“Melody, masuk!” perintahnya Samudra setelah itu. Melody mengangguk sebelum berjalan mengekori sang suami. Menutup pintu ruangan itu dan kemudian berdiri di hadapan Samudra saat lelaki itu duduk di kursi kebesarannya. Samudra menatap lurus pada Melody dan tertunduk khidmat. “Urusan tentang Tama dan kawan-kawannya sudah selesai.” Lapor Samudra kepada Melody. “Jadi mulai sekarang, kamu tidak perlu lagi memikirkan tentang lelaki itu dan hapus segera dari ingatanmu.” Samudra mengatakan itu seolah melupakan masa lalu adalah sesuatu yang mudah sekali dilakukan. Katakanlah kalau Melody tak begitu mencintai Tama di masa lalu. Tapi, hal-hal yang pernah mereka lalui tentu akan melekat di dalam kepala. Samudra tidak akan pernah tahu tentang sesuatu seperti itu karena dia belum pernah merasakannya sebelumnya.“Bapak, sebenarnya Bapak ini pernah pacaran nggak sih?” tanya Melody reflek. Sepertinya, mulut Melody terbuka begitu saja tanpa bisa dicegah. Namun sudah kepalang tanggung. Meskipun Samud
“Siapa yang bilang?” Samudra baru saja melepaskan kancing bajunya saat Melody masuk ke dalam kamar. Lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melepas habis kancingnya dan memilih berkacak pinggang. Menatap sang istri dengan penuh perhitungan tanpa mengalihkan tatapannya sedikitpun. Melody berdehem sambil tersenyum garing saat mendengar ucapan Samudra.Melody juga agak lupa jika Samudra tidak pernah mengatakan tentang hal tersebut. Entah kenapa, tiba-tiba saja ada kecurigaan yang muncul di dalam hatinya ketika dia melihat kulkas dan ada banyak makanan di sana. “Oh, kalau begitu, saya akan keluar dan menyiapkan sesuatu untuk makan malam.”Lalu apakah karena dia mengatakan itu, Melody akan lolos begitu saja? Tentu saja tidak. Karena Samudra menarik tangan Melody dan menghentikan perempuan itu.“Mau ke mana? Kita belum selesai bicara.” Jika sudah begini, Melody merasa menyesal sudah bertindak di luar nalar. Bagaimana bisa dia melakukan sesuatu tanpa berpikir? Terlebih lagi, dia membuat mas
Samudra tidak menjawab selain hanya terus menatap ke arah istrinya. Sebenarnya dia ingin mengerjai perempuan itu sampai waktu yang tidak ditentukan. Tapi itu akan menyusahkannya jika sedikit-sedikit Melody meminta agar Samudra mengantarkannya. “Bukan ngerjain kamu. Tapi kamu sendiri yang salah mengartikan.” Seolah tidak bersalah, Samudra mengedikkan bahunya tak acuh. Melody kesal? Tentu saja. Dia tak menyangka jika seorang Samudra juga memiliki sisi jail di dalam hidupnya.“Ayo, kita makan sekarang. Aku sudah lapar.” Tidak memedulikan Melody yang tampak masih cemberut, Samudra beranjak dari sofa menuju dapur.Sejak tadi dia sudah merasakan lapar dan ingin segera makan. Melody mau tak mau menyusul sang suami ke dapur dan duduk di depan Samudra. Mengambilkan nasi dan juga lauknya, kemudian mereka makan malam bersama.Sepanjang mereka makan, Melody menatap Samudra dan ingin mendengar Samudra mengatakan sesuatu tentang masakannya. Tapi, tidak ada satu kata pun yang keluar. Baiklah, mung
Melody juga tidak suka hutang. Karena prinsipnya selama ini adalah dia akan membeli ketika ada uang dan menundanya ketika uangnya belum cukup. Bagi Melody, hidupnya akan lebih nyaman tanpa hutang. Sekarang, dia juga mendapatkan suami yang memiliki prinsip yang sama dalam hal tersebut.Melody menarik kartu tersebut dan melihatnya. Kartu itu berwarna keemasan dan dia tak tahu ada berapa uang yang tersimpan di dalamnya. “Itu ada dua ratus. Bulan depan aku akan kirimkan lagi.”“Apa?” Melody tidak paham dua ratus apa. “Dua ratus?” ulangnya. “Iya. Dua ratus juta. Sebenarnya itu nggak sering aku pakai. Jadi kamu aja yang pakai.”Melody segera mengulurkan kartu itu kembali ke hadapan Samudra. Ekspresinya kaku luar biasa. “Pak, saya nggak bisa menerima. Ini terlalu banyak.”“Lalu kenapa kalau banyak? Kamu istriku. Semua yang aku punya adalah punyamu juga.” Lagi, Melody dibuat terkejut dengan kata-kata lelaki itu. Terlalu tiba-tiba untuk Melody. Tidak pernah menyangka kalau dia akan mendapa
“Melody layak dicintai.” Ucapan terakhir Tama itu terngiang di kepalanya sampai dia tampak terdiam selama perjalanan pulang. Melody yang ada di sampingnya itu sesekali menoleh dan memastikan jika Samudra baik-baik saja. Bahkan sampai mereka sampai di apartemen pun, Samudra tidak mengatakan sepatah kata pun. “Bapak baik-baik saja?” Melody meletakkan segelas air di depan Samudra sebelum dia duduk di samping lelaki itu. Lagi-lagi menatapnya dengan tatapan penuh tanya karena sikap Samudra yang tidak seperti biasanya. “Menurut kamu, apakah kamu bisa mencintai aku, Melody?” Dihadapkan pertanyaan yang tiba-tiba seperti itu, membuat Melody terperangah. Perasaan tidak pernah bisa diprediksi. Dengan tampilan Samudra yang menawan, siapa pun bisa dengan mudah jatuh pada pesona lelaki itu. Tapi, apakah Melody akan menambatkan hatinya untuk Samudra? Bukankah sudah seharusnya dia melakukan itu? Samudra sudah menjadi suaminya. Meskipun pelan, Melody akhirnya menjawab. “Saya akan berusaha, Pak.”
Mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Melody, membuat langkah Samudra berhenti. Lelaki itu tak segera berbalik dan memilih untuk bertahan pada posisinya. Terdengar roda-roda dari troli belanjaan di sekitarnya seolah menjadi nada pengiring. Karena itu, Melody lah yang mendekati Samudra.“Kita lanjutkan belanjanya, Pak.” Melody mendorong troli dan meninggalkan Samudra di belakang. Sebentar lagi perutnya pasti lapar dan dia harus segera menyelesaikan belanjanya. Melody menoleh ke belakang dan menatap Samudra yang ternyata sudah mengikutinya. Ada senyum kecil yang tersemat di bibir Melody saat melihat Samudra terus memasang raut wajah datarnya. Memang seperti itulah Samudra sehari-hari, tapi entah bagaimana dia justru merasa kalau Samudra sangat menggemaskan. “Kenapa kamu berhenti?” Mereka ada di lorong perlengkapan masak seperti panci dan kawan-kawannya. Entah mengapa, dia sangat tergoda dengan barang-barang itu. “Saya tertarik beli itu, Pak. Boleh nggak?” “Nggak usah. Besok-be
Menggoda Melody sepertinya akan menjadi kegiatan yang menyenangkan untuk Samudra. Melihat bagaimana gadis itu cemberut, membuat Samudra geli luar biasa. Bagaimana bisa, gadis semanis itu mendapatkan perlakuan buruk dari seorang lelaki yang seharusnya melindunginya? Sangat tidak masuk akal.“Kita pergi sekarang, Pak. Saya sudah selesai.” Melody yang sedang meremas-remas jeruk nipis di kobokannya itu bersuara. Samudra tidak menjawab dan lebih setia menatap ke arah sang istri yang menciumi tangannya. Sesekali gadis itu bergidik karena aroma sambal masih melekat di tangannya. “Makanannya sih enak, aromanya sambal yang nempel di tangan ini yang susah hilang,” gumam Melody sembari mendesah lelah. “Ah, sudahlah. Sampai rumah aja nanti dicuci lagi.” Lanjutnya masih berbicara seorang diri. “Ayo, Pak.”Menyandang tasnya, Melody berdiri lebih dulu dan membayar makanannya. Samudra berjalan dibelakang Melody sampai di depan tenda.Namun, siapa yang sangka Melody akan bertemu dengan seorang lela
Permata menghentikan pergerakan tangannya saat suara Samudra mengudara. Dia lantas membalik tubuhnya dan menatap ke arah sang suami. Ekspresinya datar tak bisa terbaca. Namun dia menarik nafas panjang setelah itu.“Bapak ini kenapa sih? Saya itu sudah nggak peduli lagi dengan lelaki itu. Mau dia membusuk di penjara juga saya nggak bakalan ada masalah. Bukan urusan saya. Saya nggak mau Bapak tanya hal-hal seperti itu lagi kedepannya. Saya nggak mau dikaitkan lagi dengan dia. Nggak mau sama sekali.” Melody pastilah merasa kejengkelannya mengusik nuraninya. Tama adalah lelaki terburuk yang pernah Melody kenal. Meskipun dulu hubungan mereka baik-baik saja dan Tama juga pernah membuatnya bahagia, tapi kelakuannya akhir-akhir ini menjadi momok yang menakutkan bagi Melody. Dan dia tak ingin mengenal orang-orang seperti itu di kehidupannya. “Ngelamunin Tama? Takut kalau Tama di penjara makan apa? Takut kalau Tama dibully saat masuk penjara?” Melody yang mendapatkan ledekan menyebalkan itu