Tok tok tok.
Bunyi ketuk palu yang dilayangkan oleh hakim. Mengisyaratkan bahwa statusku berubah dan sah.Hari yang sangat menyakitkan bagiku. Tepat dua tahun setelah pernikahan. Masih terngiang dikepalaku bagaimana ekspresi yang tergambar diwajah suamiku."Bukan lagi suamiku, sekarang mantan suami." Gumam Arisa sambil berjalan meninggalkan ruang sidang.Seumur hidup Arisa, ini hari pertamanya duduk dipersidangan. Tak terbayang sekalipun akan terjadi perceraian dengan seseorang yang sangat dia cintai.Untuk pertama kalinya juga Arisa menyadari bahwa dua insan yang saling mencintai satu sama lain belum tentu kekal abadi bersama seumur hidup. Setiap manusia punya takdirnya masing-masing. Begitu juga dengan Arisa.Tap tap....tap....tap.....Langkah kaki Arisa semakin melambat dan tidak bertenaga."Arisa, kamu kuat. Jangan nangis." Ucap Arisa kepada dirinya sendiri."Please jangan nangis." Lagi-lagi Arisa bertekad menahan tangisnya.Baru kali ini Arisa merasakan betapa beratnya membendung air mata yang ingin menetes ke pipinya. Rasanya mau teriak dan menangis sejadi-jadinya. Tapi keinginan itu tidak Arisa turuti. Setelah cerai, Arisa tidak ingin dirinya dipandang lemah oleh siapapun apalagi mantan suaminya. Arisa ingin menjadi wanita yang sanggup tersenyum meskipun hatinya digerogoti rasa sakit. Wanita kuat dan tegar itulah tekad yang diinginkannya saat ini."Aku harus cepat-cepat pulang ke rumah orang tuaku, jangan berlama-lama di sini." Gumam Arisa sembari mempercepat langkah kakinya.Tanpa dia sadari, Arisa sudah berada di depan rumah yang memiliki kenangan dengan mantan suaminya. Bukannya pulang ke rumah orang tuanya, Arisa malah tiba di depan rumah yang tidak ingin dia kenang lagi. Lagi-lagi hati tidak bisa dibohongi. Arisa hanya bisa termenung dan memutar badannya ke arah lain menuju rumah orang tuanya.Sesampainya di rumah orang tuanya, Arisa mengurung diri di kamarnya. Terbaring lemah di kasurnya dengan berlinang air mata yang membasahi pipinya."Kali ini kau berhasil menjebol bendunganku, air mata.""Menangislah.""Hiks...""Tidak ada siapapun yang melihatmu menangis di sini." Gumam Arisa sendirian.Tangis Arisa pecah sejadi-jadinya. Suara tangisnya memenuhi kamarnya. Tanpa dia sadari, tangisannya didengar orang tuanya.Hati orang tuanya sangat hancur ketika suara tangis anaknya keluar. Orang tua mana yang tega melihat anaknya disakiti. Orang tua Arisa hanya bisa menangis dalam diam di depan pintu kamar Arisa.Bagaimana tidak, orang tua Arisa adalah saksi perjalanan cinta Arisa dengan mantan suaminya, Ariel Tristan.Ariel Tristan, akrab dipanggil Tris oleh Arisa. Arisa mengenalnya sejak ia duduk dibangku SMA hingga perguruan tinggi. Saking akrabnya, mereka sering disebut-sebut sebagai "jodoh dari SMA."Tak hanya disebut-sebut "jodoh dari SMA", siapapun yang melihat mereka pasti mengira kalau mereka sepasang kekasih.Perjalanan cinta Arisa dan Tris menuju ikatan yang sah terbilang pendek. Tanpa pacaran, Arisa langsung dilamar Tris. Kala itu, Arisa baru lulus kuliah.Lamaran yang tiba-tiba bagi sebagian orang, namun tidak bagi Arisa. Arisa sudah lama menantikan lamaran Tris.Tak berselang lama, pernikahan dan resepsi dilaksanakan dengan lancar dan penuh kebahagiaan dari kedua belah pihak."Tris, apa benar aku sudah jadi istrimu?" Ucap Arisa sembari melihat cincin dijari manisnya."Menurutmu?" Tanya balik Tris."Rasanya gak nyata deh." Jawab Arisa dengan nada gak percaya.Tris tidak merespon dan mendekatkan tangannya ke wajah Arisa."Ctak.""Gimana? Sekarang sudah percaya kalau jidat di jentik itu sakit?" Usil Tris untuk menyadarkan Arisa."Auw, sakit tau!" Jawab Arisa sembari memegang jidatnya."Bukannya disayang sudah jadi istri, malah dijentik jidat" Gumam Arisa kesal dihadapan cermin."Apa?" Tris yang pura-pura tidak dengar."Gak ngomong apa-apa kok." Jawab Arisa singkat dengan dagu sedikit terangkat.Tiba-tiba tubuh Arisa tertarik dan melayang dipelukan Tris.DegDegDegJantung Arisa berdegup kencang."Masih sakit, sayang?" Tanya Tris sembari mengelus lembut jidat istrinya.Bukannya merespon, Arisa malah membeku dipelukan suaminya. Pipi memerah dan denyut jantung yang kencang tidak bisa ia sembunyikan lagi."Pfft" Tawa Tris yang tidak mampu ia tahan lagi."Barusan kamu ketawa?" Tanya Arisa penasaran."Iya, barusan kamu imut banget, sayang." Jawab Tris jujur.Bukannya terhibur, Arisa malah tambah cemberut dengan pernyataan Tris."Tertawa aja sampai puas sana!" Ucap Arisa sembari melepaskan pelukan suaminya dan menjauh."Dari dulu sifat usilnya gak hilang-hilang." Gerutu Arisa.Grep.Tubuh Arisa yang mungil lagi-lagi jatuh dipelukan Tris."Maafkan aku, sayang." Ucap Tris merasa bersalah."Gak." Jawab Arisa dingin."Coba sini suamimu mau lihat jidatnya yang sakit." Ucap Tris yang khawatir istrinya tambah ngambek.Cup. Bibir Tris mendarat di jidat Istrinya. Sontak Arisa kaget dan tersipu malu."Gimana? Sudah gak sakit lagi?" Tanya Tris untuk memastikan."Iya. Sakitnya sudah hilang. Makasih Tris." Jawab Arisa malu-malu.Cup. Lagi-lagi Arisa dibikin kaget dengan ciuman tiba-tiba di pipi kanannya."Kenapa lagi? Sudah sembuh kok." Tanya Arisa heran."Kok Masih panggil Tris? Bukannya sayang?" Goda Tris."I-iya, suamiku." Ucap Arisa gugup.Cup cup cup. Serangan mendadak di pipi kirinya Arisa. Seketika wajah Arisa memerah layaknya tomat."Panggil sa-ya-ng, oke?" Goda Tris lagi."Si si-ap, sa-ya-ng." Jawab Arisa gagap sembari kabur meninggalkan suaminya.Arisa memang menyukai Tris sejak dulu, namun tak pernah bersentuhan apalagi berhubungan yang macam-macam. Arisa sangat menjaga harga diri dan martabatnya di depan siapapun. Itulah sebabnya Arisa masih kikuk ketika digoda atau diusilin suaminya sendiri. Meski sudah kenal sejak lama, tetap saja itu pertama kalinya bagi Arisa diperlakukan seperti itu.Mengenal seseorang sejak lama bukan berarti kita sudah murni mengenal orang itu seratus persen. Adakalanya seseorang menyembunyikan kepribadiannya yang lain. Begitulah yang dialami Arisa.Pada waktu itu, Arisa merasa dikhianati ketika menyaksikan perbuatan bejat suaminya."Tris, apa yang sudah kamu lakukan?" Teriak Arisa.Tanpa memberi penjelasan, Arisa malah dijambak kepalanya dan di seret paksa menuju gudang terbengkalai di rumahnya."Sini, masuk sana!" Dorong Tris ke dalam gudang."Jangan Tris, please." Pinta Arisa."Tris, apa benar ini kamu? Kamu seperti bukan Tris yang aku kenal." Teriak Arisa."Plak." Tamparan keras menghantam pipi Arisa dan terjatuh.Sret sret sret. Ikatan tali yang terikat kuat di kedua tangan Arisa.Ceklek. Bunyi pintu yang dikunci.Tap tap tap. Langkah kaki Tris meninggalkan gudang."Hiks, sepertinya aku sama sekali tidak mengenalmu Tris." Tangis Arisa kecewa."Ha...ha.... Ada orang diluar? Tolong aku!" Teriak Arisa sesak ."Hah...hah..." Nafas sesak Arisa semakin menjadi-jadi. "Duk."Arisa jatuh pingsan.***Sudah dua minggu, tidak ada perubahan sedikitpun dari Arisa. Mengurung diri dikamar, jarang makan, melamun hingga meneteskan air mata. Siapapun yang melihatnya pasti mengkhawatirkan Arisa, terlebih orang tuanya.Tok tok tok."Arisa, makan yuk! Umi bawain sarapan buat kamu." Bujuk Umi di depan pintu kamar Arisa."Umi tau kamu lagi sedih, tapi jangan sampai lupa makan." Tambah Umi."Masuk Umi, gak dikunci kok." Jawab Arisa.Trak."Ini dimakan ya. Mau ibu suapin?" Tanya Umi."..." Arisa hanya memandang makanan yang dibawa umi dengan mata yang berkaca-kaca."Ini makanan favorit kamu loh, Arisa. Cobain ya!" Pinta Umi sembari menyodorkan sesendok nasi ke mulut Arisa.Arisa hanya mengunyah nasi dengan pelan tanpa merespon UminyaSemur ayam adalah makanan favorit Arisa, begitu pula Tris. Seminggu sekali, Arisa selalu memasak semur ayam favorit mereka berdua.Setiap hari kamis, Arisa selalu menyajikan makanan favorit mereka untuk makan malam. Biasanya Tris akan pulang kerja pada jam 05.00 sore
Umi hanya bisa duduk berpangku kedua tangannya sembari berdoa yang terbaik untuk anak kesayangannya, Arisa. Pasrah dengan keadaan dan tawakal agar diberikan kabar baik dari dokter. "Semoga baik-baik saja kamu nak." Doa Umi penuh harapan.Drap drap drap."Arisa kenapa Umi?" Tanya Abi yang masih ngos-ngosan sehabis berlari."Arisa pingsan, Abi. Waktu itu Umi mengantarkan makanan ke kamarnya dan Arisa hanya makan secuil nasi. Tiba-tiba menangis dan pingsan dipelukan Umi." Jawab Umi tergesa-gesa."Sudah, yang tenang Umi. Jangan panik dulu, baca istighfar Umi." Jawab Abi yang berusaha menenangkan Umi."Astaghfirullah." Ucap Umi refleks."Kita doakan yang terbaik untuk Arisa ya Umi." Bujuk Abi sembari memeluk Umi.Umi yang dari tadi menahan air matanya tiba-tiba menetes dengan entengnya setelah dipeluk Abi. Sekuat-kuatnya Umi, Abi yang paling tahu bagaimana isi hati Umi yang sebenarnya. "Ingin menangis tapi tidak ingin dilihat orang lain", itulah yang tertulis di wajah Umi. Hanya Abi yang
Drap drap drap.Suara langkah kaki yang terburu-buru dan bergegas masuk ke salah satu bangsal. Berlari-lari kecil sembari mencari-cari seseorang namun tak kunjung ketemu. Tak mau menyerahkan, dokter itu tetap mengitari semua pasien yang ada di bangsal itu. Satu persatu pasien di bangsal itu dilihatnya dengan teliti. Hingga tersisa satu pasien yang belum dilihatnya yaitu pasien yang berada dipojok paling akhir dengan tirai tertutup.Hanya satu meter jarak antara dokter itu dengan pasien terakhir. Dokter itu terdiam sejenak untuk menghela nafas sambil menepuk-nepuk pelan dadanya. Tak lupa menyeka keringat di wajahnya. Sraaak.Tirai digeser perlahan dan separu tubuh pasien terlihat berbaring lengkap dengan selimutnya. Dokter itu berniat menggeser tirai itu lagi karena masih penasaran dengan wajah pasien. Namun, niatnya terhenti karena mendengar seseorang memanggilnya."Dokter, pasien yang kemarin ngamuk lagi!" Teriak perawat dari pintu bangsal."Dimana pasiennya?" Tanya dokter itu dan b
Umi Salma dan Abi Jakfar adalah orang tua Arisa yang selalu Zain ingat sampai sekarang. Sosok Umi yang sangat baik, peduli, perhatian, murah senyum dan penyayang kepada siapapun yang ia temui membuat Zain selalu ingat dengan Umi. Berbeda dengan Abi yang nampak ketus, dingin, dan jarang tersenyum, tapi hatinya punya kehangatan yang begitu besar. Nyatanya, Abi sering bercanda dan usil kepada istrinya sendiri. Dimata Zain, dua sosok yang berkebalikan terlihat sempurna ketika bersama.Zain pertama kali bertemu Umi Salma dan Abi Jakfar ketika berusia 15 th. Kala itu, Umi Salma dan Abi Jakfar pertama kalinya berkunjung ke panti asuhan anak "Mulia Indah". Kunjungan mereka ke panti asuhan untuk memberikan bantuan kepada anak-anak panti seperti membagikan pakaian, makanan, snack dan uang untuk keperluan pembangunan panti asuhan. Sebagai anak tertua disana, Zain sering membantu keperluan para tamu yang berkunjung. Seperti membantu memindahkan barang-barang yang didonasikan, mencatat pemasukan
Srrrr.Suara tirai tertiup angin yang datang dari jendela yang sengaja dibiarkan terbuka. Udara yang menyejukkan seolah-olah menemani pasien yang duduk termenung di kasurnya.Tes tes.Sesekali pasien itu memperhatikan tetesan cairan yang menetes dan mengalir melalui saluran kecil nan bening yang terpasang di punggung tangannya. Dan pasien itu sudah pasti Arisa."Hah,...bosannya." Gumam Arisa."Umi sama Abi belum kembali juga." Tambah Arisa.Tidak ada kegiatan yang dilakukan Arisa selain berdiam di atas kasur membuatnya sering menghela nafas panjang. Namun, tak lama kemudian matanya tertarik memperhatikan dua paruh baya yang berada satu bangsal dengannya."Sayang, apa masih ada yang sakit?" Tanya Kakek khawatir."Yang namanya tua, semuanya memang terasa sakit." Jawab Nenek tenang agar kakek tidak khawatir."Iya tau. Tapi kalau merasa sakitnya kambuh lagi, jangan ditahan sendiri." Saran Kakek."Iya, suamiku sayang." Jawab Nenek patuh.Triring triring.Bunyi alarm di meja dekat Kakek dan
Umi langsung tertidur tak lama setelah dia menyenderkan punggungnya. Begitu juga dengan Arisa yang masih tertidur pulas. Berselang 10 menit, handphone di dalam tas Umi berdering.Triring triring."Hm?" Gumam Umi yang masih setengah tidur."Siapa yang nelpon Umi disaat lagi enak-enaknya tidur? Tanya Umi sembari merogoh tasnya."Hm? Abi! Ngapain nelpon segala? Gumam Umi heran."Assalamualaikum, ada apa Abi?" Tanya Umi sedikit kesal."Wa'alaikumussalam. Umi lagi ngapain? Gak sibukkan?" Tanya balik Abi."Lagi tidur, tapi sudah dibangunin sama dering handphone." Jawab Umi kesal."Iya, maaf Umi. Abi nelpon karena Abi mau minta tolong sama Umi." Jelas Abi."Minta tolong apa?" Tanya Umi."Bantuin Abi bicara sama Zain tentang rencana kita itu." Jawab Abi."Oh, ayo. Sekarang Abi lagi dimana?" Tanya Umi beranjak dari kursinya."Di ruangan dokter Zain. Cepat ya Umi!" Jawab Abi singkat.Tut."Loh, kok sudah dimatiin? Umi gak tau dimana ruangan dokter Zain. Abi ini dasar! Ngasih taunya gak jelas."
Dari jauh, wanita tak dikenal itu tidak sengaja melihat Umi dan Arisa. Namun mata wanita itu langsung tertuju pada Arisa. Dia merasa sangat familiar dengan Arisa. Ketika ingin mendekati Arisa, wanita itu mengurungkan niatnya lantaran ada Umi di dekat Arisa. Wanita itu hanya bisa mengamati dari jauh seakan menunggu waktu yang tepat untuk beraksi. "Kenapa aku merasa sangat familiar dengan wanita kecil itu?" Gumam wanita tak dikenal itu."Dimana ya aku pernah melihatnya?" Gumam wanita tak dikenal itu sembari merogoh tasnya.Dia mengeluarkan sebuah foto dari tasnya. Seseorang yang nampak dalam foto itu sangat persis dengan Arisa. Dan tertulis nama "Arisa" di balik foto itu."Ha? Ternyata benar! Persis sekali." Gumam marah wanita tak dikenal itu."Orang yang selama ini gangguin suamiku dan ngehancurin keluargaku." Ucap wanita tak dikenal itu semakin memanas.Kemarahan wanita tak dikenal itu semakin menjadi-jadi setelah menemukan orang yang selama ini gangguin suaminya hingga keluarganya b