serius.“Tapi Abel sudah putus dengan Mas Anton, Ma. Tidak bisa secepat itu menikah,” tutur Abel kepada sang Mama, yang memintanya untuk segera menikah.“Kondisi Ayah sudah semakin parah, Bel. Hanya kamu seorang, anak kami yang belum menikah,” ujar Mamanya, seolah tidak peduli dengan status Abel. “Mama bisa menjodohkan kamu dengan anak teman Mama—”“T—tidak perlu, Ma. Abel akan meminta segera dilamar oleh pacar Abel,” sahut Abel memotong omongan sang Mama.“Kamu sudah memilki pacar lagi, Bel?”“Hmmm, n—nanti … Abel kenalkan, ya … belum lama ini kami berkencan,” balas Abel menyeringai.***
“Bagaimana, Bu? Apa bisa Ibu tanda tangan di surat tersebut?” tanya Rangga.“Rangga, saya bisa membiayai kuliahmu, bahkan sampai lulus,” ujar Abel, tidak menjawab pertanyaan dari mahasiswanya.“B—bagaimana, Bu?”“Menikahlah dengan saya. Dan saya akan membiayai kuliahmu sampai lulus.”***“Mulai sekarang, jangan ambil part time di waktu kuliah. Kamu boleh bekerja di malam hari, tapi tidak di jam kuliah. Saya membiayai kuliah kamu dan saya ingin kamu mendapatkan nilai yang baik, Rangga,” tutur Abel memberikan ultimatum kepada mahasiswanya, yang kini sudah menjadi suaminya.“B—baik, Bu … saya akan datang kuliah setiap hari dan hanya bekerja di malam hari. Maaf, jika selama ini saya sering bolos kuliah, termasuk di mata kuliah Ibu,” ujar Rangga, malu dan juga merasa bersalah.“Setelah ini, apa kamu ingin berangkat kuliah bersama saya?”“B—bareng, Ibu? Satu mobil dengan Ibu?” tanya Rangga memastikan.“Tidak. Kita keluar apartemen bersama, karena saya tidak memiliki kunci duplikat. Jika kam
“Hmmm … Rangga, bagaimana kalau—”“Rangga.”Rangga dan Hanin menoleh ke arah sumber suara, yang membuat Hanin menghentikan ucapannya.“B—bu Abel,” ucap Rangga terlihat gugup.“Bagaimana tugasnya?” tanya Abel pada Rangga, dengan lirikkan mata yang ditujukan untuk Hanin.“Sedang proses, Bu. Kalau sudah, kirimkan ke email saya segera,” pinta Abel. “Dan jangan lupa untuk makan.”Abel berlalu, tidak berbasa-basi lagi.“Hanin, aku harus pergi ke perpustakaan. Kamu bisa makan duluan, ya.”***Tok tok tokIa mengetuk pintu lebih dulu dan menunggu Abel membukakan pintu untuknya.Tok tok tokIa mengetuknya lagi, setelah beberapa saat menunggu.Tidak ada kehadiran Abel untuk membukakan pintu.‘Bisa-bisa aku tidur di depan pintu,’ keluhnya dalam hati.CklekPintu terbuka dan Rangga segera masuk.“Bu, maaf … saya pulang terlalu larut dan membuat ibu menunggu terlalu la … ma—”Rangga diam, terperanga melihat Abel.“B—bu … A—abel?”“Apa setiap hari kamu akan pulang larut seperti ini?”Rangga masih d