Bel sekolah yang berbunyi nyaring itu menandakan kegiatan sekolah hari ini telah berakhir. Semua murid berseru antusias seraya membereskan buku pelajaran masing-masing ke dalam tas, bersiap untuk pulang, termasuk Zora yang berada di ruang kelas XI IPA 1.
Selesai membereskan peralatan sekolahnya ke dalam tas, Zora bergegas memacu langkah menuju ruang musik yang terletak di lantai tiga gedung sekolah. Gadis itu berniat untuk menemui guru seni mereka, membicarakan tentang kontes bulan Bahasa yang akan diadakan 2 minggu ke depan. Zora ingin mengundurkan diri dari kontes tersebut lantaran ia tidak bisa ikut. Zora tidak dapat meninggalkan Zia sendirian di rumah karena acara kontes itu diadakan di Cibubur selama tiga hari dan mengharuskan mereka untuk menginap.
Zora menaiki tangga menuju lantai tiga, menyalip
Jika ada hal yang ingin Zora lakukan saat ini, gadis itu ingin sekali mengecil, menghilang atau menjadi butiran debu bila sudah berada di antara dua kakak-beradik ini. Ia tidak tahu mengapa nasibnya begitu sial. Situasi ini jadi mengingatkannya dengan apa yang terjadi di masa lalu. Di mana ia berada di tengah-tengah dan menjadi objek yang diperebutkan—yang ingin dikuasai, seolah-olah ia adalah benda di pusat pelelangan. "Your mine?" Ucapan sinis Levi kepada Nevano semakin memercikkan api kebencian yang telah disulut Nevano. "Sejak kapan Zora jadi milik lo?" Nevano tersenyum seraya menatap Zora sekilas. Sebelah tangannya yang bebas ia letakkan di bahu gadis itu, merangkulnya. "Jelas sejak dia menyerahkan dirinya untuk gue nikmatin saat itu." Jawaban tak berakhlak Nevano sukses membuat jantung Zora mencelos
"Gimana? Lo setuju?" Nevano menatap lurus Zora. Masih dengan senyuman khasnya yang menghiasi wajah.Zora terperangah, tak tahu harus menjawab apa. Nevano itu gila dan ia sudah menyadari itu sejak lama. Namun, ia tak menyangka kalau pemuda itu lebih gila dari yang ia bayangkan."Cukup serahin tubuh lo dan gue bakal membantu semua masalah lo sampe tuntas," kata Nevano lagi. "Anggap aja gue Dewa Penolong yang dikirimkan Tuhan buat lo.""Dewa Penolong?" geram Zora. "Kamu itu iblis yang datang cuma untuk ngancurin hidup aku!"Nevano tersenyum mendengar makian itu. "Well, ini adalah penawaran yang pas buat situasi lo saat ini, Zora. Lo butuh uang dan gue perlu tubuh—I mean, jasa lo. Jadi, gue pikir itu impas."Zora tak menjawab. Ucapan itu sangat menyentil harga dirinya. Rasanya ia seperti tak punya kehormatan lagi bila sudah berhadapan dengan Nevano."Pikir
"Bik, tolong bunga yang itu pindahin ke sini, ya! Dan yang ini, vasnya ganti sama yang kristal.""Baik, Nyonya!""Tirai yang sebelah sini tolong diganti juga, sesuaikan sama warna tirai yang dipasang di jendela. Biar nggak keliatan ganjel gitu liatnya.""Iya, Nyonya.""Lukisan yang ini dipindahkan ke ruang baca saja. Ganti sama lukisan yang baru dibeli kemarin.""Baik, Nyonya!""Dan yang ini mejanya coba agak digeser ke sebelah kiri. Dipanjangin gitu dan ganti piringnya sama yang tanpa corak. Polos saja. Perhatikan susunannya jangan sampai salah."Kinanti sibuk mondar-mandir di sekitar area ruang makan, dapur dan juga ruang tamu. Mengatur para pelayan agar lebih maksimal dalam bekerja. Hari ini entah mengapa wanita yang dulunya merupakan seorang model itu, ingin mengganti suasana baru di dalam rumah. Sejak pagi tadi ia sudah sibuk berkeliling, mencari kesi
Zora menghela napas panjang seraya menatap langit kemerahan dari balik jendela di hadapannya. Matahari baru saja tenggelam, sementara gadis itu masih mematung sejak beberapa menit lalu. Malam ini akan menjadi malam keduanya menemani Zia di rumah sakit. Adik perempuannya itu untungnya sudah siuman sejak sore kemarin dan masih dalam masa perawatan. Ia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Jadwal operasinya pun telah ditetapkan minggu depan. Namun sebelum itu, Zia mesti mengikuti serangkaian tes sebelum memasuki meja operasi.Ada sesuatu yang masih mengusik pikiran Zora saat ini, yaitu tentang tawaran yang diberikan Nevano pada dirinya siang kemarin. Pemuda brengsek itu selalu saja berhasil membuat Zora tercengang untuk ke sekian kali. Ya, Zora sungguh tak habis pikir. Bisa-bisanya Nevano memberikan kartu kreditnya untuk ia pakai. Dan sejujurnya, Zora sedikit bimbang dengan tawaran itu. Haruskah ia menggunakannya? Tapi, pilihan itu tentu sangat beresiko. Zor
Dingin dan berangin. Dua kata itu adalah hal pertama yang dirasakan seorang bocah laki-laki berkaus biru dan tengah merangkak di antara bebatuan menanjak menuju tebing yang sedikit menjorok ke lautan. Sesekali kepalanya mendongak, menyapukan pandang ke sekeliling. Mencari sosok yang sejak tadi memenuhi pikirannya. "Bunda ...." Suaranya sedikit parau. Matanya menatap tak tentu arah. Susah payah membawa tubuhnya agar bisa segera sampai ke puncak. Spectrum biru dengan semburat jingga mewarnai langit di hadapannya. Jernih tanpa gumpalan awan. Matahari terlihat mulai menyembul di batas cakrawala, memberi petunjuk bahwa sebentar lagi dunia akan kembali menyambut sesuatu yang dinamakan pagi. Si bocah menarik napas lega ketika akhirnya menemukan sosok yang sejak tadi dicarinya—seorang wanita, dan sedang berdiri di pinggir tebing. Pandangan si wanita mengarah ke lautan bi
Gerimis tiba-tiba turun saat Zora mengayunkan langkah keluar dari gedung rumah sakit malam itu. Sambil menadahkan tangan ke atas kepala, ia setengah berlari menuju halte yang terletak di depan gedung. Saat ini Zora ingin pergi menemui Nevano sesuai janji. Ia berniat untuk mengembalikan kartu kredit milik pemuda itu dan meminta Nevano agar tidak mengganggunya lagi. Nevano sudah mengirimkan lokasi tempat pertemuan mereka malam ini, yaitu di sebuah cafe. Semula Nevano meminta Zora untuk datang ke rumahnya. Tentu saja Zora menolak mentah-mentah. Pergi ke rumah pemuda itu seorang diri sama saja cari mati. Zora juga merasa lega bisa meninggalkan Zia di rumah sakit lantaran ayah mereka sore tadi tanpa diduga datang menjenguk. Ya, siapa sangka kalau Gustian yang selama ini selalu bersikap acuh tak acuh pada kedua putrinya, akhirnya mau menunjukkan sedikit kepedulian. Pria itu juga membawakan makanan yang ia masak sendiri untuk Zora, sementar
"Ini kartu kredit kamu. Makasih!" ujar Zora sewaktu ia telah sampai di meja Nevano dan langsung meletakkan kartu kredit milik pemuda itu ke atas meja tanpa basa-basi. Nevano yang sedang mengobrol bersama seorang pemuda lain—yang Zora yakini adalah temannya—spontan menoleh. Pemuda berlesung pipi itu sedikit tersentak dengan kemunculan Zora yang begitu tiba-tiba. Sudut bibirnya pun langsung terangkat membentuk senyuman, sementara ekor mata melirik jam tangan Rolex yang melingkari pergelangan tangannya. "Lo terlambat lima menit," kata Nevano. "Sori, tadi kejebak macet." Zora berbohong. Ia tak ingin pemuda itu mencari-cari alasan agar bisa menyiksanya lagi. Nevano menyugar rambutnya yang sedikit menutupi dahi. Matanya memberi isyarat ke arah kursi kosong di sebelahnya. "Duduk." "Aku nggak bisa lama." Sebelah alis Nevano terangkat. "Lo yang ngajak
"Ayo, masuk!" Nevano membuka pintu mobil BMW miliknya yang terparkir di halaman depan cafe. Matanya memberi isyarat pada Zora agar segera naik. "Bilang dulu kita mau ke mana." Zora menatapnya tajam. Ia tentu tak ingin sembarangan mengikuti perintah pemuda itu. "Aku nggak akan naik kalo kamu nggak mau bilang." Nevano mengembuskan napas kasar. "Bukannya kita perlu bicara malam ini?" "Ya, terus di mana?" "Di suatu tempat. Nanti juga lo tau. Udah cepet naik. Atau lo mau gue gendong biar nggak bisa ngelawan?" Netra bulat Zora seketika membola. Dilihatnya mimik Nevano sama sekali tidak bercanda. Pemuda itu tampak sedang dalam mode serius. Jadi daripada mendapat masalah, akhirnya Zora pun memilih masuk ke mobil. Ia sedikit menggerutu. Kesal, sebab lagi-lagi tak bisa melawan paksaan Nevano. Nevano langsung menutup pintu begitu Zora telah berada di dalam dan menyusul masu