Share

BAB 3 SEKILAS

Umi hanya bisa duduk berpangku kedua tangannya sembari berdoa yang terbaik untuk anak kesayangannya, Arisa. Pasrah dengan keadaan dan tawakal agar diberikan kabar baik dari dokter.

"Semoga baik-baik saja kamu nak." Doa Umi penuh harapan.

Drap drap drap.

"Arisa kenapa Umi?" Tanya Abi yang masih ngos-ngosan sehabis berlari.

"Arisa pingsan, Abi. Waktu itu Umi mengantarkan makanan ke kamarnya dan Arisa hanya makan secuil nasi. Tiba-tiba menangis dan pingsan dipelukan Umi." Jawab Umi tergesa-gesa.

"Sudah, yang tenang Umi. Jangan panik dulu, baca istighfar Umi." Jawab Abi yang berusaha menenangkan Umi.

"Astaghfirullah." Ucap Umi refleks.

"Kita doakan yang terbaik untuk Arisa ya Umi." Bujuk Abi sembari memeluk Umi.

Umi yang dari tadi menahan air matanya tiba-tiba menetes dengan entengnya setelah dipeluk Abi. Sekuat-kuatnya Umi, Abi yang paling tahu bagaimana isi hati Umi yang sebenarnya. "Ingin menangis tapi tidak ingin dilihat orang lain", itulah yang tertulis di wajah Umi. Hanya Abi yang paling mengerti Umi.

Tak.

Pintu terbuka.

Umi dan Abi dengan sigap berdiri dan mendekati dokter yang telah memeriksa Arisa.

"Bagaimana kondisi anak kami, dokter? Tanya Umi penuh harap.

"Saat ini pasien dalam kondisi lemah dan perlu dipantau terus untuk kondisinya." Jelas dokter.

"Apa anak kami sudah siuman dok?" Tanya Abi untuk memperjelas.

"Iya, sudah siuman." Jawab dokter singkat.

"Alhamdulillah." Ucap Umi dan Abi bersamaan.

"Namun, ada yang perlu kami tanyakan kepada Ibu dan Bapak terkait kondisi pasien saat ini. Apa kalian bersedia ke ruangan saya? Tanya dokter.

"Iya, dokter." Jawab Umi dan Abi bersamaan.

Sebenarnya ada hal yang perlu diperhatikan dari diri Arisa. Itulah yang akan dianalisis dokter. Penyebab Arisa pingsan tentu karena Arisa sering tidak makan selama dua minggu. Kekurangan karbohidrat, protein, vitamin, dan zat-zat lainnya dikarenakan tidak adanya makanan yang masuk ke dalam tubuh. Namun, yang lebih parahnya adalah kondisi jiwa dan batin Arisa juga memprihatinkan.

"Jadi dokter, apa yang ingin ditanyakan tentang anak kami ini?" Tanya Umi penasaran.

"Begini bu, pak, apakah akhir-akhir ini Arisa sering melamun dan kurang fokus?" Tanya dokter.

"Iya, sepertinya sering." Jawab Umi singkat.

"Apa sekarang ini anak anda ada masalah?" Tanya dokter lagi.

"..." Umi dan Abi sama-sama tidak menjawab pertanyaan dokter.

"Mohon maaf bu, pak. Mungkin pertanyaan tadi terkesan menggali privasi anak anda. Begini, Arisa sepertinya mengalami gangguan kesehatan mental. Namun, belum diketahui penyebabnya apa. Itulah sebabnya saya banyak bertanya." Imbuh dokter.

"Gangguan kecemasan itu bagaimana ya dok?" Lanjut Umi.

"Jenisnya beragam. Misalnya Fobia salah satunya. Apa anak anda pernah Fobia dengan sesuatu?" Tanya dokter.

"Sepertinya Arisa sehat-sehat aja dok. Iyakan Abi?" Tanya Umi memastikan.

"Iya, dok. Kami gak pernah melihat Arisa ketakutan dok." Jawab Abi yakin.

"Baik, kalau begitu anak anda perlu dirawat beberapa hari di rumah sakit untuk kesehatan tubuhnya. Sedangkan kondisi jiwanya akan dipantau oleh dokter lain dibidang psikiater." Tambah dokter.

"Iya dok, terima kasih banyak." Ucap Umi dan disusul Abi menyampaikan terima kasihnya juga.

Selama ini, Arisa bisa dibilang manusia yang pandai menyembunyikan batu dibalik kelopak matanya. Seberat dan sesakit apapun masalah yang dihadapinya, sebisa mungkin Arisa menyembunyikannya dari orang tuanya. Selalu berpura-pura baik-baik saja jika ditanyakan kabar, selalu bahagia jika ditanyakan kondisi keluarganya dan selalu tersenyum untuk menutupi rasa sakitnya. Arisa layaknya aktris profesional dibidang akting.

Banyak hal yang Arisa sembunyikan tentang dirinya setelah berkeluarga, salah satunya rasa takut yang membelenggu Arisa. Bermula dari masalah semur ayam yang ditolak Tris dengan bentakan dan mengusir Arisa dari kamar. Sehingga Arisa pergi ke kamar tamu yang jarang dipakai dan menangis sejadi-jadinya.

Tak. Ceklek.

"Ini hukuman untukmu yang mengganggu tidurku." Ucap Tris girang sembari memainkan kunci ditangannya.

Arisa terlalu tenggelam dengan emosinya hingga tidak menyadari apa yang sudah dilakukan Tris.

Dirasa puas melampiaskan emosi dengan tangis, hanya ada keheningan dan rasa ngantuk yang dirasakan Arisa. Namun kantuknya hilang ketika matanya tertuju ke lampu yang berkelip-kelip.

Bzzzt, zzzt, zzzt.

Tup.

Tiba-tiba ruang kamar menjadi gelap.

"Allahu akbar." Teriak Arisa kaget.

"Gelap sekali, aku harus cepat-cepat keluar dari sini." Gumam Arisa sembari meraba-raba dinding untuk mencari gagang pintu kamar.

Duk.

"Auw, sakit!" Rintih Arisa kesakitan karna kakinya yang terluka akibat pecahan kaca menabrak dinding.

Tak. Grep.

"Ketemu!" Ucap senang Arisa.

Tak tak tak tak.

"Loh? Kenapa gak bisa dibuka? Padahal aku gak ngunci." Gumam Arisa heran.

"Tris, bukain pintunya. Aku kecunci di dalam. Tolong bukain!" Teriak Arisa.

Duk duk duk.

"Tris!" Panggil Arisa sembari menggedor pintu kamar.

Hening, gelap dan tidak ada jawaban sama sekali. Udara menjadi dingin mencekam, sepoi angin yang mengeluarkan bunyi mengerikan, keringat dingin mulai bercucuran dan sesak.

"Hah...hah...tolong!" Panggil Arisa lemas.

"Tolo....ng."

Bruk.

Arisa pingsan.

Kejadian itu hanyalah permulaan. Banyak kejadian menyakitkan yang dialami Arisa selama satu tahun terakhir sebelum cerai. Terlalu sering mengalami hal menyakitkan dan menakutkan tentu berdampak buruk pada kesehatan, khususnya jiwa atau mental.

***

Tap tap tap.

Suara langkah kaki seseorang yang sedang berjalan di koridor. Kuat dan keras, seakan-akan mengisyaratkan postur kaki yang jenjang dan tinggi. Dihiasi dengan jas putih di punggungnya yang sesekali tertiup angin ketika melangkah. Tegap dan bidang punggungnya menambah sempurna penampilannya.

"Selamat siang dok." Sapa beberapa perawat yang lewat.

"Siang juga." Sapa balik dokter dengan senyum ramah.

"OMG, dokternya tersenyum? Gila, visualnya meresahkan!" Gumam beberapa perawat bak ngefans berat dengan dokter itu.

Dokter itu tak menghiraukan dan terus berjalan. Hingga perhatiannya teralihkan ke daftar nama pasien yang tertempel di dinding salah satu bangsal.

"Arisa?"

"Arisa Anita Zahra!" Gumam dokter seakan-akan tahu dengan pemilik nama itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status