Umi Salma dan Abi Jakfar adalah orang tua Arisa yang selalu Zain ingat sampai sekarang. Sosok Umi yang sangat baik, peduli, perhatian, murah senyum dan penyayang kepada siapapun yang ia temui membuat Zain selalu ingat dengan Umi. Berbeda dengan Abi yang nampak ketus, dingin, dan jarang tersenyum, tapi hatinya punya kehangatan yang begitu besar. Nyatanya, Abi sering bercanda dan usil kepada istrinya sendiri. Dimata Zain, dua sosok yang berkebalikan terlihat sempurna ketika bersama.
Zain pertama kali bertemu Umi Salma dan Abi Jakfar ketika berusia 15 th. Kala itu, Umi Salma dan Abi Jakfar pertama kalinya berkunjung ke panti asuhan anak "Mulia Indah". Kunjungan mereka ke panti asuhan untuk memberikan bantuan kepada anak-anak panti seperti membagikan pakaian, makanan, snack dan uang untuk keperluan pembangunan panti asuhan. Sebagai anak tertua disana, Zain sering membantu keperluan para tamu yang berkunjung. Seperti membantu memindahkan barang-barang yang didonasikan, mencatat pemasukan uang dari donator, bahkan seringkali disuruh ikut membantu membagikan barang-barang kepada anak-anak. Dan di sanalah Zain pertama kalinya berinteraksi dengan Umi Salma dan Abi Jakfar.Ckiit, tak.Mobil berhenti di depan panti asuhan anak "Mulia Indah"."Ayo Abi buka bagasinya." Perintah Umi."Sip, sudah Umi." Jawab Abi."Barangnya banyak sekali yang perlu diangkut." Ucap Umi."Tenang aja Umi, Abi kuat kok." Ucap Abi menyombongkan diri."Ya sudah, Abi angkut kotak-kotak yang besar itu. Umi kotak yang ringan-ringan aja." Titah Umi untuk menguji Abi."Oke!" Jawab Abi sombong."Hiyat! Nih, bisa kan?" Ucap Abi sombong.Tap tap tap.Suara langkah kecil Abi mengangkut kotak besar."Paling 3 detik lagi bakal panggil Umi." Gumam Umi.Tepat 3 detik, Abi berhenti melangkah.Krak."Aduduh.....Umi! Umi tolongin Abi! Pinggang Abi keseleo." Ucap Abi."Tuh kan, benar!" Gumam Umi sembari menghampiri Abi."Makanya, lain kali jangan sok kuat!" Sindir Umi."Ih, Abi memang kuat kok. Pinggangnya aja yang gak bersahabat sama Abi." Jawab Abi gak mau kalah."Udah keseleo, sombongnya gak turun-turun. Eh, Malah tambah naik aja." Balas Umi heran."Ih Umi, bukannya di bantuin malah ngomong gak jelas." Ucap Abi kesal."Iya iya sini." Ucap Umi sembari memapah Abi."Makanya, Abi gak usah gitu lagi. Kekanak-kanakan banget!" Ledek Umi sembari tersenyum kecil."Umi, beraninya sama suami!" Ucap Abi memerah."Eh, kok marah? Gak jadi ditolongin nih?" Tanya Umi sembari melepas tangan Abi yang melingkar di bahu Umi."Eh eh, jangan di lepas! Gak marak kok." Jawab Abi dengan senyum terpaksa."Gitu dong." Ucap Umi senang."Umur udah angka 3, kekanak-kanakannya masih melekat." Gumam Umi sambil tersenyum."Umi bilang apa?" Tanya Abi gak dengar."Gak bilang apa-apa." Jawab Umi sembari menyembunyikan senyumannya.Tap tap tap."Permisi, Ibu dan Bapak perlu bantuan?" Tanya Zain yang datang menghampiri."Oh tidak perlu nak, Ibu bisa sendiri memapah si Bapak ini." Jawab Umi sembari menyindir Abi."Oh ada. Bisa minta tolong angkut barang-barang yang ada di mobil nak?" Tanya Abi tak memedulikan sindiran Umi."Iya, pak. Bisa kok." Jawab Zain dan berjalan menuju mobil."Katanya kuat, malah minta tolong sama anak kecil." Sindir Umi lagi."Anak kecil? Anak kecil dari mana yang tingginya segini?" Balas Abi gak percaya sembari mengangkat tangannya ke atas kepala."Bilang aja kalah kuat, Abi. Gak usah ngeles! Malu liatnya." Sindir Umi lagi sambil tersenyum kecil."Umi ternyata bisa nakal juga ya." Ucap Abi kalah."Baru tau?" Tanya Umi sambil menyilangkan kedua tangannya."No komen." Jawab Abi menyerah."Abi tau gak? Umi tetap sayang Abi kok meskipun gak terlalu kuat." Goda Umi."Abi gak kuat kalau ngangkut barang sebesar dan seberat itu, tapi kalau tidur bareng Abi kuat banget." Goda Abi."Ih, Abi!" Jawab Umi malu.Sruk."Udah sampai. Abi duduk dulu di sini sampai sakitnya reda." Ucap Umi sambil mendudukkan Abi di kursi dekat pintu masuk panti asuhan."Oke." Jawab patuh Abi."Umi mau nyusul anak yang tadi dulu. Sekalian ikut bantu ngangkut kotaknya." Ucap Umi."Silahkan. Sekalian bantu anak itu ngangkat kotak besar itu." Titah Abi."Iya, Abi. Tapi siapa tau dia bisa ngangkat kotak besar itu sendirian." Gumam Umi."Siapa yang bisa ngangkut kotak besar itu cuma pakai tangan? Gak pakai alat? Apalagi sendirian? Gak ada!" Ucap Abi bak termakan api cemburu.Tap tap tap. Zain yang tiba-tiba muncul membawa kotak besar itu dengan kedua tangannya berjalan menuju pintu masuk panti asuhan dengan entengnya."Hfft." Tawa Umi kelepasan."Ketawain aja sampai puas!" Ucap Abi dengan wajah ketus namun pipi memerah."Hahaha." Tawa Umi puas."Abi sakit ya? Kok pipi Abi merah banget?" Goda Umi sembari meletakkan tangan di jidat Abi."Gak kok." Jawab Abi malu."Ternyata Abi gemes juga kalau lagi malu." Goda Umi lagi."Sudah ah, Umi." Ucap Abi tambah malu."Beneran! Abi gemes banget." Ucap Umi meyakinkan Abi."Abi nyerah, deh." Ucap Abi tak berdaya di depan Umi."Oke. Umi ke sana dulu ya." Ucap Umi menuju mobil."Istriku memang nyebelin kalau lagi usil." Gumam Abi bangga.***"Halo nak, masih sanggup? Butuh bantuan? Tanya Umi dengan gaya kekanak-kanakan."Sanggup! Tapi kalau ibu mau bantuin, mungkin akan lebih cepat selesai." Jawab Zain yang sudah bercucuran keringat."Hah, ternyata laki-laki memang punya gengsi yang tinggi." Ucap Umi bosan."Memang apa susahnya sih bilang capek, atau gak sanggup lagi?" Tanya Umi heran."Karena laki-laki gak suka dibilang lemah, bu. Apalagi di depan orang yang dicintai." Jawab Zain ramah."Owh, ternyata pintar juga kamu nak." Ucap Umi bangga."Makasih, bu." Jawab Zain."Oh iya, kalau boleh tau umurmu berapa nak?" Tanya Umi penasaran."15 tahun, bu." Jawab Zain."Ya ampun, muda banget! Gak nyangka! Karena kamu tumbuh besar dan tinggi banget." Ucap Umi takjub."Ibu bisa aja." Ucap Zain malu."Beneran tau! Udah tinggi, kuat plus ganteng lagi." Ucap Umi bangga."Makasih, bu." Jawab singkat Zain yang tidak bisa berkata-kata lagi karena malu dipuji Umi habis-habisan."Hup." Zain yang mengangkat kotak besar terakhir."Hati-hati! Pelan-pelan aja bawanya." Titah Umi.Duk.Dubrak.Zain terjatuh karna kepeleset akibat tersandung batu."Ya ampun nak, kamu gak apa-apa?" Tanya Umi khawatir."Gak apa-apa, bu." Jawab Zain singkat dan lanjut berjalan mengangkat kotak besar."Syukurlah." Ucap Umi lega.Kotak-kotak selesai diangkut semuanya. Acara berkunjung berjalan dengan lancar dan pembagian pakaian, makanan, snack serta penyerahan donasi terlaksana dengan baik. Tak terasa, waktu berkunjung sudah habis."Terimakasih atas waktunya yang sudah memberikan kesempatan kepada kami untuk berkunjung." Ucap Umi kepada Ibu Yani selaku Kepala Panti Asuhan Anak "Mulia Indah"."Terimakasih juga kepada Ibu dan Bapak yang ikut andil membantu panti asuhan di sini." Balas Ibu Yani."Kami pamit undur diri, bu." Ucap Umi pamit."Iya, silahkan. Hati-hati bu, pak." Ucap Ibu Yani.Tap tap tap.Baru beberapa langkah berjalan, Umi teringat sesuatu yang harus dilakukan sebelum pergi."Abi, kita belum berterima kasih sama anak yang membantu kita tadi." Ucap Umi."Iya juga. Ayo kita cari orangnya!" Jawab Abi sambil memutar badannya."Itu dia orangnya!" Ucap Abi sambil menunjuk ke taman panti.Drap drap drap."Hai Zain, kami mau pamit dulu, makasih ya sudah bantuin kami ngangkutin barangnya." Ucap Umi."Iya, sama-sama bu." Jawab Zain."Makasih ya!" Ucap Abi singkat sembari mengulurkan tangannya."Iya, sama-sama pak." Jawab Zain sembari menyalami Abi."Ha, tanganmu kenapa Zain? Kok berdarah? Apa gara-gara terjatuh tadi?" Ucap Umi kaget."Ini cuman lecet kecil aja bu, gak apa-apa kok." Jawab Zain."Meskipun kecil, tetap harus diobati." Ucap Umi sambil merogoh tasnya."Pakai ini!" Titah Umi memberikan penutup luka."Kakimu gimana Zain? Apa ada yang luka?" Tanya Umi lagi.Sret."Ahhh!" Zain kesakitan karena Abi tiba-tiba memegang kakinya yang memar."Kalau mau kehilangan kakimu, mending gak usah diobatin!" Ucap Abi ketus. Namun tangannya tetap mengobati kaki Zain yang memar."Zain, lain kali kalau luka langsung diobati jangan ditunda-tunda ya." Ucap Umi peduli."Iya, makasih bu." Ucap Zain terharu."Lain kali kalau luka, obatin sendiri!" Ketus Abi lagi."Siap, pak!" Jawab Zain sigap dan tersenyum kecil."Ya sudah, kami pergi dulu." Ucap Abi pamit dan berjalan pergi."Sampai jumpa lagi." Ucap Umi sembari menyusul Abi."Menyenangkan punya orang tua seperti mereka." Gumam Zain.***Senyum cerah terukir di wajah Zain ketika Umi menyebut nama Zain. Rasa senang sangat nampak di wajahnya. Seolah-olah rasa lelah di tubuhnya terbayarkan seketika."Ya ampun. Kamu Zain, kan? Benarkan?" Tanya Umi memastikan."Iya benar, Umi." Jawab Zain."Lama sekali gak jumpa." Ucap haru Umi."Iya, tapi Umi hebat langsung mengenali Zain meskipun lama gak jumpa.""Syukurlah. Gak kayak Abi!" Sindir Umi."Bukan salah Abi gak bisa langsung ngenalin Zain, salahkan Zain yang tambah tua!" Balas Abi dengan Canda."Tambah tua dari mana? Yang ada tambah ganteng! Balas Umi belain Zain."Haha makasih, Umi." Ucap Zain senang."Gak masalah! Umi selalu dipihakmu, Zain." Balas Umi."Cih!" Ucap Abi iri."Umi dan Abi selalu sama dari dulu, memang pasangan serasi." Puji Zain senang."Oh iya, sekarang kamu jadi dokter di rumah sakit ini?" Tanya Umi memastikan."Iya, Umi." Jawab Zain."Hebat sekali kamu!" Puji Umi bangga."Hemmm, puji terusss!" Sindir Abi iri."Iya dong." Balas Umi sinis."Ngomong-ngomong, Umi dan Abi ada perlu apa di rumah sakit? Apa diantara Umi dan Abi ada yang sakit?" Tanya Zain penasaran."Sehat kok!" Jawab Abi ketus."Kami berdua sehat-sehat saja, Zain." Jawab Umi."Lalu siapa yang sakit?" Tanta Zain yang masih penasaran."Itu...A-" jawab Umi ragu-ragu."Arisa sakit!" Potong Abi singkat."Ternyata benar! Arisa yang kukenal." Gumam Zain dalam hatinya."Kalau begitu sini saya bantu ngangkat bawaannya, Abi." Ucap Zain yang tidak ingin bertanya lebih jauh."Ayo, Umi. Sekalian saya antar masuk." Ucap Zain.Setibanya di depan bangsal Arisa, Zain tidak ikut masuk. Hanya Umi yang bergegas masuk. Zain termenung di depan pintu bangsal, wajahnya tersirat belum siap bertemu Arisa. Termenung membeku, entah apa yang ada dipikiran Zain hingga tidak menyadari Abi yang dari tadi memperhatikan Zain dibelakangnya."Zain, mari bicara sebentar!" Ucap Abi tiba-tiba.Srrrr.Suara tirai tertiup angin yang datang dari jendela yang sengaja dibiarkan terbuka. Udara yang menyejukkan seolah-olah menemani pasien yang duduk termenung di kasurnya.Tes tes.Sesekali pasien itu memperhatikan tetesan cairan yang menetes dan mengalir melalui saluran kecil nan bening yang terpasang di punggung tangannya. Dan pasien itu sudah pasti Arisa."Hah,...bosannya." Gumam Arisa."Umi sama Abi belum kembali juga." Tambah Arisa.Tidak ada kegiatan yang dilakukan Arisa selain berdiam di atas kasur membuatnya sering menghela nafas panjang. Namun, tak lama kemudian matanya tertarik memperhatikan dua paruh baya yang berada satu bangsal dengannya."Sayang, apa masih ada yang sakit?" Tanya Kakek khawatir."Yang namanya tua, semuanya memang terasa sakit." Jawab Nenek tenang agar kakek tidak khawatir."Iya tau. Tapi kalau merasa sakitnya kambuh lagi, jangan ditahan sendiri." Saran Kakek."Iya, suamiku sayang." Jawab Nenek patuh.Triring triring.Bunyi alarm di meja dekat Kakek dan
Umi langsung tertidur tak lama setelah dia menyenderkan punggungnya. Begitu juga dengan Arisa yang masih tertidur pulas. Berselang 10 menit, handphone di dalam tas Umi berdering.Triring triring."Hm?" Gumam Umi yang masih setengah tidur."Siapa yang nelpon Umi disaat lagi enak-enaknya tidur? Tanya Umi sembari merogoh tasnya."Hm? Abi! Ngapain nelpon segala? Gumam Umi heran."Assalamualaikum, ada apa Abi?" Tanya Umi sedikit kesal."Wa'alaikumussalam. Umi lagi ngapain? Gak sibukkan?" Tanya balik Abi."Lagi tidur, tapi sudah dibangunin sama dering handphone." Jawab Umi kesal."Iya, maaf Umi. Abi nelpon karena Abi mau minta tolong sama Umi." Jelas Abi."Minta tolong apa?" Tanya Umi."Bantuin Abi bicara sama Zain tentang rencana kita itu." Jawab Abi."Oh, ayo. Sekarang Abi lagi dimana?" Tanya Umi beranjak dari kursinya."Di ruangan dokter Zain. Cepat ya Umi!" Jawab Abi singkat.Tut."Loh, kok sudah dimatiin? Umi gak tau dimana ruangan dokter Zain. Abi ini dasar! Ngasih taunya gak jelas."
Dari jauh, wanita tak dikenal itu tidak sengaja melihat Umi dan Arisa. Namun mata wanita itu langsung tertuju pada Arisa. Dia merasa sangat familiar dengan Arisa. Ketika ingin mendekati Arisa, wanita itu mengurungkan niatnya lantaran ada Umi di dekat Arisa. Wanita itu hanya bisa mengamati dari jauh seakan menunggu waktu yang tepat untuk beraksi. "Kenapa aku merasa sangat familiar dengan wanita kecil itu?" Gumam wanita tak dikenal itu."Dimana ya aku pernah melihatnya?" Gumam wanita tak dikenal itu sembari merogoh tasnya.Dia mengeluarkan sebuah foto dari tasnya. Seseorang yang nampak dalam foto itu sangat persis dengan Arisa. Dan tertulis nama "Arisa" di balik foto itu."Ha? Ternyata benar! Persis sekali." Gumam marah wanita tak dikenal itu."Orang yang selama ini gangguin suamiku dan ngehancurin keluargaku." Ucap wanita tak dikenal itu semakin memanas.Kemarahan wanita tak dikenal itu semakin menjadi-jadi setelah menemukan orang yang selama ini gangguin suaminya hingga keluarganya b
Tok tok tok. Bunyi ketuk palu yang dilayangkan oleh hakim. Mengisyaratkan bahwa statusku berubah dan sah. Hari yang sangat menyakitkan bagiku. Tepat dua tahun setelah pernikahan. Masih terngiang dikepalaku bagaimana ekspresi yang tergambar diwajah suamiku. "Bukan lagi suamiku, sekarang mantan suami." Gumam Arisa sambil berjalan meninggalkan ruang sidang.Seumur hidup Arisa, ini hari pertamanya duduk dipersidangan. Tak terbayang sekalipun akan terjadi perceraian dengan seseorang yang sangat dia cintai.Untuk pertama kalinya juga Arisa menyadari bahwa dua insan yang saling mencintai satu sama lain belum tentu kekal abadi bersama seumur hidup. Setiap manusia punya takdirnya masing-masing. Begitu juga dengan Arisa.Tap tap....tap....tap.....Langkah kaki Arisa semakin melambat dan tidak bertenaga. "Arisa, kamu kuat. Jangan nangis." Ucap Arisa kepada dirinya sendiri."Please jangan nangis." Lagi-lagi Arisa bertekad menahan tangisnya.Baru kali ini Arisa merasakan betapa beratnya memben
Sudah dua minggu, tidak ada perubahan sedikitpun dari Arisa. Mengurung diri dikamar, jarang makan, melamun hingga meneteskan air mata. Siapapun yang melihatnya pasti mengkhawatirkan Arisa, terlebih orang tuanya.Tok tok tok."Arisa, makan yuk! Umi bawain sarapan buat kamu." Bujuk Umi di depan pintu kamar Arisa."Umi tau kamu lagi sedih, tapi jangan sampai lupa makan." Tambah Umi."Masuk Umi, gak dikunci kok." Jawab Arisa.Trak."Ini dimakan ya. Mau ibu suapin?" Tanya Umi."..." Arisa hanya memandang makanan yang dibawa umi dengan mata yang berkaca-kaca."Ini makanan favorit kamu loh, Arisa. Cobain ya!" Pinta Umi sembari menyodorkan sesendok nasi ke mulut Arisa.Arisa hanya mengunyah nasi dengan pelan tanpa merespon UminyaSemur ayam adalah makanan favorit Arisa, begitu pula Tris. Seminggu sekali, Arisa selalu memasak semur ayam favorit mereka berdua.Setiap hari kamis, Arisa selalu menyajikan makanan favorit mereka untuk makan malam. Biasanya Tris akan pulang kerja pada jam 05.00 sore
Umi hanya bisa duduk berpangku kedua tangannya sembari berdoa yang terbaik untuk anak kesayangannya, Arisa. Pasrah dengan keadaan dan tawakal agar diberikan kabar baik dari dokter. "Semoga baik-baik saja kamu nak." Doa Umi penuh harapan.Drap drap drap."Arisa kenapa Umi?" Tanya Abi yang masih ngos-ngosan sehabis berlari."Arisa pingsan, Abi. Waktu itu Umi mengantarkan makanan ke kamarnya dan Arisa hanya makan secuil nasi. Tiba-tiba menangis dan pingsan dipelukan Umi." Jawab Umi tergesa-gesa."Sudah, yang tenang Umi. Jangan panik dulu, baca istighfar Umi." Jawab Abi yang berusaha menenangkan Umi."Astaghfirullah." Ucap Umi refleks."Kita doakan yang terbaik untuk Arisa ya Umi." Bujuk Abi sembari memeluk Umi.Umi yang dari tadi menahan air matanya tiba-tiba menetes dengan entengnya setelah dipeluk Abi. Sekuat-kuatnya Umi, Abi yang paling tahu bagaimana isi hati Umi yang sebenarnya. "Ingin menangis tapi tidak ingin dilihat orang lain", itulah yang tertulis di wajah Umi. Hanya Abi yang
Drap drap drap.Suara langkah kaki yang terburu-buru dan bergegas masuk ke salah satu bangsal. Berlari-lari kecil sembari mencari-cari seseorang namun tak kunjung ketemu. Tak mau menyerahkan, dokter itu tetap mengitari semua pasien yang ada di bangsal itu. Satu persatu pasien di bangsal itu dilihatnya dengan teliti. Hingga tersisa satu pasien yang belum dilihatnya yaitu pasien yang berada dipojok paling akhir dengan tirai tertutup.Hanya satu meter jarak antara dokter itu dengan pasien terakhir. Dokter itu terdiam sejenak untuk menghela nafas sambil menepuk-nepuk pelan dadanya. Tak lupa menyeka keringat di wajahnya. Sraaak.Tirai digeser perlahan dan separu tubuh pasien terlihat berbaring lengkap dengan selimutnya. Dokter itu berniat menggeser tirai itu lagi karena masih penasaran dengan wajah pasien. Namun, niatnya terhenti karena mendengar seseorang memanggilnya."Dokter, pasien yang kemarin ngamuk lagi!" Teriak perawat dari pintu bangsal."Dimana pasiennya?" Tanya dokter itu dan b