Hampir satu jam lamanya bagi Sasi memasak dan menghidangkan makanan yang kini sudah tertata rapi di atas meja makan. Bahkan Sasi pun membuat bubur sehat atas saran sang dokter untuk ayahnya. Sasi masih berdiri dengan bibirnya yang melengkung simpul, ada rasa kebanggaan tersendiri di dalam dirinya ketika ia bisa bekerja di luar rumah sekaligus di dalam rumah.
“Seharusnya setiap hari kamu menyiapkan sarapan untuk kami,” gertak Lydia yang tidak tahu malu duduk begitu saja untuk memulai sarapannya bersama dengan Nadien, putri kesayangannya.
Sasi merasa dongkol dengan sikap ibu tirinya itu. Namun, ia berusaha untuk menahan amarahnya pagi ini, karena Sasi ingin memberikan kejutan kepada Ayahnya jika dirinya diterima bekerja di perusahaan elite dan terkenal.
“Seharusnya tugas rumah dan menyiapkan sarapan adalah tanggung jawab kamu, Lydia. Bukan Sasi, putriku sudah lelah bekerja seharian tapi juga harus memasakkan makanan untuk kalian,” sahut Rafi yang berjalan tertatih-tatih menggunakan tongkat untuk menopang tubuhnya. Rafi melakukannya agar tidak terlalu merepotkan putrinya.
“Ayah ... kenapa ayah berjalan sendiri. Sasi ‘kan bisa susul ayah ke kamar.” Sasi segera membantu Rafi dan mendudukkannya secara perlahan.
“Ayah pikir cuma Sasi doang yang bekerja, aku juga kerja kok.” Langsung dijawab ketus oleh Nadine.
“Kamu bekerja hanya untuk diri kamu sendiri, bukan untuk keperluan dan kebutuhan rumah, Nadine. Kerjaan kamu cuma belanja yang nggak jelas, baju, alat-alat make up,” tukas Rafi yang terlihat kecewa dengan sikap putri tirinya itu. Namun bagi Rafi, jika Nadine sudah dianggap sebagai putri kandungnya sendiri.
“Aku ‘kan model, jadi wajarlah kalau aku membeli keperluanku,” kesal Nadine sembari menyewotkan wajahnya.
“Udah, udah, Sasi nggak mau ada keributan pagi ini. Lagi pula nggak apa-apa kok, yah. Sasi udah biasa juga, dan ... ada sesuatu hal yang ingin Sasi katakan sama ayah,” ucap Sasi sembari tersenyum.
Sasi memberikan satu mangkuk bubur hangat kepada ayahnya dengan wajah yang berseri, membuat Lydia dan Nadine keheranan.
“Ada apa, Nak?” tanya Rafi yang juga penasaran.
“Pagi ini, Sasi dihubungi langsung oleh salah satu HRD Perusahaan TBC, Yah. Ayah ingat ‘kan beberapa bulan yang lalu Sasi melamar pekerjaan di perusahaan itu, Sasi pikir jika Sasi nggak diterima karena nggak ada kabar. Namun, pagi ini Sasi mendapatkan kabar jika Sasi diterima bekerja,Yah. Bahkan hari ini Sasi akan melakukan interview dengan Presdir Perusahaan TBC,” ucap Sasi memberitahu Riaf sembari tersenyum bahagia, memamerkan gigi-giginya yang berjajar rapi nan putih, dan tidak terkecuali gigi gingsulnya yang menambah manis saat Sasi tersenyum.
Rafi membulatkan matanya karena tidak percaya. Namun, tidak lama laki-laki itu tersenyum bahagia ketika putrinya diterima bekerja di perusahaan elite sekelas TBC. Sedangkan raut wajah tidak suka justru diperlihatkan oleh Lydia dan juga Nadine.
“Kamu serius, Nak. Diterima di perusahaan besar itu?” tanya Rafi mencoba memastikan.
“Iya, Yah. Sasi serius kok dan Sasi pun nggak menyangka.”
“Apa kamu benar-benar pure diterima atau pake cara lain buat diterima di perusahaan Pak Anders?” sahut Nadine yang tidak suka dengan kabar yang diucapkan oleh Sasi, dan sedikit mengecoh kebahagiaan Sasi dan juga ayahnya.
“Apa maksud kamu, Nadine? Aku pure diterima kok.” Langsung dijawab oleh Sasi dengan tegas.
Nadine mengerutkan dahinya seolah tidak percaya dengan jawaban dari Sasi, karena Nadine tahu betul orang-orang yang dapat bekerja di perusahaan yang memang terkenal itu, tidak mudah bagi orang biasa untuk bekerja di sana.
“Apa maksudnya perkataan kamu. Kenapa kamu seperti tidak percaya dengan diterimanya Sasi,” sahut Rafi. “Seharunya kamu senang dong, Nadine. Kalau saudaramu sendiri dapat bekerja di perusahaan elite itu, dan kamu dapat mencontoh kegigihan dan jerih payah Sasi.”
“Ayah, aku tahu banget dengan Perusahaan TBC (The Bharaswara Corporation) nggak sembarang orang bisa masuk atau dapat bekerja di perusahaan elite itu, banyak kok orang yang nggak diterima di sana. Terlebih Presdirnya sangat selektif banget dalam memilih karyawan, terutama karyawan perempuan. Dan aku nggak yakin kalau Sasi benar-benar diterima dengan hasil jerih payahnya sendiri, mungkin dia melakukan sesuatu di belakangnya yang kita semua nggak tahu, dan mungkin ... dia menggunakan cara yang nggak baik,” cecar Nadine dengan wajah kecutnya kepada Sasi.
Sasi tidak bisa tinggal diam dengan tuduhan yang tidak nyata dari Nadien.
“Aku ngelakuin apa maksud kamu, Nad? Selama beberapa bulan aku menunggu panggilan dari perusahaan itu, selama itu juga aku bekerja paruh waktu, kenapa kamu tega memfitnah aku kaya gitu. Lagi pula aku udah nggak bermimpi untuk bisa kerja di sana kok.”
“Aku nggak fitnah kamu kok, Si. Tapi mungkin aja kan, karena sulit banget untuk dapat bekerja di sana. Orang yang begitu intelek pun sulit, apalagi kamu yang hanya perempuan biasa.”
“Sudah, sudah!” tegas Rafi yang menghentikan pertengkaran antara Sasi dan juga Nadine. “Ini ruang makan, bukan untuk ribut.” Keduanya langsung terdiam sekaligus. Sasi menahan amarahnya kepada Nadine di depan sang ayah, walaupun ingin sekali ia meledakannya karena Nadien sudah benar-benar kurang ajar kepadanya.
“Sasi ... Ayah sangat percaya sama kamu, Nak. Kamu selalu bekerja keras demi keluarga ini, jadi wajar jika kamu bisa diterima di perusahaan elite itu,” ucap Rafi yang menyentuh lembut wajah putrinya yang terlihat kecewa dengan perkataan Nadine. “Dan kamu, Nadine. Apa nggak bisa sedikit pun kamu menghargai usaha dari saudaramu ini, kenapa kamu berpikiran yang nggak baik kepada Sasi.”
Nadine tidak diterima diperlakukan tidak adil oleh ayah sambungnya. “Belain terus anak ayah, karena aku emang anak tiri ayah jadi mana mungkin Ayah Rafi mau membela anak tirinya, walaupun cuma sedikit,” ujar Nadine yang beranjak bangun dengan wajah yang kesal, sudah tidak berselera lagi untuk memulai sarapannya. Tak lama Nadien segera pergi, namun terhenti sebentar karena ada hal yang ingin dikatakan di depan ayah dan juga Sasi.
“Aku tahu kok spesifikasi karyawan yang dapat diterima di perusahaan itu, aku seorang model, bagaimana Presdir perusahaan TBC memilih karyawan perempuan, dan hal itu nggak sembarangan,” tegasnya yang langsung pergi meninggalkan ruang makan dengan sarapan yang belum disentuh sama sekali.
“Nadine,” panggil Lydia yang beranjak dari duduknya.
“Dari awal aku nikah dengan kamu, kamu memang nggak pernah membela sedikit pun Nadine, kamu selalu saja membela anak kandungmu itu. Mungkin saja benar dengan yang dikatakan oleh Nadine, jika putrimu ini menggunakan cara yang nggak baik agar dapat diterima di perusahaan itu,” ucapan pedas terlontar dari mulut Lydia. Perempuan itu pun segera pergi menyusul kepergian putrinya, tanpa memakan sarapannya.
“Bu.” Sasi mencoba memanggil ibu tirinya. Namun pergelangan tangan Sasi langsung dicekal oleh Rafi.
“Biarkan dia pergi, Sasi. Sudah banyak kata-kata pedas dan menyakitkan yang ibu tirimu lontarkan kepadamu.
Sasi kembali mendudukkan tubuhnya karena apa yang diucapkan oleh ayahnya memang benar. Namun, tetap saja Sasi merasa tidak enak. Karena keributan ini dipicu olehnya, padahal Sasi tidak berniat sama sekali dan hanya ingin memberikan kabar bahagia. Namun, malah berakhir seperti ini.“Jangan dengarkan perkataan menyakitkan dari Lydia dan juga Nadine. Ayah yakin Nadine mengatakan hal itu karena iri dengan pencapaianmu, Nak. Seharusnya Nadine dapat meniru kerja kerasmu bukan malah menyudutkanmu seperti ini,” ucap Rafi yang mencoba menenangkan putrinya.
Setelah selesai sarapan, walaupun diwarnai dengan pertengkaran kecil antara dirinya dengan Nadien. Yah, hubungannya memang tidak pernah akur dengan saudara tirinya itu, bahkan Nadien yang selalu berbuat yang tidak baik padanya. Namun, Sasi berusaha untuk menerima dengan perlakuan dari saudara tirinya, karena ia tidak ingin bermusuhan dengan Nadine.
Sasi melirikkan matanya ke arah jam yang menempel di dinding, masih ada waktu untuk berbenah terlebih dahulu. Karena hari ini memang shift sore, jadi interview yang akan dijalankannya ini tidak mengganggu pekerjaan di restoran. Namun, sebelum berbenah atau membersihkan diri. Sasi mendudukkan tubuhnya terlebih dahulu di tepi ranjang. Perkataan dari Nadine benar-benar menghancurkan moodnya, padahal hari ini merupakan hari yang begitu bahagia. Namun, moodnya hancur seketika dengan perkataan Nadien. Bahkan Sasi benar-benar tidak mengerti apa maksud perkataannya itu. Apakah presdir dari perusahaan yang menerimanya adalah pria yang tidak baik, menerima karyawan perempuan dilihat dari fisik dan body.
Sasi memperhatikan keadaan dirinya dari atas rambut sampai mata kaki yang begitu jauh jika dibandingkan dengan para model yang memiliki body seperti gitar Spanyol. Lalu, mengapa dirinya dapat diterima? Bahkan hanya dirinya seorang yang dihubungi oleh Pak Hardy. Teringat dengan perkataan pak Hardy jika Prsdir di Perusahaan TBC begitu selektif dalam menerima pelamar, buktinya ia harus menunggu berbulan-bulan panggilan di perusahaan itu.
Sasi benar-benar merasa bingung, antara ucapan Pak Hardy dan Nadine begitu bertolak belakang. Daripada memikirkan hal yang belum pasti, lebih baik baginya segera membersihkan tubuh, jangan sampai ia terlambat di hari pertama interviewnya ini.
Selama dua puluh menit Sasi membersihkan tubuhnya, keadaannya sekarang terlihat fresh dengan handuk yang menutupi tubuhnya. Sasi segera mengambil kemeja putih yang akan dipakainya hari ini. Perempuan itu terlihat menggaruk-garuk kepalanya, karena masih merasa bingung dengan pakaian yang akan dipakainya hari ini. Apa ia harus memakai kemeja putih ini?
Melihat jarum jam yang terus berdetak, Sasi menghilangkan sikap inkonsistennya, ia segera memakai kemeja putihnya itu yang sudah lama tak dipakai setelah melamar di mana-mana, namun berakhir menjadi pelayan restoran.
Setelah rapi dengan penampilannya, Sasi masih berdiri di depan cermin sembari memperhatikan wajah, rambut yang hanya diikat dengan pita terlihat sederhana. Sudah terlihat rapi namun tetap saja jika penampilannya sedikit kuno.
“Baiklah, gue harap kalau perusahaan nggak mempermasalahkan dengan penampilan gue ini,” lirih Sasi yang sedikit membenarkan pita di rambutnya yang terikat.
Sebelum berangkat, Sasi meminta izin dan doa kepada ayahnya agar diberikan kemudahan. Namun tatapan berbeda dan sinis justru diperlihatkan oleh Lydia. Setelah mencium punggung tangan dan kening ayahnya, Sasi segera berangkat menuju perusahaan. Jarak Perusahaan dengan rumahnya cukup jauh juga, Sasi merasa bingung untuk naik kendaraan antara bus atau taksi. Bus ongkosnya relatif murah, sedangkan taksi begitu mahal. Namun, jika dirinya memaksakan untuk naik bus ia harus menunggu lama, karena tidak setiap menit bus datang.
To be contiued...
Kim mengemudikan mobilnya dengan cepat, karena jalanan yang terlihat lengang tak banyak pengendara yang bepergian hari ini. Maka dari itu Kim dapat menggunakan jalanan seperti miliknya sendiri. Ketika Kim fokus dengan kemudinya karena hari ini ia tidak berangkat bersama Win, sekretaris pribadinya.Sesekali wajah pria berusia 28 tahun itu menyiratkan senyuman, jika mengingat kejadian semalam. Awal pertemuan antara dirinya dengan Sasi, perempuan yang telah membuat jantungnya berdetak tidak normal. Sasi adalah perempuan kedua yang benar-benar membuatnya jatuh cinta selama hidupnya setelah Estelle.Tak lama ponselnya berdering membuat konsentrasi Kim sedikit membuncah. Dirogohnya ponsel yang berada di dalam saku jasnya. Tanpa melihat si penelepon, Kim langsung memasukkan airpods ke telinganya dan segera menjawab panggilannya.“Halo,” ucapnya terlebih dahulu.Kim mendengar dengan seksama ketika salah satu HRD yang menelponnya dan mengingatkan dengan jadwal int
“Apa kamu Nona Dewi Sasikirana?” sahut seseorang yang berjalan mendekat ke arah Sasi. Seorang laki-laki dengan pakaian formal dan rapi yang tersenyum kepadanya. Terlihat Ghea dan Sella yang menundukkan kepalanya ketika laki-laki itu menghampiri kami.“Iya, Saya Dewi Sasikirana,” jawab Sasi dengan menyiratkan senyuman tak kalah dengan laki-laki berpakaian formal itu yang tersenyum ramah kepadanya.“Ternyata kamu di sini, kenalkan saya Hardy. Salah satu HRD di sini dan orang yang telah menelepon Nona Sasi pagi tadi,” ucapnya yang menadahkan tangannya ke arah Sasi mengajaknya untuk bersalaman. Dengan cepat Sasi pun membalas tagutan tangan sang HRD.“Maafkan saya, Pak. Saya memang mencari-cari ruangan presdir, tapi nggak ketemu.”“Baiklah Sasi, saya akan antar kamu ke ruangan Pak Anders karena beliau sedang menunggu kamu,” ucapnya yang segera pergi dari hadapan Sasi dan juga kedua karyawannya itu. Namun, ketika Hardy yang akan melangkah pergi dihentikan seb
“Kamu ....” ucap Kim yang menunjuk ke arah Sasi dengan jari telunjuknya. Bibirnya melengkung bebas, sebuah senyuman tersirat di wajahnya ketika mendapati Sasi. Perempuan yang mampu memorakporandakan hatinya semalam sedang berdiri di depan kedua bola matanya.“Anda ‘kan pria semalam yang begitu menyebalkan, mengapa anda bisa ada di ruangan ini?” tanya Sasi dengan polosnya, sedangkan kedua matanya melotot tajam ke arah Kim yang belum menyadari jika Kim adalah Presdir di Perusahaan TBC, dan orang yang akan menginterviu Sasi.Hardy merasa bingung, mengapa atasannya bisa mengenal Sasi, bahkan dengan raut wajahnya yang tampak senang dengan salah satu karyawan yang diterimanya ini, dan mengapa Sasi pun terlihat berani dengan atasannya ini.“Sasi ... beliau ini adalah ....”“Biar saya yang menjelaskan kepadanya, Pak Hardy.” Kim langsung memotong ucapan Hardy yang akan menjelaskan kepada Sasi. Ketika pria itu akan memberitahukan kepada Sasi, jika Kim adalah pres
Keduanya sudah saling berhadapan. Sasi yang duduk di kursi berseberangan dengan Kim yang hanya terhalang oleh meja kerja Kim, sedangkan Kim yang duduk di kursi kerja kebesarannya dengan sikap yang sudah seperti seorang presdir. Bahkan dalam keadaan seperti ini, Sasi merasa gugup karena terlihat raut wajah dan gaya Kim yang sedang fokus melihat berkas biodata dan latar belakang pendidikannya. Sikap dari Kim Andersean sangat berbeda sesaat dirinya bertemu tadi. Sekarang, terlihat jiwa seorang pemimpin bahkan sesekali Sasi tampak mengedarkan pandangannya ke arah Kim, rupanya memang begitu tampan, pasti banyak perempuan yang menginginkannya. Namun yang Sasi herankan, mengapa pria ini selalu menatapnya lekat seolah jatuh cinta pada pandangan pertama padanya.“Saya kira, nggak ada yang harus saya tanyakan ke kamu, Sasi,” ucap Kim yang mengarahkan pandangannya ke arah Sasi. “Karena saya sudah melihat sendiri kinerja kamu semalam di restoran tempat kamu bekerja. Jadi ....” Kim beranja
Kim menyimpan cangkir kopi buatan Win ke atas meja, karena setelah kepergian Sasi tak lama sang sekretarisnya itu tiba dengan membawa secangkir kopi. Padahal Kim tidak memerintahkannya namun atas inisiatif Win sendiri.“Apa interviu-nya berjalan lancar, Pak Kim?” tanya Win karena melihat gelagat Kim yang tidak biasa. Karena Win menyadari jika salah satu karyawan yang diinterviu-nya oleh Kim adalah perempuan semalam, perempuan yang telah membuat sikap Kim sedikit berubah dan mengenal dengan yang namanya cinta lagi, setelah melupakan pengkhianatan yang dilakukan oleh cinta pertamanya. Dan baru sekarang jika atasannya itu mengenal cinta lagi. “Tentu saja berjalan lancar, tidak banyak yang saya tanyakan kepada Sasi. Karena saya sudah sangat percaya dengan kinerja perempuan itu yang memang seorang pekerja keras,” balas Kim yang menatap ke arah layar laptopnya yang menyala. Tanpa diketahui oleh Win, jika sejak tadi Kim sedang mengamati foto-foto Sasi yang di
Kim menyemprotkan parfum kesukaannya di setiap ruas pakaian yang dikenakannya malam ini, aromanya begitu maskulin. Bagi perempuan yang menghirup aroma parfum Kim pasti akan langsung terpincut. Bahkan rambut yang sudah dioles pomade tampak berkilap, bibirnya yang sedikit kemerahan melengkung bebas sembari menatap wajah tampannya di depan cermin.Sebelum pergi, Kim memperhatikan kembali penampilannya yang memang sudah terlihat rapi. Jam tangan mewah buatan Swiss yang melingkar di pergelangan tangannya. Tak menunggu lama Kim berjalan keluar menuju mobil mewahnya yang sudah terparkir di halaman rumahnya yang begitu luas.Kim hidup seorang diri di rumah miliknya dan ada beberapa pelayan yang bekerja di rumahnya, setiap pelayan sudah diberikan tugas masing-masing, sikap Kim kepada para pelayannya pun terbilang baik dan ramah, walaupun wajahnya sering menampilkan tatapan dingin. Bahkan Win sang sekretaris Kim pun tinggal dengannya, kemanapun Kim pergi pasti Win akan ikut dengan
“Apa yang sedang dilakukan Pak Kim di sini, hah? Pak Kim nggak bosan-bosannya menggangu hidup saya,” ujar Sasi dengan nada suara sedikit ketus di hadapan Kim, bahkan Sasi mengerutkan keningnya ketika harus berhadapan lagi dengan Kim, pria yang sudah menjadi atasannya sekarang.Diperhatikannya sikap Kim yang tampak santai seperti tidak merasa bersalah, karena Sasi yakin kedatangan pria itu hanya ingin mengganggunya saja, tidak lebih yah seperti itu. Sementara Kim hanya tersenyum simpul dengan wajah keterkejutan Sasi. Kim begitu suka dengan raut wajah Sasi yang ditampilkan seperti itu. Dalam pandangan matanya jika Sasi tampak lucu.“Pertanyaan kamu itu bodoh banget, Si. Saya di sini sebagai tamu, dan kamu harus melayani saya,” balas Kim yang mengubah posisi duduknya dan membuka maskernya sebentar untuk menyesap kopi buatan Sasi yang dirasa begitu menggoda matanya.Sasi hanya dapat menggerutu dalam hati, bisa-bisanya ia bertemu lagi dengan pria menyebalka
Hari pertama bagi Sasi untuk memulai pekerjaannya sebagai Graphic Designer di Perusahaan TBC milik Kim Andersean Bharaswarra. Terlihat Sasi yang mengembuskan napasnya secara pelan jika mengingat dirinya akan berhadapan lagi dengan pria menyebalkan seperti Kim. Sasi mencoba menyemangati dirinya untuk bekerja pagi ini, dirinya harus bersikap profesional dalam bekerja tidak boleh memasukkan urusan pribadi ke dalam pekerjaannya, terutama urusan dengan sosok Kim, walaupun ia begitu malas harus bertemu dengan pria aneh yang pertama kali ditemui di muka bumi ini.“Semangat Sasi, gue yakin kalau Pak Kim nggak mungkin berbuat yang macam-macam sama lo, jika dia nggak mau reputasinya hancur di perusahaan karena kelakuannya itu,” lirih Sasi yang kembali menatap penampilannya yang sudah rapi di depan cermin, walaupun begitu terlihat sederhana tidak mencolok dan menonjol apapun. Mana ada pria yang mau melirik kepadanya.Sasi segera mengambil tas kerjanya yang tergeletak di atas nakas
“Nggak!” jawab Sasi singkat. “Mantan kekasih?” tanya Kim kembali yang begitu penasaran dengan kehidupan Sasi sebelum ia bertemu dengannya, tidak mungkin juga bagi perempuan itu tidak pernah berpacaran selama hidup, karena Sasi memiliki wajah yang cantik namun terasa sedikit pendiam dan mungkin kejadian di masa lalu yang tidak diketahui oleh Kim, membuat perubahan di sikap perempuan itu. Sasi begitu malas untuk membicarakan mengenai mantan kekasih, baginya setelah dikhianati oleh cinta pertamanya yang bernama Dave, ia sudah benar-benar mengubur ingatan dan kenangannya dengan Dave. Bahkan sekarang karena perasaannya yang masih digantung oleh Linggar tanpa ada kepastian, membuat Sasi pun sudah tidak memperdulikan lagi akan perasaan Linggar kepadanya, walaupun di dalam hatinya masih ada sosok pria itu. Sasi sudah benar-benar membuang kenangan dan menganggap keduanya sudah mati bak ditelan bumi, dan tidak penting harus dibicarakan kepada orang lain.
Sasi sedang berdiri menunggu taksi online yang sudah dipesannya tadi sesaat dirinya bergegas untuk segera pulang, karena melihat awan yang sudah mulai mendung membuat Sasi memilih untuk menumpangi taksi saja kali ini, daripada ia kehujanan karena harus menempuh perjalanan lagi menuju halte untuk menunggu bus. Karena jarak perusahaan dengan halte bus tidak terlalu dekat dan membutuhkan sedikit waktu.Sesekali Sasi mengarahkan matanya ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, perempuan itu terlihat was-was ketika taksi online yang sudah dipesannya tak kunjung datang. Dirinya harus segera pulang untuk menyiapkan makan untuk sang ayah, karena ia tidak bisa mengharapkan banyak kepada ibu tirinya itu. Setelah menyiapkan makan untuk ayahnya, Sasi akan kembali bekerja di restoran sampai malam. Bukankah, hal itu begitu melelahkan fisiknya. Namun, tak ada yang dapat dilakukannya lagi selain bekerja untuk kesembuhan ayah tercintanya. Diberikan kesempatan untuk bekerja d
“Maaf, jika saya mengganggu obrolan Pak Kim dengan Nona Sasi, tapi saya datang ke sini hanya ingin memberikan pesanan dari Pak Kim,” ucap Win yang menghentikan kedua orang yang sedang bertatapan lekat, seperti seorang pasangan kekasih yang sedang dimabuk asmara.Mendengar suara Win, baik Kim mampun Sasi kembali menormalkan keadaannya seperti semula, seolah tidak terjadi apap-apa.Win masuk begitu saja ke dalam ruangan Kim dengan penuh senyuman, sembari menatap ketidakpercayaan ke arah Kim dan juga Sasi. Win merasa heran, karena baru perempuan yang terlihat sederhana inilah yang dapat masuk dan bercengkerama dengan atasannya. Mungkinkah jika perasaan atasannya ini memang benar adanya, dan bukan hanya kepura-puraan semata.Antara Kim dan Sasi tampak serempak menoleh ke arah Win yang sudah berdiri, dengan wajah yang masih menyiratkan senyuman. Sasi yang sebentar menatap Kim dan langsung dibalas tatapannya oleh Kim yang tersenyum aneh. Bahkan, di dalam posisi sepert
Sasi ingin segera keluar dari ruangan atasannya yang memang dirasa tidak waras. Bahkan dengan tatapannya yang semakin menggila, membuat jantung Sasi terus berdegap dengan kencang dan berpikirannya sudah ke mana-mana, karena ucapan dari Kim yang melantur.“Saya permisi, Pak Kim,” pamit Sasi yang akan segera pergi. Namun, langkah kakinya kembali dihentikan ketika Kim mencekal pergelangan tangannya mencegah Sasi untuk pergi.Antara Sasi dengan Kim saling pandang, Sasi yang tanpa sadar terus menatap wajah atasannya dari jarak dekat, membuatnya sedikit terbuat. Tersadar, Sasi pun langsung menurunkan pandangannya. Sudah dua kali bagi pria itu dengan berani menyentuh anggota tubuhnya, walaupun hanya tangannya saja tidak lebih. Namun, hal itu mampu membuat jantungnya terus berdetak tak karuan.“Lepaskan tangan saya, Pakm” pinta Sasi dengan sopan dan mencoba melepaskan diri dari cekalan Kim.Pergelakan Sasi tidak mampu membuat Kim melepaskan tangannya dengan begit
Sasi sudah berada di depan pintu ruangan Kim, ketika salah satu kepala divisi ruangannya memberitahukan kepada Sasi jika sang atasan memanggilnya. Dengan cepat Sasi segera menghentikan pekerjaan untuk menemuinya. Bahkan sekarang terpampang dengan jelas papan nama dari sang presdir yang bertuliskan Kim Andersean Bharaswarra ketika ia masih berdiri di depan pintu ruangannya. Begitu bodohnya bagi Sasi tidak mengenal sosok pria itu, yang Sasi tahu hanyalah nama depannya saja Kim saat di restoran. Namun ternyata nama panjangnya adalah Kim Andersean.Sasi masih berdiri dengan tatapan kedua bola matanya yang tampak lekat menatap papan nama itu. Perasaannya sedikit was-was ketika ia harus berhadapan dengan pria menyebalkan di hari pertamanya bekerja, dan posisinya hanya ada ia dengan Kim.
Hari pertama bagi Sasi untuk memulai pekerjaannya sebagai Graphic Designer di Perusahaan TBC milik Kim Andersean Bharaswarra. Terlihat Sasi yang mengembuskan napasnya secara pelan jika mengingat dirinya akan berhadapan lagi dengan pria menyebalkan seperti Kim. Sasi mencoba menyemangati dirinya untuk bekerja pagi ini, dirinya harus bersikap profesional dalam bekerja tidak boleh memasukkan urusan pribadi ke dalam pekerjaannya, terutama urusan dengan sosok Kim, walaupun ia begitu malas harus bertemu dengan pria aneh yang pertama kali ditemui di muka bumi ini.“Semangat Sasi, gue yakin kalau Pak Kim nggak mungkin berbuat yang macam-macam sama lo, jika dia nggak mau reputasinya hancur di perusahaan karena kelakuannya itu,” lirih Sasi yang kembali menatap penampilannya yang sudah rapi di depan cermin, walaupun begitu terlihat sederhana tidak mencolok dan menonjol apapun. Mana ada pria yang mau melirik kepadanya.Sasi segera mengambil tas kerjanya yang tergeletak di atas nakas
“Apa yang sedang dilakukan Pak Kim di sini, hah? Pak Kim nggak bosan-bosannya menggangu hidup saya,” ujar Sasi dengan nada suara sedikit ketus di hadapan Kim, bahkan Sasi mengerutkan keningnya ketika harus berhadapan lagi dengan Kim, pria yang sudah menjadi atasannya sekarang.Diperhatikannya sikap Kim yang tampak santai seperti tidak merasa bersalah, karena Sasi yakin kedatangan pria itu hanya ingin mengganggunya saja, tidak lebih yah seperti itu. Sementara Kim hanya tersenyum simpul dengan wajah keterkejutan Sasi. Kim begitu suka dengan raut wajah Sasi yang ditampilkan seperti itu. Dalam pandangan matanya jika Sasi tampak lucu.“Pertanyaan kamu itu bodoh banget, Si. Saya di sini sebagai tamu, dan kamu harus melayani saya,” balas Kim yang mengubah posisi duduknya dan membuka maskernya sebentar untuk menyesap kopi buatan Sasi yang dirasa begitu menggoda matanya.Sasi hanya dapat menggerutu dalam hati, bisa-bisanya ia bertemu lagi dengan pria menyebalka
Kim menyemprotkan parfum kesukaannya di setiap ruas pakaian yang dikenakannya malam ini, aromanya begitu maskulin. Bagi perempuan yang menghirup aroma parfum Kim pasti akan langsung terpincut. Bahkan rambut yang sudah dioles pomade tampak berkilap, bibirnya yang sedikit kemerahan melengkung bebas sembari menatap wajah tampannya di depan cermin.Sebelum pergi, Kim memperhatikan kembali penampilannya yang memang sudah terlihat rapi. Jam tangan mewah buatan Swiss yang melingkar di pergelangan tangannya. Tak menunggu lama Kim berjalan keluar menuju mobil mewahnya yang sudah terparkir di halaman rumahnya yang begitu luas.Kim hidup seorang diri di rumah miliknya dan ada beberapa pelayan yang bekerja di rumahnya, setiap pelayan sudah diberikan tugas masing-masing, sikap Kim kepada para pelayannya pun terbilang baik dan ramah, walaupun wajahnya sering menampilkan tatapan dingin. Bahkan Win sang sekretaris Kim pun tinggal dengannya, kemanapun Kim pergi pasti Win akan ikut dengan
Kim menyimpan cangkir kopi buatan Win ke atas meja, karena setelah kepergian Sasi tak lama sang sekretarisnya itu tiba dengan membawa secangkir kopi. Padahal Kim tidak memerintahkannya namun atas inisiatif Win sendiri.“Apa interviu-nya berjalan lancar, Pak Kim?” tanya Win karena melihat gelagat Kim yang tidak biasa. Karena Win menyadari jika salah satu karyawan yang diinterviu-nya oleh Kim adalah perempuan semalam, perempuan yang telah membuat sikap Kim sedikit berubah dan mengenal dengan yang namanya cinta lagi, setelah melupakan pengkhianatan yang dilakukan oleh cinta pertamanya. Dan baru sekarang jika atasannya itu mengenal cinta lagi. “Tentu saja berjalan lancar, tidak banyak yang saya tanyakan kepada Sasi. Karena saya sudah sangat percaya dengan kinerja perempuan itu yang memang seorang pekerja keras,” balas Kim yang menatap ke arah layar laptopnya yang menyala. Tanpa diketahui oleh Win, jika sejak tadi Kim sedang mengamati foto-foto Sasi yang di