Setelah selesai menyiapkan bekal makan siang untuk Zia, Zora pun segera berjalan ke kamar adik perempuannya itu, menyuruhnya bergegas agar tidak terlambat.
"Zia ...," panggil Zora di depan pintu kamar yang tertutup seraya mengetuk. "Sarapan, yuk! Nanti keburu telat."
Tak berapa lama pintu kamar itu terbuka. Zia yang telah rapi mengenakan seragam, melangkah keluar dengan raut yang tampak lesu dan sedikit pucat dari biasanya.
Zora yang menyadari keadaan adiknya itu serta-merta bertanya, "Eh, kamu sakit?"
Zia menggeleng sambil mengulas senyum tipis. "Nggak,
"Makasih ya, Kak. Udah mau anterin aku hari ini," kata Evelina ketika Levi menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung hotel berbintang. Hotel yang menjadi tempat gadis itu bekerja selama setahun terakhir. Levi tersenyum. Matanya menatap ke arah gedung hotel tersebut. Ia baru kali ini mampir mengantarkan calon tunangannya itu kemari. Hotel milik keluarga Evelina ternyata lebih megah dari yang ia sangka. "Nggak apa-apa, Eve. Lagian sekalian Kakak berangkat ke rumah sakit juga karena searah," sahut Levi. Sebenarnya ia sedikit berbohong lantaran seperti biasa, Kinanti-lah yang memaksanya dari semalam untuk melakukan hal ini. Evelina membuka sabuk pengaman yang mengikat tubuhnya. Sebelum pergi, ia menyerahkan sebuah paper bag berisi kotak bekal makan siang pada Levi. "Oh ya, ini buat Kakak. Semoga Kak Levi suka," katanya s
Jika ditanya hal apa yang paling Zora takuti di dunia ini, maka gadis itu sudah pasti akan menjawab kehilangan.Zora sudah pernah mengalami mimpi buruk itu ketika menginjak usia 15 tahun. Ibunya meninggal secara tiba-tiba karena penyakit jantung yang dideritanya. Seolah dunia tak ingin repot-repot bersimpati, dua bulan kemudian ayah Zora pun mengalami kecelakaan dan kaki kirinya tak bisa lagi digunakan secara normal. Kecelakaan itu membuat Gustian depresi lantaran ia juga di PHK dari tempatnya bekerja. Lalu, satu tahun berikutnya giliran Zia divonis menderita penyakit jantung bawaan.Semua kejadian buruk itu menimpa keluarga Zora secara beruntun. Gadis itu sempat tak tahu lagi bagaimana menjalani hidupnya dengan normal. Namun, Zora tetap berusaha bersikap optimis dan percaya bahwa akan selalu ada pelangi di setiap badai yang datang.Tetapi, itu dulu. Dulu saat Zora masih berpikir naif. Saat Zora masih percaya mukj
"Jadi, kamu dengan seenaknya memecat seorang karyawan tanpa melapor lebih dulu kepada saya?" Nevano berdiri tegak dengan kedua tangan di dalam saku. Nada bicaranya terkesan datar, tapi sorot tajam dari kedua mata elangnya siap menciutkan nyali lawan bicaranya."Ma—maafkan saya, Pak. Saya hanya menjalankan perintah—""Perintah?" potong Nevano dengan sebelah alis terangkat. Ia nyaris tertawa karena merasa geli. "Perintah siapa? Bukankah saya yang berhak memberi perintah di sini?"Pria bernama Barata Wirawan itu hanya bisa meneguk ludah dengan kepala tertunduk. Ia merupakan Manager HRD yang kemarin memecat Zora. Hari ini Nevano meminta semua manager dari setiap divisi menghadap ke ruangannya. Membahas segala macam permasalahan yang dihadapi perusahaan, terutama masalah pemecatan Zora yang sungguh membuatnya naik pitam."Bapak Rafianto Abraham yang menyuruh saya, Pak. Saya minta maaf bila tidak mel
"Levi?" seru Zora sekali lagi, menatap pemuda yang berdiri di hadapannya dengan perasaan tak percaya. Ia mengerjap, mungkin saja ia salah lihat. Namun, penglihatannya memang tidak salah. Pemuda itu benar-benar Levi."Zo—Zora?" balas Levi dengan keterkejutan yang sama.Zora melongo. Dari sejuta kemungkinan yang bisa terjadi, melihat Levi berada di ruangan ini adalah satu hal yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya. Gadis itu sampai bertanya-tanya, apa yang membuat Levi bisa berada di sini?"Kenapa kamu bisa ada di sini?" Zora akhirnya menyuarakan pikirannya setelah terdiam beberapa saat.Levi menghela napas gugup. Pemuda itu sedikit menyesal kenapa nekat masuk kemari dan akhirnya tertangkap basah. Seharusnya memang ia kembali saja ke lobi tadi. Sekarang apa yang harus ia katakan? Tidak mungkin ia menjawab sejujurnya bahwa ia merasa penasaran dan i
Kringgggg!!!Bel sekolah yang berbunyi nyaring itu menandakan kegiatan sekolah hari ini telah berakhir. Semua murid berseru antusias seraya membereskan buku pelajaran masing-masing ke dalam tas, bersiap untuk pulang, termasuk Zora yang berada di ruang kelas XI IPA 1.Selesai membereskan peralatan sekolahnya ke dalam tas, Zora bergegas memacu langkah menuju ruang musik yang terletak di lantai tiga gedung sekolah. Gadis itu berniat untuk menemui guru seni mereka, membicarakan tentang kontes bulan Bahasa yang akan diadakan 2 minggu ke depan. Zora ingin mengundurkan diri dari kontes tersebut lantaran ia tidak bisa ikut. Zora tidak dapat meninggalkan Zia sendirian di rumah karena acara kontes itu diadakan di Cibubur selama tiga hari dan mengharuskan mereka untuk menginap.Zora menaiki tangga menuju lantai tiga, menyalip
Jika ada hal yang ingin Zora lakukan saat ini, gadis itu ingin sekali mengecil, menghilang atau menjadi butiran debu bila sudah berada di antara dua kakak-beradik ini. Ia tidak tahu mengapa nasibnya begitu sial. Situasi ini jadi mengingatkannya dengan apa yang terjadi di masa lalu. Di mana ia berada di tengah-tengah dan menjadi objek yang diperebutkan—yang ingin dikuasai, seolah-olah ia adalah benda di pusat pelelangan. "Your mine?" Ucapan sinis Levi kepada Nevano semakin memercikkan api kebencian yang telah disulut Nevano. "Sejak kapan Zora jadi milik lo?" Nevano tersenyum seraya menatap Zora sekilas. Sebelah tangannya yang bebas ia letakkan di bahu gadis itu, merangkulnya. "Jelas sejak dia menyerahkan dirinya untuk gue nikmatin saat itu." Jawaban tak berakhlak Nevano sukses membuat jantung Zora mencelos
"Gimana? Lo setuju?" Nevano menatap lurus Zora. Masih dengan senyuman khasnya yang menghiasi wajah.Zora terperangah, tak tahu harus menjawab apa. Nevano itu gila dan ia sudah menyadari itu sejak lama. Namun, ia tak menyangka kalau pemuda itu lebih gila dari yang ia bayangkan."Cukup serahin tubuh lo dan gue bakal membantu semua masalah lo sampe tuntas," kata Nevano lagi. "Anggap aja gue Dewa Penolong yang dikirimkan Tuhan buat lo.""Dewa Penolong?" geram Zora. "Kamu itu iblis yang datang cuma untuk ngancurin hidup aku!"Nevano tersenyum mendengar makian itu. "Well, ini adalah penawaran yang pas buat situasi lo saat ini, Zora. Lo butuh uang dan gue perlu tubuh—I mean, jasa lo. Jadi, gue pikir itu impas."Zora tak menjawab. Ucapan itu sangat menyentil harga dirinya. Rasanya ia seperti tak punya kehormatan lagi bila sudah berhadapan dengan Nevano."Pikir
"Bik, tolong bunga yang itu pindahin ke sini, ya! Dan yang ini, vasnya ganti sama yang kristal.""Baik, Nyonya!""Tirai yang sebelah sini tolong diganti juga, sesuaikan sama warna tirai yang dipasang di jendela. Biar nggak keliatan ganjel gitu liatnya.""Iya, Nyonya.""Lukisan yang ini dipindahkan ke ruang baca saja. Ganti sama lukisan yang baru dibeli kemarin.""Baik, Nyonya!""Dan yang ini mejanya coba agak digeser ke sebelah kiri. Dipanjangin gitu dan ganti piringnya sama yang tanpa corak. Polos saja. Perhatikan susunannya jangan sampai salah."Kinanti sibuk mondar-mandir di sekitar area ruang makan, dapur dan juga ruang tamu. Mengatur para pelayan agar lebih maksimal dalam bekerja. Hari ini entah mengapa wanita yang dulunya merupakan seorang model itu, ingin mengganti suasana baru di dalam rumah. Sejak pagi tadi ia sudah sibuk berkeliling, mencari kesi