Jika ditanya hal apa yang paling Zora takuti di dunia ini, maka gadis itu sudah pasti akan menjawab kehilangan.
Zora sudah pernah mengalami mimpi buruk itu ketika menginjak usia 15 tahun. Ibunya meninggal secara tiba-tiba karena penyakit jantung yang dideritanya. Seolah dunia tak ingin repot-repot bersimpati, dua bulan kemudian ayah Zora pun mengalami kecelakaan dan kaki kirinya tak bisa lagi digunakan secara normal. Kecelakaan itu membuat Gustian depresi lantaran ia juga di PHK dari tempatnya bekerja. Lalu, satu tahun berikutnya giliran Zia divonis menderita penyakit jantung bawaan.
Semua kejadian buruk itu menimpa keluarga Zora secara beruntun. Gadis itu sempat tak tahu lagi bagaimana menjalani hidupnya dengan normal. Namun, Zora tetap berusaha bersikap optimis dan percaya bahwa akan selalu ada pelangi di setiap badai yang datang.
Tetapi, itu dulu. Dulu saat Zora masih berpikir naif. Saat Zora masih percaya mukj
"Jadi, kamu dengan seenaknya memecat seorang karyawan tanpa melapor lebih dulu kepada saya?" Nevano berdiri tegak dengan kedua tangan di dalam saku. Nada bicaranya terkesan datar, tapi sorot tajam dari kedua mata elangnya siap menciutkan nyali lawan bicaranya."Ma—maafkan saya, Pak. Saya hanya menjalankan perintah—""Perintah?" potong Nevano dengan sebelah alis terangkat. Ia nyaris tertawa karena merasa geli. "Perintah siapa? Bukankah saya yang berhak memberi perintah di sini?"Pria bernama Barata Wirawan itu hanya bisa meneguk ludah dengan kepala tertunduk. Ia merupakan Manager HRD yang kemarin memecat Zora. Hari ini Nevano meminta semua manager dari setiap divisi menghadap ke ruangannya. Membahas segala macam permasalahan yang dihadapi perusahaan, terutama masalah pemecatan Zora yang sungguh membuatnya naik pitam."Bapak Rafianto Abraham yang menyuruh saya, Pak. Saya minta maaf bila tidak mel
"Levi?" seru Zora sekali lagi, menatap pemuda yang berdiri di hadapannya dengan perasaan tak percaya. Ia mengerjap, mungkin saja ia salah lihat. Namun, penglihatannya memang tidak salah. Pemuda itu benar-benar Levi."Zo—Zora?" balas Levi dengan keterkejutan yang sama.Zora melongo. Dari sejuta kemungkinan yang bisa terjadi, melihat Levi berada di ruangan ini adalah satu hal yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya. Gadis itu sampai bertanya-tanya, apa yang membuat Levi bisa berada di sini?"Kenapa kamu bisa ada di sini?" Zora akhirnya menyuarakan pikirannya setelah terdiam beberapa saat.Levi menghela napas gugup. Pemuda itu sedikit menyesal kenapa nekat masuk kemari dan akhirnya tertangkap basah. Seharusnya memang ia kembali saja ke lobi tadi. Sekarang apa yang harus ia katakan? Tidak mungkin ia menjawab sejujurnya bahwa ia merasa penasaran dan i
Kringgggg!!!Bel sekolah yang berbunyi nyaring itu menandakan kegiatan sekolah hari ini telah berakhir. Semua murid berseru antusias seraya membereskan buku pelajaran masing-masing ke dalam tas, bersiap untuk pulang, termasuk Zora yang berada di ruang kelas XI IPA 1.Selesai membereskan peralatan sekolahnya ke dalam tas, Zora bergegas memacu langkah menuju ruang musik yang terletak di lantai tiga gedung sekolah. Gadis itu berniat untuk menemui guru seni mereka, membicarakan tentang kontes bulan Bahasa yang akan diadakan 2 minggu ke depan. Zora ingin mengundurkan diri dari kontes tersebut lantaran ia tidak bisa ikut. Zora tidak dapat meninggalkan Zia sendirian di rumah karena acara kontes itu diadakan di Cibubur selama tiga hari dan mengharuskan mereka untuk menginap.Zora menaiki tangga menuju lantai tiga, menyalip
Jika ada hal yang ingin Zora lakukan saat ini, gadis itu ingin sekali mengecil, menghilang atau menjadi butiran debu bila sudah berada di antara dua kakak-beradik ini. Ia tidak tahu mengapa nasibnya begitu sial. Situasi ini jadi mengingatkannya dengan apa yang terjadi di masa lalu. Di mana ia berada di tengah-tengah dan menjadi objek yang diperebutkan—yang ingin dikuasai, seolah-olah ia adalah benda di pusat pelelangan. "Your mine?" Ucapan sinis Levi kepada Nevano semakin memercikkan api kebencian yang telah disulut Nevano. "Sejak kapan Zora jadi milik lo?" Nevano tersenyum seraya menatap Zora sekilas. Sebelah tangannya yang bebas ia letakkan di bahu gadis itu, merangkulnya. "Jelas sejak dia menyerahkan dirinya untuk gue nikmatin saat itu." Jawaban tak berakhlak Nevano sukses membuat jantung Zora mencelos
"Gimana? Lo setuju?" Nevano menatap lurus Zora. Masih dengan senyuman khasnya yang menghiasi wajah.Zora terperangah, tak tahu harus menjawab apa. Nevano itu gila dan ia sudah menyadari itu sejak lama. Namun, ia tak menyangka kalau pemuda itu lebih gila dari yang ia bayangkan."Cukup serahin tubuh lo dan gue bakal membantu semua masalah lo sampe tuntas," kata Nevano lagi. "Anggap aja gue Dewa Penolong yang dikirimkan Tuhan buat lo.""Dewa Penolong?" geram Zora. "Kamu itu iblis yang datang cuma untuk ngancurin hidup aku!"Nevano tersenyum mendengar makian itu. "Well, ini adalah penawaran yang pas buat situasi lo saat ini, Zora. Lo butuh uang dan gue perlu tubuh—I mean, jasa lo. Jadi, gue pikir itu impas."Zora tak menjawab. Ucapan itu sangat menyentil harga dirinya. Rasanya ia seperti tak punya kehormatan lagi bila sudah berhadapan dengan Nevano."Pikir
"Bik, tolong bunga yang itu pindahin ke sini, ya! Dan yang ini, vasnya ganti sama yang kristal.""Baik, Nyonya!""Tirai yang sebelah sini tolong diganti juga, sesuaikan sama warna tirai yang dipasang di jendela. Biar nggak keliatan ganjel gitu liatnya.""Iya, Nyonya.""Lukisan yang ini dipindahkan ke ruang baca saja. Ganti sama lukisan yang baru dibeli kemarin.""Baik, Nyonya!""Dan yang ini mejanya coba agak digeser ke sebelah kiri. Dipanjangin gitu dan ganti piringnya sama yang tanpa corak. Polos saja. Perhatikan susunannya jangan sampai salah."Kinanti sibuk mondar-mandir di sekitar area ruang makan, dapur dan juga ruang tamu. Mengatur para pelayan agar lebih maksimal dalam bekerja. Hari ini entah mengapa wanita yang dulunya merupakan seorang model itu, ingin mengganti suasana baru di dalam rumah. Sejak pagi tadi ia sudah sibuk berkeliling, mencari kesi
Zora menghela napas panjang seraya menatap langit kemerahan dari balik jendela di hadapannya. Matahari baru saja tenggelam, sementara gadis itu masih mematung sejak beberapa menit lalu. Malam ini akan menjadi malam keduanya menemani Zia di rumah sakit. Adik perempuannya itu untungnya sudah siuman sejak sore kemarin dan masih dalam masa perawatan. Ia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Jadwal operasinya pun telah ditetapkan minggu depan. Namun sebelum itu, Zia mesti mengikuti serangkaian tes sebelum memasuki meja operasi.Ada sesuatu yang masih mengusik pikiran Zora saat ini, yaitu tentang tawaran yang diberikan Nevano pada dirinya siang kemarin. Pemuda brengsek itu selalu saja berhasil membuat Zora tercengang untuk ke sekian kali. Ya, Zora sungguh tak habis pikir. Bisa-bisanya Nevano memberikan kartu kreditnya untuk ia pakai. Dan sejujurnya, Zora sedikit bimbang dengan tawaran itu. Haruskah ia menggunakannya? Tapi, pilihan itu tentu sangat beresiko. Zor
Dingin dan berangin. Dua kata itu adalah hal pertama yang dirasakan seorang bocah laki-laki berkaus biru dan tengah merangkak di antara bebatuan menanjak menuju tebing yang sedikit menjorok ke lautan. Sesekali kepalanya mendongak, menyapukan pandang ke sekeliling. Mencari sosok yang sejak tadi memenuhi pikirannya. "Bunda ...." Suaranya sedikit parau. Matanya menatap tak tentu arah. Susah payah membawa tubuhnya agar bisa segera sampai ke puncak. Spectrum biru dengan semburat jingga mewarnai langit di hadapannya. Jernih tanpa gumpalan awan. Matahari terlihat mulai menyembul di batas cakrawala, memberi petunjuk bahwa sebentar lagi dunia akan kembali menyambut sesuatu yang dinamakan pagi. Si bocah menarik napas lega ketika akhirnya menemukan sosok yang sejak tadi dicarinya—seorang wanita, dan sedang berdiri di pinggir tebing. Pandangan si wanita mengarah ke lautan bi
"Bagaimana kalau kita mencoba mengenalkan new product kita dengan mengusung tema healthy, smarty and friendly?" usul Zora saat Tim Perencanaan, Tim Marketing dan Tim Produksi meeting bersama untuk ke sekian kali di Rabu pagi hari itu.Meeting kali ini dilakukan untuk membahas pengembangan desain serta penyempurnaan uji coba new product yang sebentar lagi akan dirilis ke pasaran."Healthy, smarty and friendly?" ulang Tami, salah satu staff Divisi Marketing, yang duduk tak jauh dari Zora. Ia terlihat menimbang-nimbang usul tersebut.Zora menatap ke arah wanita berambut hitam legam itu dan mengangguk. "Iya, karena dari product concept yang sudah kita kembangkan, tema ini yang paling cocok. Terutama untuk mie sagu.""Bisa dijelaskan lebih rinci?" pinta staff yang lain."Oke." Zora bangkit dari duduknya, sementara rekan-rekannya di Tim Perencanaan menatap gadis itu takjub. Ya, selama meeting berlangsung, mereka tak menyangka Zora begitu antusias memberikan banyak ide ajaib yang amat sangat
RING DING DONG!RING DING DONG!Suara dering alarm dari jam weker digital di atas nakas terdengar beberapa kali berdering. Pemuda di balik selimut itu perlahan-lahan mengulurkan tangan ke atas nakas untuk mematikannya. Namun, karena tak berhati-hati ia malah menjatuhkan benda berbentuk segi empat itu hingga menimbulkan bunyi jatuh cukup keras.Levi mengerang kasar. Matanya yang masih terpejam, seketika terbuka. Disibak selimut yang masih membalut tubuhnya dan menegakkan badan. Rasa pusing tiba-tiba saja mendera dan pemuda itu tersentak kala menyadari bahwa ada jejak air mata yang membasahi kedua pipinya.Hell? Rupanya tanpa sadar, Levi sejak tadi menangis dalam tidurnya.Apa-apaan ini? pikir pemuda itu, heran sekaligus aneh. Kenapa ia bisa menangis seperti ini?Dengan napas yang terembus kasar, Levi pun mencoba mengingat-ingat. Dan pemuda itu langsung terhenyak kala menyadari apa yang menyebabkan dirinya menangis dalam tidur. Ternyata itu karena ia memimpikan Zora.Ya Tuhan! Apa sih y
Sepi.Tak ada apapun selain angin yang berembus menerbangkan dedaunan kering serta tapak sepatu beradu aspal hitam yang dipenuhi jejak hujan semalam. Matahari baru sejengkal menampakkan sinarnya di ujung cakrawala dan keheningan itu masih terasa sama seperti hari-hari sebelumnya.Namun, ada sesuatu yang rasanya janggal.Sesuatu yang menjadi alasan remaja laki-laki itu berdiri diam dengan alis bertautan. Menatap penasaran pada sosok gadis di balik pintu gerbang. "Zora?" Vokal itu datang dengan sedikit tertahan. Ada keterkejutan di ujung nadanya."Ada apa? Kenapa nggak kasih tahu mau kemari sepagi ini?"Gadis yang dipanggil Zora itu tak menjawab. Ia berdiri dengan kepala tertunduk serta kedua bahu bergetar, seolah-olah sedang menahan sesuatu yang mengguncang. Jejemarinya mengepal, mencengkram ujung seragam lusuh yang masih dikenakan, sementara rambut hitam panjangnya yang tergerai, tampak lembab dan kusut di beberapa bagian."Kenapa kamu masih pake seragam? Kamu nggak pulang ke rumah?
"Jadi Nevano membuat ulah lagi di kantor?" Rafianto menatap sekretaris pribadinya yang sedang berdiri di hadapannya dengan pandangan tajam."Ya, Pak. Saya mendengar dari sekretaris Tuan Nevano kalau Tuan Muda mencium gadis bernama Zora itu di kantor kemarin. Sepertinya Tuan Muda sengaja melakukannya untuk membuat kehebohan," sahut Pak Hendris seraya menganggukkan kepala.Rafianto mengepalkan buku-buku jarinya dan mendengkus kasar. "Anak brengsek itu kenapa selalu saja bertindak ceroboh?""Apa yang harus kita lakukan, Pak?"Pertanyaan itu membuat perasaan Rafianto berkecamuk."Apa Anda yakin ingin tetap menjodohkan Tuan Nevano dengan putri Adi Nugraha itu? Saya rasa ini tidak akan berjalan lancar.""Saya harus melakukannya," tegas Rafianto. "Saya tidak bisa membiarkan apa yang sudah saya bangun dengan susah payah harus runtuh begitu saja. Lagipula ini semua demi kebaikan Nevano juga. Dia adalah ahli waris utama keluarga Abraham saat ini. Jadi mencarikannya pendamping yang tepat adalah s
"Oh ya, Pak Septian mana?" tanya Zora seraya mengedarkan pandang. Baru tersadar kalau pria tangan kanan Nevano itu sejak tadi tak kelihatan batang hidungnya."Pak Septian udah pergi dari subuh tadi," jawab Nevano. Kali ini ia bergerak memecah beberapa butir telur dan mengocoknya di dalam wadah kecil untuk dijadikan omelet. "Ke mana?""Ke acara peringatan kematian bunda."Kalimat itu membuat Zora tersentak. "Kamu nggak pergi?"Nevano menoleh sekilas dan menggeleng. "Nggak.""Kenapa?""That's just waste of time." Pemuda itu tersenyum miris. "Aku lebih suka ziarah ke makam bunda secara langsung daripada ikut acara seperti itu."Jeda."Karena apapun yang mereka lakukan sekarang, nggak mengubah fakta kalau mereka dulunya juga ikut andil atas kematian bunda."Zora terdiam. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Tetapi, ucapan itu juga turut membuat hati Zora merasa sedih."Nanti siang kita jadi ziarah ke makam bunda kamu, 'kan?" tanya Zora kemudian, menatap Nevano lekat.Yang ditatap refl
It's so sweet, knowing that you love me.Though we don't need to say it to each other, sweet...Knowing that I love you, and running my fingers through your hair.It's so sweet...(Sweet ~ Cigarettes After Sex)❣"Ayo, kita menikah, Zora."Kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam benak Zora sepanjang hari itu. Sepanjang Zora membuka mata dan terbangun dari tidurnya.Gadis itu bahkan sudah membersihkan diri dalam bathub selama nyaris satu jam. Memasang instrumental klasik kesukaan pada speaker phone. Menghidu lilin aromatherapy yang ia bakar dan diletakkan di atas lemari nakas. Melihat bagaimana sinar mentari pagi menyusup masuk melalui jendela dan membias di langit-langit membentuk pola kristal temaram.Namun, Zora masih saja belum bisa mengenyahkan kalimat itu dari pikirannya.Oke, satu hal yang rasanya aneh.Sepanjang Zora mengenal Nevano, pemuda itu memang tipikal pribadi yang spontanitas, impulsif dan sulit ditebak. Namun, tak pernah terbayangkan Nevano bisa mengatakan kalimat ing
"Lo nyari Nevano?" Kedua tangan Zora yang berada di sisi tubuh, mengepal sesaat. Gadis itu kemudian mengangguk sebagai jawaban.Laki-laki dengan tato bergambar mawar hitam di pergelangan tangan itu menilai sejenak penampilan Zora yang mungkin terlalu mencolok. Ya, mengingat gadis itu masih mengenakan seragam di hari menjelang petang dan di tempat para anak muda bermain billiard, tentu hal ini cukup menarik perhatian.Namun, laki-laki itu akhirnya mengendikkan kepala ke arah belakang punggungnya. "Dia ada di lantai dua. Masuk aja. Di meja paling ujung sebelah kiri.""Terima kasih," ucap Zora seraya menganggukkan kepala dan berjalan cepat menaiki tangga yang berada tiga meter dari laki-laki bertato itu.Hal pertama yang menyambut Zora ketika kakinya menjejak di lantai dua adalah bau asap rokok di mana-mana, dentuman keras musik punk serta gelak tawa dan suara geretakan bola-bola dipukul di atas meja pool.Pandangan Zora mengedar. Mencari sosok Nevano di antara para pengunjung yang nyar
"Zora, sudah berapa kali rasanya nilai ulanganmu turun drastis. Sebentar lagi kita akan ujian akhir kenaikan kelas. Kalau nilaimu begini terus, bisa-bisa beasiswamu terancam," tegur Pak Agung pada Zora yang tengah duduk di hadapannya.Saat ini sekolah sudah berakhir dan Zora secara khusus dipanggil oleh guru wali kelas XI IPA 1 itu. Membahas nilai Zora yang menurun beberapa minggu belakangan."Ini adalah nilai ulangan matematikamu kemarin. Bapak benar-benar tidak menyangka kamu bisa mendapat nilai di bawah 60 pada ulangan kali ini."Zora memandangi lembar ulangan miliknya dengan nanar. Angka 58 tertulis besar-besar di sana, membuat gadis itu menelan ludah. Ya, bila mengingat lagi ke belakang, ini adalah pertama kalinya Zora bisa mendapat nilai seburuk ini dalam sejarahnya bersekolah. Paling rendah nilai yang ia dapatkan setiap ulangan adalah 80. Jadi, kejadian ini tentu membuat wali kelasnya itu merasa kaget. "Apa terjadi sesuatu? Apa kamu sedang ada masalah?" Pak Agung menatap Zora
Haloo, berhubung update-an kali ini super duper molor, disarankan untuk membaca part sebelumnya biar gak lupa.Dan juga tiga bab ke depan akan menampilkan adegan flashback yaa.Terimakasih ❤Sembilan tahun lalu ketika rasa cinta itu belum bermekaran."Anjing!""Bangsat!""Mati aja lo sekarang!"Serentetan makian dan sumpah serapah mengiringi hantaman, tendangan serta pukulan bertubi-tubi pada sosok laki-laki bertubuh agak ringkih di pojokan teras rumah.Laki-laki itu adalah Gustian, ayah Zora. Ia hanya bisa mengerang serta meringkuk tak berdaya setiap kali menerima pukulan keras yang dilakukan oleh lima orang pria berwajah sangar yang mengelilinginya."Berani-beraninya lo kabur dan sembunyi setelah nipu kami semua! Lo pikir kami ini goblok, hah!?" seru pria berperawakan paling kekar di antara yang lain. Sepertinya pria itu merupakan pemimpin gerombolan preman-preman tersebut dan yang sejak tadi paling sadis menghajar Gustian."Mampus lo, anjing!"Satu tendangan lagi mendarat ke perut