“Saya pesan kamu!” tegas Kim yang mengeluarkan nada suara baritonenya yang sejak dari tadi ditunggu oleh Sasi, bahkan begitu terdengar maskulin oleh telinga Sasi.
Sasi masih tercengang karena tidak mengerti maksud perkataannya.
“Pesan saya, maksudnya?” tanya Sasi tak paham. Tidak hanya Sasi yang tercengang, melainkan sang sekretaris pun menampilkan wajah yang sama seperti Sasi. Win merasa bingung dengan ucapan atasannya itu.
Kim mengubah posisi duduknya menghadap Sasi sekarang. Fokus kepada perempuan itu yang sedang berdiri di hadapannya, membuat Sasi sedikit merasa canggung ketika melihat dengan jelas rupa salah satu pengunjung spesialnya itu yang memang sangat tampan, dan mampu menggoda para perempuan.
“Iya, saya pesan kamu untuk menemani saya malam ini di sebuah hotel berbintang,” tukasnya sambil tersenyum tampan, seperti tanpa beban bagi Kim mengatakan kalimat itu.
“Saya akan memberikan apapun yang kamu mau, dengan syarat berikan tubuh kamu ke saya, mudah ‘kan.” Kim mengucapkan kalimat tanpa merasa bersalah sedikit pun kepada perempuan yang baru dilihat dan dikenalnya. Bagi Kim, jika dirinya mulai tertarik kepada seorang perempuan, ia akan rela melakukan apapun untuk mendapatkannya. Dan hal itu terjadi pada Sasi sekarang, karena wajah Sasi mampun membuat Kim langsung terpana dalam satu kali pandangan.
Sasi langsung membulatkan matanya sekilas, sedangkan mulutnya sedikit menganga. Ucapan dari pria di hadapannya ini begitu keterlaluan dan dirasa telah melecehkannya. Padahal ia baru melihat dengan sosok pria ini. Ingin sekali Sasi mengarahkan kepalan tangannya ke arah wajah pria itu yang sudah berani melecehkannya. Namun, dirinya hanya seorang pelayan yang tak memiliki kuasa lebih untuk melawan pria kaya sepertinya. Bahkan mata para pengunjung yang terus diarahkan kepadanya menjadikan sebagai objek tontonan.
Kekesalan Sasi sudah naik ke ubun-ubun dengan perkataan Kim. “Apa maksud bapak, yah? Bapak pikir saya perempuan murahan yang suka mengobral tubuh saya ke setiap pria!” gertak Sasi dengan nada sedikit tinggi kepada Kim. Gertakan dari Sasi terdengar oleh para pengunjung yang lain, termasuk oleh sang manajer sendiri sampai membuat Keiko menekan-nekan pelipisnya pusing karena mendengar kegaduhan yang dilakukan oleh salah satu pelayannya itu.
“Kamu nggak usah panggil saya dengan sebutan bapak, itu terlalu ketuaan. Kamu panggil saya Kim saja, karena usia saya baru 28 tahun dan saya kira usia kita nggak jauh berbeda,” ungkap Kim yang tidak peduli dengan kekesalan Sasi.
“Masa bodoh,” gertak Sasi cepat.
Tawa Kim meledak seketika mendengar gertakan dari Sasi, bahkan menurut Kim jika dalam keadaan marah pun Sasi masih terlihat cantik dan lucu.
Sasi terus memperhatikan sikap Kim yang terus memberikan senyuman kepadanya, seperti tidak merasa bersalah. Ia pun tak mengerti dengan jalan pikiran tamunya kali ini, bahkan Sasi berpikir jika pria ini tak waras. Belum kenal tapi sudah menginginkan dirinya.
“Saya sebenarnya nggak melecehkan kamu kok, buktinya saya nggak menyentuh sedikit pun kulit kamu, dari ujung rambut sampai ujung kaki kamu. Saya hanya ingin bermalam dengan kamu dan kamu bisa mendapatkan apapun yang kamu mau, daripada bersusah payah bekerja sampai malam, bukankah itu penawaran yang bagus,” ucapnya yang merayu Sasi kembali untuk melancarkan keinginannya.
Sasi bergidik ngeri, walaupun pria di hadapannya ini memang begitu tampan. Namun, Sasi bukanlah perempuan murahan yang ditawari bermalam dengan seorang pria mau saja. Bahkan dengan tegas Sasi menolak ajakan dari pria aneh itu.
Sasi menyiratkan senyuman aneh ke arahnya. “Nggak!” tegasnya menolak. “Pak Kim memang nggak menyentuh saya seujung kuku pun, tapi ucapan dari Pak Kim yang sudah melecehkan saya dan itu termasuk pelecehan verbal. Pak Kim nggak usah mengada-ngada deh, kalau mau mencari perempuan penghibur yang mau memberikan tubuhnya demi uang, bukan di sini tempatnya. Tapi di sana di tempat hiburan malam. Ini restoran bukan bordil! Dan ingat yah, Pak .... ” Sasi dengan berani mengarahkan jari telunjuknya ke arah wajah Kim. Membuat Win, sang manajer, para tamu dan pelayan yang lain tercengang dengan sikap berani Sasi kepada Kim.
“Ingat yah, Pak. Saya perempuan baik-baik, jadi Pak Kim nggak bisa seenaknya melecehkan saya dengan ucapan dari Pak Kim itu. Mana mungkin saya mau memberikan harta yang paling berharga saya kepada orang yang nggak dikenal seperti Pak Kim ini!” seru Sasi yang masih mengarahkan jari telunjuknya di hadapan wajah Kim. “Dan harta yang saya punya khusus untuk suami saya kelak, bukan untuk pria kurang aja seperti bapak ini!” tegas Sasi dengan berani.
Sudut bibir Kim sedikit melengkung, ada rasa ketidakpercayaan dengan yang diucapkan oleh Sasi terhadapnya, bahkan dengan jari telunjuk perempuan itu yang masih mengarah ke wajahnya.
“Apa sikap seperti itu sopan dilayangkan kepada seorang tamu spesial seperti saya ini,” ucap Kim dengan tersenyum simpul.
Sang manajer langsung menghempaskan telunjuk Sasi dari wajah tamunya. Karena sikap salah satu karyawannya ini memang sudah keterlaluan menurutnya.
“Apa yang telah kamu lakukan, Sasi!” gertak Keiko yang begitu kesal kepada Sasi, bahkan ia ingin mengacak-acak wajah Sasi karena sudah membuat malu di depan Pak Kim dan di depan umum, tapi ia berusaha menahannya.
Sasi langsung terdiam dan menundukkan wajahnya dalam, karena apa yang dilakukannya memang salah, tapi ia melakukannya karena merasa jika harga dirinya sebagai perempuan direndahkan begitu saja oleh pria ini. Jadi wajar jika dirinya melawan pria yang sudah kurang ajar kepadanya.
“Maafkan sikap salah satu karyawan saya, Pak,” ucap sang manajer yang meminta maaf sembari menundukkan wajahnya menahan malu akibat kelakukan Sasi.
“No problem,” jawab Kim yang tidak mempermasalahkannya.
Sasi mengangkat wajahnya ke arah sang manajer. “Loh, kenapa Pak Kei yang meminta maaf sih. Seharusnya ‘kan dia yang meminta maaf ke saya karena telah melecehkan saya dengan ucapannya itu, bukan Pak Kei yang meminta maaf,” gertak Sasi yang langsung mencerocos karena ingin membela diri. Emosinya benar-benar sudah naik ke ubun-ubun.
“Sasi diamlah!” seru Keiko memerintah.
“Sampai kapanpun lo nggak bakalan menang melawan orang berduit dan punya kuasa. Sedangkan lo sendiri hanya seorang pelayan biasa. Mana mungkin dibela atas kesalahan orang lain,” gerutu Sasi dalam hati yang mencengkeram kuat ujung celemek yang dikenakannya.
“Pak Kim, saya benar-benar meminta maaf atas sikap tidak sopan karyawan saya kepada anda. Tolong maafkan saya yang telah membuat Pak Kim merasa malu, karena dilihat oleh para pengunjung di sini. ”
Kim menyandarkan tubuhnya di kepala kursi dan terlihat santai dengan kejadian yang terjadi malam ini, bahkan menurut Kim kejadian ini bukanlah masalah besar.
“Saya udah bilang nggak apa-apa kok, toh karena saya suka sama dia,” papar Kim yang melebarkan bibirnya seketika. Membuat orang-orang seisi restoran tercengang, bahkan tidak terima jika pangeran impiannya malah menyukai seorang pelayan biasa seperti Sasi.
“Bagaimana Nona Sasi, apa kamu mau bermalam dengan saya?” tanya Kim kembali yang masih menanyakan tentang itu. Padahal sudah beberapa kali Sasi menolak.
“Sebenarnya apa sih yang dia mau dari gue. Udah ngomongnya ngelantur gak jelas dan sekarang malah bilang suka sama gue,” gerutunya dalam hati sambil mengepalkan kedua tangannya erat. Sasi hanya menganggap biasa ungkapan suka dari Kim kepadanya, karena hal itu tidak akan pernah terjadi.
Sekian menit Sasi terdiam, dan wajah sang manajer yang terus diarahkan kepadanya, menunggu jawaban dari Sasi.
Secara pelan Sasi mengangkat wajahnya ke arah Kim, walaupun begitu malas baginya harus berhadapan dengan pria aneh sepertinya.
“Kalau Pak Kim menginginkan tubuh saya, Pak Kim nikahi saya terlebih dahulu. Baru saya akan memberikan apapun yang Pak Kim inginkan termasuk ... tubuh saya ini kepada Pak Kim. Saya nggak mau memberikan cuma-cuma sebelum menikah, karena kedua orang tua saya nggak pernah mengajarkan hal seperti itu kepada saya.” Tegas Sasi menjawab.
To be continued...
Kim mendadak mengerutkan dahinya dan mengerucutkan bibirnya kembali, seperti tidak suka dengan yang diucapkan Sasi. Laki-laki itu mendekatkan jarak wajahnya dengan Sasi membuat perempuan itu harus memundurkan wajahnya, karena tidak ingin saling berdekatan. Bahkan sudah terdengar suara histeris para perempuan di restoran ini dengan yang dilakukan oleh Kim kepada Sasi.“Kamu pikir ... saya percaya dengan yang namanya per-ni-ka-han.” Kim mengulang kembali kata ‘pernikahan’ dengan terbata-bata, tapi penuh penegasan.“Saya nggak suka berkomitmen dengan yang namanya pernikahan, saya cuma ingin senang-senang saja tapi nggak mau berhubungan dalam pernikahan, karena hal itu membosankan,” tegas Kim yang masih berbicara dengan jarak yang begitu dekat dengan Sasi, bahkan deru napas Kim pun terdengar jelas di telinga Sasi, membuat jantung dan aliran daranya seperti berjalan tak normal.Dengan cepat Sasi langsung menjauhkan tubuhnya dari Kim.“Ya udah, Pak Kim cari s
Sasi berlari terengah-engah ketika ia ingin segera sampai di halte bus yang cukup jauh dari restoran tempatnya bekerja. Sesekali Sasi melirikkan matanya kembali ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya yang putih. Jarak antara restoran ke halte bus memang cukup jauh, beberapa kali pengendara ojek online dan taksi menawarkan diri meminta ditumpangi oleh Sasi. Namun, perempuan yang mengikat rambutnya secara asal itu lebih memilih untuk berjalan kaki untuk sampai ke halte bus. Sasi berpikir jika sisa uangnya dapat ditabung untuk keperluan sang ayah yang masih membutuhkan banyak biaya.Tiba-tiba saja terbesit dalam ingatan Sasi dengan sosok Linggar. Pria yang begitu disukainya namun diantara keduanya tidak memiliki hubungan apapun. Dan sekarang, sosok linggar sedang berada di luar negeri, karena pria itu sedang menjalankan perusahaan ayahnya di Amerika.Waktu yang sudah menunjukkan pukul 22.15 WIB. Jalanan masih terlihat ramai, dengan kendaraan mobil yang m
Tanpa disadari oleh Sasi maupun sang ayah, jika di arah luar pintu yang sedikit terbuka. Kedua mata Lydia terus menatap ketidaksukaan dengan ayah dan anak itu. Lydia memang tidak pernah suka kepada Sasi sesaat ia menikah dengan ayahnya. Perempuan yang pernah menjadi sekretaris ayahnya sesaat Rafi masih menjalankan perusahaannya. Lydia tidak pernah menyukai Sasi, karena ia pun memiliki seorang putri yang seusia dengan Sasi bernama Nadine. Sikap Nadine pun tidak kalah berbeda dari ibunya yang sama-sama tidak menyukai Sasi, dan selalu iri dengan keberhasilan yang diraih oleh Sasi.Setelah selesai melaksanakan pekerjaannya, Sasi kembali ke kamar dan menjatuhkan tubuhnya yang begitu pegal-pegal ke atas kasur yang tidak terlalu besar dan hanya cukup untuk satu bantal dan guling. Namun, begitu cukup untuk menjadi tempatnya istirahat setelah bekerja seharian.Diraihnya ponsel yang tergeletak di samping dirinya yang terlentang. Sasi teringat dengan peristiwa tadi di mana ia melih
Hampir satu jam lamanya bagi Sasi memasak dan menghidangkan makanan yang kini sudah tertata rapi di atas meja makan. Bahkan Sasi pun membuat bubur sehat atas saran sang dokter untuk ayahnya. Sasi masih berdiri dengan bibirnya yang melengkung simpul, ada rasa kebanggaan tersendiri di dalam dirinya ketika ia bisa bekerja di luar rumah sekaligus di dalam rumah.“Seharusnya setiap hari kamu menyiapkan sarapan untuk kami,” gertak Lydia yang tidak tahu malu duduk begitu saja untuk memulai sarapannya bersama dengan Nadien, putri kesayangannya.Sasi merasa dongkol dengan sikap ibu tirinya itu. Namun, ia berusaha untuk menahan amarahnya pagi ini, karena Sasi ingin memberikan kejutan kepada Ayahnya jika dirinya diterima bekerja di perusahaan elite dan terkenal.“Seharusnya tugas rumah dan menyiapkan sarapan adalah tanggung jawab kamu, Lydia. Bukan Sasi, putriku sudah lelah bekerja seharian tapi juga harus memasakkan makanan untuk kalian,” sahut Rafi yang berjalan tertatih-ta
Kim mengemudikan mobilnya dengan cepat, karena jalanan yang terlihat lengang tak banyak pengendara yang bepergian hari ini. Maka dari itu Kim dapat menggunakan jalanan seperti miliknya sendiri. Ketika Kim fokus dengan kemudinya karena hari ini ia tidak berangkat bersama Win, sekretaris pribadinya.Sesekali wajah pria berusia 28 tahun itu menyiratkan senyuman, jika mengingat kejadian semalam. Awal pertemuan antara dirinya dengan Sasi, perempuan yang telah membuat jantungnya berdetak tidak normal. Sasi adalah perempuan kedua yang benar-benar membuatnya jatuh cinta selama hidupnya setelah Estelle.Tak lama ponselnya berdering membuat konsentrasi Kim sedikit membuncah. Dirogohnya ponsel yang berada di dalam saku jasnya. Tanpa melihat si penelepon, Kim langsung memasukkan airpods ke telinganya dan segera menjawab panggilannya.“Halo,” ucapnya terlebih dahulu.Kim mendengar dengan seksama ketika salah satu HRD yang menelponnya dan mengingatkan dengan jadwal int
“Apa kamu Nona Dewi Sasikirana?” sahut seseorang yang berjalan mendekat ke arah Sasi. Seorang laki-laki dengan pakaian formal dan rapi yang tersenyum kepadanya. Terlihat Ghea dan Sella yang menundukkan kepalanya ketika laki-laki itu menghampiri kami.“Iya, Saya Dewi Sasikirana,” jawab Sasi dengan menyiratkan senyuman tak kalah dengan laki-laki berpakaian formal itu yang tersenyum ramah kepadanya.“Ternyata kamu di sini, kenalkan saya Hardy. Salah satu HRD di sini dan orang yang telah menelepon Nona Sasi pagi tadi,” ucapnya yang menadahkan tangannya ke arah Sasi mengajaknya untuk bersalaman. Dengan cepat Sasi pun membalas tagutan tangan sang HRD.“Maafkan saya, Pak. Saya memang mencari-cari ruangan presdir, tapi nggak ketemu.”“Baiklah Sasi, saya akan antar kamu ke ruangan Pak Anders karena beliau sedang menunggu kamu,” ucapnya yang segera pergi dari hadapan Sasi dan juga kedua karyawannya itu. Namun, ketika Hardy yang akan melangkah pergi dihentikan seb
“Kamu ....” ucap Kim yang menunjuk ke arah Sasi dengan jari telunjuknya. Bibirnya melengkung bebas, sebuah senyuman tersirat di wajahnya ketika mendapati Sasi. Perempuan yang mampu memorakporandakan hatinya semalam sedang berdiri di depan kedua bola matanya.“Anda ‘kan pria semalam yang begitu menyebalkan, mengapa anda bisa ada di ruangan ini?” tanya Sasi dengan polosnya, sedangkan kedua matanya melotot tajam ke arah Kim yang belum menyadari jika Kim adalah Presdir di Perusahaan TBC, dan orang yang akan menginterviu Sasi.Hardy merasa bingung, mengapa atasannya bisa mengenal Sasi, bahkan dengan raut wajahnya yang tampak senang dengan salah satu karyawan yang diterimanya ini, dan mengapa Sasi pun terlihat berani dengan atasannya ini.“Sasi ... beliau ini adalah ....”“Biar saya yang menjelaskan kepadanya, Pak Hardy.” Kim langsung memotong ucapan Hardy yang akan menjelaskan kepada Sasi. Ketika pria itu akan memberitahukan kepada Sasi, jika Kim adalah pres
Keduanya sudah saling berhadapan. Sasi yang duduk di kursi berseberangan dengan Kim yang hanya terhalang oleh meja kerja Kim, sedangkan Kim yang duduk di kursi kerja kebesarannya dengan sikap yang sudah seperti seorang presdir. Bahkan dalam keadaan seperti ini, Sasi merasa gugup karena terlihat raut wajah dan gaya Kim yang sedang fokus melihat berkas biodata dan latar belakang pendidikannya. Sikap dari Kim Andersean sangat berbeda sesaat dirinya bertemu tadi. Sekarang, terlihat jiwa seorang pemimpin bahkan sesekali Sasi tampak mengedarkan pandangannya ke arah Kim, rupanya memang begitu tampan, pasti banyak perempuan yang menginginkannya. Namun yang Sasi herankan, mengapa pria ini selalu menatapnya lekat seolah jatuh cinta pada pandangan pertama padanya.“Saya kira, nggak ada yang harus saya tanyakan ke kamu, Sasi,” ucap Kim yang mengarahkan pandangannya ke arah Sasi. “Karena saya sudah melihat sendiri kinerja kamu semalam di restoran tempat kamu bekerja. Jadi ....” Kim beranja
“Nggak!” jawab Sasi singkat. “Mantan kekasih?” tanya Kim kembali yang begitu penasaran dengan kehidupan Sasi sebelum ia bertemu dengannya, tidak mungkin juga bagi perempuan itu tidak pernah berpacaran selama hidup, karena Sasi memiliki wajah yang cantik namun terasa sedikit pendiam dan mungkin kejadian di masa lalu yang tidak diketahui oleh Kim, membuat perubahan di sikap perempuan itu. Sasi begitu malas untuk membicarakan mengenai mantan kekasih, baginya setelah dikhianati oleh cinta pertamanya yang bernama Dave, ia sudah benar-benar mengubur ingatan dan kenangannya dengan Dave. Bahkan sekarang karena perasaannya yang masih digantung oleh Linggar tanpa ada kepastian, membuat Sasi pun sudah tidak memperdulikan lagi akan perasaan Linggar kepadanya, walaupun di dalam hatinya masih ada sosok pria itu. Sasi sudah benar-benar membuang kenangan dan menganggap keduanya sudah mati bak ditelan bumi, dan tidak penting harus dibicarakan kepada orang lain.
Sasi sedang berdiri menunggu taksi online yang sudah dipesannya tadi sesaat dirinya bergegas untuk segera pulang, karena melihat awan yang sudah mulai mendung membuat Sasi memilih untuk menumpangi taksi saja kali ini, daripada ia kehujanan karena harus menempuh perjalanan lagi menuju halte untuk menunggu bus. Karena jarak perusahaan dengan halte bus tidak terlalu dekat dan membutuhkan sedikit waktu.Sesekali Sasi mengarahkan matanya ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, perempuan itu terlihat was-was ketika taksi online yang sudah dipesannya tak kunjung datang. Dirinya harus segera pulang untuk menyiapkan makan untuk sang ayah, karena ia tidak bisa mengharapkan banyak kepada ibu tirinya itu. Setelah menyiapkan makan untuk ayahnya, Sasi akan kembali bekerja di restoran sampai malam. Bukankah, hal itu begitu melelahkan fisiknya. Namun, tak ada yang dapat dilakukannya lagi selain bekerja untuk kesembuhan ayah tercintanya. Diberikan kesempatan untuk bekerja d
“Maaf, jika saya mengganggu obrolan Pak Kim dengan Nona Sasi, tapi saya datang ke sini hanya ingin memberikan pesanan dari Pak Kim,” ucap Win yang menghentikan kedua orang yang sedang bertatapan lekat, seperti seorang pasangan kekasih yang sedang dimabuk asmara.Mendengar suara Win, baik Kim mampun Sasi kembali menormalkan keadaannya seperti semula, seolah tidak terjadi apap-apa.Win masuk begitu saja ke dalam ruangan Kim dengan penuh senyuman, sembari menatap ketidakpercayaan ke arah Kim dan juga Sasi. Win merasa heran, karena baru perempuan yang terlihat sederhana inilah yang dapat masuk dan bercengkerama dengan atasannya. Mungkinkah jika perasaan atasannya ini memang benar adanya, dan bukan hanya kepura-puraan semata.Antara Kim dan Sasi tampak serempak menoleh ke arah Win yang sudah berdiri, dengan wajah yang masih menyiratkan senyuman. Sasi yang sebentar menatap Kim dan langsung dibalas tatapannya oleh Kim yang tersenyum aneh. Bahkan, di dalam posisi sepert
Sasi ingin segera keluar dari ruangan atasannya yang memang dirasa tidak waras. Bahkan dengan tatapannya yang semakin menggila, membuat jantung Sasi terus berdegap dengan kencang dan berpikirannya sudah ke mana-mana, karena ucapan dari Kim yang melantur.“Saya permisi, Pak Kim,” pamit Sasi yang akan segera pergi. Namun, langkah kakinya kembali dihentikan ketika Kim mencekal pergelangan tangannya mencegah Sasi untuk pergi.Antara Sasi dengan Kim saling pandang, Sasi yang tanpa sadar terus menatap wajah atasannya dari jarak dekat, membuatnya sedikit terbuat. Tersadar, Sasi pun langsung menurunkan pandangannya. Sudah dua kali bagi pria itu dengan berani menyentuh anggota tubuhnya, walaupun hanya tangannya saja tidak lebih. Namun, hal itu mampu membuat jantungnya terus berdetak tak karuan.“Lepaskan tangan saya, Pakm” pinta Sasi dengan sopan dan mencoba melepaskan diri dari cekalan Kim.Pergelakan Sasi tidak mampu membuat Kim melepaskan tangannya dengan begit
Sasi sudah berada di depan pintu ruangan Kim, ketika salah satu kepala divisi ruangannya memberitahukan kepada Sasi jika sang atasan memanggilnya. Dengan cepat Sasi segera menghentikan pekerjaan untuk menemuinya. Bahkan sekarang terpampang dengan jelas papan nama dari sang presdir yang bertuliskan Kim Andersean Bharaswarra ketika ia masih berdiri di depan pintu ruangannya. Begitu bodohnya bagi Sasi tidak mengenal sosok pria itu, yang Sasi tahu hanyalah nama depannya saja Kim saat di restoran. Namun ternyata nama panjangnya adalah Kim Andersean.Sasi masih berdiri dengan tatapan kedua bola matanya yang tampak lekat menatap papan nama itu. Perasaannya sedikit was-was ketika ia harus berhadapan dengan pria menyebalkan di hari pertamanya bekerja, dan posisinya hanya ada ia dengan Kim.
Hari pertama bagi Sasi untuk memulai pekerjaannya sebagai Graphic Designer di Perusahaan TBC milik Kim Andersean Bharaswarra. Terlihat Sasi yang mengembuskan napasnya secara pelan jika mengingat dirinya akan berhadapan lagi dengan pria menyebalkan seperti Kim. Sasi mencoba menyemangati dirinya untuk bekerja pagi ini, dirinya harus bersikap profesional dalam bekerja tidak boleh memasukkan urusan pribadi ke dalam pekerjaannya, terutama urusan dengan sosok Kim, walaupun ia begitu malas harus bertemu dengan pria aneh yang pertama kali ditemui di muka bumi ini.“Semangat Sasi, gue yakin kalau Pak Kim nggak mungkin berbuat yang macam-macam sama lo, jika dia nggak mau reputasinya hancur di perusahaan karena kelakuannya itu,” lirih Sasi yang kembali menatap penampilannya yang sudah rapi di depan cermin, walaupun begitu terlihat sederhana tidak mencolok dan menonjol apapun. Mana ada pria yang mau melirik kepadanya.Sasi segera mengambil tas kerjanya yang tergeletak di atas nakas
“Apa yang sedang dilakukan Pak Kim di sini, hah? Pak Kim nggak bosan-bosannya menggangu hidup saya,” ujar Sasi dengan nada suara sedikit ketus di hadapan Kim, bahkan Sasi mengerutkan keningnya ketika harus berhadapan lagi dengan Kim, pria yang sudah menjadi atasannya sekarang.Diperhatikannya sikap Kim yang tampak santai seperti tidak merasa bersalah, karena Sasi yakin kedatangan pria itu hanya ingin mengganggunya saja, tidak lebih yah seperti itu. Sementara Kim hanya tersenyum simpul dengan wajah keterkejutan Sasi. Kim begitu suka dengan raut wajah Sasi yang ditampilkan seperti itu. Dalam pandangan matanya jika Sasi tampak lucu.“Pertanyaan kamu itu bodoh banget, Si. Saya di sini sebagai tamu, dan kamu harus melayani saya,” balas Kim yang mengubah posisi duduknya dan membuka maskernya sebentar untuk menyesap kopi buatan Sasi yang dirasa begitu menggoda matanya.Sasi hanya dapat menggerutu dalam hati, bisa-bisanya ia bertemu lagi dengan pria menyebalka
Kim menyemprotkan parfum kesukaannya di setiap ruas pakaian yang dikenakannya malam ini, aromanya begitu maskulin. Bagi perempuan yang menghirup aroma parfum Kim pasti akan langsung terpincut. Bahkan rambut yang sudah dioles pomade tampak berkilap, bibirnya yang sedikit kemerahan melengkung bebas sembari menatap wajah tampannya di depan cermin.Sebelum pergi, Kim memperhatikan kembali penampilannya yang memang sudah terlihat rapi. Jam tangan mewah buatan Swiss yang melingkar di pergelangan tangannya. Tak menunggu lama Kim berjalan keluar menuju mobil mewahnya yang sudah terparkir di halaman rumahnya yang begitu luas.Kim hidup seorang diri di rumah miliknya dan ada beberapa pelayan yang bekerja di rumahnya, setiap pelayan sudah diberikan tugas masing-masing, sikap Kim kepada para pelayannya pun terbilang baik dan ramah, walaupun wajahnya sering menampilkan tatapan dingin. Bahkan Win sang sekretaris Kim pun tinggal dengannya, kemanapun Kim pergi pasti Win akan ikut dengan
Kim menyimpan cangkir kopi buatan Win ke atas meja, karena setelah kepergian Sasi tak lama sang sekretarisnya itu tiba dengan membawa secangkir kopi. Padahal Kim tidak memerintahkannya namun atas inisiatif Win sendiri.“Apa interviu-nya berjalan lancar, Pak Kim?” tanya Win karena melihat gelagat Kim yang tidak biasa. Karena Win menyadari jika salah satu karyawan yang diinterviu-nya oleh Kim adalah perempuan semalam, perempuan yang telah membuat sikap Kim sedikit berubah dan mengenal dengan yang namanya cinta lagi, setelah melupakan pengkhianatan yang dilakukan oleh cinta pertamanya. Dan baru sekarang jika atasannya itu mengenal cinta lagi. “Tentu saja berjalan lancar, tidak banyak yang saya tanyakan kepada Sasi. Karena saya sudah sangat percaya dengan kinerja perempuan itu yang memang seorang pekerja keras,” balas Kim yang menatap ke arah layar laptopnya yang menyala. Tanpa diketahui oleh Win, jika sejak tadi Kim sedang mengamati foto-foto Sasi yang di