Roda ban mobil BMW 7 series itu berdecit ketika Nevano membelokkannya ke arah pekarangan istana keluarga Abraham dengan kecepatan tinggi. Ia nyaris menabrak sederet pepohonan palem yang tumbuh berbaris di sekitar tempat parkir. Lalu, turun dengan membanting kasar pintu mobil dan berjalan tergesa-gesa menuju bangunan utama.
Beberapa orang pelayan yang berada di sekitar buru-buru menghampiri putra sulung Rafianto Abraham tersebut, bermaksud untuk bertanya basa-basi ada keperluan apa sampai kemari. Ya, memang hal yang mengejutkan bila Nevano bisa menginjakkan kaki ke tempat ini secara tiba-tiba. Apalagi melihat ekspresi kemarahan yang terpancar di wajah pemuda itu, jelas akan ada satu lagi keributan yang mungkin akan terjadi.
"Di mana Papa?" tanya Nevano kepada para pelayan tersebut sambil terus melangkah menelusuri lorong demi lorong yang menghubungkan tiap ru
Halo, yang membaca cerita ini mohon dukungannya yaa.. Apa kalian suka dengan ceritanya? š¤š
ļæ¼ "Bunda!" "Bunda!" Seorang bocah berusia delapan tahun berlarian dengan penuh semangat menaiki tangga. Tangannya yang memegang selembar kertas, berkali-kali ia acungkan ke atas. "Bunda!" teriaknya lagi, dengan lincah melompati satu demi satu anak tangga di hadapan. Senyum manis terkembang di bibir mungilnya. Memunculkan dua lubang indah di kedua pipi bulat si bocah."Tuan Nevano, hati-hati! Nanti Tuan bisa jatuh!" Seorang pelayan yang sejak tadi memperhatikan buru-buru mengingatkan.Namun, si bocah tak menggubris ucapan pelayan itu. Justru ia semakin antusias melompati anak tangga tersisa, demi mencari sosok wanita yang sejak tadi me
Suara musik yang berdebam-debam di sekeliling Nevano, sama sekali tak menarik perhatian pemuda berlesung pipi itu. Nevano justru sibuk menuang Jack Daniels ke dalam gelas, lalu menenggaknya sampai tandas. Kenangan indah masa kecil kembali berputar seperti sebuah kaset rusak di dalam kepala. Nevano sampai tidak ingat bahwa dirinya pernah sebahagia itu dulu. Pernah merasakan hal yang diinginkan semua orang di dunia, yaitu memiliki sepasang orangtua yang begitu rukun dan saling mencintai. Namun, sekarang semua kebahagiaan itu telah menjadi puing-puing menyedihkan. Yang tersisa hanyalah dendam dan kebencian, membuat Nevano harus selalu terkungkung dalam kubangan lukanya sendiri."Woi, No! Lo udah sampe duluan ternyata?" Sebuah seruan beserta tepukan keras di pundak sedikit menyentakkan Nevano dari lamunan.Pemuda itu menoleh, mendapati Median dan Rendi—minu
Pagi-pagi sekali Zora sudah bangun, membereskan rumah, menyiapkan sarapan untuk Zia berangkat sekolah dan segala macam pekerjaan rumah lain yang cukup menguras energi. Gadis itu berusaha menyibukkan diri. Setidaknya ia masih bisa melakukan kegiatan yang bermanfaat di rumah selama masanya menganggur sebelum mendapatkan pekerjaan baru.Setelah selesai menyiapkan bekal makan siang untuk Zia, Zora pun segera berjalan ke kamar adik perempuannya itu, menyuruhnya bergegas agar tidak terlambat."Zia ...," panggil Zora di depan pintu kamar yang tertutup seraya mengetuk. "Sarapan, yuk! Nanti keburu telat."Tak berapa lama pintu kamar itu terbuka. Zia yang telah rapi mengenakan seragam, melangkah keluar dengan raut yang tampak lesu dan sedikit pucat dari biasanya.Zora yang menyadari keadaan adiknya itu serta-merta bertanya, "Eh, kamu sakit?"Zia menggeleng sambil mengulas senyum tipis. "Nggak,
"Makasih ya, Kak. Udah mau anterin aku hari ini," kata Evelina ketika Levi menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung hotel berbintang. Hotel yang menjadi tempat gadis itu bekerja selama setahun terakhir. Levi tersenyum. Matanya menatap ke arah gedung hotel tersebut. Ia baru kali ini mampir mengantarkan calon tunangannya itu kemari. Hotel milik keluarga Evelina ternyata lebih megah dari yang ia sangka. "Nggak apa-apa, Eve. Lagian sekalian Kakak berangkat ke rumah sakit juga karena searah," sahut Levi. Sebenarnya ia sedikit berbohong lantaran seperti biasa, Kinanti-lah yang memaksanya dari semalam untuk melakukan hal ini. Evelina membuka sabuk pengaman yang mengikat tubuhnya. Sebelum pergi, ia menyerahkan sebuah paper bag berisi kotak bekal makan siang pada Levi. "Oh ya, ini buat Kakak. Semoga Kak Levi suka," katanya s
Jika ditanya hal apa yang paling Zora takuti di dunia ini, maka gadis itu sudah pasti akan menjawab kehilangan.Zora sudah pernah mengalami mimpi buruk itu ketika menginjak usia 15 tahun. Ibunya meninggal secara tiba-tiba karena penyakit jantung yang dideritanya. Seolah dunia tak ingin repot-repot bersimpati, dua bulan kemudian ayah Zora pun mengalami kecelakaan dan kaki kirinya tak bisa lagi digunakan secara normal. Kecelakaan itu membuat Gustian depresi lantaran ia juga di PHK dari tempatnya bekerja. Lalu, satu tahun berikutnya giliran Zia divonis menderita penyakit jantung bawaan.Semua kejadian buruk itu menimpa keluarga Zora secara beruntun. Gadis itu sempat tak tahu lagi bagaimana menjalani hidupnya dengan normal. Namun, Zora tetap berusaha bersikap optimis dan percaya bahwa akan selalu ada pelangi di setiap badai yang datang.Tetapi, itu dulu. Dulu saat Zora masih berpikir naif. Saat Zora masih percaya mukj
"Jadi, kamu dengan seenaknya memecat seorang karyawan tanpa melapor lebih dulu kepada saya?" Nevano berdiri tegak dengan kedua tangan di dalam saku. Nada bicaranya terkesan datar, tapi sorot tajam dari kedua mata elangnya siap menciutkan nyali lawan bicaranya."Ma—maafkan saya, Pak. Saya hanya menjalankan perintah—""Perintah?" potong Nevano dengan sebelah alis terangkat. Ia nyaris tertawa karena merasa geli. "Perintah siapa? Bukankah saya yang berhak memberi perintah di sini?"Pria bernama Barata Wirawan itu hanya bisa meneguk ludah dengan kepala tertunduk. Ia merupakan Manager HRD yang kemarin memecat Zora. Hari ini Nevano meminta semua manager dari setiap divisi menghadap ke ruangannya. Membahas segala macam permasalahan yang dihadapi perusahaan, terutama masalah pemecatan Zora yang sungguh membuatnya naik pitam."Bapak Rafianto Abraham yang menyuruh saya, Pak. Saya minta maaf bila tidak mel
ļæ¼"Levi?" seru Zora sekali lagi, menatap pemuda yang berdiri di hadapannya dengan perasaan tak percaya. Ia mengerjap, mungkin saja ia salah lihat. Namun, penglihatannya memang tidak salah. Pemuda itu benar-benar Levi."Zo—Zora?" balas Levi dengan keterkejutan yang sama.Zora melongo. Dari sejuta kemungkinan yang bisa terjadi, melihat Levi berada di ruangan ini adalah satu hal yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya. Gadis itu sampai bertanya-tanya, apa yang membuat Levi bisa berada di sini?"Kenapa kamu bisa ada di sini?" Zora akhirnya menyuarakan pikirannya setelah terdiam beberapa saat.Levi menghela napas gugup. Pemuda itu sedikit menyesal kenapa nekat masuk kemari dan akhirnya tertangkap basah. Seharusnya memang ia kembali saja ke lobi tadi. Sekarang apa yang harus ia katakan? Tidak mungkin ia menjawab sejujurnya bahwa ia merasa penasaran dan i
Kringgggg!!!Bel sekolah yang berbunyi nyaring itu menandakan kegiatan sekolah hari ini telah berakhir. Semua murid berseru antusias seraya membereskan buku pelajaran masing-masing ke dalam tas, bersiap untuk pulang, termasuk Zora yang berada di ruang kelas XI IPA 1.Selesai membereskan peralatan sekolahnya ke dalam tas, Zora bergegas memacu langkah menuju ruang musik yang terletak di lantai tiga gedung sekolah. Gadis itu berniat untuk menemui guru seni mereka, membicarakan tentang kontes bulan Bahasa yang akan diadakan 2 minggu ke depan. Zora ingin mengundurkan diri dari kontes tersebut lantaran ia tidak bisa ikut. Zora tidak dapat meninggalkan Zia sendirian di rumah karena acara kontes itu diadakan di Cibubur selama tiga hari dan mengharuskan mereka untuk menginap.Zora menaiki tangga menuju lantai tiga, menyalip